Aku Menentukan Warnaku Sendiri
blog essaysAku Menentukan Warnaku Sendiri
Photo by Rodion Kutsaev on Unsplash |
Aku menentukan warnaku sendiri. Ini ibarat aku datang ke planet ini dengan sekotak krayon. Aku mungkin mendapatkan krayon yang 8-pack atau yang 16-pack, aku tidak peduli. Sebab hanya satu yang aku butuhkan dari krayon itu, aku butuh memberi warna. Tak peduli apakah hanya satu warna yang akan aku gunakan, tak peduli pada gambar apa warna itu akan aku letakkan. Apakah di dalam atau di luar gambar, aku sama sekali tidak peduli. Karena aku memilih mimpiku sendiri sebagai takdir!
Itulah mengapa aku mengarungi lautan. Karena daratan tidak cukup mampu menampung warna-warnaku. Aku berusaha keluar dari kurungan daratan untuk berbagai warna baru. Aku tidak peduli warna apa itu. Meskipun pada akhirnya lautan yang aku arungi akan mengering. Tubuhku serupa spons yang mengisap seluruh air di lautan. Aku sadar, sebetulnya aku adalah warna yang tidak bisa aku lihat dengan mata sendiri.
Ke mana lagi tujuanku? Warnaku memilih ke mana saja, di mana saja! Aku siap mengatakan ya pada geraman hidup. Aku siap! Jika pun suatu saat aku butuh alamat sebagai tujuan, aku akan berjalan ke depan, belok ke kiri, lalu ke kiri lagi, dan di depan akan belok ke kanan, di sana ada seorang perempuan yang pernah mencintai lelaki dengan setengah mati. Aku menuju dia, jatuh cinta dan mencintainya, tapi dia tetap mencintai orang lain di masa lalunya dengan lebih setengah mati pula. Atau jika aku salah, dia mencintai lelaki lain selain aku, entah dari masa lalu atau masa depan.
Jika seseorang bertanya, mengapa warna yang aku pilih begitu kelabu? Aku akan mengatakan, aku tidak hanya punya warna itu, aku punya banyak warna lain yang lebih kelam. Meski begitu, aku berharap perempuan itu memberiku alamat lain: maju ke depan dan belok kiri. Aku akan semakin tekun mencampur warna, menciptakan mimpi, selepas perempuan itu meninggalkanku. Aku menerima mimpiku sebagai takdir. Jika di depan ada pertigaan, aku akan duduk sejenak, mengasihani diriku sendiri.
Aku akan berdoa, meskipun aku tidak percaya pada tuhan, aku akan berdoa kepada ibuku, satu-satunya perempuan yang aku percaya, “semoga perempuan yang meninggalkanku menemukan orang lain yang lebih baik atau lebih buruk dariku.” Setelah itu aku akan bangkit, menatap ke depan, seperti sedang menemukan warna baru yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Aku terus berjalan mengikuti warna itu. Aku berharap di ujung jalan akan bertemu kembali dengan diriku sendiri. Diriku yang hilang semenjak mencintai perempuan yang meninggalkanku itu. Hingga akhirnya aku tiba di sana, di belakang orang-orang di depanku, di depan orang-orang di belakangku. Aku berhenti, di tempat asing ini, bukan pada diriku sendiri. Tapi aku percaya, semua yang di darat akan menuju darat, semua yang di laut akan menuju laut. Aku akan menemukan warnaku!
Di sini, pada diriku sendiri, aku berhenti, aku mengucapkan selamat tinggal kepada semua orang yang pernah ada dan yang akan datang, aku berusaha melupakan warnaku yang telah dan yang akan. Aku, di sini dan sekarang, adalah warnaku. Aku memilih mimpiku sendiri sebagai takdirku. Karena hanya itu yang aku punya, satu-satunya!