Perkenalan Pertamaku dengan Puisi dan Laki-laki yang Menyakiti Kakak Perempuanku

Perkenalan Pertamaku dengan Puisi dan Laki-laki yang Menyakiti Kakak Perempuanku


Perkenalan pertama saya dengan puisi adalah perkenalan pertama saya dengan WS Rendra. Saya membaca WS Rendra sejak saya di bangku kelas satu SMP. Waktu itu, di sekolah kami, setiap sore, selalu ada kegiatan pembacaan puisi dan pementasan teater yang diikuti oleh siswa SMP, SMA, dan Mahasiswa di Kecamatan kami. Saya beberapa kali membacakan puisi WS Rendra dan Dzawawi Imron di kegiatan itu, kegiatan yang diinisiasi dan digerakkan oleh seorang alumni Universitas Negeri Makassar (UNM) sekaligus dosen Bahasa dan Sastra di Universitas Muhammadiyah Buton (UMB). Saya masih ingat wajah dosen itu, tapi saya tidak akan menyebut namanya di sini.

Dosen itu, juga adalah guru Bahasa Indonesia saya di sekolah, membuat saya jatuh cinta pada puisi, sekaligus membuat saya membencinya. Saya mencintai puisi setelah dia mengenalkan saya lebih dekat pada beberapa penyair seperti Chairil Anwar, WS Rendra, Dzawawi Imron, dan Subagio Sastrowardoyo, dengan membacakannya untuk kami. Tetapi, saya juga sekaligus membencinya—membenci puisi, sastra, dan dia, beberapa tahun setelahnya, guru sekolah sekaligus dosen itu menikahi kakak perempuan saya dan meninggalkannya begitu saja ketika kakak saya mengandung anak laki-lakinya. Hingga sekarang, dosen itu, yang mengenalkan saya pada puisi, tak pernah kembali lagi.

Anak laki-lakinya, kini, tumbuh tanpa ayah, umurnya sekitar 12 tahun, duduk di bangku kelas enam SD. Tahun lalu, ketika saya libur dan pulang kampung, saya menyaksikan anak itu berinteraksi dengan ayah saya seperti ayah kandungnya sendiri, tidur di kasur yang sama dan berangkat ke masjid bersama. Selama beberapa tahun sebelumnya, saya turut mengamati: anak laki-laki itu tumbuh dengan rentan, mudah menangis, dan susah bergurau.

Perkenalan saya dengan puisi adalah perkenalan saya dengan WS Rendra, sekaligus perkenalan saya pada laki-laki yang menikahi, menghamili, dan meninggalkan kakak perempuan saya bersama bayi kecil di perutnya. Perkenalan pertama saya dengan puisi adalah perkenalan pertama saya dengan penderitaan yang hidup ini wariskan secara tiba-tiba ke saya.
Apapun yang Datang, Mari Berdansa!

Apapun yang Datang, Mari Berdansa!


Ketika hari-hari di 2023 satu per satu berlalu, biasa saja, seperti hari-hari di tahun sebelumnya. Aku jadi merasa tidak perlu memikirkan semua tetek-bengek yang sejak awal tahun baru telah aku susun, tentang hal-hal besar yang harus kulakukan setiap hari di sepanjang tahun. Aku merasa bahwa yang kuperlukan sekarang adalah melangkah dengan langkah kecil, ringan, dan damai. Sudah saatnya aku membuang atau menghapus atau mengatakan sialan untuk semua keinginan yang membebaniku: hasrat-hasrat jiwa mudaku, harapan-harapan untuk masa tuaku, dan rencana-rencana cemerlang yang aku idamkan. Sudah seharusnya aku melupakan semua itu dan melakukan apa yang bisa membuat diriku hidup, sebenar-benarnya hidup. Akan kuterima semua hal yang datang di depan kakiku, yang mengajakku berjalan bersama. Apapun yang datang, mari kita berdansa!



Cinta Buruk itu, Terbaik Untukku

Cinta Buruk itu, Terbaik Untukku

Dua tahun sudah, cinta buruk itu berlalu. Setiap kali aku menyempatkan diriku untuk mengenang masa-masa itu, aku selalu merasa, cinta buruk itu benar-benar dahsyat. Dia, setiap kali aku mengenangnya, seolah-seolah berbisik kepadaku: "Sekali kamu menemukanku, kamu akan selalu mudah menemukanku. Satu-satunya kesulitanmu adalah melupakanku." 

Barangkali, hingga waktu yang tidak dapat aku tebak, aku akan selalu bisa mengingat kenangan cinta buruk itu. Dengan menyebutnya sebagai cinta buruk tidak berarti bahwa aku membenci kenangan itu sepenuhnya. Bagaimana pun, cinta buruk itu telah mengajariku banyak hal tentang hidup. Sekarang, cinta buruk itu, perlahan-lahan, setelah menanggungnya dua tahun lebih, bisa aku terima sebagai bagian dari diriku. 

Kenangan atas cinta buruk itu tidak lagi melukaiku dengan membangkitkan episode-episode yang menyakitkan, atau episode-episode yang membahagiakan tetapi telah hilang. Kenangan akan cinta buruk itu telah menjadi teman baikku, yang setiap saat mengingatkanku bahwa hidup sepenuhnya adalah segala yang mungkin menyakitiku, segala yang mungkin meninggalkanku, sehingga aku harus melapangkan dadaku selapang-lapangnya.

Aku akan menyukai kisah ini: cinta buruk itu, terbaik untukku!

Saya menulis ini sambil mengingat beberapa penggalan kalimat Kahlil Gibran: Jika kamu mencintai seseorang, biarkan dia pergi. Jika dia kembali, maka dia akan selalu menjadi milikmu. Jika tidak, dia tidak akan pernah menjadi milikmu.

2023, Sembuhkanlah Luka-luka

2023, Sembuhkanlah Luka-luka


Selamat 2023. Semoga yang disemogakan lekas terwujud. Meski, aku berani bertaruh, "semoga-semoga yang disemogakan" itu tidak ada akhirnya dan satu-satunya tempat terakhirnya adalah penderitaan. Karena tidak takut penderitaan, maka aku membuat "semoga-semoga" kecil "yang kusemogakan". Di 2023 ini, aku hanya berharap bisa menjadi manusia yang lebih bisa mengontrol dirinya sendiri, lebih bisa meluangkan waktu sendiri, lebih mampu menyimak orang lain, dan terlatih menemukan hal-hal baik di balik hal-hal buruk yang terjadi. Aku juga berharap tetap bisa menulis dengan baik. Menulis untuk menjaga diriku tetap waras dan tetap berjalan kaki. Menulis memang hanya butuh dua tangan, tapi tulisan yang baik, kata seorang filsuf sialan, selalu tercipta dari perjalanan yang ditempuh oleh kaki-kaki. Singkatnya, aku hanya ingin lebih banyak menyimak, membaca, menulis, dan berjalan kaki. Tahun ini, please, jadilah tahun yang bersahabat, sembuhkanlah luka-luka dan mekarlah bunga-bunga!

—aku duduk di kamar sambil menyimak letupan-letupan kembang api yang ditembakkan orang-orang ke langit, sambil berharap langit membalasnya dengan petir dan kilat.
Apa yang Membuat Dada Kita Begitu Kecil di Saat Tertentu dan Begitu Lapang di Saat yang Lain?

Apa yang Membuat Dada Kita Begitu Kecil di Saat Tertentu dan Begitu Lapang di Saat yang Lain?

Jika aku punya kemampuan menentukan sendiri hidupku, aku ingin pergi ke suatu tempat, di mana tidak ada satupun orang yang mengenalku. Aku bisa keluar jalan tanpa harus menyapa orang lain, aku bisa menghabiskan waktuku sendiri tanpa harus memikirkan neraka (hell is other people--sartre). Menyapa untuk tujuan basa-basi, melelahkan. Aku hanya merasa ingin menikmati hidupku tanpa kepalsuan. Aku hanya ingin bertemu orang-orang yang padanya aku menemukan keaslian, meskipun aku tahu, tak ada yang asli di dunia yang sialan ini. Ketika mengunjungi tempat asing, aku excited, aku merasa senang sekali bisa menemukan orang baru, sayangnya, hanya butuh beberapa waktu, aku akan muak dan bosan dengan orang-orang yang sama. Aku seolah-olah hanya ingin bertemu mereka sekali saja dan setelah itu mereka tidak ada lagi. Paradoksnya, kadang-kadang, bertemu teman lama juga membuatku senang, menyenangkan. Tapi kadang-kadang, tak kalah menyiksanya. Apa yang sebetulnya membuat dadaku begitu kecil di saat tertentu dan begitu lapang di saat yang lain?
Menulis adalah Membuat Hidung dan Mulut Orang Lain Berdarah

Menulis adalah Membuat Hidung dan Mulut Orang Lain Berdarah


Hari ini, 16 September 2022, aku mengikuti kegiatan di Wisdom Park UGM, salah satu rangkaian kegiatan Festival Kebudayaan Yogyakarta 2022, dan menemukan satu buku puisi sialan, Kertas Basah, yang ditulis oleh Dea Anugerah. Aku menyukai buku puisi itu karena, selain gayanya yang ‘sialan’, buku itu juga mengingatkan aku bahwa aku pernah menulis satu buku puisi dengan gaya serupa di buku puisi pertamaku, judul apa yang cocok untuk buku ini, yang terbit 2019 (Sialnya, bukuku tidak dibaca banyak orang). Yang ingin aku abadikan di satu paragraf ini adalah, Dea, begitu juga aku–jika tidak berlebihan memasukkan diriku di daftar itu–berusaha bersenang-senang dengan bahasa, dengan menulis ‘puisi anti-puisi’. Ada banyak orang yang telah melakukannya. Ketika membaca buku Dea itu, aku menemukan fakta bahwa menulis puisi, atau menulis apapun–termasuk menulis paper akademik sekalipun–adalah upaya untuk mendirikan roller coaster. Kita, para penulis, mendirikan roller coaster kita masing-masing. Tapi orang-orang seperti Dea, aku, dan orang-orang lain–yang menulis puisi anti-puisi–adalah orang-orang yang mengajak pembacanya masuk ke roller coaster untuk membuatnya mengerti bahwa naik roller coaster selain bisa membuatmu terhibur juga bisa membuat hidung dan mulutmu berdarah.


—selepas membaca Kertas Basah di kamar asrama, 16 September 2022.

Melambat adalah Melawan

Melambat adalah Melawan

Di Jogja, aku betah ke mana-mana dengan sepeda. Aku bahkan nyaris (sialan) selalu bisa menolak tawaran jemputan dari teman-teman baikku ketika kami hendak mengunjungi tempat-tempat tertentu (meskipun tentu saja ada alasan lain—aku pernah menulis tentang ini di blog). Tapi, yang ingin aku utarakan adalah aku tidak bisa membayangkan melakukan kebiasaan yang sama, bersepeda ke mana-mana, jika aku sedang di Makassar (kebiasan ini patut dicoba di Makassar). Kalau aku pikir-pikir lagi, barangkali, salah satu alasan mengapa aku menikmati kebiasaan ini adalah karena saat bersepeda, aku merasa lebih bisa menikmati waktuku, aku bisa lebih lamban. Dan karena itulah, aku merasa bahwa bersepeda adalah cara lain untuk melawan, melawan “raksasa besar tak kasat” yang memaksa kita untuk terus-menerus terburu-buru. Bersepeda, pada akhirnya, adalah belajar pelan, belajar melambat. Dan melambat berarti melawan!


—setelah markir di Parkiran Sepeda Asrama, 13 September 2022.

Pertambangan Berkelanjutan dan Masalahnya

Pertambangan Berkelanjutan dan Masalahnya

Percepatan digitalisasi, industrialisasi, serta maraknya proyek seperti "kendaraan listrik" akan memperbanyak produksi pertambangan, logam dan sebagainya. Mengutip argumentasi-argumentasi Aurore Stephant, manager proyek SystExt, sebuah lembaga yang menyatukan para professional yang bekerja di bidang sistem ekstraktif seperti pertambangan , bahwa di abad ini, narasi tentang pertambangan dikemas sedemikian rupa seperti "pertambangan berkelanjutan", "praktik baik pertambangan", atau "teknik [ekstraktif] revolusioner", dan lain sebagainya, seolah-olah pertambangan sekarang adalah praktik yang paling baik daripada yang pernah ada, padahal kenyataannya, jika kita meninjau kembali secara cermat, kita akan menemukan bahwa praktik-praktik pertambangan terbaru lebih destruktif dan kurang terkontrol daripada praktik-praktik pertambangan sebelumnya.