Apapun yang Datang, Mari Berdansa!
blog one paragraphCinta Buruk itu, Terbaik Untukku
blog one paragraphSaya menulis ini sambil mengingat beberapa penggalan kalimat Kahlil Gibran: Jika kamu mencintai seseorang, biarkan dia pergi. Jika dia kembali, maka dia akan selalu menjadi milikmu. Jika tidak, dia tidak akan pernah menjadi milikmu.
2023, Sembuhkanlah Luka-luka
blog one paragraph—aku duduk di kamar sambil menyimak letupan-letupan kembang api yang ditembakkan orang-orang ke langit, sambil berharap langit membalasnya dengan petir dan kilat.
Apa yang Membuat Dada Kita Begitu Kecil di Saat Tertentu dan Begitu Lapang di Saat yang Lain?
blog one paragraphMenulis adalah Membuat Hidung dan Mulut Orang Lain Berdarah
blog one paragraphHari ini, 16 September 2022, aku mengikuti kegiatan di Wisdom Park UGM, salah satu rangkaian kegiatan Festival Kebudayaan Yogyakarta 2022, dan menemukan satu buku puisi sialan, Kertas Basah, yang ditulis oleh Dea Anugerah. Aku menyukai buku puisi itu karena, selain gayanya yang ‘sialan’, buku itu juga mengingatkan aku bahwa aku pernah menulis satu buku puisi dengan gaya serupa di buku puisi pertamaku, judul apa yang cocok untuk buku ini, yang terbit 2019 (Sialnya, bukuku tidak dibaca banyak orang). Yang ingin aku abadikan di satu paragraf ini adalah, Dea, begitu juga aku–jika tidak berlebihan memasukkan diriku di daftar itu–berusaha bersenang-senang dengan bahasa, dengan menulis ‘puisi anti-puisi’. Ada banyak orang yang telah melakukannya. Ketika membaca buku Dea itu, aku menemukan fakta bahwa menulis puisi, atau menulis apapun–termasuk menulis paper akademik sekalipun–adalah upaya untuk mendirikan roller coaster. Kita, para penulis, mendirikan roller coaster kita masing-masing. Tapi orang-orang seperti Dea, aku, dan orang-orang lain–yang menulis puisi anti-puisi–adalah orang-orang yang mengajak pembacanya masuk ke roller coaster untuk membuatnya mengerti bahwa naik roller coaster selain bisa membuatmu terhibur juga bisa membuat hidung dan mulutmu berdarah.
—selepas membaca Kertas Basah di kamar asrama, 16 September 2022.
Melambat adalah Melawan
blog one paragraphDi Jogja, aku betah ke mana-mana dengan sepeda. Aku bahkan nyaris (sialan) selalu bisa menolak tawaran jemputan dari teman-teman baikku ketika kami hendak mengunjungi tempat-tempat tertentu (meskipun tentu saja ada alasan lain—aku pernah menulis tentang ini di blog). Tapi, yang ingin aku utarakan adalah aku tidak bisa membayangkan melakukan kebiasaan yang sama, bersepeda ke mana-mana, jika aku sedang di Makassar (kebiasan ini patut dicoba di Makassar). Kalau aku pikir-pikir lagi, barangkali, salah satu alasan mengapa aku menikmati kebiasaan ini adalah karena saat bersepeda, aku merasa lebih bisa menikmati waktuku, aku bisa lebih lamban. Dan karena itulah, aku merasa bahwa bersepeda adalah cara lain untuk melawan, melawan “raksasa besar tak kasat” yang memaksa kita untuk terus-menerus terburu-buru. Bersepeda, pada akhirnya, adalah belajar pelan, belajar melambat. Dan melambat berarti melawan!
—setelah markir di Parkiran Sepeda Asrama, 13 September 2022.
Pertambangan Berkelanjutan dan Masalahnya
blog one paragraphPercepatan digitalisasi, industrialisasi, serta maraknya proyek seperti "kendaraan listrik" akan memperbanyak produksi pertambangan, logam dan sebagainya. Mengutip argumentasi-argumentasi Aurore Stephant, manager proyek SystExt, sebuah lembaga yang menyatukan para professional yang bekerja di bidang sistem ekstraktif seperti pertambangan , bahwa di abad ini, narasi tentang pertambangan dikemas sedemikian rupa seperti "pertambangan berkelanjutan", "praktik baik pertambangan", atau "teknik [ekstraktif] revolusioner", dan lain sebagainya, seolah-olah pertambangan sekarang adalah praktik yang paling baik daripada yang pernah ada, padahal kenyataannya, jika kita meninjau kembali secara cermat, kita akan menemukan bahwa praktik-praktik pertambangan terbaru lebih destruktif dan kurang terkontrol daripada praktik-praktik pertambangan sebelumnya.