Menulis adalah Membuat Hidung dan Mulut Orang Lain Berdarah

Menulis adalah Membuat Hidung dan Mulut Orang Lain Berdarah


Hari ini, 16 September 2022, aku mengikuti kegiatan di Wisdom Park UGM, salah satu rangkaian kegiatan Festival Kebudayaan Yogyakarta 2022, dan menemukan satu buku puisi sialan, Kertas Basah, yang ditulis oleh Dea Anugerah. Aku menyukai buku puisi itu karena, selain gayanya yang ‘sialan’, buku itu juga mengingatkan aku bahwa aku pernah menulis satu buku puisi dengan gaya serupa di buku puisi pertamaku, judul apa yang cocok untuk buku ini, yang terbit 2019 (Sialnya, bukuku tidak dibaca banyak orang). Yang ingin aku abadikan di satu paragraf ini adalah, Dea, begitu juga aku–jika tidak berlebihan memasukkan diriku di daftar itu–berusaha bersenang-senang dengan bahasa, dengan menulis ‘puisi anti-puisi’. Ada banyak orang yang telah melakukannya. Ketika membaca buku Dea itu, aku menemukan fakta bahwa menulis puisi, atau menulis apapun–termasuk menulis paper akademik sekalipun–adalah upaya untuk mendirikan roller coaster. Kita, para penulis, mendirikan roller coaster kita masing-masing. Tapi orang-orang seperti Dea, aku, dan orang-orang lain–yang menulis puisi anti-puisi–adalah orang-orang yang mengajak pembacanya masuk ke roller coaster untuk membuatnya mengerti bahwa naik roller coaster selain bisa membuatmu terhibur juga bisa membuat hidung dan mulutmu berdarah.


—selepas membaca Kertas Basah di kamar asrama, 16 September 2022.

Load comments