Bunga Tidurku Mengenangmu
blog storiesBunga Tidurku Mengenangmu
Photo by Kate Stone Matheson on Unsplash |
Masih segar dalam ingatanku, setahun yang lalu. Di atas ranjang, tengah malam yang gelap, aku memikirkan jalan hidup bersamamu yang kian entah ke mana. Seakan untuk hidup bersamamu terlalu abstrak untuk dipikirkan.
Hanya kerinduan dan harapan yang tak kunjung menjadi kenyataan. Harapan ini menjadi derita bagiku. Derita bagaikan bunga di hari-hariku. Bunga yang selalu mekar seakan tak pernah layu dalam menemani penjalanan usiaku.
“Aku bosan hidup,” kataku sambil membalikkan badanku. Mataku tidak tertarik untuk terpejam, ia merasakan rintihan dan keresahan yang ada di hatiku.
Seketika itu, terasa getar notifikasi dari ponsel cerdas yang ada di sampingku. Lalu Aku meraih ponsel itu dan memeriksanya. Ternyata itu pesanmu.
Pesan yang membuat aku rela menantimu sampai akhir usiaku.
“Izinkan aku mencintaimu seumur hidupku”. Itulah isi pesan yang engkau kirim padaku.
Malam ini, aku merindukan malam itu. Aku pun kembali menunggu pesan itu darimu. Meskipun aku tahu, tidak akan ada lagi mendapatkan pesan darimu, semenjak kepergianmu sebulan yang lalu.
Pergi bersama wanita yang lebih cantik adalah pilihanmu. Wanita yang berambut panjang, berkulit putih, tingginya kurang 15 cm dari tinggi badanmu, dan lesung pipinya yang memikatmu. Aku tahu, aku sangat beda dengannya.
Untuk mengenangmu, aku menuliskan beberapa kata tentangmu di note yang ada di ponselku seperti ini:
Masihkah engkau mengingat kisah kita? Aku sangat merindukan harapan yang telah engkau ungkap kala kita makan malam di Cafee Arafaa. Nampaknya aku masih mengingat nama kafe itu. Lagian, bagaimana mungkin aku melupakan kafe seribu cerita itu.
Aku masih ingat. Kerlap-kerlip lampu dan alunan musik koplo menjadi pemikat di kafe itu. Kau sangat suka menghabiskan malammu di sana. Itulah yang kau katakan padaku, di saat kau mengajakku ke sana.
Aku masih ingat. Malam itu, kau memegang tanganku. Seraya tersenyum padaku kau seruput kopi pahit kesukaanmu. Keningmu naik, seakan pahit kopi itu menelan manisnya senyummu.
Aku masih ingat. Kau menarik dan menghembuskan napas panjang dan memandangku dengan mata indahmu. Lalu kau bersabda padaku memintaku menatap matamu. “Izinkan aku mencintaimu selamanya,” katamu padaku.
Hanya itu yang aku tuliskan di note ponselku. Aku lelah mengingat semua itu dan memutuskan untuk tidur dan melupakanmu.
Pagi hari, kau datang melamarku. Ternyata dirimu kembali dari rantauan dan membawa bunga cintamu yang dulu. Bunga yang selalu memberikanku harapan dan kekuataan hidup di tengah derita yang kian tak berujung.
Pagi itu pula, aku ingin menikah denganmu. “Aku ingin menikah denganmu asalkan kau mau berjanji tidak meninggalkanku lagi,” kataku padamu. Kau menganggukkan kepalamu dan memelukku dengan erat.
Kita pun menikah.
Kau tak pernah mengira kita akan tidur dalam satu kamar, itulah yang kupahami dari ucapanmu malam pertama kita. Padahal semua itu adalah impianku.
Akhirnya, aku kembali menikmati sentuhan lembut dari kulitmu, bercinta denganmu hingga seluruh kekuatanku tak tersisa. Di tengah asyiknya percintaan kita, kau mengambil pakaianmu.
“Kau ingin ke mana?” Tanyaku.
“Aku ingin pergi, aku bosan bercinta denganmu,” katamu padaku dan beranjak pergi .
Di tengah tangisan yang tanpa henti aku tertidur. Hanya satu harapanku malam itu yakni berharap engkau kembali.
Alarm pun bernyanyi dengan alunan dering yang membangunkanku. Aku berbalik ke samping kanan, lalu ke kiri, kau tak ada di sana. Kau kembali meninggalkanku.
Ketika kubangunkan badanku, aku pun tersadar, ternyata semua itu hanyalah bunga tidurku.
Cerita ini pernah dipublikasikan ulang oleh Komunitas ReadPublik di readpublik.com, 7 April 2017.