Selamat Natal, Teman
blog essaysSelamat Natal, Teman
Photo by Angelina Jollivet on Unsplash |
Ingatan saya masih kuat, dan saya bisa memastikan kalau saya masih ingat. Pertama kali saya mengucapkan "selamat natal" kepada orang non-Muslim adalah ketika saya masih belajar di bangku sekolah. Saya punya guru di sekolah non-Muslim, tepatnya Kristen, tapi saya tidak sempat mengetahui lebih lanjut apakah guru saya itu Katolik atau Protestan. Yang saya ingat, dia Kristen. Dia pernah ditugaskan sebagai wali kelas kami, saya dan teman-teman saya, di kelas XI. Sekarang, guru saya itu telah pindah sekolah, tapi saya masih menyimpan kontak dan, tentu saja, masih sering mengabarinya jika ada sesuatu yang penting dan/atau tiba hari natal baru. Saya ucapkan lagi, "selamat natal" ke dia.
Nama guru saya itu, Rini Tangke Datu. Jika saya tidak saya mengingat ceritanya, dia pernah menceritakan tentang orang tuanya ke kami, bahwa orang tua dia berasal dari Toraja, Sulawesi Selatan, tempat yang penduduknya mayoritas beragama Kristen, tapi sekarang dia dan keluarganya menetap di Kolaka, Sulawesi Tenggara, tempat yang penduduknya mayoritas Muslim.
Mengapa saya mengungkit guru saya ini, karena dia adalah orang pertama yang membuat saya mengucapkan "selamat natal", dan tentu saja, saya senang. Orang pertama non-Muslim yang menjadi teman, keluarga, atau orang dekat dengan saya.
Ada satu kejadian yang unik yang selalu saya datang di kepala saya saat mengingat nama guru saya ini. Yaitu, pernah suatu hari, kami, saya dan teman-temanku ikutan kegiatan perkemahan yang diadakan oleh salah satu organisasi di sekolah kami. Kebetulan, guru saya ini yang menjadi pendamping/pembina kami waktu itu. Dalam sepekan, selama perkemahan itu, guru saya ini selalu membangunkan saya salat subuh, seperti layaknya ibu saya ketika saya sedang di rumah, saya dibangunkan salah subuh.
Karena kebaikan dan keramahan guru saya ini, saya jadi sadar, betapa perbedaan keimanan bukan persoalan yang benar-benar besar. Kita bisa melampauinya ketika kita telah selesai dengan diri kita masing-masing. Kita tidak lagi insecure sehingga bisa menerima diri sendiri dan orang lain tanpa memandang keimanan mereka sebagai sesuatu yang mengancam kita. Sejak saat itu, saya punya kesan baik terhadap orang-orang non-Muslim sebaik kesan saya terhadap guru saya, hingga hari ini.
Sekarang, di Program Pascasarjana UGM, saya sekelas dengan empat orang non-Muslim, keempatnya Protestan. Masing-masing nama mereka adalah, Selvone Christin Pattiserlihun, Karen Erina Puimera, Elly Diah Praptanti, dan Vikry Reinaldo Paais. Mereka adalah kawan ngobrol yang menyenangkan. Mereka ramah dan hangat. Saya senang bisa bertemu, berkenalan, dan sekelas dengan mereka. Di tempat yang sama, kami, saya dan teman-teman saya juga diajar oleh beberapa dosen luar negeri yang beragama non-Muslim, seperti Konghucu, Protestan, dan Buddha.
Singkatnya, saya hanya ingin mengatakan, sekali lagi, "selamat merayakan natal" kepada teman-teman saya, guru-guru saya, dan kepada semua orang-orang di sekitar saya yang merayakannya. Selamat natal, semoga kita semua selalu berada dalam kedamaian dan kebahagiaan. Terima kasih kepada teman-teman Muslim saya yang membaca tulisan ini dan mengerti bahwa mengucapkan selamat natal bukanlah persoalan yang menggugurkan keimanan.