Saya Kehilangan Kartu Anggota Perpustakaan, Menyebalkan!

Saya Kehilangan Kartu Anggota Perpustakaan, Menyebalkan!

Saya Kehilangan Kartu Anggota Perpustakaan, Menyebalkan!

Andi Alfian
Photo by Dollar Gill on Unsplash

“Ada apa dengan dunia kampus yang katanya pusat peradaban?”

Pertanyaan itu menabrak keningku ketika mendengar ucapan lantang dari pertugas perpustakaan “kamu harus menunggu selama kurang lebih 3 bulan sampai kartu tanda anggota perpustakaanmu keluar agar bisa meminjam buku di perpustakaan lagi”. Meskipun saya sedikit merasa kecewa, saya berusaha mencoba menjelaskan dengan sopan dan rasional mengenai masalah kehilangan kartu tanda anggota pustaka saya. Akhirnya dengan muka yang sedikit terharu setelah mendengar penjelasan saya yang sopan nan rasional, petugas itu hanya bisa berkata ”Maaf, saya hanya petugas yang menjalankan tugas dan aturan. Karena itu, inilah tugas saya dan seperti inilah aturannya.”

Beberapa pekan yang lalu, saya kehilangan kartu. Kartu tersebut biasa disebut sebagai Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) yang juga sekaligus berfungsi sebagai kartu ATM dan yang lebih penting lagi kartu tersebut juga digunakan sebagai kartu tanda anggota pustaka di perpustakaan umum kampus UIN Alauddin Makassar. Akhirnya sayapun mengurus segala bentuk berkas yang menjadi persyaratan administrasi yang berupa surat keterangan hilang dari polsek terdekat, surat keterangan aktif kuliah, dan surat pengantar dari fakultas untuk pengambilan kartu baru, serta berbagai persyaratan yang bersifat komersial lainnya. Segala bentuk pengurusan berkas dan biaya administrasi itu harus saya lakukan agar bisa mendapatkan kartu KTM/ATM sekaligus kartu pustaka yang baru.

Dan setelah semua persyaratan terpenuhi, akhirnya kartu KTM/ATM yang sekaligus kartu pustaka tersebut bisa diproses lebih lanjut dan sekarang dalam proses pembuatan yang katanya akan selesai dalam rentang waktu kurang lebih 3 bulan. Persoalannya kemudian adalah ketika hendak meminjam buku di perpustakaan kita harus memiliki kartu pustaka dan bahkan birokrasi dalam hal ini yang mengurus pembuatan ulang kartu tersebut tidak memberikan kartu sementara untuk digunakan.

Meskipun tanpa kartu anggota pustaka secara fisik, saya tetap beranjak untuk meminjam buku dikarenakan secara administratif, identitas kemahasiswaan saya telah tervalidasi sebagai anggota pustaka dan telah berjalan selama setahun. Tapi karena siapapun tidak bisa meminjam buku tanpa kartu pustaka secara fisik—meskipun telah tervalidasi, akhirnya saya tidak diperbolehkan meminjam buku dan bukannya diberikan solusi secara ramah sebagaimana layak dan harusnya dilakukan oleh petugas perpustakaan, malah saya diberikan pertanyaan dan penyataaan-penyataan yang terdengar lugas dan bernada omelan. Maklum petugasnya, sangat taat akan aturan dan itu terlihat cara dia melayani kami—para pengunjung perpustakaan—dengan wajar sinis dan menakutkan. Bahkan penjual tomat di pasar jauh lebih ramah dari mereka!

Setelah diberi wejangan dari petugas perpustakaan, saya hanya bisa menjawab dengan suara lirih “Sungguh aneh kampusku, untuk menjadi mahasiswa pembaca buku kita harus membawa kartu setipis kurang dari 1 centimeter, jika kehilangan tersebut maka harus menunggu selama 3 bulan lebih, karena kartu yang berbentuk persegi panjang tersebut jauh lebih berharga daripada mahasiswa pembaca buku. Mahasiswa yang bahkan secara administrasi, identitasnya telah divalidasi di portal perpustakaan. Sungguh mengerikan perpustakaanku, lekas sembuh kampusku!”

Setelah bergumam demikian, saya pun beranjak pergi meninggalkan perpustakaan. Perpustakaan yang bagi saya, tidak lagi menjadi tempat menyegarkan akal pikiran dan menyejukkan hati, tidak lagi menjadi tempat menumbuhkan pikiran-pikiran positif untuk para generasi, tapi setelah kejadian itu, serasa perpustakaan  telah menjadi tempat para cukong-cukong yang sungguh menyeramkan!

Itu hanya satu kejadian dari beberapa kejadian aneh yang pernah saya alami di kampus khususnya di UIN Alauddin Makassar. Hal yang ingin saya utarakan dari kisah nyata tersebut adalah jika kita mengamati kampus dengan bijak, khususnya kampus UIN Alauddin, maka kita akan tiba pada satu fakta bahwa kehidupan kampus kini semakin mengalami dehumanisasi dan sekulerisasi. Ya, sekulerisasi pendidikan. Setidaknya kisah nyata di atas menjadi argumen dasar dan mewakili dari sekian banyak praktik dehumanisasi dan sekulerisasi yang ada. Sehingga, kita selaku mahasiswa haruslah bangkit dan bersatu untuk meruntuhkan tembok-tembok pemisah yang lahir dari sekulerisasi ini, sebelum tembok-tembok ini membunuh pikiran kritis dan daya kreatif para manusia-manusia ideal yang bernama mahasiswa.

Tapi pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana menyatakan sikap dan bangkit meruntuhkan tembok-tembok tersebut? Terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh bagi kita—mahasiswa—untuk memulai bergerak meruntuhkan tembok-tembok pemisah itu. Jika mengambil pendapat dari Eko Prasetyo, jalan yang seharusnya ditempuh adalah jalan pembangkangan (lawan). Pembangkangan bagi mas Eko, merupakan jalan keluar menuju ‘inovasi sejati’, jalan keluar menuju ‘kreatifitas tanpa batas’, jalan keluar dari tindakan rasisme sistem pendidikan kita hari ini.

Mungkin ada di antara kita—mahasiswa—yang mengatakan persoalan yang saya ungkapkan di atas hanyalah persoalan kecil dan remeh-temeh di dunia kampus. Ya, hanya persoalan kehilangan kartu perpustakaan. Tapi tahukah kita, bahwa perpustakaan adalah tempat bermula sebuah peradaban ilmu pengetahuan? Lantas jika sistem pendidikan khususnya perpustakaan rasis sedemikian rupa: Apa yang akan terjadi jika seluruh mahasiswa di kampus itu kehilangan kartu perpustakaan? Apa yang akan terjadi jika perpustaan sepi dari pengunjung khususnya kalangan mahasiswa? Entahlah.

Lihatlah! Dengarkanlah! Bacalah! Sekiranya kamu, saya, dia, dan kita semua bisa memahami bahwa sistem pendidikan kampus semakin hari semakin berbahaya. Semakin hari semakin mematok kata “harus”. Dan dikarenakan kata “harus” inilah yang menyebabkan pendidikan menjadi ketinggalan (kurang update) terhadap masalah-masalah kontemporer. Jangankan masalah-masalah kontemporer yang lebih luas, masalah kehilangan kartu perpustakaan saja pendidikan kita gagal atau bahkan tidak bisa memberikan solusi alternatif yang bermaslahat bagi kita!

Wajarlah jika para praktisi pendidikan—pengajar dan anak ajar—menjadi kurang ajar karena sistem tersebut. Para praktisi pendidikan telah mengalami kesenjangan antara pilihan mengedepankan rasionalitas atau mengukuhkan tindak rasis yang bahkan menyalahi rasionalitas pendidikan. Dan ironisnya mereka memilih mengukuhkan tindak rasisme pendidikan yang pastinya menyalahi rasionalitas. Kemana akal sehat mahasiswa? Kemanakah akal sehat mereka yang mantan mahasiswa—pengajar?

Terakhir. Apakah saya harus menunggu selama kurang lebih tiga bulan untuk mengunjungi dan bersua di lubukmu wahai perpustakaan? Biarlah pertanyaan itu menutup keluh di tulisan ini. Setidaknya dengan tulisan ini, saya sudah meluapkan satu hal yang menjadi keresahan saya minggu ini!
Load comments