Mengalami Dua Dunia dalam Satu Rumah: Altruisme dan Kapitalisme di Wilayah Adat
blog essays newspaper![]() |
Koran Harian Tribun Timur, 09 Januari 2023. |
Di setiap kunjungan, tawaran-tawaran semacam itu selalu ada, dan di beberapa kali kunjungan, saya mengiyakan beberapa tawaran. Tidak perlu uang sepeserpun untuk mendapatkan semua itu dari mereka. Warga di desa, setidaknya yang saya temui di masyarakat adat Karaeng Bulu, selalu ulung dalam hal berbagi kebaikan tanpa mengharapkan imbalan: mengundang saya datang ke rumah mereka, menyediakan kopi, dan makan siang.
Semua hal romantik yang saya alami selama tinggal di wilayah masyarakat adat (sekali lagi, pemilihan kata “romantik” bisa kita perdebatkan) adalah bagian signifikan yang menyadarkan saya pada semangat kesukarelaan yang menjadi ciri khas masyarakat adat. Kesukarelaan sebagai nilai bersama yang menjadi landasan dari praktik keseharian warga adat, atau dalam istilah lain disebut sebagai altruisme, nilai yang menjadi lawan dari kapitalisme.
Semangat Kapitalisme
Kapitalisme, setidaknya, jenis kapitalisme sederhana, bekerja seperti penjelasan di atas. Meski misi utama kapitalisme sebetulnya tidak terletak pada reproduksi sederhana, tapi lebih dari sekadar itu. Misi utama kapitalisme adalah mengubah nilai-lebih atau keuntungan yang diperoleh untuk menjadikannya modal yang lebih besar, atau apa yang disebut oleh Karl Marx sebagai “capital accumulation” atau reproduksi dalam skala yang lebih besar.
Dalam reproduksi sederhana atau “simple reproduction”, keuntungan atau nilai-lebih digunakan dengan cara yang tidak produktif, sedangkan dalam pelipatgadaan modal atau “capital accumulation”, nilai-lebih diubah secara terus-menerus untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Inilah inti dari kapitalisme, tentang pelipatgandaan modal dan keuntungan. Efek dari logika kerja kapitalisme ini menuntut “keuntungan pribadi yang lebih besar”. Imbasnya, semangat kapitalisme membuat orang-orang fokus kepada bagaimana meraup keuntungan bagi diri mereka sendiri.
Semangat Kapitalisme vs. Altruisme Adat
Selama menetap di wilayah adat Karaeng Bulu, saya mengalami dua semangat itu, semangat altruisme dan kapitalisme, di dalam satu rumah, di rumah milik Haji Tawang sebagai pemilik satu-satunya “pabbalu ga’de-ga’de” (toko kelontong) di wilayah adat Karaeng Bulu. Suatu sore, ketika kami baru saja tiba di rumah itu, belum cukup dua-puluh menit, kami sudah diundang masuk ke dalam rumah untuk menyantap makanan sore, dan setelah makan, istri Haji Tawang menghidangkan kopi dan kue untuk kami. Semuanya dengan cuma-cuma. Apapun yang Haji Tawang dan keluarganya konsumsi, selalu ada bagian untuk saya, begitu seterusnya. Sekali lagi, secara bebas alias gratis.
Di rumah yang sama pula, di samping kanan teras rumah itu, ada ruang khusus milik Haji Tawang berjualan. Warga adat Karaeng Bulu mengenalnya dengan sebutan “ga’de-ga’de”. Apapun yang saya ambil di ruangan itu harus saya tukar dengan uang, hanya uang! Setiap dua kali sepekan, Haji Tawang dan istrinya berangkat ke pasar untuk membeli berbagai macam perlengkapan untuk dijual di ruangan itu, untuk mendapatkan keuntungan, tentu saja! Di ruang tertentu di rumahnya, saya berinteraksi dengan Haji Tawang dengan semangat altruistik, tapi di ruang yang lain, kami berurusan satu sama lain dengan semangat kapitalistik. Saya membayangkan, beberapa tahun ke depan, masyarakat adat yang dikenal dengan semangat altruistiknya telah berubah menjadi sangat kapitalistik.
Tulisan ini terbit pertama kali di Koran Harian Tribun Timur, Sulawesi Selatan, 09 Januari 2023. Versi onlinenya bisa dibaca di tautan ini.
Catatan Harian di Dua Hari Pertama 2023
blog2/1//2023 – siang. aku bangun tidur siang. baru saja kelar makan siang. aku makan telur goreng dan nasi putih, masakan sendiri. aku berusaha menikmati kesendirianku dengan memasak, bermain, dan membaca buku. sore ini, aku berencana akan keluar kamar. aku menikmati berada di kamar, tapi aku butuh kopi. aku punya kopi di kamar, hanya saja, aku tidak bisa meramu kopi lebih baik daripada warung kopi di dekat sini, jadi, ok, aku akan keluar kamar. hari keduaku di 2023 ini terbilang masih seperti biasa, aku berharap bisa melakukan hal yang lebih baik lagi.
Apapun yang Datang, Mari Berdansa!
blog one paragraphCinta Buruk itu, Terbaik Untukku
blog one paragraphSaya menulis ini sambil mengingat beberapa penggalan kalimat Kahlil Gibran: Jika kamu mencintai seseorang, biarkan dia pergi. Jika dia kembali, maka dia akan selalu menjadi milikmu. Jika tidak, dia tidak akan pernah menjadi milikmu.
2023, Sembuhkanlah Luka-luka
blog one paragraph—aku duduk di kamar sambil menyimak letupan-letupan kembang api yang ditembakkan orang-orang ke langit, sambil berharap langit membalasnya dengan petir dan kilat.
Apa yang Membuat Dada Kita Begitu Kecil di Saat Tertentu dan Begitu Lapang di Saat yang Lain?
blog one paragraphNabil Arif, Tubuh, dan Identitas Gender
blog essays newspaper![]() |
Harian Tribun Timur, 22 Agustus 2022. |
Tubuh dan Konstruksi Sosial
Identitas Gender dan Upaya Dekolonisasi
Terbit pertama kali di Koran Harian Tribun Timur, 22 Agustus 2022. Versi onlinenya bisa dibaca di tautan ini.
Menulis adalah Membuat Hidung dan Mulut Orang Lain Berdarah
blog one paragraphHari ini, 16 September 2022, aku mengikuti kegiatan di Wisdom Park UGM, salah satu rangkaian kegiatan Festival Kebudayaan Yogyakarta 2022, dan menemukan satu buku puisi sialan, Kertas Basah, yang ditulis oleh Dea Anugerah. Aku menyukai buku puisi itu karena, selain gayanya yang ‘sialan’, buku itu juga mengingatkan aku bahwa aku pernah menulis satu buku puisi dengan gaya serupa di buku puisi pertamaku, judul apa yang cocok untuk buku ini, yang terbit 2019 (Sialnya, bukuku tidak dibaca banyak orang). Yang ingin aku abadikan di satu paragraf ini adalah, Dea, begitu juga aku–jika tidak berlebihan memasukkan diriku di daftar itu–berusaha bersenang-senang dengan bahasa, dengan menulis ‘puisi anti-puisi’. Ada banyak orang yang telah melakukannya. Ketika membaca buku Dea itu, aku menemukan fakta bahwa menulis puisi, atau menulis apapun–termasuk menulis paper akademik sekalipun–adalah upaya untuk mendirikan roller coaster. Kita, para penulis, mendirikan roller coaster kita masing-masing. Tapi orang-orang seperti Dea, aku, dan orang-orang lain–yang menulis puisi anti-puisi–adalah orang-orang yang mengajak pembacanya masuk ke roller coaster untuk membuatnya mengerti bahwa naik roller coaster selain bisa membuatmu terhibur juga bisa membuat hidung dan mulutmu berdarah.
—selepas membaca Kertas Basah di kamar asrama, 16 September 2022.
Melambat adalah Melawan
blog one paragraphDi Jogja, aku betah ke mana-mana dengan sepeda. Aku bahkan nyaris (sialan) selalu bisa menolak tawaran jemputan dari teman-teman baikku ketika kami hendak mengunjungi tempat-tempat tertentu (meskipun tentu saja ada alasan lain—aku pernah menulis tentang ini di blog). Tapi, yang ingin aku utarakan adalah aku tidak bisa membayangkan melakukan kebiasaan yang sama, bersepeda ke mana-mana, jika aku sedang di Makassar (kebiasan ini patut dicoba di Makassar). Kalau aku pikir-pikir lagi, barangkali, salah satu alasan mengapa aku menikmati kebiasaan ini adalah karena saat bersepeda, aku merasa lebih bisa menikmati waktuku, aku bisa lebih lamban. Dan karena itulah, aku merasa bahwa bersepeda adalah cara lain untuk melawan, melawan “raksasa besar tak kasat” yang memaksa kita untuk terus-menerus terburu-buru. Bersepeda, pada akhirnya, adalah belajar pelan, belajar melambat. Dan melambat berarti melawan!
—setelah markir di Parkiran Sepeda Asrama, 13 September 2022.