Kisah dan Cara Saya Beragama
blog essaysKisah dan Cara Saya Beragama
Photo by chris liu on Unsplash |
Satu dari banyak hal yang membuat saya senang ketika Ramadan tiba, adalah, Ramadan dengan program ceramah yang berlimpah membuat saya bisa menyimak kembali banyak ragam kisah yang saya nikmati sewaktu kanak-kanak dulu, seperti, kisah tentang surga-neraka; kisah ajaib para nabi dan malaikat; kisah pemilik sepotong roti yang menyesal karena tidak menyerahkan semuanya; kisah api sebesar kurma yang mampu membakar semua benda di tujuh lapis langit dan bumi; dan kisah lainnya.
Dulu, ketika saya kecil, saya menikmati kisah-kisah itu sebagai sebuah kisah agung, dan tidak jarang, kisah-kisah itu menyebabkan saya terbawa perasaan, tersenyum, bergidik dan menangis. Sekarang, saat saya sudah cukup nakal untuk memikirkan hal-hal lain yang ada di balik kisah-kisah itu, yang terjadi ketika mendengarkan penceramah bercerita, saya jadi memikirkan hal-hal lain, membayangkan bagaimana jika kisah itu tidak terjadi di sana tapi terjadi di sini, tidak dengan tokoh ini tapi oleh tokoh yang lain, dll.
Selain senang membayangkan kisah-kisah itu diceritakan dalam bentuk lain, tentu saja, saya juga sedih ketika mendengar orang-orang beragama membenci buku fiksi dan pengarang kisah dengan berapi-api, tanpa mereka sadari bahwa orang paling beriman di antara mereka, sebetulnya, adalah yang paling menyukai cerita, dan yang terpenting, yang mempercayainya. Sayangnya, kita, suatu kaum, lebih sering menolak mendengarkan imajinasi kaum yang lain hanya untuk merawat imajinasi kaum kita sendiri.
Bersambung~