Featured Post

Recommended

Mengalami Dua Dunia dalam Satu Rumah: Altruisme dan Kapitalisme di Wilayah Adat

Koran Harian Tribun Timur, 09 Januari 2023. Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari bahwa selama berada di rumah Haji Tawang, tempa...

Rocky Gerung dan Kesadaran Kewargaan Kita

Rocky Gerung dan Kesadaran Kewargaan Kita


Dalam lanskap politik suatu negara, kritikus yang blak-blakan sering kali muncul sebagai tokoh berpengaruh yang bisa membentuk opini publik dan memicu perbincangan lebih lanjut tentang “arah mana” yang akan ditempuh oleh negara tersebut. Di Indonesia, misalnya, ada Rocky Gerung, seorang filsuf dan pengamat politik yang belakangan ini menuai banyak pujian dan ejekan karena kritiknya yang “tegas-kontroversial” terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Meski kalimat-kalimat yang digunakan oleh Rocky Gerung dalam banyak kritikannya dinilai oleh banyak pihak sebagai pilihan kalimat yang “buruk” sehingga tidak jarang menimbulkan perdebatan, tapi kritik Rocky Gerung pada dasarnya tetap punya banyak manfaat, di antaranya, memberi kita kesadaran baru bahwa ada banyak cacat dalam kebijakan-kebijakan pemerintah dan kita sebagai warga negara berhak untuk terlibat-aktif-kritis dalam persoalan tersebut.

Kekuatan Kritik, Kata, dan Konteks

Kritik, jika dilandasi dengan argumen yang kuat dan disampaikan dengan bijaksana, berpotensi menjadi katalisator bagi perubahan di suatu masyarakat. Kritik Rocky Gerung yang “blak-blakan” terhadap kebijakan presiden menjadi bukti nyata bagaimana para intelektual sekaligus warga negara dapat menggunakan suara mereka untuk menjelaskan potensi keburukan suatu kebijakan, menstimulasi percakapan publik, dan mendorong keterlibatan kritis warga negara. Namun, efektivitas kritik itu terkait erat dengan cara mengomunikasikannya serta dampaknya pada persepsi publik.

Dalam konteks kritik Rocky Gerung terhadap kebijakan presiden, misalnya, dia menggunakan frasa “bajingan tolol.” Frasa itu disebutkan Rocky Gerung setelah dia menguraikan kecacatan logika pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan. Rocky Gerung sebetulnya berhasil menggarisbawahi aspek yang dinilai bermasalah, tapi penggunaan kata-kata kasar itu membuat publik lebih fokus pada frasa “bajingan tolol” daripada substansi masalah yang disoroti oleh Rocky Gerung. Tentu saja, Rocky Gerung menggunakan frasa “bajingan tolol” pada suatu konteks tertentu, dan frasa itu tidak akan bermasalah jika kita memahami konteks itu.

Kesadaran Kewargaan dan Perdebatan Konstruktif

Kritik Rocky Gerung, terlepas dari kontroversinya, mengangkat poin penting tentang lembaga pemerintah, yakni kepresidenan–sebuah lembaga yang harusnya melampaui sentimen pribadi. Peristiwa Rocky Gerung ini bisa menjadi momentum yang tepat untuk menumbuhkan pemahaman tentang relasi yang kompleks antara lembaga politik-pemerintahan dengan warga negara, bahwa warga negara harusnya terlibat dalam perdebatan kebijakan publik demi kesejahteraan bangsa dan tidak menjadikan perdebatan itu sebagai serangan pribadi. Dengan kata lain, kritik Rocky Gerung pada akhirnya menyadarkan warga negara untuk menjadi peserta aktif dalam proses demokrasi, dan itu membuat sistem demokrasi menjadi sehat.

Karena, dalam sistem demokrasi, idealnya, perselisihan dan perbedaan pendapat adalah komponen alami yang harus tetap ada. Kritik Rocky Gerung, meskipun ditanggapi dengan beragam reaksi, merupakan simbol bagaimana perspektif yang beragam dapat memperkaya dan memperdalam diskusi tentang “arah mana” yang harusnya diambil oleh suatu bangsa. Perdebatan konstruktif semacam ini harus dilakukan dengan komitmen menjunjung tinggi prinsip-prinsip partisipasi demokratis dan saling menghormati. Kesadaran kewargaan, sekali lagi, mendorong warga negara untuk melibatkan diri dalam perdebatan publik, menyajikan sudut pandang alternatif yang berkontribusi pada proses pengambilan keputusan yang berkeadilan.

Pada akhirnya, kritik tajam Rocky Gerung terhadap kebijakan presiden telah memicu percakapan yang lebih luas tentang dinamika yang rumit antara kesadaran kewargaan, kritik politik, dan nuansa etis dalam berekspresi. Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, kita semua bertugas berpartisipasi dalam diskusi yang kontributif pada kemajuan bangsa sembari tetap menjunjung nilai utama dari demokrasi. Sekali lagi, kritik, jika diartikulasikan secara konstruktif dan didasarkan pada argumen, dapat membuka jalan bagi perubahan positif. Kritik Rocky Gerung mengajari kita bahwa, dalam konteks demokrasi, setiap warga negara berhak untuk menyuarakan kritiknya terhadap lembaga pemerintah secara bebas dan setara.

Artikel ini sebelumnya telah terbit di Geotimes.id, 14 Agustus 2023. Baca versi aslinya di sini: https://geotimes.id/opini/rocky-gerung-dan-kesadaran-kewargaan-kita/
Perkenalan Pertamaku dengan Puisi dan Laki-laki yang Menyakiti Kakak Perempuanku

Perkenalan Pertamaku dengan Puisi dan Laki-laki yang Menyakiti Kakak Perempuanku


Perkenalan pertama saya dengan puisi adalah perkenalan pertama saya dengan WS Rendra. Saya membaca WS Rendra sejak saya di bangku kelas satu SMP. Waktu itu, di sekolah kami, setiap sore, selalu ada kegiatan pembacaan puisi dan pementasan teater yang diikuti oleh siswa SMP, SMA, dan Mahasiswa di Kecamatan kami. Saya beberapa kali membacakan puisi WS Rendra dan Dzawawi Imron di kegiatan itu, kegiatan yang diinisiasi dan digerakkan oleh seorang alumni Universitas Negeri Makassar (UNM) sekaligus dosen Bahasa dan Sastra di Universitas Muhammadiyah Buton (UMB). Saya masih ingat wajah dosen itu, tapi saya tidak akan menyebut namanya di sini.

Dosen itu, juga adalah guru Bahasa Indonesia saya di sekolah, membuat saya jatuh cinta pada puisi, sekaligus membuat saya membencinya. Saya mencintai puisi setelah dia mengenalkan saya lebih dekat pada beberapa penyair seperti Chairil Anwar, WS Rendra, Dzawawi Imron, dan Subagio Sastrowardoyo, dengan membacakannya untuk kami. Tetapi, saya juga sekaligus membencinya—membenci puisi, sastra, dan dia, beberapa tahun setelahnya, guru sekolah sekaligus dosen itu menikahi kakak perempuan saya dan meninggalkannya begitu saja ketika kakak saya mengandung anak laki-lakinya. Hingga sekarang, dosen itu, yang mengenalkan saya pada puisi, tak pernah kembali lagi.

Anak laki-lakinya, kini, tumbuh tanpa ayah, umurnya sekitar 12 tahun, duduk di bangku kelas enam SD. Tahun lalu, ketika saya libur dan pulang kampung, saya menyaksikan anak itu berinteraksi dengan ayah saya seperti ayah kandungnya sendiri, tidur di kasur yang sama dan berangkat ke masjid bersama. Selama beberapa tahun sebelumnya, saya turut mengamati: anak laki-laki itu tumbuh dengan rentan, mudah menangis, dan susah bergurau.

Perkenalan saya dengan puisi adalah perkenalan saya dengan WS Rendra, sekaligus perkenalan saya pada laki-laki yang menikahi, menghamili, dan meninggalkan kakak perempuan saya bersama bayi kecil di perutnya. Perkenalan pertama saya dengan puisi adalah perkenalan pertama saya dengan penderitaan yang hidup ini wariskan secara tiba-tiba ke saya.
Mengalami Dua Dunia dalam Satu Rumah: Altruisme dan Kapitalisme di Wilayah Adat

Mengalami Dua Dunia dalam Satu Rumah: Altruisme dan Kapitalisme di Wilayah Adat

Koran Harian Tribun Timur, 09 Januari 2023.

Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari bahwa selama berada di rumah Haji Tawang, tempat saya tinggal dan menumpang beberapa hari, saya telah mengalami dua dunia yang sama sekali berbeda dalam satu rumah. Dua dunia dengan logika kerjanya masing-masing: logika altruisme dan logika kapitalisme. Saya akan membahas cara kerja kedua logika ini, serta pengalaman singkat saya saat mengalami keduanya di lokasi masyarakat adat Bara.

Saya harus mengakui bahwa pengalaman pertama saya mengunjungi masyarakat adat Karaeng Bulu di Tanete Bulu, Kabupaten Maros, adalah pengalaman romantik—meski penggunaan kata “romantik” bisa kita perdebatkan kemudian. Saya bertemu beberapa warga adat yang menyapa, menanyakan ke mana saya akan pergi, mengajak saya berkunjung ke rumahnya, dan menawari saya tempat istirahat dan air minum pelepas dahaga. 

Di setiap kunjungan, tawaran-tawaran semacam itu selalu ada, dan  di beberapa kali kunjungan, saya mengiyakan beberapa tawaran. Tidak perlu uang sepeserpun untuk mendapatkan semua itu dari mereka. Warga di desa, setidaknya yang saya temui di masyarakat adat Karaeng Bulu, selalu ulung dalam hal berbagi kebaikan tanpa mengharapkan imbalan: mengundang saya datang ke rumah mereka, menyediakan kopi, dan makan siang.

Semua hal romantik yang saya alami selama tinggal di wilayah masyarakat adat (sekali lagi, pemilihan kata “romantik” bisa kita perdebatkan) adalah bagian signifikan yang menyadarkan saya pada semangat kesukarelaan yang menjadi ciri khas masyarakat adat. Kesukarelaan sebagai nilai bersama yang menjadi landasan dari praktik keseharian warga adat, atau dalam istilah lain disebut sebagai altruisme, nilai yang menjadi lawan dari kapitalisme.

Semangat Kapitalisme


Ada beragam penjelasan yang bisa kita pakai untuk menjelaskan apa itu kapitalisme, tapi pada konteks tulisan ini, saya ingin merujuk kapitalisme sebagai suatu semangat. Sesederhana itu. Tapi jika kapitalisme harus dijelaskan, biasanya, kapitalisme dijelaskan sebagai suatu sistem hubungan kelas antara modal (kapital) dan kerja upahan di dalam produksi komoditi. Penjelasan lebih simpelnya: ada orang punya uang, membeli sesuatu dan menjualnya kembali kepada orang lain untuk mendapatkan keuntungan atau nilai-lebih. Keuntungan atau nilai-lebih itu digunakan lagi sebagai modal untuk mendapat keuntungan, dan seterusnya. 

Kapitalisme, setidaknya, jenis kapitalisme sederhana, bekerja seperti penjelasan di atas. Meski misi utama kapitalisme sebetulnya tidak terletak pada reproduksi sederhana, tapi lebih dari sekadar itu. Misi utama kapitalisme adalah mengubah nilai-lebih atau keuntungan yang diperoleh untuk menjadikannya modal yang lebih besar, atau apa yang disebut oleh Karl Marx sebagai “capital accumulation” atau reproduksi dalam skala yang lebih besar.

Dalam reproduksi sederhana atau “simple reproduction”, keuntungan atau nilai-lebih digunakan dengan cara yang tidak produktif, sedangkan dalam pelipatgadaan modal atau “capital accumulation”, nilai-lebih diubah secara terus-menerus untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Inilah inti dari kapitalisme, tentang pelipatgandaan modal dan keuntungan. Efek dari logika kerja kapitalisme ini menuntut “keuntungan pribadi yang lebih besar”. Imbasnya, semangat kapitalisme membuat orang-orang fokus kepada bagaimana meraup keuntungan bagi diri mereka sendiri.

Semangat Kapitalisme vs. Altruisme Adat


Berbeda dengan logika kerja kapitalisme yang fokus pada kepentingan dan keuntungan yang lebih besar bagi diri sendiri, altruisme memusatkan perhatian pada kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan keuntungannya bagi diri sendiri. Membantu orang lain dan melakukan kebaikan tanpa memperhatikan imbalan adalah nilai utama dari altruisme. Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa ada tiga ciri utama dari sikap altruisme, di antaranya, mencintai orang lain atau “loving others”, membantu mereka atau “helping them”, dan mengapresiasi mereka atau “making sure that they are appreciated”. Pada akhirnya, semangat altruisme adalah semangat komunalistik yang menjunjung kepedulian terhadap orang lain.

Selama menetap di wilayah adat Karaeng Bulu, saya mengalami dua semangat itu, semangat altruisme dan kapitalisme, di dalam satu rumah, di rumah milik Haji Tawang sebagai pemilik satu-satunya “pabbalu ga’de-ga’de” (toko kelontong) di wilayah adat Karaeng Bulu. Suatu sore, ketika kami baru saja tiba di rumah itu, belum cukup dua-puluh menit, kami sudah diundang masuk ke dalam rumah untuk menyantap makanan sore, dan setelah makan, istri Haji Tawang menghidangkan kopi dan kue untuk kami. Semuanya dengan cuma-cuma. Apapun yang Haji Tawang dan keluarganya konsumsi, selalu ada bagian untuk saya, begitu seterusnya. Sekali lagi, secara bebas alias gratis.

Di rumah yang sama pula, di samping kanan teras rumah itu, ada ruang khusus milik Haji Tawang berjualan. Warga adat Karaeng Bulu mengenalnya dengan sebutan “ga’de-ga’de”. Apapun yang saya ambil di ruangan itu harus saya tukar dengan uang, hanya uang! Setiap dua kali sepekan, Haji Tawang dan istrinya berangkat ke pasar untuk membeli berbagai macam perlengkapan untuk dijual di ruangan itu, untuk mendapatkan keuntungan, tentu saja! Di ruang tertentu di rumahnya, saya berinteraksi dengan Haji Tawang dengan semangat altruistik, tapi di ruang yang lain, kami berurusan satu sama lain dengan semangat kapitalistik. Saya membayangkan, beberapa tahun ke depan, masyarakat adat yang dikenal dengan semangat altruistiknya telah berubah menjadi sangat kapitalistik.

Tulisan ini terbit pertama kali di Koran Harian Tribun Timur, Sulawesi Selatan, 09 Januari 2023. Versi onlinenya bisa dibaca di tautan ini.

Catatan Harian di Dua Hari Pertama 2023

Catatan Harian di Dua Hari Pertama 2023


1/1/2023 - pagi. aku bangun di indekosku yang baru, jalan pogung, jogja. aku memulai aktivitas dengan salat subuh lalu duduk di depan laptop untuk mulai mengetik catatan kecil ini. malam sebelumnya, sebetulnya, temanku mengajakku untuk ikut berenang dan mandi pagi di umbul sarem, tapi aku sudah tidak sempat. selain karena aku akan sibuk untuk menyelesaikan deadline yang tertunda, juga karena aku ingin mulai merapikan semua aktivitas yang aku lakukan di 2023 ini. aku ingin menjadikan tahun ini sebagai tahun terbaik dalam hidupku. aku punya banyak hal yang ingin aku lakukan di tahun baru ini dan berharap semuanya dapat terwujud dengan baik. tentu, hal pertama yang harus aku lakukan agar semua harapan itu terwujud adalah melakukan segala sesuatu dengan kesadaran penuh bahwa aku harus melakukan hal-hal yang menunjang terwujudnya harapan itu. dengan begitu, di tahun ini, aku ingin menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bisa mengontrol diri, dalam banyak  hal, termasuk dalam memilih melakukan sesuatu. demikian, aku ingin sarapan dulu.

2/1//2023 – siang. aku bangun tidur siang. baru saja kelar makan siang. aku makan telur goreng dan nasi putih, masakan sendiri. aku berusaha menikmati kesendirianku dengan memasak, bermain, dan membaca buku. sore ini, aku berencana akan keluar kamar. aku menikmati berada di kamar, tapi aku butuh kopi. aku punya kopi di kamar, hanya saja, aku tidak bisa meramu kopi lebih baik daripada warung kopi di dekat sini, jadi, ok, aku akan keluar kamar. hari keduaku di 2023 ini terbilang masih seperti biasa, aku berharap bisa melakukan hal yang lebih baik lagi.

Apapun yang Datang, Mari Berdansa!

Apapun yang Datang, Mari Berdansa!


Ketika hari-hari di 2023 satu per satu berlalu, biasa saja, seperti hari-hari di tahun sebelumnya. Aku jadi merasa tidak perlu memikirkan semua tetek-bengek yang sejak awal tahun baru telah aku susun, tentang hal-hal besar yang harus kulakukan setiap hari di sepanjang tahun. Aku merasa bahwa yang kuperlukan sekarang adalah melangkah dengan langkah kecil, ringan, dan damai. Sudah saatnya aku membuang atau menghapus atau mengatakan sialan untuk semua keinginan yang membebaniku: hasrat-hasrat jiwa mudaku, harapan-harapan untuk masa tuaku, dan rencana-rencana cemerlang yang aku idamkan. Sudah seharusnya aku melupakan semua itu dan melakukan apa yang bisa membuat diriku hidup, sebenar-benarnya hidup. Akan kuterima semua hal yang datang di depan kakiku, yang mengajakku berjalan bersama. Apapun yang datang, mari kita berdansa!



Cinta Buruk itu, Terbaik Untukku

Cinta Buruk itu, Terbaik Untukku

Dua tahun sudah, cinta buruk itu berlalu. Setiap kali aku menyempatkan diriku untuk mengenang masa-masa itu, aku selalu merasa, cinta buruk itu benar-benar dahsyat. Dia, setiap kali aku mengenangnya, seolah-seolah berbisik kepadaku: "Sekali kamu menemukanku, kamu akan selalu mudah menemukanku. Satu-satunya kesulitanmu adalah melupakanku." 

Barangkali, hingga waktu yang tidak dapat aku tebak, aku akan selalu bisa mengingat kenangan cinta buruk itu. Dengan menyebutnya sebagai cinta buruk tidak berarti bahwa aku membenci kenangan itu sepenuhnya. Bagaimana pun, cinta buruk itu telah mengajariku banyak hal tentang hidup. Sekarang, cinta buruk itu, perlahan-lahan, setelah menanggungnya dua tahun lebih, bisa aku terima sebagai bagian dari diriku. 

Kenangan atas cinta buruk itu tidak lagi melukaiku dengan membangkitkan episode-episode yang menyakitkan, atau episode-episode yang membahagiakan tetapi telah hilang. Kenangan akan cinta buruk itu telah menjadi teman baikku, yang setiap saat mengingatkanku bahwa hidup sepenuhnya adalah segala yang mungkin menyakitiku, segala yang mungkin meninggalkanku, sehingga aku harus melapangkan dadaku selapang-lapangnya.

Aku akan menyukai kisah ini: cinta buruk itu, terbaik untukku!

Saya menulis ini sambil mengingat beberapa penggalan kalimat Kahlil Gibran: Jika kamu mencintai seseorang, biarkan dia pergi. Jika dia kembali, maka dia akan selalu menjadi milikmu. Jika tidak, dia tidak akan pernah menjadi milikmu.

2023, Sembuhkanlah Luka-luka

2023, Sembuhkanlah Luka-luka


Selamat 2023. Semoga yang disemogakan lekas terwujud. Meski, aku berani bertaruh, "semoga-semoga yang disemogakan" itu tidak ada akhirnya dan satu-satunya tempat terakhirnya adalah penderitaan. Karena tidak takut penderitaan, maka aku membuat "semoga-semoga" kecil "yang kusemogakan". Di 2023 ini, aku hanya berharap bisa menjadi manusia yang lebih bisa mengontrol dirinya sendiri, lebih bisa meluangkan waktu sendiri, lebih mampu menyimak orang lain, dan terlatih menemukan hal-hal baik di balik hal-hal buruk yang terjadi. Aku juga berharap tetap bisa menulis dengan baik. Menulis untuk menjaga diriku tetap waras dan tetap berjalan kaki. Menulis memang hanya butuh dua tangan, tapi tulisan yang baik, kata seorang filsuf sialan, selalu tercipta dari perjalanan yang ditempuh oleh kaki-kaki. Singkatnya, aku hanya ingin lebih banyak menyimak, membaca, menulis, dan berjalan kaki. Tahun ini, please, jadilah tahun yang bersahabat, sembuhkanlah luka-luka dan mekarlah bunga-bunga!

—aku duduk di kamar sambil menyimak letupan-letupan kembang api yang ditembakkan orang-orang ke langit, sambil berharap langit membalasnya dengan petir dan kilat.
Apa yang Membuat Dada Kita Begitu Kecil di Saat Tertentu dan Begitu Lapang di Saat yang Lain?

Apa yang Membuat Dada Kita Begitu Kecil di Saat Tertentu dan Begitu Lapang di Saat yang Lain?

Jika aku punya kemampuan menentukan sendiri hidupku, aku ingin pergi ke suatu tempat, di mana tidak ada satupun orang yang mengenalku. Aku bisa keluar jalan tanpa harus menyapa orang lain, aku bisa menghabiskan waktuku sendiri tanpa harus memikirkan neraka (hell is other people--sartre). Menyapa untuk tujuan basa-basi, melelahkan. Aku hanya merasa ingin menikmati hidupku tanpa kepalsuan. Aku hanya ingin bertemu orang-orang yang padanya aku menemukan keaslian, meskipun aku tahu, tak ada yang asli di dunia yang sialan ini. Ketika mengunjungi tempat asing, aku excited, aku merasa senang sekali bisa menemukan orang baru, sayangnya, hanya butuh beberapa waktu, aku akan muak dan bosan dengan orang-orang yang sama. Aku seolah-olah hanya ingin bertemu mereka sekali saja dan setelah itu mereka tidak ada lagi. Paradoksnya, kadang-kadang, bertemu teman lama juga membuatku senang, menyenangkan. Tapi kadang-kadang, tak kalah menyiksanya. Apa yang sebetulnya membuat dadaku begitu kecil di saat tertentu dan begitu lapang di saat yang lain?
Nabil Arif, Tubuh, dan Identitas Gender

Nabil Arif, Tubuh, dan Identitas Gender

Harian Tribun Timur, 22 Agustus 2022.


Muhammad Nabil Arif Adhitya adalah mahasiswa baru Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, yang mengalami pengusiran saat mengikuti orientasi pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru (PKKMB), karena mengaku bergender netral. Kronologisnya kurang lebih, seperti yang terekam dalam video pendek yang viral di media sosial, dua orang dosen memanggil Nabil Arif untuk maju ke depan dan menginterogasi identitas gendernya karena terlihat menggunakan kipas kecil dan berjalan berlengok-lenggok. Di akhir video tersebut, Nabil Arif  diusir oleh kedua dosennya karena dia mengaku tidak bergender laki-laki atau perempuan, tapi bergender netral. Ketika dosennya bertanya dengan nada tinggi, “kamu mau sekali jadi perempuan atau laki-laki?”, Nabil Arif menjawab, “tidak keduanya, di tengah-tengah, makanya gender netral, pak [..] saya mengidentifikasi diri seperti itu.” Mendengar jawaban seperti itu, dosennya kesal dan memanggil panitia agar si Nabil Arif dibawa keluar dari ruangan. Dosen itu menegaskan, “kita tidak terima laki-laki atau perempuan [gender netral] di sini. Salah satunya ji diterima.”

Kejadian yang dialami oleh Nabil Arif mengantarkan kita pada pertanyaan-pertanyaan seperti: apa artinya menjadi laki-laki atau menjadi perempuan atau menjadi di antaranya; apa itu gender netral; mengapa di kepala dosen-dosen itu identitas gender hanya laki-laki dan perempuan; dan pada pertanyaan-pertanyaan lain seputar tubuh dan identitas gender.

Tubuh dan Konstruksi Sosial


Saya ingin memulai dengan penjelasan singkat tentang tubuh dan gender sebagai konstruksi sosial. Biasanya, penjelasan tentang kompleksitas isu gender bisa disederhanakan—meskipun selalu lebih kompleks dari penyederhanaan ini—dengan argumentasi bahwa terdapat perbedaan antara jenis kelamin (sex-biologis) dan gender (sosial). Kelamin biologis adalah “terberi”, sedangkan kelamin sosial atau gender adalah hasil konstruksi sosial. Artinya, seorang perempuan yang memiliki rahim dan dapat hamil secara biologis adalah “terberi” tapi tugas melahirkan dan membesarkan anak sendiri bukanlah “terberi”, tapi merupakan konstruksi sosial. Seorang perempuan yang memiliki rahim dan dapat hamil punya hak untuk memilih tidak melahirkan dan membesarkan anak sendiri. Begitu sebaliknya dengan laki-laki. Laki-laki yang memiliki penis adalah “terberi”, tapi bahwa laki-laki tidak boleh menggunakan kipas kecil dan berjalan berlenggok-lenggok saat kegiatan penyambutan mahasiswa baru, misalnya, adalah konstruksi sosial. Meskipun demikian, para pemikir gender kontemporer seperti Judith Butler mulai mempertanyakan benarkah tubuh atau kelamin biologis adalah murni “terberi” dan bukan konstruksi? Bagaimana dengan kondisi biologis, seperti hipospadias dan lain-lain, yang memperlihatkan bahwa fakta biologis sendiri sebetulnya tidak solid?—karena kapasitas kolom ini terbatas maka saya tidak akan mengelaborasi diskusi itu lebih jauh.

Tapi singkatnya, tubuh dan gender adalah konstruksi sosial. Konstruksi itu terjadi lewat pendidikan, media, dan sebagainya. Artinya, “kelaki-lakian” kita atau “keperempuanan” kita dipengaruhi oleh nilai-nilai gender yang berlaku dalam masyarakat atau yang disebut oleh Raewyn Connell sebagai “gender order” dan oleh sistem gender institusi tertentu atau “gender regime”. Tetapi, pengaruh itu tidak deterministik. Individu memiliki agensi dalam kapasitas tertentu untuk menentukan sendiri nilai-nilai gender mereka, dan bahkan, menurut Connel, individu bisa turut mentransformasi “gender regime” dan “gender order” yang ada pada masyarakat tempat individu tersebut tinggal dan terlibat.

Identitas Gender dan Upaya Dekolonisasi


Seperti yang dapat kita pahami di bagian sebelumnya bahwa tubuh dan gender pada dasarnya adalah konstruksi sosial, yang sangat konsteksual dan plural. Artinya, antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, terdapat perbedaan tentang apa yang mereka maksudkan dengan menjadi laki-laki (maskulinitas) atau menjadi perempuan (feminitas). Sehingga perlu ditegaskan bahwa tidak ada ukuran yang pasti, mutlak, dan berlaku secara universal untuk semua orang tentang bagaimana menjadi laki-laki atau perempuan atau yang lain.

Lalu apa yang bisa kita pelajari dari kasus Nabil Arif? Salah satu yang bisa kita pelajari adalah ketika identitas gender—yang sejatinya cair dan plural—dikonstruksi dan dipaksa menjadi identitas yang biner (hanya laki-laki dan perempuan) maka pada akhirnya akan terjadi “eksklusi” dan diskriminasi—konsekuensi ini setara dengan penjajahan/kolonialisasi terhadap kelompok yang memiliki identitas gender yang berbeda dari yang biner. Padahal, dalam kebudayaan Bugis sendiri misalnya, kita mengenal ada lima identitas gender: Orowane (laki-laki secara biologis), Makunrai (perempuan secara biologis), Calabai (laki-laki secara biologis tapi performa perempuan), Calalai (perempuan secara biologis tapi performa laki-laki), dan Bissu (perpaduan antara empat gender yang ada, punya sifat feminin dan maskulin sekaligus).

Merefleksikan kembali beragamnya identitas gender dalam kebudayaan lokal kita, seperti yang terdapat dalam Suku Bugis, bisa menjadi pintu masuk dalam upaya dekolonisasi identitas gender yang selalu dianggap biner: hanya laki-laki atau perempuan. Dengan memaksakan identitas gender biner terhadap orang-orang seperti Nabil Arif—yang mewakili banyak individu non-biner, dosen-dosen itu, yang mewakili institusi pendidikan, sebetulnya telah melakukan penjajahan terhadap kelompok identitas gender non-biner, dan tidak ada cara lain yang bisa ditempuh untuk membangun komunitas yang inklusif dan menghentikan penjajahan selain turut menyediakan ruang yang setara bagi orang-orang dengan identitas gender seperti Nabil Arif. (*)

Terbit pertama kali di Koran Harian Tribun Timur, 22 Agustus 2022. Versi onlinenya bisa dibaca di tautan ini.
Menulis adalah Membuat Hidung dan Mulut Orang Lain Berdarah

Menulis adalah Membuat Hidung dan Mulut Orang Lain Berdarah


Hari ini, 16 September 2022, aku mengikuti kegiatan di Wisdom Park UGM, salah satu rangkaian kegiatan Festival Kebudayaan Yogyakarta 2022, dan menemukan satu buku puisi sialan, Kertas Basah, yang ditulis oleh Dea Anugerah. Aku menyukai buku puisi itu karena, selain gayanya yang ‘sialan’, buku itu juga mengingatkan aku bahwa aku pernah menulis satu buku puisi dengan gaya serupa di buku puisi pertamaku, judul apa yang cocok untuk buku ini, yang terbit 2019 (Sialnya, bukuku tidak dibaca banyak orang). Yang ingin aku abadikan di satu paragraf ini adalah, Dea, begitu juga aku–jika tidak berlebihan memasukkan diriku di daftar itu–berusaha bersenang-senang dengan bahasa, dengan menulis ‘puisi anti-puisi’. Ada banyak orang yang telah melakukannya. Ketika membaca buku Dea itu, aku menemukan fakta bahwa menulis puisi, atau menulis apapun–termasuk menulis paper akademik sekalipun–adalah upaya untuk mendirikan roller coaster. Kita, para penulis, mendirikan roller coaster kita masing-masing. Tapi orang-orang seperti Dea, aku, dan orang-orang lain–yang menulis puisi anti-puisi–adalah orang-orang yang mengajak pembacanya masuk ke roller coaster untuk membuatnya mengerti bahwa naik roller coaster selain bisa membuatmu terhibur juga bisa membuat hidung dan mulutmu berdarah.


—selepas membaca Kertas Basah di kamar asrama, 16 September 2022.