Perkenalan Pertamaku dengan Puisi dan Laki-laki yang Menyakiti Kakak Perempuanku

Perkenalan Pertamaku dengan Puisi dan Laki-laki yang Menyakiti Kakak Perempuanku


Perkenalan pertama saya dengan puisi adalah perkenalan pertama saya dengan WS Rendra. Saya membaca WS Rendra sejak saya di bangku kelas satu SMP. Waktu itu, di sekolah kami, setiap sore, selalu ada kegiatan pembacaan puisi dan pementasan teater yang diikuti oleh siswa SMP, SMA, dan Mahasiswa di Kecamatan kami. Saya beberapa kali membacakan puisi WS Rendra dan Dzawawi Imron di kegiatan itu, kegiatan yang diinisiasi dan digerakkan oleh seorang alumni Universitas Negeri Makassar (UNM) sekaligus dosen Bahasa dan Sastra di Universitas Muhammadiyah Buton (UMB). Saya masih ingat wajah dosen itu, tapi saya tidak akan menyebut namanya di sini.

Dosen itu, juga adalah guru Bahasa Indonesia saya di sekolah, membuat saya jatuh cinta pada puisi, sekaligus membuat saya membencinya. Saya mencintai puisi setelah dia mengenalkan saya lebih dekat pada beberapa penyair seperti Chairil Anwar, WS Rendra, Dzawawi Imron, dan Subagio Sastrowardoyo, dengan membacakannya untuk kami. Tetapi, saya juga sekaligus membencinya—membenci puisi, sastra, dan dia, beberapa tahun setelahnya, guru sekolah sekaligus dosen itu menikahi kakak perempuan saya dan meninggalkannya begitu saja ketika kakak saya mengandung anak laki-lakinya. Hingga sekarang, dosen itu, yang mengenalkan saya pada puisi, tak pernah kembali lagi.

Anak laki-lakinya, kini, tumbuh tanpa ayah, umurnya sekitar 12 tahun, duduk di bangku kelas enam SD. Tahun lalu, ketika saya libur dan pulang kampung, saya menyaksikan anak itu berinteraksi dengan ayah saya seperti ayah kandungnya sendiri, tidur di kasur yang sama dan berangkat ke masjid bersama. Selama beberapa tahun sebelumnya, saya turut mengamati: anak laki-laki itu tumbuh dengan rentan, mudah menangis, dan susah bergurau.

Perkenalan saya dengan puisi adalah perkenalan saya dengan WS Rendra, sekaligus perkenalan saya pada laki-laki yang menikahi, menghamili, dan meninggalkan kakak perempuan saya bersama bayi kecil di perutnya. Perkenalan pertama saya dengan puisi adalah perkenalan pertama saya dengan penderitaan yang hidup ini wariskan secara tiba-tiba ke saya.
Mengalami Dua Dunia dalam Satu Rumah: Altruisme dan Kapitalisme di Wilayah Adat

Mengalami Dua Dunia dalam Satu Rumah: Altruisme dan Kapitalisme di Wilayah Adat

Koran Harian Tribun Timur, 09 Januari 2023.

Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari bahwa selama berada di rumah Haji Tawang, tempat saya tinggal dan menumpang beberapa hari, saya telah mengalami dua dunia yang sama sekali berbeda dalam satu rumah. Dua dunia dengan logika kerjanya masing-masing: logika altruisme dan logika kapitalisme. Saya akan membahas cara kerja kedua logika ini, serta pengalaman singkat saya saat mengalami keduanya di lokasi masyarakat adat Bara.

Saya harus mengakui bahwa pengalaman pertama saya mengunjungi masyarakat adat Karaeng Bulu di Tanete Bulu, Kabupaten Maros, adalah pengalaman romantik—meski penggunaan kata “romantik” bisa kita perdebatkan kemudian. Saya bertemu beberapa warga adat yang menyapa, menanyakan ke mana saya akan pergi, mengajak saya berkunjung ke rumahnya, dan menawari saya tempat istirahat dan air minum pelepas dahaga. 

Di setiap kunjungan, tawaran-tawaran semacam itu selalu ada, dan  di beberapa kali kunjungan, saya mengiyakan beberapa tawaran. Tidak perlu uang sepeserpun untuk mendapatkan semua itu dari mereka. Warga di desa, setidaknya yang saya temui di masyarakat adat Karaeng Bulu, selalu ulung dalam hal berbagi kebaikan tanpa mengharapkan imbalan: mengundang saya datang ke rumah mereka, menyediakan kopi, dan makan siang.

Semua hal romantik yang saya alami selama tinggal di wilayah masyarakat adat (sekali lagi, pemilihan kata “romantik” bisa kita perdebatkan) adalah bagian signifikan yang menyadarkan saya pada semangat kesukarelaan yang menjadi ciri khas masyarakat adat. Kesukarelaan sebagai nilai bersama yang menjadi landasan dari praktik keseharian warga adat, atau dalam istilah lain disebut sebagai altruisme, nilai yang menjadi lawan dari kapitalisme.

Semangat Kapitalisme


Ada beragam penjelasan yang bisa kita pakai untuk menjelaskan apa itu kapitalisme, tapi pada konteks tulisan ini, saya ingin merujuk kapitalisme sebagai suatu semangat. Sesederhana itu. Tapi jika kapitalisme harus dijelaskan, biasanya, kapitalisme dijelaskan sebagai suatu sistem hubungan kelas antara modal (kapital) dan kerja upahan di dalam produksi komoditi. Penjelasan lebih simpelnya: ada orang punya uang, membeli sesuatu dan menjualnya kembali kepada orang lain untuk mendapatkan keuntungan atau nilai-lebih. Keuntungan atau nilai-lebih itu digunakan lagi sebagai modal untuk mendapat keuntungan, dan seterusnya. 

Kapitalisme, setidaknya, jenis kapitalisme sederhana, bekerja seperti penjelasan di atas. Meski misi utama kapitalisme sebetulnya tidak terletak pada reproduksi sederhana, tapi lebih dari sekadar itu. Misi utama kapitalisme adalah mengubah nilai-lebih atau keuntungan yang diperoleh untuk menjadikannya modal yang lebih besar, atau apa yang disebut oleh Karl Marx sebagai “capital accumulation” atau reproduksi dalam skala yang lebih besar.

Dalam reproduksi sederhana atau “simple reproduction”, keuntungan atau nilai-lebih digunakan dengan cara yang tidak produktif, sedangkan dalam pelipatgadaan modal atau “capital accumulation”, nilai-lebih diubah secara terus-menerus untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Inilah inti dari kapitalisme, tentang pelipatgandaan modal dan keuntungan. Efek dari logika kerja kapitalisme ini menuntut “keuntungan pribadi yang lebih besar”. Imbasnya, semangat kapitalisme membuat orang-orang fokus kepada bagaimana meraup keuntungan bagi diri mereka sendiri.

Semangat Kapitalisme vs. Altruisme Adat


Berbeda dengan logika kerja kapitalisme yang fokus pada kepentingan dan keuntungan yang lebih besar bagi diri sendiri, altruisme memusatkan perhatian pada kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan keuntungannya bagi diri sendiri. Membantu orang lain dan melakukan kebaikan tanpa memperhatikan imbalan adalah nilai utama dari altruisme. Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa ada tiga ciri utama dari sikap altruisme, di antaranya, mencintai orang lain atau “loving others”, membantu mereka atau “helping them”, dan mengapresiasi mereka atau “making sure that they are appreciated”. Pada akhirnya, semangat altruisme adalah semangat komunalistik yang menjunjung kepedulian terhadap orang lain.

Selama menetap di wilayah adat Karaeng Bulu, saya mengalami dua semangat itu, semangat altruisme dan kapitalisme, di dalam satu rumah, di rumah milik Haji Tawang sebagai pemilik satu-satunya “pabbalu ga’de-ga’de” (toko kelontong) di wilayah adat Karaeng Bulu. Suatu sore, ketika kami baru saja tiba di rumah itu, belum cukup dua-puluh menit, kami sudah diundang masuk ke dalam rumah untuk menyantap makanan sore, dan setelah makan, istri Haji Tawang menghidangkan kopi dan kue untuk kami. Semuanya dengan cuma-cuma. Apapun yang Haji Tawang dan keluarganya konsumsi, selalu ada bagian untuk saya, begitu seterusnya. Sekali lagi, secara bebas alias gratis.

Di rumah yang sama pula, di samping kanan teras rumah itu, ada ruang khusus milik Haji Tawang berjualan. Warga adat Karaeng Bulu mengenalnya dengan sebutan “ga’de-ga’de”. Apapun yang saya ambil di ruangan itu harus saya tukar dengan uang, hanya uang! Setiap dua kali sepekan, Haji Tawang dan istrinya berangkat ke pasar untuk membeli berbagai macam perlengkapan untuk dijual di ruangan itu, untuk mendapatkan keuntungan, tentu saja! Di ruang tertentu di rumahnya, saya berinteraksi dengan Haji Tawang dengan semangat altruistik, tapi di ruang yang lain, kami berurusan satu sama lain dengan semangat kapitalistik. Saya membayangkan, beberapa tahun ke depan, masyarakat adat yang dikenal dengan semangat altruistiknya telah berubah menjadi sangat kapitalistik.

Tulisan ini terbit pertama kali di Koran Harian Tribun Timur, Sulawesi Selatan, 09 Januari 2023. Versi onlinenya bisa dibaca di tautan ini.

Nabil Arif, Tubuh, dan Identitas Gender

Nabil Arif, Tubuh, dan Identitas Gender

Harian Tribun Timur, 22 Agustus 2022.


Muhammad Nabil Arif Adhitya adalah mahasiswa baru Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, yang mengalami pengusiran saat mengikuti orientasi pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru (PKKMB), karena mengaku bergender netral. Kronologisnya kurang lebih, seperti yang terekam dalam video pendek yang viral di media sosial, dua orang dosen memanggil Nabil Arif untuk maju ke depan dan menginterogasi identitas gendernya karena terlihat menggunakan kipas kecil dan berjalan berlengok-lenggok. Di akhir video tersebut, Nabil Arif  diusir oleh kedua dosennya karena dia mengaku tidak bergender laki-laki atau perempuan, tapi bergender netral. Ketika dosennya bertanya dengan nada tinggi, “kamu mau sekali jadi perempuan atau laki-laki?”, Nabil Arif menjawab, “tidak keduanya, di tengah-tengah, makanya gender netral, pak [..] saya mengidentifikasi diri seperti itu.” Mendengar jawaban seperti itu, dosennya kesal dan memanggil panitia agar si Nabil Arif dibawa keluar dari ruangan. Dosen itu menegaskan, “kita tidak terima laki-laki atau perempuan [gender netral] di sini. Salah satunya ji diterima.”

Kejadian yang dialami oleh Nabil Arif mengantarkan kita pada pertanyaan-pertanyaan seperti: apa artinya menjadi laki-laki atau menjadi perempuan atau menjadi di antaranya; apa itu gender netral; mengapa di kepala dosen-dosen itu identitas gender hanya laki-laki dan perempuan; dan pada pertanyaan-pertanyaan lain seputar tubuh dan identitas gender.

Tubuh dan Konstruksi Sosial


Saya ingin memulai dengan penjelasan singkat tentang tubuh dan gender sebagai konstruksi sosial. Biasanya, penjelasan tentang kompleksitas isu gender bisa disederhanakan—meskipun selalu lebih kompleks dari penyederhanaan ini—dengan argumentasi bahwa terdapat perbedaan antara jenis kelamin (sex-biologis) dan gender (sosial). Kelamin biologis adalah “terberi”, sedangkan kelamin sosial atau gender adalah hasil konstruksi sosial. Artinya, seorang perempuan yang memiliki rahim dan dapat hamil secara biologis adalah “terberi” tapi tugas melahirkan dan membesarkan anak sendiri bukanlah “terberi”, tapi merupakan konstruksi sosial. Seorang perempuan yang memiliki rahim dan dapat hamil punya hak untuk memilih tidak melahirkan dan membesarkan anak sendiri. Begitu sebaliknya dengan laki-laki. Laki-laki yang memiliki penis adalah “terberi”, tapi bahwa laki-laki tidak boleh menggunakan kipas kecil dan berjalan berlenggok-lenggok saat kegiatan penyambutan mahasiswa baru, misalnya, adalah konstruksi sosial. Meskipun demikian, para pemikir gender kontemporer seperti Judith Butler mulai mempertanyakan benarkah tubuh atau kelamin biologis adalah murni “terberi” dan bukan konstruksi? Bagaimana dengan kondisi biologis, seperti hipospadias dan lain-lain, yang memperlihatkan bahwa fakta biologis sendiri sebetulnya tidak solid?—karena kapasitas kolom ini terbatas maka saya tidak akan mengelaborasi diskusi itu lebih jauh.

Tapi singkatnya, tubuh dan gender adalah konstruksi sosial. Konstruksi itu terjadi lewat pendidikan, media, dan sebagainya. Artinya, “kelaki-lakian” kita atau “keperempuanan” kita dipengaruhi oleh nilai-nilai gender yang berlaku dalam masyarakat atau yang disebut oleh Raewyn Connell sebagai “gender order” dan oleh sistem gender institusi tertentu atau “gender regime”. Tetapi, pengaruh itu tidak deterministik. Individu memiliki agensi dalam kapasitas tertentu untuk menentukan sendiri nilai-nilai gender mereka, dan bahkan, menurut Connel, individu bisa turut mentransformasi “gender regime” dan “gender order” yang ada pada masyarakat tempat individu tersebut tinggal dan terlibat.

Identitas Gender dan Upaya Dekolonisasi


Seperti yang dapat kita pahami di bagian sebelumnya bahwa tubuh dan gender pada dasarnya adalah konstruksi sosial, yang sangat konsteksual dan plural. Artinya, antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, terdapat perbedaan tentang apa yang mereka maksudkan dengan menjadi laki-laki (maskulinitas) atau menjadi perempuan (feminitas). Sehingga perlu ditegaskan bahwa tidak ada ukuran yang pasti, mutlak, dan berlaku secara universal untuk semua orang tentang bagaimana menjadi laki-laki atau perempuan atau yang lain.

Lalu apa yang bisa kita pelajari dari kasus Nabil Arif? Salah satu yang bisa kita pelajari adalah ketika identitas gender—yang sejatinya cair dan plural—dikonstruksi dan dipaksa menjadi identitas yang biner (hanya laki-laki dan perempuan) maka pada akhirnya akan terjadi “eksklusi” dan diskriminasi—konsekuensi ini setara dengan penjajahan/kolonialisasi terhadap kelompok yang memiliki identitas gender yang berbeda dari yang biner. Padahal, dalam kebudayaan Bugis sendiri misalnya, kita mengenal ada lima identitas gender: Orowane (laki-laki secara biologis), Makunrai (perempuan secara biologis), Calabai (laki-laki secara biologis tapi performa perempuan), Calalai (perempuan secara biologis tapi performa laki-laki), dan Bissu (perpaduan antara empat gender yang ada, punya sifat feminin dan maskulin sekaligus).

Merefleksikan kembali beragamnya identitas gender dalam kebudayaan lokal kita, seperti yang terdapat dalam Suku Bugis, bisa menjadi pintu masuk dalam upaya dekolonisasi identitas gender yang selalu dianggap biner: hanya laki-laki atau perempuan. Dengan memaksakan identitas gender biner terhadap orang-orang seperti Nabil Arif—yang mewakili banyak individu non-biner, dosen-dosen itu, yang mewakili institusi pendidikan, sebetulnya telah melakukan penjajahan terhadap kelompok identitas gender non-biner, dan tidak ada cara lain yang bisa ditempuh untuk membangun komunitas yang inklusif dan menghentikan penjajahan selain turut menyediakan ruang yang setara bagi orang-orang dengan identitas gender seperti Nabil Arif. (*)

Terbit pertama kali di Koran Harian Tribun Timur, 22 Agustus 2022. Versi onlinenya bisa dibaca di tautan ini.
Selamat Natal, Teman

Selamat Natal, Teman

Selamat Natal, Teman

Photo by Angelina Jollivet on Unsplash

Ingatan saya masih kuat, dan saya bisa memastikan kalau saya masih ingat. Pertama kali saya mengucapkan "selamat natal" kepada orang non-Muslim adalah ketika saya masih belajar di bangku sekolah. Saya punya guru di sekolah non-Muslim, tepatnya Kristen, tapi saya tidak sempat mengetahui lebih lanjut apakah guru saya itu Katolik atau Protestan. Yang saya ingat, dia Kristen. Dia pernah ditugaskan sebagai wali kelas kami, saya dan teman-teman saya, di kelas XI. Sekarang, guru saya itu telah pindah sekolah, tapi saya masih menyimpan kontak dan, tentu saja, masih sering mengabarinya jika ada sesuatu yang penting dan/atau tiba hari natal baru. Saya ucapkan lagi, "selamat natal" ke dia.

Nama guru saya itu, Rini Tangke Datu. Jika saya tidak saya mengingat ceritanya, dia pernah menceritakan tentang orang tuanya ke kami, bahwa orang tua dia berasal dari Toraja, Sulawesi Selatan, tempat yang penduduknya mayoritas beragama Kristen, tapi sekarang dia dan keluarganya menetap di Kolaka, Sulawesi Tenggara, tempat yang penduduknya mayoritas Muslim.

Mengapa saya mengungkit guru saya ini, karena dia adalah orang pertama yang membuat saya mengucapkan "selamat natal", dan tentu saja, saya senang. Orang pertama  non-Muslim yang menjadi teman, keluarga, atau orang dekat dengan saya. 

Ada satu kejadian yang unik yang selalu saya datang di kepala saya saat mengingat nama guru saya ini. Yaitu, pernah suatu hari, kami, saya dan teman-temanku ikutan kegiatan perkemahan yang diadakan oleh salah satu organisasi di sekolah kami. Kebetulan, guru saya ini yang menjadi pendamping/pembina kami waktu itu. Dalam sepekan, selama perkemahan itu, guru saya ini selalu membangunkan saya salat subuh, seperti layaknya ibu saya ketika saya sedang di rumah, saya dibangunkan salah subuh.

Karena kebaikan dan keramahan guru saya ini, saya jadi sadar, betapa perbedaan keimanan bukan persoalan yang benar-benar besar. Kita bisa melampauinya ketika kita telah selesai dengan diri kita masing-masing. Kita tidak lagi insecure sehingga bisa menerima diri sendiri dan orang lain tanpa memandang keimanan mereka sebagai sesuatu yang mengancam kita. Sejak saat itu, saya punya kesan baik terhadap orang-orang non-Muslim sebaik kesan saya terhadap guru saya, hingga hari ini.

Sekarang, di Program Pascasarjana UGM, saya sekelas dengan empat orang non-Muslim, keempatnya Protestan. Masing-masing nama mereka adalah, Selvone Christin Pattiserlihun, Karen Erina Puimera, Elly Diah Praptanti, dan Vikry Reinaldo Paais. Mereka adalah kawan ngobrol yang menyenangkan. Mereka ramah dan hangat. Saya senang bisa bertemu, berkenalan, dan sekelas dengan mereka. Di tempat yang sama, kami, saya dan teman-teman saya juga diajar oleh beberapa dosen luar negeri yang beragama non-Muslim, seperti Konghucu, Protestan, dan Buddha.

Singkatnya, saya hanya ingin mengatakan, sekali lagi, "selamat merayakan natal" kepada teman-teman saya, guru-guru saya, dan kepada semua orang-orang di sekitar saya yang merayakannya. Selamat natal, semoga kita semua selalu berada dalam kedamaian dan kebahagiaan. Terima kasih kepada teman-teman Muslim saya yang membaca tulisan ini dan mengerti bahwa mengucapkan selamat natal bukanlah persoalan yang menggugurkan keimanan.
Mengakrabkan Diri

Mengakrabkan Diri

 Mengakrabkan Diri

Photo by Pawel Czerwinski on Unsplash

Satu hal yang membuat saya tidak waras, kadang-kadang, adalah ketika saya merasa tidak punya teman. Menyadarinya saja, bisa membuat saya tidak karuan. Lagipula, apa yang bisa membuat kita bertahan di tengah kehidupan yang serba ribut ini selain punya teman? Itu yang ada di pikiran saya sekarang. Seharusnya, bukan itu. Seharusnya, saya sadar bahwa hanya diri saya sendirilah yang sebaiknya saya ajak berteman. Mengapa takut dengan itu?

Sayangnya, setiap hari, orang-orang di sekeliling kita memaksa kita menjadi orang lain. Memaksa kita untuk berteman dan bercakap-cakap dengan seseorang selain diri kita sendiri, jadinya, kita sibuk membangun keakraban, dengan perjumpaan-percakapan, tetapi begitu perjumpaan-percakapan itu tidak mungkin lagi bisa kita lakukan, keakraban berbalik membunuh kita. Kita mati, jikapun tidak sampai segitunya, kita setengah mati. Sepotong hidup, sepotong mati, dikoyak-koyak keakraban yang hilang.

Seberapa akrab kita pada diri sendiri?
Untuk Adik Perempuanku

Untuk Adik Perempuanku

Untuk Adik Perempuanku

Photo by Rene Bernal on Unsplash

September lalu, beberapa hari sebelum saya berangkat ke Jogja, saya menyempatkan waktu untuk duduk-berkumpul dengan adik-adik perempuan saya—adik kandung, adik sepupu, dan adik-adik perempuan sekampung saya yang kebetulan tinggal di rumah yang sama dengan saya, di jalan Toddopuli, Makassar. Mereka semua mahasiswa baru di beberapa kampus di Makassar. 

Saya ingat, saya berpesan kepada mereka: “Jika kalian masuk kampus, jaga diri kalian baik-baik, di kampus, ada banyak predator seksual, predator itu bisa jadi adalah dosenmu yang kelihatan mengagumkan, temanmu yang memberi kesan melindungi, membantu, dan sebagainya. Predator itu bisa jadi adalah laki-laki siapapun di sekitarmu. Intinya, hati-hatilah! Jaga batas pertemanan, jaga sikap saat berinteraksi dengan laki-laki. Dan yang terpenting, jika kamu mengalami pelecehan, jangan takut untuk melaporkan, minta bantuan ke saya, atau ke orang terdekat.” 

Saya menyadari bahwa peringatan semacam itu benar-benar harus saya sampaikan, karena saya tahu mereka masih remaja, mereka baru akan masuk kampus, dan saya curiga, mereka belum mengerti soal kekerasan seksual yang dialami oleh orang-orang di sekitar mereka. Saya benar-benar sadar bahwa saya tidak ingin adik-adik perempuan saya mengalami apa yang dialami oleh dua teman dekat saya: 

(1) Teman perempuan saya bercerita ke saya bahwa dia mengalami pelecehan seksual di bus saat dia sedang dalam perjalanan pulang kampung. Dia menceritakan pengalaman buruk itu ke saya sambil menangis, “Pian, tidak bisaka apa-apa waktu itu, dan…” suaranya kemudian hilang, berubah jadi tangisan, semakin lama makin parah. Bagi saya, tidak ada bencana yang lebih buruk daripada melihat seorang perempuan menangis di depan saya.

(2) Teman perempuan saya yang lain, bercerita soal aksi dosen pembimbingnya, yang meminta dia untuk membantunya menyelesaikan pekerjaan kantor hingga memanggilnya beberapa kali ke hotel. Dia mengaku ke saya bahwa dia selalu berhasil menolak dosen itu. Dia mengajukan pertanyaan ke saya saat menceritakan gelagat dosennya: “Apa yang sebenarnya dosenku inginkan dari saya, Pian?” Dari detail ceritanya, saya bisa mencium niatan buruk.

Dari dua pengalaman teman dekat saya, saya turut memahami, betapa jahatnya predator-predator itu, dan tentu saja, saya tidak ingin hal semacam itu dialami oleh adik-adik perempuan saya, saya tidak ingin itu dialami oleh orang terdekat saya. Saya tidak ingin itu dialami oleh siapapun! Dan untuk sementara, satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah melindungi mereka dengan cara yang bisa saya lakukan, salah satunya: mengingatkan mereka bahwa di sekeliling kita ada banyak predator yang sedang cari mangsa.

Terakhir, siapapun yang ada di sekitar kita sekarang, di sini, saat ini, adalah yang terbaik, perlakukan mereka dengan cara terbaik.
Kisah dan Cara Saya Beragama

Kisah dan Cara Saya Beragama

Kisah dan Cara Saya Beragama

Andi Alfian
Photo by chris liu on Unsplash

Satu dari banyak hal yang membuat saya senang ketika Ramadan tiba, adalah, Ramadan dengan program ceramah yang berlimpah membuat saya bisa menyimak kembali banyak ragam kisah yang saya nikmati sewaktu kanak-kanak dulu, seperti, kisah tentang surga-neraka; kisah ajaib para nabi dan malaikat; kisah pemilik sepotong roti yang menyesal karena tidak menyerahkan semuanya; kisah api sebesar kurma yang mampu membakar semua benda di tujuh lapis langit dan bumi; dan kisah lainnya.
Apa Itu Filsafat

Apa Itu Filsafat

Apa Itu Filsafat

Andi Alfian
Photo by NeONBRAND on Unsplash



Video: Apa Itu Filsafat?

Ok, jumpa kembali di kanal youtube ini, teman-teman. Di video kali ini, saya akan membahas soal: apa itu filsafat, tapi sebelumnya, bagi teman-teman yang baru pertama kalinya berkunjung ke kanal youtube ini, perkenalkan nama saya Andi Alfian, mahasiswa akhir di jurusan filsafat. Di kanal youtube ini, saya membahas beberapa topik pembahasan, silakan cek lebih lanjut di playlist atau di tab video, jika teman-teman merasa video-video di kanal youtube ini relevan dan bermanfaat bagi teman-teman silakan subscribe.
Ada Apa dengan Mancung?

Ada Apa dengan Mancung?

Ada Apa dengan Mancung?

Andi Alfian
Photo by Marina Vitale on Unsplash

Setiap budaya di suatu tempat, punya nilai dasar masing-masing dalam menentukan aspek kehidupan sosialnya termasuk aspek cantik-gagahnya seseorang. Nilai dasar inilah yang menjadi patokan dalam menentukan segala lini kebudayaan.
Aku Menentukan Warnaku Sendiri

Aku Menentukan Warnaku Sendiri

Aku Menentukan Warnaku Sendiri

Andi Alfian
Photo by Rodion Kutsaev on Unsplash

Aku menentukan warnaku sendiri. Ini ibarat aku datang ke planet ini dengan sekotak krayon. Aku mungkin mendapatkan krayon yang 8-pack atau yang 16-pack, aku tidak peduli. Sebab hanya satu yang aku butuhkan dari krayon itu, aku butuh memberi warna. Tak peduli apakah hanya satu warna yang akan aku gunakan, tak peduli pada gambar apa warna itu akan aku letakkan. Apakah di dalam atau di luar gambar, aku sama sekali tidak peduli. Karena aku memilih mimpiku sendiri sebagai takdir!