Setetes Ingatan dan Sebuah Gagasan

Setetes Ingatan dan Sebuah Gagasan


Di siang hari yang terjal, terik matahari riang menukik semesta. Saya kembali menyusuri tengah kota yang tak pernah sepi meskipun hari libur. Hari ini, saya awalnya merasa bersedih, namun kemudian kesedihan itu lumpuh. Mengapa? Silakan baca sampai selesai. Sedih karena harus mengawali hari dengan perpisahan seorang teman saya di kampus yang bernama Suci Amelia. Kami merayakan kesedihan dan perpisahan di Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin untuk terakhir kalinya. (Cerita tentang perpisahan saya dengan Suci Amelia juga saya tulis di blog ini.)

Tepat jam 13:20, saya teringat pemberitahuan istimewa dari gurunda Sulhan Yusuf melalui Facebook untuk menghadiri Kelas Literasi Paradigma Institute (KLPI) yang dirangkaikan dengan Halal Bihalal. Pertemuan ini merupakan pertemuan perdana setelah liburan panjang. Mengingat pemberitahuan literasi sekaligus undangan halal bihalal itu, saya kemudian meninggalkan Bandara Sultan Hasanuddin dengan penuh gairah, gairah untuk terlepas dari kesedihan perpisahan menuju semangat literasi. Ya, literasi bagi saya selalu saja menjadi obat bagi derita dan galaunya kehidupan. Meskipun belum cukup setahun saya nimbrung dalam dunia literasi.

Semangat ini memaksa jari-jemari saya untuk mengemudi lebih cepat. Pikiran saya hanya terpusat pada “apakah saya bisa tiba tepat waktu di markas Paradigma Institute sebagaimana pukul 14:00 sebagai ketetapan?” Di perjalanan, semakin lambat kendaraan melaju semakin membuat saya menyadari bahwa kota Makassar yang katanya kota dunia ternyata hanyalah kota yang amat muram. Kemuraman itu tampak di antara motor-motor kusam dan mobil-mobil buram dengan dedebuan. Kemacetan selalu saja menjadi hal yang menyebalkan.

Tetapi di balik semua suasana menyebalkan yang saya temui di Kota Daeng ini—termasuk kemacetan, saya menemukan suasana taman surga yang mampu menghapus stigma kota menyebalkan tadi. Taman surga itulah yang serasa membuat saya betah di Kota Makassar ini. Janganlah memaknai taman surga sebagai tempat, objek, atau hal-hal yang berbau material. Sebab, taman surga yang saya kemukakan di sini bersifat immaterial yang tak lain adalah suasana riuh dan gemuruh oleh semangat literasi, itulah taman surga yang saya dapatkan di kota ini.

Meskipun sedikit terlambat, akhirnya saya bersyukur bisa tiba dengan selamat dan tentunya ikut nimbrung dalam pertemuan kelas literasi Paradigma Institute. Ada beberapa ingatan yang muncul dari pertemuan itu dan akhirnya menetes ke tulisan ini, di antaranya persoalan dunia literasi. Perjumpaan yang kembali kami gelar mengingatkan saya pada kelahiran di dunia literasi. Saya masih mengingat dan akan selalu teringat, hari itu adalah hari Minggu, 19 Februari 2017. Hari itu, pertama kali saya menginjakkan kaki di serambi surga ini, Toko Buku Paradigma Ilmu. Entah bagaimana bisa, karena bahkan, saya pun sebelumnya tidak pernah berpikir akan mengenal yang namanya dunia literasi. Saya hanya bermodalkan rasa ingin tahu sehingga bisa berjumpa dengan tempat yang mencerahkan ini.


“Orang yang hidup melata di muka bumi ini tanpa mengenal dunia literasi adalah wujud lain dari kematian”. Itulah sabda gurunda Sulhan Yusuf yang merasuki jiwa ini ketika pertama kali saya bertandang ke kelas literasi Paradigma Institute. Dan hari ini, di pertemuan itu, semua yang menjadi langkah awal dalam dunia literasi kembali teringat, dan ingatan itu seolah-olah kemarin sore. Tapi tidak salah, saya memang anak kemarin sore di dunia literasi. Dunia berhias pesona, dunia tanpa batas cakrawala, dunia beragam paradigma, dunia tanpa dosa-dosa dan kebencian, itulah dunia literasi.

Pertemuan kelas literasi perdana setelah berlibur panjang mengingatkan saya kembali pada sejarah itu. Rak buku yang menampung ribuan buku selalu saja menjadi cermin ketika saya tatap. Ia selalu saja menampakkan wajah saya ketika pertama kali berjumpa, dan ketika itu pula semuanya teringat. Dan yang paling penting, ingatan itu acap kali menampar saya dan berkata “Kamu anak kemarin di sini, kamu tak malu dengan dirimu sendiri?” Saya ingin sekali berdiri dengan lancang, memberontak, dan sesekali menyela pandangan sinis buku-buku di rak itu, menunjuknya dengan telunjuk lalu berkata “Kamu berbicara tentang ‘saya’, padahal, saya yang sekarang bukan lagi saya yang dulu, tapi saya yang sekarang. Apa salahnya jika saya baru berumur kemarin?” 

Selain persoalan kelahiran di dunia literasi, saya juga mendapatkan sebuah gagasan. Gagasan ini berupa tips yang ampuh bagi saya sebagai anak kemarin dan pecinta buku. Ini persoalan mencintai buku-buku. Cinta memang selalu ada di mana saja, bersemayam di singasana sang pecinta, bersembunyi di balik laci sang koruptor, menempel di serpihan sandal tukang parkir dan bahkan terselip dalam rak-rak buku kumuh di sebuah rumah. Dan perjumpaan saya dengan gurunda Sulhan Yusuf memberikan saya pelajaran tentang cinta pada buku. Salah satu bentuk kecintaan kita pada buku adalah membaca dan mengoleksinya.

Awalnya, gurunda mengungkap dengan tuturnya, cara yang ia lakukan sehingga bisa memiliki ribuan buku di markasnya. Ia mengakui melihat postingan foto koleksi buku saya di Facebook, dan mungkin karena itu, ia pun mencibir tentang postingan itu, dan tibalah saya pada pertanyaan mengapa gurunda bisa memiliki buku sebanyak ini? Saya merasa terkesan dengan tips dan cara seorang mahasiswa mengoleksi buku yang diutarakan oleh gurunda. Inilah yang unik. Nah, untuk mengetahui tipsnya maka silakan berkunjung ke Toko Buku Paradigma Ilmu. Jangan lupa beli buku!
Load comments