Jadilah Profesor Penumpuk Tugas
blog essaysJadilah Profesor Penumpuk Tugas
Photo by Robert Anasch on Unsplash |
“Akhir semester yang menyenangkan. Tugas-tugas mengantri, berlalu-lalang di benak saya, kemudian berunjuk rasa. Tingkahnya memaksa saya menumpuknya agar mereka bisa segera berdiam sejenak.”
Jika tugas sangat banyak dan menumpuk, maka disiplin tidak boleh lagi dilihat dari sisi seseorang mengerjakan tugas setelah hari ini diberikan tugas tersebut, dan malamnya dikerjakan. Sebab bukankah setiap kegiatan ada waktunya masing-masing? Termasuk waktu ngerumpi bersama buku-buku sastra kita, bukan?
Namun bagi saya, ketika tugas banyak dan kadang juga menumpuk, maka mahasiswa yang disiplin itu adalah mahasiswa yang mampu mengerjakan tugas tepat pada waktu akan dikumpulnya tugas tersebut. Misalnya 10 menit sebelum dikumpul tugas tersebut dan telah selesai pulalah tugas tersebut dikerjakan.
Namun jika sehari sebelum tugas dikumpul sudah selesai juga lebih baik. Namun saja, rasa kepepetnya kurang dirasakan secara mendalam. Tentu akan sangat berbeda rasanya ketika 1 menit sebelum tiba waktu pengumpulan, tugas telah selesai dikerjakan. Itu hanya perumpamaan, namun jika itu telah diaplikasikan dalam kehidupan mahasiswa itu luarbiasa!
Mengapa saya beropini demikian, sebab bukankah di setiap waktu ada pengumpulan tugas?—siapa suruh tugas numpuk. Tapi jangan bersedih hati sebab menumpuk memang tidak selalunya karena mengulur-ulurkan waktu. Namun terkadang juga karena semua dosen mata kuliah memberikan tugas secara bersamaan. Makanya, numpuk deh. Tapi jangan lupa meskipun demikian kalian masih bisa ngerumpi dengan buku-buku sastra kalian.
“Tapi, kata salah satu profesor, itulah sebabnya tugas menumpuk!” Apakah benar?
Saya beropini bahwa pernyataan di atas tidak selamanya tepat. Terserah teman-teman mau sepakat sama profesor atau tidak yang jelas bagi saya, bukan persoalan menumpuk atau tidaknya. Tapi persoalan kerja atau tidaknya. Karena di antara banyak mahasiswa penumpuk tugas tidak banyak yang mampu mengerjakannya sampai tuntas. Maka dari itu kita harus masuk kategori “tidak banyak” itu agar menjadi kategori “banyak”.
Maka dari itu tetap lakukan yang menurut kita terbaik karena profesor bisa menjadi profesor bukan karena intimidasi atau semacam pemaksaan untuk melakukan yang terbaik dari profesornya dulu. Tetapi ia bisa jadi profesor sebab ia bisa membebaskan diri, artinya ia mampu mengatasi segala tantangan yang bersifat mengekang dan membatasinya. Ia juga bisa menjadi profesor karena usahanya sendiri.
Namun perlu diingat bahwa terkadang juga professor—mungkin juga dosen—kurang peka terhadap mahasiswanya. Sehingga diberilah tugas yang banyak tanpa penekanan pada pemahaman akan topik pengetahuan pada tugas tersebut. Sehingga lahirlah tugas copy-paste, asal jadi, asal kumpul, dan tentunya nilai ontologis dari tugas tersebut perlu dipertanyakan.
Mahasiswa kadang menganggap perihal di atas sangat aneh, tapi terkadang pula hal itu dianggap sangat lazim di kampus. Entahlah. Namun bagi saya jika pemberi tugas demikian, maka to be you. Jika menurut kamu lebih baik jika mengerjakan tugas setelah tugas itu menumpuk, maka tumpuklah! Karena siapa tahu kamu bisa jadi profesor penumpuk tugas.
Selanjutnya coba tilik sisi lain dari penumpuk tugas. Menumpuk tugas bukan berarti tidak disiplin, karena bukankah ketika menumpuk tugas dengan sendirinya melatih kita untuk semakin mampu mengefisienkan waktu? Dengan terbiasa menumpuk tugas maka kita akan terbiasa pula menyelesaikannya. Sebuah prestasi jika kita sudah sangat biasa melakukan dan menyelesaikan dengan mudah tugas yang banyak dengan waktu semalam.
Dan itulah hukum The Power Of Kepepet yang dimiliki oleh manusia pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya. Hukum inilah yang mampu menjadikanmu profesor kelak. Maka jadilah dikau kelak sebagai profesor penumpuk tugas.😂