Maukah Kau Menjawab Pertanyaan Konyol Dari Saya?

Maukah Kau Menjawab Pertanyaan Konyol Dari Saya?

Maukah Kau Menjawab Pertanyaan Konyol Dari Saya?

Andi Alfian
Photo by Evan Dennis on Unsplash

Pernahkah kita bertanya, apakah pengetahuan kita bertambah setelah kita belajar pada ideologi tertentu? Apakah pengetahuan kita bertambah setelah mempelajari nilai-nilai, ajaran, kebiasaan-kebiasaan yang agama kita tuntun? Apakah dengan mempelajari ilmu agama membuat kita semakin menyayangi manusia, hewan, dan makhluk lainnya?

Meskipun banyak di antara kita malah lebur dalam dogmatis yang memberikan rasa kebencian dan meremehkan mereka yang tidak seideologi dengan kita. Ataukah bahkan kita membenci dan meremehkan mereka hanya karena tidak satu tempat kajian dengan kita?

Lebih tepatnya apakah kita pernah mempertanyakan nilai-nilai, ajaran, dan kebiasan-kebiasaan yang tanamkan oleh agama dalam kehidupan kita? Apakah nilai-nilai, ajaran, kebiasaan-kebiasaan itu memberikan dampak positif atau negatif jika diyakini dan dilestarikan.

Sadarkah kita, bahwa tidak sedikit di luar sana mengatasnamakan ajaran agama untuk membunuh, menistakan, mencaci, dan segala bentuk penindasan lainnya hanya karena persoalan tidak seideologi dengannya.

Maukah kau menjawab pertanyaan konyol dari saya?


Apakah menghargai dan memberi kebaikan hanya terbatas pada lingkup ideologi yang sama? Apakah ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya yang kita pelajari selama ini menuntun kita menjalani kehidupan yang harmonis dengan sesama manusia?

“Agama mengajari kita nilai-nilai pluralitas meskipun tidak mengakui pluralisme,” itulah kata mereka. Entah, menurutmu sepakat atau tidak. Setidaknya aku manyampaikan satu hal untuk kita renungkan.

Para agamawan mengatakan, “Ilmu agama merupakan ilmu yang universal dan meluas”. Jika demikian mengapa banyak di antara kita, yang juga merupakan pecandu agama yang malah menganggap agama dapat dimengerti olehnya saja. Seolah-olah agama itu hanya bisa ditafsirkan selebar daun kelor. Mengapa kita mesti menyempitkannya dengan berbagai dalil-dalil intoleransi?

Menyempitkan makna agama hanya sebatas kalkulasi pahala dan dosa, takut-menakuti dengan neraka, mengiming-imingkan dengan surga. Bukankah agama hadir sebagai wujud transformasi dari zaman penindasan dan kebodohan menuju zaman pembebasan dan peradaban?

Saya adalah manusia tak berilmu, tapi ada satu hal yang saya yakini bahwa Tuhan menciptakan manusia yang berbeda dengan saya, tak seakidah dengan saya, tak seideologi dengan saya, semua itu bukanlah kesia-siaan. Mampukah saya menjustifikasi mereka yang berbeda dengan saya dengan dalil-dalil kitab suci yang sepertinya sengaja digelintirkan sehingga bermakna intoleransi. Mampukah kita membenci dan meremehkan mereka sedangkan agama dan ideologi kita tak mengajarkan demikian?

Menurut saya tidak baik suatu ideologi jika tidak dapat memberikan nilai harmonisasi dalam kehidupan kita. Menurut saya, tidak baik suatu ideologi yang hanya memberikan fanatisme dan menghilangkan toleransi untuk ideologi yang lain. Itu menurut saya, namun tak menghalangi engkau mengatakan hal yang berbeda atas dasar menurutmu. Saudara, bagaimanakah menurutmu ideologi atau agama yang baik itu?

Maukah kau menjawab pertanyaan konyol dari saya?


Pernahkah kita bertanya tentang pentingnya agama dalam kehidupan? Bukankah banyak problematika besar-besaran saat ini diakibatkan oleh persoalan agama. Penduduk Indonesia saling demo-mendemo, caci-mencaci, fitnah-memfitnah, semua itu karena alasan kriminalisasi, penistaan, dan semua itu karena agama. Kenyataan ini tidak lagi mencerminkan kesucian, kedamaian, dan urgensi ajaran agama sebagai rahmat untuk alam dan manusia.

Karena agama, tercipta peradaban yang besar dan kehidupan masyarakat damai. Namun di lain sisi karena agama pula, akan tercipta peperangan dan pertikaian di antara kita. Jika kita dihadapkan pada realitas-realitas ini di manakah letak kesalahan kita dalam memaknai agama dalam kehidupan ini? Mampukah setiap orang memaknai agama itu secara filosofis sebagaimana hakikat yang paling esensial dalam suatu agama?

Ataukah agama yang kita anut adalah agama yang salah sehingga menimbulkan permasalahan? Lantas jika agama kita salah maka agama apakah yang benar yang harus kita anut? Bukankah semua agama mendefenisikan diri sebagai agama yang benar. Tapi mengapa penganutnya mendustakan kebenaran ajaran agama mereka?

Ataukah, malah kita yang salah dalam memahami agama itu? Kesalahan pemaknaan kita akan agama membuat kita banyak melakukan penindasan, penistaan, mencela agama lain dan perbuatan lain yang kontradiksi terhadap ajaran agama. Padahal agama menjanjikan kehidupan yang sejahtera, rukun, dan damai. Namun kesalahan pemaknaan akan ajaran agama membuat kita semakin jauh akan kesejahteraan dan kerukunan itu. Apakah problematika hari ini muncul karena kesalahan pemaknaan kita terhadapa agama? Ataukah ini hanyalah masalah biasa yang dibungkus dengan nama agama?

Namun ada hal yang unik. Ada orang-orang tertentu yang memiliki pemahaman mendalam tentang agama namun juga banyak melakukan penyimpangan dan perbuatan yang tidak sesuai ajaran agama dan bahkan lebih parah dibandingkan orang yang tidak mengenal agama. Bukan hanya ia mengkafirkan, mencaci-maki, meremehkan bahkan juga mengabaikan penderitaan saudara seagamannya. Karena terlena akan kenikmatan ritual semata. Apakah agama hanya mengajarkan ibadah dan ritual saja?

Maukah kau menjawab pertanyaan konyol dari saya?


Sangat sedikit seorang agamawan yang tidak memiliki rasa toleran. Apakah ini dikarenakan agama memang tak memiliki nilai toleran? Ataukah toleransi agama ini dimangsa oleh mereka para agamawan yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan pribadi?

Saya adalah manusia tidak berilmu, namun ada hal yang saya pahami dari ketidaktahuan saya bahwa agama bukanlah persoalan hubungan seseorang dengan Tuhannya semata. Jika agama hanya persoalan hubungan antara Tuhan dan hambanya, maka pantas agama itu dikatakan candu, yang membuat orang terlena akan kenikmatan ritual semata dan mengabaikan kehidupan sekitarnya. Itulah sekelumit pemaknaan saya atas entitas agama.

Saudara ingat bahwa hubungan vertikal dan horizontal mesti disejalankan. Sebagai proyeksi hubungan terhadap Tuhan maka akan berdampak pada hubungan kita terhadap sesama manusia. Apakah logis jika kita mendustakan kebaikan orang lain sebagai alasan kita tidak satu agama, namun di lain hal kita meyakini bahwa Tuhan kitalah yang memberikan kasih sayang, rezeki, kekuatan kepada seluruh manusia.

Jika segala kebaikan yang orang lain berikan kepada kita hanyalah sebuah kesia-siaan karena alasan akidah yang berbeda dengan kita, bukankah lebih sia-sia lagi Tuhan menciptakan manusia yang demikian sia-sianya?

Maukah kau menjawab pertanyaan konyol dari saya?


Untuk saudara saya, yang seakidah dengan saya, saya memiliki pertanyaan konyol untuk kita semua. Jika mereka berbeda akidah dengan kita, apakah hanya karena perbedaan itu mereka tidak layak mendapatkan perlakuan dengan kasih sayang, tidak layak mendapatkan kepedulian, dan tidak layak mendapatkan penghargaan? Atau lebih tepatnya hanya pantas mendapatkan hardikan, hujatan, lirikan sinis, dan sindiran kasar? Bukankah hujatan, hardikan, sindiran kasar, dan kekerasan bukanlah ajaran dalam ideologi dan akidah kita?

Untuk mereka yang tidak seakidah dengan saya. Wahai saudara saya, jika ideologi dan agamamu memberikan dogma dan perintah demikian halnya di atas. Apakah engkau akan membunuh saya hanya karena kita berbeda ideologi dan agama? Apakah engkau rela memutuskan tali cinta, solidaritas, dan persudaraan kita yang pernah ada hanya karena perbedaan ini? Dogma agamamu yang membenci ideologi saya takkan mampu membuat saya benci kepadamu karena bagi saya apapun agama dan ideologimu, kau adalah saudara saya. Saudara dalam hal makhluk ciptaan Tuhan.

Izinkan saya mencintai dan menghargaimu meskipun kau berbeda dengan saya, karena saya mencintaimu dan menghargaimu tidak lain karena rasa cinta saya kepada Tuhan yang juga menciptakanmu. Tuhan bahkan tak mustahil menciptakan kita sama dalam satu ideologi dan agama. Saya tidak sanggup membencimu karena saya bahkan tidak sanggup membenci Tuhan saya. Maka dari itu marilah hidup berdampingan secara harmonis.

Semoga engkau mampu menghargai pertanyaan-pertanyaan konyol dari saya.

[Tulisan ini ditayangkan kembali oleh Komunitas ReadPublik di readpublik.com dengan judul Sekelumit Tanda Tanya, 12 Maret 2017.]
Load comments