Perkenalan Pertamaku dengan Puisi dan Laki-laki yang Menyakiti Kakak Perempuanku

Perkenalan Pertamaku dengan Puisi dan Laki-laki yang Menyakiti Kakak Perempuanku


Perkenalan pertama saya dengan puisi adalah perkenalan pertama saya dengan WS Rendra. Saya membaca WS Rendra sejak saya di bangku kelas satu SMP. Waktu itu, di sekolah kami, setiap sore, selalu ada kegiatan pembacaan puisi dan pementasan teater yang diikuti oleh siswa SMP, SMA, dan Mahasiswa di Kecamatan kami. Saya beberapa kali membacakan puisi WS Rendra dan Dzawawi Imron di kegiatan itu, kegiatan yang diinisiasi dan digerakkan oleh seorang alumni Universitas Negeri Makassar (UNM) sekaligus dosen Bahasa dan Sastra di Universitas Muhammadiyah Buton (UMB). Saya masih ingat wajah dosen itu, tapi saya tidak akan menyebut namanya di sini.

Dosen itu, juga adalah guru Bahasa Indonesia saya di sekolah, membuat saya jatuh cinta pada puisi, sekaligus membuat saya membencinya. Saya mencintai puisi setelah dia mengenalkan saya lebih dekat pada beberapa penyair seperti Chairil Anwar, WS Rendra, Dzawawi Imron, dan Subagio Sastrowardoyo, dengan membacakannya untuk kami. Tetapi, saya juga sekaligus membencinya—membenci puisi, sastra, dan dia, beberapa tahun setelahnya, guru sekolah sekaligus dosen itu menikahi kakak perempuan saya dan meninggalkannya begitu saja ketika kakak saya mengandung anak laki-lakinya. Hingga sekarang, dosen itu, yang mengenalkan saya pada puisi, tak pernah kembali lagi.

Anak laki-lakinya, kini, tumbuh tanpa ayah, umurnya sekitar 12 tahun, duduk di bangku kelas enam SD. Tahun lalu, ketika saya libur dan pulang kampung, saya menyaksikan anak itu berinteraksi dengan ayah saya seperti ayah kandungnya sendiri, tidur di kasur yang sama dan berangkat ke masjid bersama. Selama beberapa tahun sebelumnya, saya turut mengamati: anak laki-laki itu tumbuh dengan rentan, mudah menangis, dan susah bergurau.

Perkenalan saya dengan puisi adalah perkenalan saya dengan WS Rendra, sekaligus perkenalan saya pada laki-laki yang menikahi, menghamili, dan meninggalkan kakak perempuan saya bersama bayi kecil di perutnya. Perkenalan pertama saya dengan puisi adalah perkenalan pertama saya dengan penderitaan yang hidup ini wariskan secara tiba-tiba ke saya.
Mengalami Dua Dunia dalam Satu Rumah: Altruisme dan Kapitalisme di Wilayah Adat

Mengalami Dua Dunia dalam Satu Rumah: Altruisme dan Kapitalisme di Wilayah Adat

Koran Harian Tribun Timur, 09 Januari 2023.

Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari bahwa selama berada di rumah Haji Tawang, tempat saya tinggal dan menumpang beberapa hari, saya telah mengalami dua dunia yang sama sekali berbeda dalam satu rumah. Dua dunia dengan logika kerjanya masing-masing: logika altruisme dan logika kapitalisme. Saya akan membahas cara kerja kedua logika ini, serta pengalaman singkat saya saat mengalami keduanya di lokasi masyarakat adat Bara.

Saya harus mengakui bahwa pengalaman pertama saya mengunjungi masyarakat adat Karaeng Bulu di Tanete Bulu, Kabupaten Maros, adalah pengalaman romantik—meski penggunaan kata “romantik” bisa kita perdebatkan kemudian. Saya bertemu beberapa warga adat yang menyapa, menanyakan ke mana saya akan pergi, mengajak saya berkunjung ke rumahnya, dan menawari saya tempat istirahat dan air minum pelepas dahaga. 

Di setiap kunjungan, tawaran-tawaran semacam itu selalu ada, dan  di beberapa kali kunjungan, saya mengiyakan beberapa tawaran. Tidak perlu uang sepeserpun untuk mendapatkan semua itu dari mereka. Warga di desa, setidaknya yang saya temui di masyarakat adat Karaeng Bulu, selalu ulung dalam hal berbagi kebaikan tanpa mengharapkan imbalan: mengundang saya datang ke rumah mereka, menyediakan kopi, dan makan siang.

Semua hal romantik yang saya alami selama tinggal di wilayah masyarakat adat (sekali lagi, pemilihan kata “romantik” bisa kita perdebatkan) adalah bagian signifikan yang menyadarkan saya pada semangat kesukarelaan yang menjadi ciri khas masyarakat adat. Kesukarelaan sebagai nilai bersama yang menjadi landasan dari praktik keseharian warga adat, atau dalam istilah lain disebut sebagai altruisme, nilai yang menjadi lawan dari kapitalisme.

Semangat Kapitalisme


Ada beragam penjelasan yang bisa kita pakai untuk menjelaskan apa itu kapitalisme, tapi pada konteks tulisan ini, saya ingin merujuk kapitalisme sebagai suatu semangat. Sesederhana itu. Tapi jika kapitalisme harus dijelaskan, biasanya, kapitalisme dijelaskan sebagai suatu sistem hubungan kelas antara modal (kapital) dan kerja upahan di dalam produksi komoditi. Penjelasan lebih simpelnya: ada orang punya uang, membeli sesuatu dan menjualnya kembali kepada orang lain untuk mendapatkan keuntungan atau nilai-lebih. Keuntungan atau nilai-lebih itu digunakan lagi sebagai modal untuk mendapat keuntungan, dan seterusnya. 

Kapitalisme, setidaknya, jenis kapitalisme sederhana, bekerja seperti penjelasan di atas. Meski misi utama kapitalisme sebetulnya tidak terletak pada reproduksi sederhana, tapi lebih dari sekadar itu. Misi utama kapitalisme adalah mengubah nilai-lebih atau keuntungan yang diperoleh untuk menjadikannya modal yang lebih besar, atau apa yang disebut oleh Karl Marx sebagai “capital accumulation” atau reproduksi dalam skala yang lebih besar.

Dalam reproduksi sederhana atau “simple reproduction”, keuntungan atau nilai-lebih digunakan dengan cara yang tidak produktif, sedangkan dalam pelipatgadaan modal atau “capital accumulation”, nilai-lebih diubah secara terus-menerus untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Inilah inti dari kapitalisme, tentang pelipatgandaan modal dan keuntungan. Efek dari logika kerja kapitalisme ini menuntut “keuntungan pribadi yang lebih besar”. Imbasnya, semangat kapitalisme membuat orang-orang fokus kepada bagaimana meraup keuntungan bagi diri mereka sendiri.

Semangat Kapitalisme vs. Altruisme Adat


Berbeda dengan logika kerja kapitalisme yang fokus pada kepentingan dan keuntungan yang lebih besar bagi diri sendiri, altruisme memusatkan perhatian pada kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan keuntungannya bagi diri sendiri. Membantu orang lain dan melakukan kebaikan tanpa memperhatikan imbalan adalah nilai utama dari altruisme. Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa ada tiga ciri utama dari sikap altruisme, di antaranya, mencintai orang lain atau “loving others”, membantu mereka atau “helping them”, dan mengapresiasi mereka atau “making sure that they are appreciated”. Pada akhirnya, semangat altruisme adalah semangat komunalistik yang menjunjung kepedulian terhadap orang lain.

Selama menetap di wilayah adat Karaeng Bulu, saya mengalami dua semangat itu, semangat altruisme dan kapitalisme, di dalam satu rumah, di rumah milik Haji Tawang sebagai pemilik satu-satunya “pabbalu ga’de-ga’de” (toko kelontong) di wilayah adat Karaeng Bulu. Suatu sore, ketika kami baru saja tiba di rumah itu, belum cukup dua-puluh menit, kami sudah diundang masuk ke dalam rumah untuk menyantap makanan sore, dan setelah makan, istri Haji Tawang menghidangkan kopi dan kue untuk kami. Semuanya dengan cuma-cuma. Apapun yang Haji Tawang dan keluarganya konsumsi, selalu ada bagian untuk saya, begitu seterusnya. Sekali lagi, secara bebas alias gratis.

Di rumah yang sama pula, di samping kanan teras rumah itu, ada ruang khusus milik Haji Tawang berjualan. Warga adat Karaeng Bulu mengenalnya dengan sebutan “ga’de-ga’de”. Apapun yang saya ambil di ruangan itu harus saya tukar dengan uang, hanya uang! Setiap dua kali sepekan, Haji Tawang dan istrinya berangkat ke pasar untuk membeli berbagai macam perlengkapan untuk dijual di ruangan itu, untuk mendapatkan keuntungan, tentu saja! Di ruang tertentu di rumahnya, saya berinteraksi dengan Haji Tawang dengan semangat altruistik, tapi di ruang yang lain, kami berurusan satu sama lain dengan semangat kapitalistik. Saya membayangkan, beberapa tahun ke depan, masyarakat adat yang dikenal dengan semangat altruistiknya telah berubah menjadi sangat kapitalistik.

Tulisan ini terbit pertama kali di Koran Harian Tribun Timur, Sulawesi Selatan, 09 Januari 2023. Versi onlinenya bisa dibaca di tautan ini.

Nabil Arif, Tubuh, dan Identitas Gender

Nabil Arif, Tubuh, dan Identitas Gender

Harian Tribun Timur, 22 Agustus 2022.


Muhammad Nabil Arif Adhitya adalah mahasiswa baru Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, yang mengalami pengusiran saat mengikuti orientasi pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru (PKKMB), karena mengaku bergender netral. Kronologisnya kurang lebih, seperti yang terekam dalam video pendek yang viral di media sosial, dua orang dosen memanggil Nabil Arif untuk maju ke depan dan menginterogasi identitas gendernya karena terlihat menggunakan kipas kecil dan berjalan berlengok-lenggok. Di akhir video tersebut, Nabil Arif  diusir oleh kedua dosennya karena dia mengaku tidak bergender laki-laki atau perempuan, tapi bergender netral. Ketika dosennya bertanya dengan nada tinggi, “kamu mau sekali jadi perempuan atau laki-laki?”, Nabil Arif menjawab, “tidak keduanya, di tengah-tengah, makanya gender netral, pak [..] saya mengidentifikasi diri seperti itu.” Mendengar jawaban seperti itu, dosennya kesal dan memanggil panitia agar si Nabil Arif dibawa keluar dari ruangan. Dosen itu menegaskan, “kita tidak terima laki-laki atau perempuan [gender netral] di sini. Salah satunya ji diterima.”

Kejadian yang dialami oleh Nabil Arif mengantarkan kita pada pertanyaan-pertanyaan seperti: apa artinya menjadi laki-laki atau menjadi perempuan atau menjadi di antaranya; apa itu gender netral; mengapa di kepala dosen-dosen itu identitas gender hanya laki-laki dan perempuan; dan pada pertanyaan-pertanyaan lain seputar tubuh dan identitas gender.

Tubuh dan Konstruksi Sosial


Saya ingin memulai dengan penjelasan singkat tentang tubuh dan gender sebagai konstruksi sosial. Biasanya, penjelasan tentang kompleksitas isu gender bisa disederhanakan—meskipun selalu lebih kompleks dari penyederhanaan ini—dengan argumentasi bahwa terdapat perbedaan antara jenis kelamin (sex-biologis) dan gender (sosial). Kelamin biologis adalah “terberi”, sedangkan kelamin sosial atau gender adalah hasil konstruksi sosial. Artinya, seorang perempuan yang memiliki rahim dan dapat hamil secara biologis adalah “terberi” tapi tugas melahirkan dan membesarkan anak sendiri bukanlah “terberi”, tapi merupakan konstruksi sosial. Seorang perempuan yang memiliki rahim dan dapat hamil punya hak untuk memilih tidak melahirkan dan membesarkan anak sendiri. Begitu sebaliknya dengan laki-laki. Laki-laki yang memiliki penis adalah “terberi”, tapi bahwa laki-laki tidak boleh menggunakan kipas kecil dan berjalan berlenggok-lenggok saat kegiatan penyambutan mahasiswa baru, misalnya, adalah konstruksi sosial. Meskipun demikian, para pemikir gender kontemporer seperti Judith Butler mulai mempertanyakan benarkah tubuh atau kelamin biologis adalah murni “terberi” dan bukan konstruksi? Bagaimana dengan kondisi biologis, seperti hipospadias dan lain-lain, yang memperlihatkan bahwa fakta biologis sendiri sebetulnya tidak solid?—karena kapasitas kolom ini terbatas maka saya tidak akan mengelaborasi diskusi itu lebih jauh.

Tapi singkatnya, tubuh dan gender adalah konstruksi sosial. Konstruksi itu terjadi lewat pendidikan, media, dan sebagainya. Artinya, “kelaki-lakian” kita atau “keperempuanan” kita dipengaruhi oleh nilai-nilai gender yang berlaku dalam masyarakat atau yang disebut oleh Raewyn Connell sebagai “gender order” dan oleh sistem gender institusi tertentu atau “gender regime”. Tetapi, pengaruh itu tidak deterministik. Individu memiliki agensi dalam kapasitas tertentu untuk menentukan sendiri nilai-nilai gender mereka, dan bahkan, menurut Connel, individu bisa turut mentransformasi “gender regime” dan “gender order” yang ada pada masyarakat tempat individu tersebut tinggal dan terlibat.

Identitas Gender dan Upaya Dekolonisasi


Seperti yang dapat kita pahami di bagian sebelumnya bahwa tubuh dan gender pada dasarnya adalah konstruksi sosial, yang sangat konsteksual dan plural. Artinya, antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, terdapat perbedaan tentang apa yang mereka maksudkan dengan menjadi laki-laki (maskulinitas) atau menjadi perempuan (feminitas). Sehingga perlu ditegaskan bahwa tidak ada ukuran yang pasti, mutlak, dan berlaku secara universal untuk semua orang tentang bagaimana menjadi laki-laki atau perempuan atau yang lain.

Lalu apa yang bisa kita pelajari dari kasus Nabil Arif? Salah satu yang bisa kita pelajari adalah ketika identitas gender—yang sejatinya cair dan plural—dikonstruksi dan dipaksa menjadi identitas yang biner (hanya laki-laki dan perempuan) maka pada akhirnya akan terjadi “eksklusi” dan diskriminasi—konsekuensi ini setara dengan penjajahan/kolonialisasi terhadap kelompok yang memiliki identitas gender yang berbeda dari yang biner. Padahal, dalam kebudayaan Bugis sendiri misalnya, kita mengenal ada lima identitas gender: Orowane (laki-laki secara biologis), Makunrai (perempuan secara biologis), Calabai (laki-laki secara biologis tapi performa perempuan), Calalai (perempuan secara biologis tapi performa laki-laki), dan Bissu (perpaduan antara empat gender yang ada, punya sifat feminin dan maskulin sekaligus).

Merefleksikan kembali beragamnya identitas gender dalam kebudayaan lokal kita, seperti yang terdapat dalam Suku Bugis, bisa menjadi pintu masuk dalam upaya dekolonisasi identitas gender yang selalu dianggap biner: hanya laki-laki atau perempuan. Dengan memaksakan identitas gender biner terhadap orang-orang seperti Nabil Arif—yang mewakili banyak individu non-biner, dosen-dosen itu, yang mewakili institusi pendidikan, sebetulnya telah melakukan penjajahan terhadap kelompok identitas gender non-biner, dan tidak ada cara lain yang bisa ditempuh untuk membangun komunitas yang inklusif dan menghentikan penjajahan selain turut menyediakan ruang yang setara bagi orang-orang dengan identitas gender seperti Nabil Arif. (*)

Terbit pertama kali di Koran Harian Tribun Timur, 22 Agustus 2022. Versi onlinenya bisa dibaca di tautan ini.
Selamat Natal, Teman

Selamat Natal, Teman

Selamat Natal, Teman

Photo by Angelina Jollivet on Unsplash

Ingatan saya masih kuat, dan saya bisa memastikan kalau saya masih ingat. Pertama kali saya mengucapkan "selamat natal" kepada orang non-Muslim adalah ketika saya masih belajar di bangku sekolah. Saya punya guru di sekolah non-Muslim, tepatnya Kristen, tapi saya tidak sempat mengetahui lebih lanjut apakah guru saya itu Katolik atau Protestan. Yang saya ingat, dia Kristen. Dia pernah ditugaskan sebagai wali kelas kami, saya dan teman-teman saya, di kelas XI. Sekarang, guru saya itu telah pindah sekolah, tapi saya masih menyimpan kontak dan, tentu saja, masih sering mengabarinya jika ada sesuatu yang penting dan/atau tiba hari natal baru. Saya ucapkan lagi, "selamat natal" ke dia.

Nama guru saya itu, Rini Tangke Datu. Jika saya tidak saya mengingat ceritanya, dia pernah menceritakan tentang orang tuanya ke kami, bahwa orang tua dia berasal dari Toraja, Sulawesi Selatan, tempat yang penduduknya mayoritas beragama Kristen, tapi sekarang dia dan keluarganya menetap di Kolaka, Sulawesi Tenggara, tempat yang penduduknya mayoritas Muslim.

Mengapa saya mengungkit guru saya ini, karena dia adalah orang pertama yang membuat saya mengucapkan "selamat natal", dan tentu saja, saya senang. Orang pertama  non-Muslim yang menjadi teman, keluarga, atau orang dekat dengan saya. 

Ada satu kejadian yang unik yang selalu saya datang di kepala saya saat mengingat nama guru saya ini. Yaitu, pernah suatu hari, kami, saya dan teman-temanku ikutan kegiatan perkemahan yang diadakan oleh salah satu organisasi di sekolah kami. Kebetulan, guru saya ini yang menjadi pendamping/pembina kami waktu itu. Dalam sepekan, selama perkemahan itu, guru saya ini selalu membangunkan saya salat subuh, seperti layaknya ibu saya ketika saya sedang di rumah, saya dibangunkan salah subuh.

Karena kebaikan dan keramahan guru saya ini, saya jadi sadar, betapa perbedaan keimanan bukan persoalan yang benar-benar besar. Kita bisa melampauinya ketika kita telah selesai dengan diri kita masing-masing. Kita tidak lagi insecure sehingga bisa menerima diri sendiri dan orang lain tanpa memandang keimanan mereka sebagai sesuatu yang mengancam kita. Sejak saat itu, saya punya kesan baik terhadap orang-orang non-Muslim sebaik kesan saya terhadap guru saya, hingga hari ini.

Sekarang, di Program Pascasarjana UGM, saya sekelas dengan empat orang non-Muslim, keempatnya Protestan. Masing-masing nama mereka adalah, Selvone Christin Pattiserlihun, Karen Erina Puimera, Elly Diah Praptanti, dan Vikry Reinaldo Paais. Mereka adalah kawan ngobrol yang menyenangkan. Mereka ramah dan hangat. Saya senang bisa bertemu, berkenalan, dan sekelas dengan mereka. Di tempat yang sama, kami, saya dan teman-teman saya juga diajar oleh beberapa dosen luar negeri yang beragama non-Muslim, seperti Konghucu, Protestan, dan Buddha.

Singkatnya, saya hanya ingin mengatakan, sekali lagi, "selamat merayakan natal" kepada teman-teman saya, guru-guru saya, dan kepada semua orang-orang di sekitar saya yang merayakannya. Selamat natal, semoga kita semua selalu berada dalam kedamaian dan kebahagiaan. Terima kasih kepada teman-teman Muslim saya yang membaca tulisan ini dan mengerti bahwa mengucapkan selamat natal bukanlah persoalan yang menggugurkan keimanan.
Mengakrabkan Diri

Mengakrabkan Diri

 Mengakrabkan Diri

Photo by Pawel Czerwinski on Unsplash

Satu hal yang membuat saya tidak waras, kadang-kadang, adalah ketika saya merasa tidak punya teman. Menyadarinya saja, bisa membuat saya tidak karuan. Lagipula, apa yang bisa membuat kita bertahan di tengah kehidupan yang serba ribut ini selain punya teman? Itu yang ada di pikiran saya sekarang. Seharusnya, bukan itu. Seharusnya, saya sadar bahwa hanya diri saya sendirilah yang sebaiknya saya ajak berteman. Mengapa takut dengan itu?

Sayangnya, setiap hari, orang-orang di sekeliling kita memaksa kita menjadi orang lain. Memaksa kita untuk berteman dan bercakap-cakap dengan seseorang selain diri kita sendiri, jadinya, kita sibuk membangun keakraban, dengan perjumpaan-percakapan, tetapi begitu perjumpaan-percakapan itu tidak mungkin lagi bisa kita lakukan, keakraban berbalik membunuh kita. Kita mati, jikapun tidak sampai segitunya, kita setengah mati. Sepotong hidup, sepotong mati, dikoyak-koyak keakraban yang hilang.

Seberapa akrab kita pada diri sendiri?
Untuk Adik Perempuanku

Untuk Adik Perempuanku

Untuk Adik Perempuanku

Photo by Rene Bernal on Unsplash

September lalu, beberapa hari sebelum saya berangkat ke Jogja, saya menyempatkan waktu untuk duduk-berkumpul dengan adik-adik perempuan saya—adik kandung, adik sepupu, dan adik-adik perempuan sekampung saya yang kebetulan tinggal di rumah yang sama dengan saya, di jalan Toddopuli, Makassar. Mereka semua mahasiswa baru di beberapa kampus di Makassar. 

Saya ingat, saya berpesan kepada mereka: “Jika kalian masuk kampus, jaga diri kalian baik-baik, di kampus, ada banyak predator seksual, predator itu bisa jadi adalah dosenmu yang kelihatan mengagumkan, temanmu yang memberi kesan melindungi, membantu, dan sebagainya. Predator itu bisa jadi adalah laki-laki siapapun di sekitarmu. Intinya, hati-hatilah! Jaga batas pertemanan, jaga sikap saat berinteraksi dengan laki-laki. Dan yang terpenting, jika kamu mengalami pelecehan, jangan takut untuk melaporkan, minta bantuan ke saya, atau ke orang terdekat.” 

Saya menyadari bahwa peringatan semacam itu benar-benar harus saya sampaikan, karena saya tahu mereka masih remaja, mereka baru akan masuk kampus, dan saya curiga, mereka belum mengerti soal kekerasan seksual yang dialami oleh orang-orang di sekitar mereka. Saya benar-benar sadar bahwa saya tidak ingin adik-adik perempuan saya mengalami apa yang dialami oleh dua teman dekat saya: 

(1) Teman perempuan saya bercerita ke saya bahwa dia mengalami pelecehan seksual di bus saat dia sedang dalam perjalanan pulang kampung. Dia menceritakan pengalaman buruk itu ke saya sambil menangis, “Pian, tidak bisaka apa-apa waktu itu, dan…” suaranya kemudian hilang, berubah jadi tangisan, semakin lama makin parah. Bagi saya, tidak ada bencana yang lebih buruk daripada melihat seorang perempuan menangis di depan saya.

(2) Teman perempuan saya yang lain, bercerita soal aksi dosen pembimbingnya, yang meminta dia untuk membantunya menyelesaikan pekerjaan kantor hingga memanggilnya beberapa kali ke hotel. Dia mengaku ke saya bahwa dia selalu berhasil menolak dosen itu. Dia mengajukan pertanyaan ke saya saat menceritakan gelagat dosennya: “Apa yang sebenarnya dosenku inginkan dari saya, Pian?” Dari detail ceritanya, saya bisa mencium niatan buruk.

Dari dua pengalaman teman dekat saya, saya turut memahami, betapa jahatnya predator-predator itu, dan tentu saja, saya tidak ingin hal semacam itu dialami oleh adik-adik perempuan saya, saya tidak ingin itu dialami oleh orang terdekat saya. Saya tidak ingin itu dialami oleh siapapun! Dan untuk sementara, satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah melindungi mereka dengan cara yang bisa saya lakukan, salah satunya: mengingatkan mereka bahwa di sekeliling kita ada banyak predator yang sedang cari mangsa.

Terakhir, siapapun yang ada di sekitar kita sekarang, di sini, saat ini, adalah yang terbaik, perlakukan mereka dengan cara terbaik.
Kisah dan Cara Saya Beragama

Kisah dan Cara Saya Beragama

Kisah dan Cara Saya Beragama

Andi Alfian
Photo by chris liu on Unsplash

Satu dari banyak hal yang membuat saya senang ketika Ramadan tiba, adalah, Ramadan dengan program ceramah yang berlimpah membuat saya bisa menyimak kembali banyak ragam kisah yang saya nikmati sewaktu kanak-kanak dulu, seperti, kisah tentang surga-neraka; kisah ajaib para nabi dan malaikat; kisah pemilik sepotong roti yang menyesal karena tidak menyerahkan semuanya; kisah api sebesar kurma yang mampu membakar semua benda di tujuh lapis langit dan bumi; dan kisah lainnya.
Apa Itu Filsafat

Apa Itu Filsafat

Apa Itu Filsafat

Andi Alfian
Photo by NeONBRAND on Unsplash



Video: Apa Itu Filsafat?

Ok, jumpa kembali di kanal youtube ini, teman-teman. Di video kali ini, saya akan membahas soal: apa itu filsafat, tapi sebelumnya, bagi teman-teman yang baru pertama kalinya berkunjung ke kanal youtube ini, perkenalkan nama saya Andi Alfian, mahasiswa akhir di jurusan filsafat. Di kanal youtube ini, saya membahas beberapa topik pembahasan, silakan cek lebih lanjut di playlist atau di tab video, jika teman-teman merasa video-video di kanal youtube ini relevan dan bermanfaat bagi teman-teman silakan subscribe.
Ada Apa dengan Mancung?

Ada Apa dengan Mancung?

Ada Apa dengan Mancung?

Andi Alfian
Photo by Marina Vitale on Unsplash

Setiap budaya di suatu tempat, punya nilai dasar masing-masing dalam menentukan aspek kehidupan sosialnya termasuk aspek cantik-gagahnya seseorang. Nilai dasar inilah yang menjadi patokan dalam menentukan segala lini kebudayaan.
Aku Menentukan Warnaku Sendiri

Aku Menentukan Warnaku Sendiri

Aku Menentukan Warnaku Sendiri

Andi Alfian
Photo by Rodion Kutsaev on Unsplash

Aku menentukan warnaku sendiri. Ini ibarat aku datang ke planet ini dengan sekotak krayon. Aku mungkin mendapatkan krayon yang 8-pack atau yang 16-pack, aku tidak peduli. Sebab hanya satu yang aku butuhkan dari krayon itu, aku butuh memberi warna. Tak peduli apakah hanya satu warna yang akan aku gunakan, tak peduli pada gambar apa warna itu akan aku letakkan. Apakah di dalam atau di luar gambar, aku sama sekali tidak peduli. Karena aku memilih mimpiku sendiri sebagai takdir!
Pertarungan Waktu di Perguruan Tinggi

Pertarungan Waktu di Perguruan Tinggi

Koran Harian Tribun Timur, 12 November 2019.


Jika masa depan suatu negeri dapat diprediksi dari kualitas anak mudanya hari ini, ayo kita mulai tulisan ini dengan beberapa pertanyaan spekulatif: Apa yang sekarang sedang dipikirkan oleh anak muda? Di mana dan untuk kepentingan apa mereka menghabiskan waktu luang yang mereka miliki? Untuk menerawang pertanyaan tersebut, mari kita menengok institusi pendidikan tinggi sebagai tempat yang dipenuhi anak-anak muda.

Paragraf pembuka di atas adalah pragraf pembuka yang juga digunakan oleh Harry Isra M. dalam Anak Muda dan Krisis Waktu Publik yang dimuat di Literasi Koran Tempo Makassar, 2015. Dalam tulisan tersebut, Harry Isra mengeksplorasi pemikiran Henry Giroux tentang mahasiswa yang tengah terprivatisasi dan mengalami krisis sosial di perguruan tinggi. Menurut Giroux, di universitaslah pertarungan antara public time dan corporate time sebagai dua jenis waktu yang membentuk tipikal mahasiswa sedang berlangsung terus menerus. 

Public time yang dimaksudkan oleh Giroux adalah waktu yang dihabiskan oleh anak muda atau mahasiswa untuk menggelisahkan persoalan-persoalan sosial-kemanusiaan lalu mengerahkan seluruh pengetahuan, kemampuan serta waktunya untuk melakukan advokasi dan resistensi semaksimalnya. Jenis public time tidak mengenal apa disebut time is money. Anak muda atau mahasiswa dengan tipikal semacam ini mengganggap waktu bukan untuk dikonversi menjadi uang tetapi untuk berpikir kritis, berkontemplasi, serta melakukan aksi-aksi kemanusiaan.  

Kontras dengan jenis waktu pertama, corporate time adalah waktu yang digunakan oleh anak muda atau mahasiswa untuk kegiatan kompetisi, enterpreneurship, atau aksi-aksi hiper-individualistik-pragmatik. Bahwa bagi mereka, proses belajar di perguruan tinggi tidak lain adalah hanya untuk memperoleh keuntungan pribadi yang lebih mapan tanpa harus mempedulikan kondisi sosial-kemanusiaan di sekitarnya.

Untuk masa depan suatu negeri, universitas sebagai institusi pendidikan tinggi yang mengumpulkan anak-anak muda berserta segala jenis waktu luang yang dimilikinya, harusnya menjadi benteng pertahanan untuk melindungi serta melestarikan apa yang disebut oleh Giroux sebagai public time. Sebab jika tidak, maka kita akan kehilangan anak-anak muda tipikal public time, dan itu berarti bahwa kita akan kehilangan pula masa depan yang lebih kritis dan demokratis.

Tetapi ironisnya, pimpinan universitas yang memiliki otoritas untuk menjaga public time-nya anak-anak muda, malah lebih memilih membangun pagar setinggi-tingginya—dengan maksud: lebih memilih menjadi penjara bagi waktu luang anak muda dibandingkan membangun sebuah institusi akademik yang mengedukasi semanusia-manusianya manusia. 

Bagaimana mungkin universitas dapat melestarikan public time-nya anak muda, jika bahkan jam yang digunakan anak muda untuk berdiskusi, berorganisasi, berkesenian, dan segala macamnya telah dicuri oleh pimpinan universitas melalui beberapa kebijakan?!

Jam Malam di Perguruan Tinggi


Salah satu contoh kebijakan pimpinan universitas yang mencuri public time-nya anak muda adalah kebijakan pimpinan UIN Alauddin Makassar yang beberapa hari lalu melalui Surat Edaran Rektor No. B/8/0/Un.06.1/PP.00.9/10/2019 menetapkan aturan tentang tata tertib lembaga atau organisasi kemahasiswaan dalam lingkup UIN Alauddin. Dalam surat edaran tersebut dijabarkan melalui empat pasal tentang dua perihal utama:

Perihal pertama, tentang larangan penggunaan jam malam di lingkungan kampus. Bahwa aktivitas kepengurusan lembaga atau organisasi intra kampus di UIN Alauddin dimulai dari jam 06:00 sampai 17:30. Aturan tersebut tidak hanya terkhusus untuk pengurus lembaga atau organisasi intra kampus saja, akan tetapi diperuntukkan kepada seluruh mahasiswa UIN Alauddin—dan itu berarti bahwa seluruh mahasiswa UIN Alauddin hanya boleh beraktivitas di dalam kampus mereka sendiri dari pagi hingga sore, selebihnya, mereka akan diusir oleh pihak satuan pengamanan (satpam).

Perihal kedua, tentang larangan memasang atribut, lambang, spanduk, baliho, pamflet, poster, selebaran, tanda organisasi dan atau segala bentuk alat media yang sejenisnya tanpa terlebih dahulu memperoleh izin dari pimpinan universitas. Jika mahasiswa tidak mengindahkan larangan tersebut, sebagaimana tertera dalam pasal 2 pada surat edaran itu, maka pimpinan universitas berhak membubarkan paksa, mencabut atau menyita atribut-atribut yang telah dipasang.

Dari dua larangan di atas, setidaknya kita bisa melihat bagaimana universitas sebagai tempat yang idealnya paling demokratis, malah berubah menjadi penjara. Tempat  yang seharusnya menjamin pertarungan public time dan corporate time, bukan malah sebaliknya. 

Dalam sejarah institusi pendidikan tinggi di Indonesia, peraturan tentang jam malam memang telah menjadi pro-kontra. Beberapa universitas di Indonesia seperti UI, UGM, UIN Sunan Kalijaga, dan beberapa kampus negeri yang lain, pernah menerapkan aturan yang sama namun kemudian menghapus regulasi tersebut karena dinilai represif bagi demokratisasi anak muda di kampus, dan yang terpenting bahwa penerapan aturan tersebut kontra-produktif.

Oleh karena itu, sudah tibalah saatnya pimpinan universitas merumuskan solusi baru bagi masalah ketidakamanan kampus, saat pilihan menutup pagar tidak lagi relevan untuk dilakukan. Karena menggunakan solusi purba yang terbukti gagal berkali-kali hanyalah kebiasaan orang-orang malas untuk berpikir.

Tulisan ini pertama kali terbit di Koran Harian Tribun Timur, 12 November 2019. Versi onlinenya bisa dibaca di Washilah.


Refleksi Hari Ulang Tahun Saya yang Ke-18

Refleksi Hari Ulang Tahun Saya yang Ke-18


Hari ini adalah hari Sabtu, 05 Agustus 2017. Hari ulang tahun bagi yang lahir tanggal 05 Agustus. Setidaknya menurut akta kelahiran saya, saya juga lahir di tanggal ini. Padahal awalnya saya lupa kalau hari ini adalah tanggal 05 Agustus, tapi diingatkan oleh keluarga dan teman-teman saya melalui ucapan selamat dan doa-doanya. Apakah melupakan hari ulang tahun berdampak pada seberapa bermakna hari itu terhadap kita? Entah, yang jelas saya sangat berterima kasih kepada keluarga dan teman-teman yang telah mengingatkan.

Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-18. Sebenarnya ada banyak hal yang membuat saya bertanya-tanya mengenai ulang tahun. Ulang tahun? Ya, tahun yang berulang. Saya sebenarnya merasa penasaran dengan ulang tahun. Mengapa disebut ulang tahun padahal yang berulang itu tanggal dan bulan kelahirannya saja. Jika pun karena ulang tahun dalam artian perulangan tanggal kelahiran dalam setahun maka kenapa tidak sekaligus namanya ulang tanggal atau ulang bulan?

Kata mereka, hari ini adalah hari spesial buat saya. Ya, hari spesial bagi para manusia yang berulang tahun. Karena hari ulang tahun selalu spesial maka tidak sedikit manusia-manusia yang berulang tahun merayakan ulang tahunnya. Ada berbagai macam perayaan. Ada yang merayakannya dengan pesta yang meriah. Ada yang merayakannya dengan berkhidmat. Ada yang merayakannya dengan menerima pemberian kado kejutan atau bahkan malah memberikan kado kejutan. Dan berbagai ragam perayaan lainnya. Lantas, bagaimana seharusnya memaknai perayaan ulang tahun itu?

Setiap manusia pastilah memiliki hari ulang tahun dalam hal ini hari kelahiran, maka setiap orang pasti pulalah memiliki penafsiran berbeda terhadap perayaan hari ulang tahun. Perayaan yang dilakukan merupakan salah satu cara mereka menafsirkan makna ulang tahun. Ada yang memaknai hari ulang tahun sebatas ucapan Happy BirthDay yang disingkat HBD di dinding Facebook, ada yang merayakannya dengan nyanyian merdu happy birthday to you, ada yang merayakannya dengan makan-makan dan ada pula yang merayakannya dengan berpuasa. Bahkan ada pula yang merahasiakan hari ulang tahunnya karena takut dikerjain sama teman-temannya.

Hal yang terakhir di atas menandakan bahwa hari ulang tahun tidaklah selalu istimewa, namun juga terkadang memprihatinkan bagi segelintir orang. Adapun yang memprihatinkan itu biasanya berupa penindasan kepada mereka yang ulang tahun, misalnya minta traktiran, minta kado spesial, dan bahkan ada pula penindasan semacam perang telur juga tepung dan sebagainya. Inilah uniknya manusia dalam merayakan hari ulang tahunnya.

Bagi saya, ulang tahun bukanlah semata-mata hanya persoalan perayaan, namun juga persoalan pemaknaan kita terhadap pentingnya waktu dan kelahiran.

Pemaknaan akan pentingnya waktu.

Waktu pada dasarnya selalulah berubah dan perubahan inilah yang membuatnya sangat berharga, karena tiadalah yang mampu menghentikan atau mengulang waktu yang telah berlalu. Harga dari waktu tidaklah mampu kita bayar. Lantas, bagaimana dengan waktu atau umur yang telah diberikan kepada kita, apakah sudah digunakan dengan baik? Saya teringat salah satu pengarang besar bernama William Shakespeare. Beliau pernah mengatakan bahwa: Apakah Anda mencintai kehidupan? Jika ya, maka jangan buang waktu, karena waktu adalah penyusun kehidupan. Ya, waktu adalah penyusun kehidupan. Itulah mengapa ulang tahun terasa istimewa, karena merupakan produk dari penunjang kehidupan yakni waktu.

Nah, bagi manusia yang sangat menghargai waktu maka tentulah hari ulang tahun adalah waktu yang berharga. Waktu di mana kita melempar jauh ingatan kita ke masa lampau. Masa kita pertama kali memandang dunia, mengingat kembali waktu lampau saat bermain di masa kanak-kanak, dan momen masa lampau lainnya. Seyogianya di saat hari ulang tahun kita kembali mengingat masa kita terlahir di dunia ini, meskipun mungkin sulit untuk diingat. Tapi setidaknya refleksi kelahiran itulah mesti selalu ada. Karena bagi saya waktu sangatlah berharga, maka bukan hanya hari ulang tahunlah yang menjadi perayaan. Tapi setiap hari adalah perayaan ulang tahun, perayaan akan keberhargaan waktu.

Pemaknaan terhadap esensi kelahiran.

Kata birthday yang berasal bahasa Inggris itu berarti hari kelahiran. Atau sering pula diungkapkan dalam bahasa Indonesia dengan kata ulang tahun. Kelahiran adalah momen berharga bagi kehidupan manusia sebagai permulaan dari hidupnya. Sehingga pemaknaan akan kelahiran tentu berdampak pada nilai bersyukur kita kepada Tuhan. Nilai syukur karena atas izinnyalah sehingga kita bisa memandang kehidupan di dunia.

Lantas muncul pertanyaan: apakah memang ada perayaan hari kelahiran di dalam agama?

Saya bukan agamawan tapi saya beragama, maka saya memiliki sedikit pengetahuan mengenai pertanyaan ini. Namun, saya tidak ingin membahas apakah perayaan ini bid’ah atau tidak, boleh atau tidak, tapi lebih pada apakah ada tradisi perayaan semacam ini dalam agama.

Dalam beberapa agama memang terdapat beberapa perayaan hari ulang tahun. Misalnya dalam agama Islam, terdapat perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, biasanya disebut Maulid atau Milad. Tidak semua umat muslim merayakan Maulid atau Milad Nabi sebab ada berbagai pendapat yang berbeda dalam memandang perayaan Maulid ini. Begitu pun dalam agama Kristen. Di dalam agama ini juga terdapat perayaan hari ulang tahun yakni perayaan hari kelahiran Yesus, biasanya disebut sebagai hari Natal. Jadi di dalam agama terdapat tradisi perayaan ulang tahun bagi manusia yang dianggap agung. Tapi apakah perayaan ulang tahun pada Tuhan tetap ada dalam agama?

Pertanyaan itu mengingatkan saya pada sebuah artikel pendek yang ditulis oleh Maruf Nurhalis. Di artikel tersebut juga tertera pertanyaan demikian. Meskipun menurut penulisnya, pertanyaan itu adalah pertanyaan gila. Pertanyaan: Kapankah hari ulang tahun Tuhan? Menurut Maruf, pertanyaan tersebut bukan untuk memanusiakan Tuhan, tapi hanya untuk menggugah nurani autentik manusia. Dengan cara: hari ulang tahun mesti juga diberikan pada Tuhan. Argumen inilah yang sedikit gila dari artikel itu, kemudian dijelas dengan beberapa argumen yang membahas tentang tujuan hari ulang tahun Tuhan.

Salah satu tujuan dari adanya hari ulang tahun Tuhan adalah agar manusia memiliki waktu berpesta dengan Tuhannya. Hari ulang tahun bagi Tuhan tidaklah mampu ditetapkan dalam ruang dan waktu sehingga setiap detik jalannya waktu di situlah Tuhan berulang tahun atau setidaknya mendekati. Dan olehnya itu, di setiap hembusan napas manusia semestinyalah selalu mengingat Tuhannya. Jadi kita selaku manusia yang berulang tahun tidak boleh hanya merayakan keberhargaan waktu dan kelahirannya sendiri namun juga bagi Tuhan. Salah satu contoh prosesi pesta ulang tahun Tuhan adalah sholat lima waktu. Karena setiap detik, menit, jam dan hari adalah ulang tahun Tuhan maka setiap hari pulalah manusia merayakannya dengan salat lima waktu. Mungkin kurang lebih seperti itulah makna ulang tahun Tuhan.

Oleh karena itu, mari merayakan hari ulang tahun kita masing-masing sebagai bukti rasa syukur kita pada Tuhan dan tentunya juga tak lupa melunaskan kewajiban kita akan perayaan hari ulang tahun Tuhan di setiap harinya. Sebagai penutup, terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan kado berupa ucapan selamat beserta doanya semoga doa-doanya dijabah di sisi Tuhan. Terima kasih pula kepada teman-teman yang telah memberikan kado dalam bentuk yang lain daripada yang lain. Semoga kadonya bermanfaat bagi saya dan mendapatkan balasan bagi Anda yang telah berbaik hati memberikan. Terima kasih banyak!
Setetes Ingatan dan Sebuah Gagasan

Setetes Ingatan dan Sebuah Gagasan


Di siang hari yang terjal, terik matahari riang menukik semesta. Saya kembali menyusuri tengah kota yang tak pernah sepi meskipun hari libur. Hari ini, saya awalnya merasa bersedih, namun kemudian kesedihan itu lumpuh. Mengapa? Silakan baca sampai selesai. Sedih karena harus mengawali hari dengan perpisahan seorang teman saya di kampus yang bernama Suci Amelia. Kami merayakan kesedihan dan perpisahan di Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin untuk terakhir kalinya. (Cerita tentang perpisahan saya dengan Suci Amelia juga saya tulis di blog ini.)

Tepat jam 13:20, saya teringat pemberitahuan istimewa dari gurunda Sulhan Yusuf melalui Facebook untuk menghadiri Kelas Literasi Paradigma Institute (KLPI) yang dirangkaikan dengan Halal Bihalal. Pertemuan ini merupakan pertemuan perdana setelah liburan panjang. Mengingat pemberitahuan literasi sekaligus undangan halal bihalal itu, saya kemudian meninggalkan Bandara Sultan Hasanuddin dengan penuh gairah, gairah untuk terlepas dari kesedihan perpisahan menuju semangat literasi. Ya, literasi bagi saya selalu saja menjadi obat bagi derita dan galaunya kehidupan. Meskipun belum cukup setahun saya nimbrung dalam dunia literasi.

Semangat ini memaksa jari-jemari saya untuk mengemudi lebih cepat. Pikiran saya hanya terpusat pada “apakah saya bisa tiba tepat waktu di markas Paradigma Institute sebagaimana pukul 14:00 sebagai ketetapan?” Di perjalanan, semakin lambat kendaraan melaju semakin membuat saya menyadari bahwa kota Makassar yang katanya kota dunia ternyata hanyalah kota yang amat muram. Kemuraman itu tampak di antara motor-motor kusam dan mobil-mobil buram dengan dedebuan. Kemacetan selalu saja menjadi hal yang menyebalkan.

Tetapi di balik semua suasana menyebalkan yang saya temui di Kota Daeng ini—termasuk kemacetan, saya menemukan suasana taman surga yang mampu menghapus stigma kota menyebalkan tadi. Taman surga itulah yang serasa membuat saya betah di Kota Makassar ini. Janganlah memaknai taman surga sebagai tempat, objek, atau hal-hal yang berbau material. Sebab, taman surga yang saya kemukakan di sini bersifat immaterial yang tak lain adalah suasana riuh dan gemuruh oleh semangat literasi, itulah taman surga yang saya dapatkan di kota ini.

Meskipun sedikit terlambat, akhirnya saya bersyukur bisa tiba dengan selamat dan tentunya ikut nimbrung dalam pertemuan kelas literasi Paradigma Institute. Ada beberapa ingatan yang muncul dari pertemuan itu dan akhirnya menetes ke tulisan ini, di antaranya persoalan dunia literasi. Perjumpaan yang kembali kami gelar mengingatkan saya pada kelahiran di dunia literasi. Saya masih mengingat dan akan selalu teringat, hari itu adalah hari Minggu, 19 Februari 2017. Hari itu, pertama kali saya menginjakkan kaki di serambi surga ini, Toko Buku Paradigma Ilmu. Entah bagaimana bisa, karena bahkan, saya pun sebelumnya tidak pernah berpikir akan mengenal yang namanya dunia literasi. Saya hanya bermodalkan rasa ingin tahu sehingga bisa berjumpa dengan tempat yang mencerahkan ini.


“Orang yang hidup melata di muka bumi ini tanpa mengenal dunia literasi adalah wujud lain dari kematian”. Itulah sabda gurunda Sulhan Yusuf yang merasuki jiwa ini ketika pertama kali saya bertandang ke kelas literasi Paradigma Institute. Dan hari ini, di pertemuan itu, semua yang menjadi langkah awal dalam dunia literasi kembali teringat, dan ingatan itu seolah-olah kemarin sore. Tapi tidak salah, saya memang anak kemarin sore di dunia literasi. Dunia berhias pesona, dunia tanpa batas cakrawala, dunia beragam paradigma, dunia tanpa dosa-dosa dan kebencian, itulah dunia literasi.

Pertemuan kelas literasi perdana setelah berlibur panjang mengingatkan saya kembali pada sejarah itu. Rak buku yang menampung ribuan buku selalu saja menjadi cermin ketika saya tatap. Ia selalu saja menampakkan wajah saya ketika pertama kali berjumpa, dan ketika itu pula semuanya teringat. Dan yang paling penting, ingatan itu acap kali menampar saya dan berkata “Kamu anak kemarin di sini, kamu tak malu dengan dirimu sendiri?” Saya ingin sekali berdiri dengan lancang, memberontak, dan sesekali menyela pandangan sinis buku-buku di rak itu, menunjuknya dengan telunjuk lalu berkata “Kamu berbicara tentang ‘saya’, padahal, saya yang sekarang bukan lagi saya yang dulu, tapi saya yang sekarang. Apa salahnya jika saya baru berumur kemarin?” 

Selain persoalan kelahiran di dunia literasi, saya juga mendapatkan sebuah gagasan. Gagasan ini berupa tips yang ampuh bagi saya sebagai anak kemarin dan pecinta buku. Ini persoalan mencintai buku-buku. Cinta memang selalu ada di mana saja, bersemayam di singasana sang pecinta, bersembunyi di balik laci sang koruptor, menempel di serpihan sandal tukang parkir dan bahkan terselip dalam rak-rak buku kumuh di sebuah rumah. Dan perjumpaan saya dengan gurunda Sulhan Yusuf memberikan saya pelajaran tentang cinta pada buku. Salah satu bentuk kecintaan kita pada buku adalah membaca dan mengoleksinya.

Awalnya, gurunda mengungkap dengan tuturnya, cara yang ia lakukan sehingga bisa memiliki ribuan buku di markasnya. Ia mengakui melihat postingan foto koleksi buku saya di Facebook, dan mungkin karena itu, ia pun mencibir tentang postingan itu, dan tibalah saya pada pertanyaan mengapa gurunda bisa memiliki buku sebanyak ini? Saya merasa terkesan dengan tips dan cara seorang mahasiswa mengoleksi buku yang diutarakan oleh gurunda. Inilah yang unik. Nah, untuk mengetahui tipsnya maka silakan berkunjung ke Toko Buku Paradigma Ilmu. Jangan lupa beli buku!
Jadilah Profesor Penumpuk Tugas

Jadilah Profesor Penumpuk Tugas

Jadilah Profesor Penumpuk Tugas


Photo by Robert Anasch on Unsplash

“Akhir semester yang menyenangkan. Tugas-tugas mengantri, berlalu-lalang di benak saya, kemudian berunjuk rasa. Tingkahnya memaksa saya menumpuknya agar mereka bisa segera berdiam sejenak.”

Jika tugas sangat banyak dan menumpuk, maka disiplin tidak boleh lagi dilihat dari sisi seseorang mengerjakan tugas setelah hari ini diberikan tugas tersebut, dan malamnya dikerjakan. Sebab bukankah setiap kegiatan ada waktunya masing-masing? Termasuk waktu ngerumpi bersama buku-buku sastra kita, bukan?

Namun bagi saya, ketika tugas banyak dan kadang juga menumpuk, maka mahasiswa yang disiplin itu adalah mahasiswa yang mampu mengerjakan tugas tepat pada waktu akan dikumpulnya tugas tersebut. Misalnya 10 menit sebelum dikumpul tugas tersebut dan telah selesai pulalah tugas tersebut dikerjakan.

Namun jika sehari sebelum tugas dikumpul sudah selesai juga lebih baik. Namun saja, rasa kepepetnya kurang dirasakan secara mendalam. Tentu akan sangat berbeda rasanya ketika 1 menit sebelum tiba waktu pengumpulan, tugas telah selesai dikerjakan. Itu hanya perumpamaan, namun jika itu telah diaplikasikan dalam kehidupan mahasiswa itu luarbiasa!

Mengapa saya beropini demikian, sebab bukankah di setiap waktu ada pengumpulan tugas?—siapa suruh tugas numpuk. Tapi jangan bersedih hati sebab menumpuk memang tidak selalunya karena mengulur-ulurkan waktu. Namun terkadang juga karena semua dosen mata kuliah memberikan tugas secara bersamaan. Makanya, numpuk deh. Tapi jangan lupa meskipun demikian kalian masih bisa ngerumpi dengan buku-buku sastra kalian.

“Tapi, kata salah satu profesor, itulah sebabnya tugas menumpuk!” Apakah benar?

Saya beropini bahwa pernyataan di atas tidak selamanya tepat. Terserah teman-teman mau sepakat sama profesor atau tidak yang jelas bagi saya, bukan persoalan menumpuk atau tidaknya. Tapi persoalan kerja atau tidaknya. Karena di antara banyak mahasiswa penumpuk tugas tidak banyak yang mampu mengerjakannya sampai tuntas. Maka dari itu kita harus masuk kategori “tidak banyak” itu agar menjadi kategori “banyak”.

Maka dari itu tetap lakukan yang menurut kita terbaik karena profesor bisa menjadi profesor bukan karena intimidasi atau semacam pemaksaan untuk melakukan yang terbaik dari profesornya dulu. Tetapi ia bisa jadi profesor sebab ia bisa membebaskan diri, artinya ia mampu mengatasi segala tantangan yang bersifat mengekang dan membatasinya. Ia juga bisa menjadi profesor karena usahanya sendiri.

Namun perlu diingat bahwa terkadang juga professor—mungkin juga dosen—kurang peka terhadap mahasiswanya. Sehingga diberilah tugas yang banyak tanpa penekanan pada pemahaman akan topik pengetahuan pada tugas tersebut. Sehingga lahirlah tugas copy-paste, asal jadi, asal kumpul, dan tentunya nilai ontologis dari tugas tersebut perlu dipertanyakan.

Mahasiswa kadang menganggap perihal di atas sangat aneh, tapi terkadang pula hal itu dianggap sangat lazim di kampus. Entahlah. Namun bagi saya jika pemberi tugas demikian, maka to be you. Jika menurut kamu lebih baik jika mengerjakan tugas setelah tugas itu menumpuk, maka tumpuklah! Karena siapa tahu kamu bisa jadi profesor penumpuk tugas.

Selanjutnya coba tilik sisi lain dari penumpuk tugas. Menumpuk tugas bukan berarti tidak disiplin, karena bukankah ketika menumpuk tugas dengan sendirinya melatih kita untuk semakin mampu mengefisienkan waktu? Dengan terbiasa menumpuk tugas maka kita akan terbiasa pula menyelesaikannya. Sebuah prestasi jika kita sudah sangat biasa melakukan dan menyelesaikan dengan mudah tugas yang banyak dengan waktu semalam.

Dan itulah hukum The Power Of Kepepet yang dimiliki oleh manusia pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya. Hukum inilah yang mampu menjadikanmu profesor kelak. Maka jadilah dikau kelak sebagai profesor penumpuk tugas.😂 
Curhatan Buat Sahabat Saya yang Tidak Lolos SNMPTN

Curhatan Buat Sahabat Saya yang Tidak Lolos SNMPTN

Curhatan Buat Sahabat Saya yang Tidak Lolos SNMPTN


Photo by CHUTTERSNAP on Unsplash

Tulisan ini bertujuan untuk menghibur dan mengobati rasa sakit, rasa kecewa, rasa kesal, dan rasa menyedihkan lainnya. Terutama bagi teman-teman yang merasakan rasa yang demikian setelah melihat pengumuman hasil SNMPTN 2017. Saya tahu kok, apa yang kawan-kawan rasakan, apa yang adik-adik rasakan.

Saya juga pernah merasakan demikian, meskipun mungkin rasa kita berbeda. Nah, rasa yang saya rasakan setelah melihat pengumuman hasil seleksi SNMPTN tahun 2016 akan terungkapkan di tulisan ini, meskipun rasa itu tidak semurni yang dulu dan tidak banyak kok yang akan saya tulis.

Sebelumnya, saya termotivasi menulis artikel tentang pengalaman saya ini dikarenakan saya memiliki sahabat dan beberapa adik kelas yang lulus dan ada juga yang tidak lulus SNMPTN 2017. Dengan kata lain, tulisan ini teruntuk sahabat dan adik-adik saya. Ya, terkhusus lagi buat sahabat saya. Apalah arti sahabat jika tak ada manfaat yang bisa dipetik dari persahabatan.

Sebagaimana yang diungkap oleh seorang psikolog klinis dan psikoterapis Henny Wirawan bahwa ada sejumlah keuntungan memiliki sahabat yaitu diantaranya “memiliki sahabat adalah salah satu kekayaan batin manusia. Persahabatan menjadikan manusia lebih sehat mental, karena di dalam persahabatan setidaknya dua orang dapat berbagi, yaitu barbagi suka maupun duka, berbagi cerita maupun materi,” seperti itulah yang diungkapkan psikolog Henny Wirawan tentang sahabat.

Itulah manfaat sahabat. Kemudian, untuk apa ada sahabat jika tidak saling berbagi, buat apa ada sahabat jika tidak ada curhatan sesama sahabat, hehe. Di dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2012, curhat juga mampu mengaktifkan bagian intrinsik otak yang berkaitan dengan penghargaan. Yaitu bagian yang memperbaiki mood serta meringankan stress. Bagian ini akan memproduksi perasaan seperti penghargaan, hasrat dan kepuasan. 

Setelah mengetahui manfaat dari sahabat dan curhat maka saya ingin menulis sedikit curhatan untuk sahabat saya, semoga ia bisa membalas curhatan ini di blognya pula. Supaya sahabat saya bisa menulis lagi, meskipun tulisan galau.

Hari itu adalah hari diumumkannya hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) se-Indonesia tahun 2016. Saya masih ingat. Siang itu, tepat lima menit menjelang jam 3 sore. Sorakan terdengar mengalahkan teriakan-teriakan unjuk rasa reformasi 1998. Sorakan ini terdengar dari kawan-kawan saya yang lulus SNMPTN.  

Saya merasa biasa saja, tiada gejala yang menandakan ada kesedihan. Padahal setelah membuka membuka portal pengumuman, di sana tertulis “Maaf, Anda tidak lulus”. Hati saya seketika rapuh, bahkan remuk (tak ada kata yang mampu mewakilinya). Mungkin saja kata itu terlalu lebay. Tapi kan namanya juga curhat, hehe.

Ya, bahkan masih segar dalam ingatan saya. Hari itu, tiada harapan yang melebihi harapan kelulusan. Segala usaha dan doa telah saya limpahkan demi mewujudkan impian saya. Saya bahkan selalu optimis sebagaimana yang dikatakan pepatah orang dulu tiada keberhasilan tanpa keyakinan.

Namun kini, saya sadar bahwa saya salah, keyakinan bahkan tak cukup tanpa usaha.  Kini saya sadar, tidak semuanya yang kita harapkan mampu tercapai. Kini saya sadar bahwa saya salah menyalahkan segala hal selain diri saya. Kini saya sadar tidak jaminan bagi harapan seorang manusia terhadap dirinya sendiri selain seizin-Nya.

Ingatlah bahwa segala yang kita dapatkan adalah balasan atas seberapa besar daya, upaya, usaha, dan ikhtiar yang telah kita lakukan. Saya pun tersadar bahwa selain harapan saya yang indah ada rencana Tuhan yang lebih indah.

Untukmu kawan, untukmu sahabat, terutama yang galau. Tiada kata yang tepat untukmu selain kata, Bangkitlah! SBMPTN dan jalur lain menunggumu! Kesuksesan bukan hanya jalur SNMPTN.

Warning: Saya juga pernah terpuruk, tapi akhirnya bangkit lagi. Ayo, bangkit!
Klasifikasi dan Genre Tulisan

Klasifikasi dan Genre Tulisan

Klasifikasi dan Genre Tulisan: Catatan Pekan Ketiga KLPI Angkatan III


Sepulang dari Kelas Literasi Paradigma Institute (KLPI) pekan ketiga, saya singgah di salah satu tempat pangkas rambut, Fuang Cukur Bugis (FCB). Tempat yang paling tepat bagi kalian untuk memangkas rambut. Selain karena tukang cukurnya kompeten dalam cukur rambut, juga karena suasana dan pelayanannya tidak kalah dengan barbershop yang ada di luar. FCB terletak di Jl. Tamalate 1, Kota Makassar. *endorse buat FCB hehehe

Fuang Cukur Bugis (FCB) Makassar

Ketika saya duduk menunggu atrian. Saya pun menatap tukang cukur yang sementara mengobrol dengan orang yang dicukurnya. 

“Bagaimana bagian sampingnya?” tanya tukang cukur.

“Bagian samping sedikit tipis dan bagian atas agak panjang”, begitulah jawaban orang yang dicukur. 

Tiba-tiba terlintas di pikiran saya bahwa memangkas rambut ternyata seperti menulis. Jikalau saja tukang cukur membutuhkan saran dan kritik ketika hendak memangkas rambut agar menghasilkan tataan rambut yang indah dipandang. 

Maka, demikian pulalah menulis. Kita butuh orang lain untuk memberikan kritik dan sarannya agar tulisan-tulisan yang kita hasilkan semakin baik dan bermanfaat untuk dibaca. Maka dari itu, mulailah menulis dan jangan lupa minta saran dan kritik dari orang lain untuk tulisan Anda. 

Kelas Literasi Pekan Ke-3

Hari ini, saya mengikuti Kelas Literasi Paradigma Institute (KLPI). Tema yang di bahas pada pekan ketiga ini adalah mengenai Klasifikasi dan Genre Tulisan. Artikel ini merupakan ringkasan dari pemaparan materi dari kak Alto Makmuralto tentang klasifikasi dan genre tulisan. Beliau adalah penulis buku Sekuntum Peluru. 

Menurut kak Alto, genre tulisan umumnya dibedakan menjadi dua jenis, yakni fiksi dan non-fiksi. Genre tulisan ini kemudian diklasifikasi lagi ke dalam beberapa sub genre tulisan. Tulisan fiksi terdiri beberapa jenis yaitu roman, novel, cerpen, puisi, epigram, dan prosa liris. Sedangkan tulisan non-fiksi juga terdiri beberapa jenis yaitu esai, opini, publikasi ilmiah, dan publikasi jurnalistik.

Masing-masing genre tulisan memiliki ciri khas tertentu. Ciri khas dari tulisan-tulisan fiksi adalah berdasarkan kemampuan atau metode penulisannya bersifat Imajinatif. Fiksi juga dominan menimbulkan pemaknaan atau interpretasi yang banyak makna. Sedangkan ciri khas tulisan non-fiksi yaitu tulisan yang berdasarkan cerita fakta, atau pun tanggapan dan ulasan terhadap teori-teori tententu. 

Genre sebuah tulisan tidak bisa menjadi penghalang bagi kita yang ingin memulai menulis. Karena cerita yang panjang pun juga bisa dikatakan sebagai tulisan yang bergenre cerpen. Sebagaimana Alto Makmuralto mengatakan bahwa genre suatu tulisan dapat didefenisikan sesuai niat penulisnya. Artinya, suatu tulisan dapat dikatakan masuk ke dalam kategori atau genre tertentu sesuai dengan niat penulis. Misalnya saja, jika penulis yang menghasilkan karya kepenulisannya berniat dan mengatakan tulisan tersebut sebagai puisi maka genre tulisan tersebut dapat katakan sebagai puisi. Tentunya dengan syarat memenuhi kriteria umum dari puisi. 

Alto Makmuralto mengatakan bahwa persoalan genre tulisan tidak dapat dibatasi oleh wilayah atau kriteria tertentu. Sebab kreatifitas manusia semakin kompleks seiring perkembangan zaman. Sehingga tidak menutup kemungkinan akan tercipta genre-genre baru yang dihasilkan oleh penulis-penulis masa kini dan yang akan datang. Misalnya, genre perpaduan antara cerpen dengan esai dan genre perpaduan lainnya.

Selain itu, beliau juga menyarankan agar penulis pemula tidak membaca buku-buku atau tulisan-tulisan tentang tip atau cara menulis bagi pemula. Hal ini dikarenakan tip tersebut akan membatasi kita dalam menulis. Saya teringat makna yang saya dapatkan setelah membaca buku Quantum Writing bahwa menulis dapat dilakukan oleh siapa saja, menulis dapat dilakukan dengan sangat bebas tanpa harus terikat oleh tata bahasa. 

Hal ini dimaksudkan agar ketika mengawali menuliskan sesuatu, kita sebagai penulis dapat benar-benar mengeluarkan seluruh totalitas dirinya di atas kertas. Sehingga kita bersemangat untuk mengeluarkan apa saja yang kita rasakan. Di dalam buku Quantum Writing, memang memposisikan menulis sebagai salah satu cara untuk melakukan perjalanan batin. 

Lebih tepatnya menulis untuk diri sendiri dan tidak terikat oleh aturan yang di ungkapkan oleh buku tip-tip penulis pemula. Sehingga dengan bebas kita bisa memulai menulis. 

Itulah ringkasan tentang klasifikasi dan genre tulisan yang di bawakan oleh Alto Makmuralto. Meskipun saya sudah sedikit memahami klasifikasi dan genre tulisan. Namun, saya belum mengetahui secara pasti tulisan yang tepat untuk diri saya yang ingin memulai menulis. Hal ini dikarenakan saya masih pemula dalam menulis. 

Nah, pertanyaannya untuk kita sebagai penulis pemula, akankah kita menemukan genre tulisan kita? Pertanyaan demikian akan terjawab seiring ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu kata yang kita tuangkan pada kertas. Dengan kata lain, pertanyaan itu hanya bisa dijawab melalui menulis.

"Salah satu tips yang paling ampuh bagi penulis pemula adalah menulis". - Alto Makmuralto
Literasi Sebagai Solusi Intoleransi

Literasi Sebagai Solusi Intoleransi

Tolerance
Photo by Studio Blackthorns on Unsplash

Seperti hari kemarin, dalam pengap kamar ini, saya kembali menatap layar komputer kesayangan. Dan hari ini juga, saya kembali mengevaluasi konsistensi pelaksanaan tantangan pribadi, yakni kembali menulis artikel di blog ini. Saya telah membuat tulisan tentang Relevansi Nilai-Nilai Sosiologi dan Agama, namun tidak mempublikasikannya di blog ini. 

Di pagi hari, saya mengikuti mata kuliah tentang Pengantar Sosiologi yang dibawakan oleh dosen saya yang bernama Dra. Hj. Marhaeni Saleh, M.Pd. Beliau adalah dosen di UIN Alauddin Makassar dan juga ketua program studi Ilmu Aqidah, di jurusan Aqidah Filsafat.

Ada hal yang saya dapatkan dari pengantar dosen saya mengenai mata kuliah Sosiologi, yakni tentang interaksi keberagaman yang terjadi di salah satu daerah di Indonesia. Daerah ini terletak di provinsi Bali. Ini merupakan pengalaman beliau ketika berkunjung ke tempat itu dan sekarang menceritakannya kepada kami. Di Bali, terdapat suatu perkampungan yang di dalamnya di bangun lima tempat ibadah yang berbeda, tentunya dengan agama yang berbeda. 

Uniknya lagi, ketika orang Islam melakukan sholat Jumat yang juga merupakan hari raya bagi umat Islam, maka orang beragama lain yang bertindak sebagai pengaman dari pelaksanaan sholat Jumat tersebut. Meliputi mengatur dan menjaga tempat parkiran serta jenis pengamanan lainnya. Begitu pun hari-hari raya lainnya. Tidak hanya pada hari-hari raya umat Islam, juga berlaku hari-hari raya umat agama non-Islam. Penganut agama Islam pun sangat empati kepada mereka yang menganut agama lain. 

Di daerah itu, interaksi keberagaman penduduk tidak mempersoalkan perbedaan ideologi dan agama. Namun penduduknya senantiasa berinteraksi berdasarkan nilai-nilai kesamaan di antara mereka. Seperti itulah wujud toleransi sebagai realisasi nilai sosiologi yang Dra. Hj. Marhaeni Saleh, M.Pd jelaskan kepada kami.

Penjelasan pengantar sosiologi yang ibu bawakan sangat mengintegrasikan relevansinya dengan agama. Karena berdasarkan salah satu tujuan yang hendak dicapai dengan mata kuliah ini adalah menanamkan nilai-nilai sosiologi dan spiritual. Nilai-nilai sosiologi identik dengan kemanusiaan sehingga dengan memahami nilai-nilai ini diharapkan dapat menciptakan kasih sayang dan toleransi di antara manusia.

Beliau menyarankan kepada mahasiswa untuk tidak eksklusif dalam beragama dan banyak melakukan sharing atau dialog dengan orang lain meskipun berbeda agama dengan kita. Karena dengan begitu maka kita akan memiliki semangat untuk mengeksplorasi pengetahuan yang kita miliki dan juga akan menumbuhkan bibit-bibit toleransi dalam sosial beragama.

Menurut Dra. Hj. Marhaeni Saleh, M.Pd bahwa kurangnya membaca atau sering disebut kepicikan akan literasi sosiologi dalam beragama akan melahirkan manusia beragama dengan tiga ciri khas yakni radikal, fundamental, dan ekslusif. Seperti itulah yang dikatakan oleh beliau. 

Berdasarkan hal itu, saya teringat penjelasan materi Intoleransi = Iliterasi yang dibawakan oleh Drs. Wahyuddin Halim, MA., Ph.D pada kegiatan yang bertemakan Anak Muda Membaca Bangsa, yang dirangkaikan dengan peluncuran buku, Telinga Palsu. Kegiatan ini diadakan oleh Komunitas Literasi Makassar, bekerjasama dengan Tempo Institute, Koran Kampus Identitas UNHAS, dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNHAS, bertempat di Aula Prof. Mattulada UNHAS. Wahyuddin Halim memberikan penjelasan bahwa ada tiga kepicikan yang menyebabkan seorang manusia terjangkiti oleh virus intoleransi:

Pertama, kepicikan georafis. Ketika seseorang terisolir dalam wilayah geografis tertentu, atau tidak pernah melakukan perjalanan, maka semua yang tidak sama dengan apa yang dialaminya, dianggap sebagai perbedaan. Dan perbedaan inilah yang memacu sikap intoleransi. Karena dengan adanya perbedaan, akan merasa bahwa perbedaan inilah yang akan melegitimasi bagian dari paradigmanya.

Kedua, kepicikan ideologis. Kepicikan ini disebabkan oleh tertutupnya paradigma yang dianut oleh seseorang. Dengan tertutupnya cakrawala seseorang maka, akan memunculkan sikap merasa paling benar sehingga memacu sikap intoleransi. Karena sangat sulit menumbuhkan budaya harmonis dialektis di kalangan orang yang menderita kepicikan ideologis. Sebagaimana Sokrates mengatakan bahwa salah satu cara yang kita butuhkan untuk menjadi orang bijak adalah rasa ingin tahu. Tentunya dalam artian tidak menutupi diri dengan ideologi tertentu.

Ketiga, kepicikan literasi. Kepicikan literasi adalah penyakit cukup besar dampaknya, termasuk menimbulkan sikap intoleran. Seseorang yang sangat tertutup dan bahkan sangat kurang membaca bacaan yang berbeda dengan ideologinya akan terasingkan dengan sendirinya. Namun di balik itu, dengan memperkaya literasi maka kita akan mampu mengatasi apa kepicikan-kepicikan sebelumnya seperti kepicikan geografis dan ideologis. Dengan banyak membaca maka kita dapat menjelajahi dunia, dengan membaca buku kita dapat memahami nilai-nilai dan inti sari ideologi lain.

Seperti itulah yang beliau jelaskan tentang mengapa penyakit intoleransi menjangkiti anak muda masa kini. Maka dari mari meningkatkan minat membaca di dunia literasi agar terhindar dari penyakit intoleransi. Ingatlah bahwa perbedaan hadir sebagai bentuk rahmat yang Tuhan berikan. Karena bahkan Tuhan tidak mustahil menciptakan kita sama.

Terakhir, hari ini saya juga sempat ikut diskusi bedah tokoh, yang dibawakan oleh kanda Asran Salam dan sebagai penutup saya ingin mengutip kalimat yang beliau katakan:

"Membaca buku bukan hanya mengumpulkan banyak wawasan namun, sejatinya membaca buku adalah merealisasikan makna bacaan melalui pergerakan." - Asran Salam
Saya Menulis (Lagi)

Saya Menulis (Lagi)

Saya Menulis (Lagi)

Andi Alfian
Photo by fotografierende on Unsplash

Saya baru pulang dari kuliah, sebagaimana mahasiswa-mahasiswa lainnya. Saya masuk ke dalam kamar saya, dan saya melihat tumpukan buku dan komputer kesayangan saya. Tiba-tiba saya teringat blog ini, saya pun membukanya.

Beberapa hari yang lalu, saya bergabung di kelas literasi. Kelas literasi pertama yang saya masuki, Paradigma Institute. Semoga dengan kelas ini saya bisa tercerahkan melalui dunia literasi. Untuk itu, saya membuat planning untuk menjalankan tantangan pribadi. Tantangan pribadi ini bertujuan meningkatkan konsistensi saya dalam belajar menulis dan mendalami dunia literasi.

Tantangan Pribadi:


  • Saya mewajibkan diri saya untuk menulis artikel setiap hari tanpa terkecuali. Panjang artikelnya minimal 500 kata dengan tema pembahasan apa saja.
  • Saya mewajibkan diri saya untuk membaca buku minimal 30 lembar per hari. Buku apa saja.
Saya tidak mengetahui banyak hal mengenai teori-teori dalam menulis. Oleh karena itu, hari ini, saya ingin menulis untuk diri saya sendiri. Mungkin ini agak berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya, saat saya menulis di blog ini, yakni dengan tujuan agar artikel saya bermanfaat untuk orang lain. Tapi hari ini, agak berbeda, meskipun saya masih tetap berharap demikian. 

Saya teringat kalimat yang tidak asing bagi saya, kurang lebih seperti ini: belajarlah bermanfaat untuk diri sendiri karena jika engkau bermanfaat untuk dirimu sendiri, maka tidak menutup kemungkinan engkau akan bermanfaat untuk orang lain. Karena itu, selain berharap artikel-artikel ini bermanfaat untuk saya pribadi, juga saya berharap artikel yang saya tulis di blog ini memberikan manfaat atau pun motivasi buat teman-teman pemula dalam belajar menulis.

Hari ini, saya ingin menulis tentang hal yang saya rasa unik yang pernah saya alami selama hari libur yang lalu. Malam itu tepat jam 12 malam, saya duduk di atas kapal yang menuju kampung kelahiran saya dengan tujuan ikut berpesta demokrasi (pemilu). Tepatnya pilkada serentak pada tanggal 15 Februari 2017 lalu. Saya memandang laut yang kian tak pernah tenang, namun selalu menenangkan para nelayan.

Saya menikmati dinginnya malam seakan dingin itu mencumbui saya dengan mesra. Juga saya pandang cahaya dari kota beradat, Watampone. Saya saksikan cahaya kota itu yang semakin kecil dan seolah pergi meninggalkan saya atau bahkan sayalah yang meninggalkannya, Entahlah.

Sepanjang perjalanan, saya meresapi nilai filosofis dunia lautan dan stagnan pada area politisasi yang kian muncul di benak saya.

Siapa yang mesti saya pilih saat pemilu nanti? Apa peran saya dalam dunia demokrasi politik hari ini sebagai seorang memiliki hak pilih? Pantaskah suara para preman, ulama, tokoh masyarakat disamakan dalam 1 poin suara? Apakah indahnya politik itu?

Semua itu merupakan pertanyaan yang kian muncul. Saya ingin berkata bahwa saya merindukan kampung halaman saya yang penduduknya ramah, harmonis dalam kehidupan bertentangga.  Namun kenyataannya, ketika saya tiba di kampung halaman saya yang saya dapati kala itu berbeda dengan romatika dulu. Mungkin saja hal ini disebabkan dengan adanya dialektika politik yang cukup memanas.

Jika saya beranjak pada area politik dan pesta rakyat, ada hal yang membuat saya tertarik dengan para pasangan calon bupati di Bombana. Pasangan nomor urut satu mengambil identitas “BERKAH” sebagai akronim dari Bersama Kasra Jaru Munara dan Man Arfah. Sedangkan pasangan nomor urut dua dengan identitas “BERTAHAN” sebagai akronim dari Bersama Tafdil dan Johan.

Kalimat bijak dari tim sukses dari paslon nomor satu “Hidup indah jika mencari berkah, maka pilih Berkah”. Namun di pihak paslon nomor dua mengambil kalimat bijak “Dalam hidup, sulit meraih keberkahan tanpa Bertahan”. Hal ini cukup unik, di ibukota negara ramai politisasi dengan kendaraan sabda–sabda dari kitab suci. Namun di kampung halaman saya ramai politisasi yang identik dengan ide dan tindakan bijak. Itulah refleksi saya.

Seiring waktu aku kembali duduk diatas kapal yang dulu aku tumpangi, memandang lautan yang dulu aku pandangi, merasakan dinginnya malam yang dulu aku mesrai, mengevaluasi pilkada yang dulu aku refleksi seolah membuatku ingin menuliskan seuntai kata. Kini kembali ke rantauan dan meninggalkan suasana kampung halaman dengan kondisi damai. 

Selamat jalan Bombana. Selamat jalan Sulawesi Tenggara. Sampai jumpa kembali.
Saya Kehilangan Kartu Anggota Perpustakaan, Menyebalkan!

Saya Kehilangan Kartu Anggota Perpustakaan, Menyebalkan!

Saya Kehilangan Kartu Anggota Perpustakaan, Menyebalkan!

Andi Alfian
Photo by Dollar Gill on Unsplash

“Ada apa dengan dunia kampus yang katanya pusat peradaban?”

Pertanyaan itu menabrak keningku ketika mendengar ucapan lantang dari pertugas perpustakaan “kamu harus menunggu selama kurang lebih 3 bulan sampai kartu tanda anggota perpustakaanmu keluar agar bisa meminjam buku di perpustakaan lagi”. Meskipun saya sedikit merasa kecewa, saya berusaha mencoba menjelaskan dengan sopan dan rasional mengenai masalah kehilangan kartu tanda anggota pustaka saya. Akhirnya dengan muka yang sedikit terharu setelah mendengar penjelasan saya yang sopan nan rasional, petugas itu hanya bisa berkata ”Maaf, saya hanya petugas yang menjalankan tugas dan aturan. Karena itu, inilah tugas saya dan seperti inilah aturannya.”
Maukah Kau Menjawab Pertanyaan Konyol Dari Saya?

Maukah Kau Menjawab Pertanyaan Konyol Dari Saya?

Maukah Kau Menjawab Pertanyaan Konyol Dari Saya?

Andi Alfian
Photo by Evan Dennis on Unsplash

Pernahkah kita bertanya, apakah pengetahuan kita bertambah setelah kita belajar pada ideologi tertentu? Apakah pengetahuan kita bertambah setelah mempelajari nilai-nilai, ajaran, kebiasaan-kebiasaan yang agama kita tuntun? Apakah dengan mempelajari ilmu agama membuat kita semakin menyayangi manusia, hewan, dan makhluk lainnya?