Nabil Arif, Tubuh, dan Identitas Gender
blog essays newspaperHarian Tribun Timur, 22 Agustus 2022. |
Muhammad Nabil Arif Adhitya adalah mahasiswa baru Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, yang mengalami pengusiran saat mengikuti orientasi pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru (PKKMB), karena mengaku bergender netral. Kronologisnya kurang lebih, seperti yang terekam dalam video pendek yang viral di media sosial, dua orang dosen memanggil Nabil Arif untuk maju ke depan dan menginterogasi identitas gendernya karena terlihat menggunakan kipas kecil dan berjalan berlengok-lenggok. Di akhir video tersebut, Nabil Arif diusir oleh kedua dosennya karena dia mengaku tidak bergender laki-laki atau perempuan, tapi bergender netral. Ketika dosennya bertanya dengan nada tinggi, “kamu mau sekali jadi perempuan atau laki-laki?”, Nabil Arif menjawab, “tidak keduanya, di tengah-tengah, makanya gender netral, pak [..] saya mengidentifikasi diri seperti itu.” Mendengar jawaban seperti itu, dosennya kesal dan memanggil panitia agar si Nabil Arif dibawa keluar dari ruangan. Dosen itu menegaskan, “kita tidak terima laki-laki atau perempuan [gender netral] di sini. Salah satunya ji diterima.”
Kejadian yang dialami oleh Nabil Arif mengantarkan kita pada pertanyaan-pertanyaan seperti: apa artinya menjadi laki-laki atau menjadi perempuan atau menjadi di antaranya; apa itu gender netral; mengapa di kepala dosen-dosen itu identitas gender hanya laki-laki dan perempuan; dan pada pertanyaan-pertanyaan lain seputar tubuh dan identitas gender.
Tubuh dan Konstruksi Sosial
Saya ingin memulai dengan penjelasan singkat tentang tubuh dan gender sebagai konstruksi sosial. Biasanya, penjelasan tentang kompleksitas isu gender bisa disederhanakan—meskipun selalu lebih kompleks dari penyederhanaan ini—dengan argumentasi bahwa terdapat perbedaan antara jenis kelamin (sex-biologis) dan gender (sosial). Kelamin biologis adalah “terberi”, sedangkan kelamin sosial atau gender adalah hasil konstruksi sosial. Artinya, seorang perempuan yang memiliki rahim dan dapat hamil secara biologis adalah “terberi” tapi tugas melahirkan dan membesarkan anak sendiri bukanlah “terberi”, tapi merupakan konstruksi sosial. Seorang perempuan yang memiliki rahim dan dapat hamil punya hak untuk memilih tidak melahirkan dan membesarkan anak sendiri. Begitu sebaliknya dengan laki-laki. Laki-laki yang memiliki penis adalah “terberi”, tapi bahwa laki-laki tidak boleh menggunakan kipas kecil dan berjalan berlenggok-lenggok saat kegiatan penyambutan mahasiswa baru, misalnya, adalah konstruksi sosial. Meskipun demikian, para pemikir gender kontemporer seperti Judith Butler mulai mempertanyakan benarkah tubuh atau kelamin biologis adalah murni “terberi” dan bukan konstruksi? Bagaimana dengan kondisi biologis, seperti hipospadias dan lain-lain, yang memperlihatkan bahwa fakta biologis sendiri sebetulnya tidak solid?—karena kapasitas kolom ini terbatas maka saya tidak akan mengelaborasi diskusi itu lebih jauh.
Tapi singkatnya, tubuh dan gender adalah konstruksi sosial. Konstruksi itu terjadi lewat pendidikan, media, dan sebagainya. Artinya, “kelaki-lakian” kita atau “keperempuanan” kita dipengaruhi oleh nilai-nilai gender yang berlaku dalam masyarakat atau yang disebut oleh Raewyn Connell sebagai “gender order” dan oleh sistem gender institusi tertentu atau “gender regime”. Tetapi, pengaruh itu tidak deterministik. Individu memiliki agensi dalam kapasitas tertentu untuk menentukan sendiri nilai-nilai gender mereka, dan bahkan, menurut Connel, individu bisa turut mentransformasi “gender regime” dan “gender order” yang ada pada masyarakat tempat individu tersebut tinggal dan terlibat.
Identitas Gender dan Upaya Dekolonisasi
Seperti yang dapat kita pahami di bagian sebelumnya bahwa tubuh dan gender pada dasarnya adalah konstruksi sosial, yang sangat konsteksual dan plural. Artinya, antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, terdapat perbedaan tentang apa yang mereka maksudkan dengan menjadi laki-laki (maskulinitas) atau menjadi perempuan (feminitas). Sehingga perlu ditegaskan bahwa tidak ada ukuran yang pasti, mutlak, dan berlaku secara universal untuk semua orang tentang bagaimana menjadi laki-laki atau perempuan atau yang lain.
Lalu apa yang bisa kita pelajari dari kasus Nabil Arif? Salah satu yang bisa kita pelajari adalah ketika identitas gender—yang sejatinya cair dan plural—dikonstruksi dan dipaksa menjadi identitas yang biner (hanya laki-laki dan perempuan) maka pada akhirnya akan terjadi “eksklusi” dan diskriminasi—konsekuensi ini setara dengan penjajahan/kolonialisasi terhadap kelompok yang memiliki identitas gender yang berbeda dari yang biner. Padahal, dalam kebudayaan Bugis sendiri misalnya, kita mengenal ada lima identitas gender: Orowane (laki-laki secara biologis), Makunrai (perempuan secara biologis), Calabai (laki-laki secara biologis tapi performa perempuan), Calalai (perempuan secara biologis tapi performa laki-laki), dan Bissu (perpaduan antara empat gender yang ada, punya sifat feminin dan maskulin sekaligus).
Merefleksikan kembali beragamnya identitas gender dalam kebudayaan lokal kita, seperti yang terdapat dalam Suku Bugis, bisa menjadi pintu masuk dalam upaya dekolonisasi identitas gender yang selalu dianggap biner: hanya laki-laki atau perempuan. Dengan memaksakan identitas gender biner terhadap orang-orang seperti Nabil Arif—yang mewakili banyak individu non-biner, dosen-dosen itu, yang mewakili institusi pendidikan, sebetulnya telah melakukan penjajahan terhadap kelompok identitas gender non-biner, dan tidak ada cara lain yang bisa ditempuh untuk membangun komunitas yang inklusif dan menghentikan penjajahan selain turut menyediakan ruang yang setara bagi orang-orang dengan identitas gender seperti Nabil Arif. (*)
Terbit pertama kali di Koran Harian Tribun Timur, 22 Agustus 2022. Versi onlinenya bisa dibaca di tautan ini.