Hari ini, masih hari libur. Aku duduk di atas kursi sebagaimana hari-hari libur sebelumnya. Layar selebar 14 inch kembali menatap wajahku. Kemarin aku ikut kelas literasi di Paradigma Institute. Mungkin hal itu yang membuatku bersemangat untuk menulis.
Aku ingin memulai menulis, aku ingin memperkenalkan diriku kepada mereka, melalui aksara yang ada pada keyboard komputer kesayanganku. Namun ada hal yang aneh. Kala hendak kuperkenalkan diriku melalui kumpulan tombol aksara itu, aku tertabrak pada kepingan tanda tanya. Tanda tanya itu membuatku tidak tahu apa yang harus kutuliskan sebagai perkenalan untuk mereka.
Tanganku kaku. Seolah aku berada pada panggung yang megah dengan ribuan penonton. Aku merasa dihinggapi oleh pandangan ribuan mata yang memaksaku untuk berbicara. Tetesan keringat mulai bercucuran dari kulitku. Tapi anehnya, keringat ini terasa dingin. Meskipun demikian, aku tetap mencoba untuk menulis. “Ahhh, mungkin karena aku langsung menulis di komputer. Setidaknya aku harus memulai menulis di kertas saja dulu”, kataku dalam hati dengan penuh semangat.
Akupun beranjak keluar dari kamarku menuju taman yang ada di belakang rumah. Dengan langkah yang penuh semangat, aku memandangi selembar kertas dan sepotong pena yang ada di tangan kananku. Sesekali berharap, akan ada coretan-coretan yang mengisi kertas tersebut.
Kini aku duduk di bawah pohon, yang daunnya lebat dan berbuah. Setidaknya pohon itu mencegah sentuhan sang mentari di pagi itu. Meskipun sentuhan mentari itu sesekali menyentuhku dengan lembut, seolah mengajakku berdansa. Daun pun berguguran seiring sapaan sejuk oleh si angin dari ufuk timur. Aku pun kembali memandang selembar kertas yang ada di tangan kiriku.
Kala kuletakkan ujung penaku di atas kertas, seketika pula terdengar suara aneh yang sumbernya entah darimana. “Apa yang ingin engkau tulis?” pertanyaan itulah yang kudengar dengan frekuensi sangat kecil. Meskipun aku memiliki jawaban atas pertanyaan itu, aku mengabaikannya sembari menarik napas panjang dan menghembuskannya.
Aku kembali menatap selembar kertas itu. Penaku terasa bisu, tintanya seolah membeku, dan tinggal diam di atas pangkuanku. “Aku tidak tahu apa yang ingin kutulis”, seperti itulah di benakku.
Aku merasa sangat aneh, karena di dalam otakku segudang ide yang mungkin bisa aku tuliskan. Namun apa daya, dialektika nalarku seakan terhenti. Pada keadaan itu, aku teringat pada seorang filsuf Yunani yang bernama Plato. Plato mengatakan bahwa segala bentuk ilmu pengetahuan dan realitas yang ada di dunia materi, akan kekal dan abadi di dunia ide. Mungkin seperti itulah kata Plato yang kupahami. Aku juga tidak banyak tahu tentang filsafat. Namun aku pernah membaca novel Dunia Sophie yang merupakan hadiah ulang tahunku ke-17 dari Ayah.
Karena teringat Plato, akupun teringat satu dasawarsa yang lalu. Saat itu Ayah menceritakan kisah-kisah filosofis. Tidak banyak yang aku ingat tentang kisah-kisah itu. Namun, ada satu kisah yang selalu segar dalam ingatanku. Kisah yang berjudul Mungkinkah Tuhan Hilang? terasa menggelitik jika aku mengingatnya. Cerita tersebut kurang lebih seperti berikut:
“Di suatu desa di Yunani, ada kakak beradik bernama Sulaiman dan Sulhan. Mereka terkenal bodoh dan nakal. Kenakalannya berbeda dengan anak lain. Jika anak-anak lainnya nakalnya identik dengan kriminal seperti mencuri, berkelahi, dan lainnya. Namun, kakak beradik ini beda. Jika ia bertemu dengan siapapun ia akan selalu bertanya dengan pertanyaan konyol. Pertanyaannya meliputi: Siapa aku? Siapa Tuhan? Mengapa Tuhan menciptakan kemiskinan? dan pertanyaan-pertanyaan konyol lainnya. Sehingga orang-orang bahkan tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol ini. Kenakalan dan kebodohan itulah yang diresahkan oleh semua orang di desanya. Ibu mereka menjadi bahan teguran. Namun di lain sisi ibunya sudah kewalahan untuk menasihati mereka.
Akhirnya mereka dibawa oleh ibunya ke salah satu orang bijak di desa itu. Sebut saja pak Ustaz. Tiba di rumah pak Ustaz mereka dipanggil satu persatu untuk menghadap ke pak Ustaz. Pertama dimulai dari Sulaiman, ia dipanggil oleh pak Ustaz.
“Sulaiman, ibu kamu itu sudah tua, kamu tidak kasihan melihat Ibumu?” Kata pak Ustaz mencoba memberi nasihat. Sulaiman diam tak menghiraukan pertanyaan pak Ustaz.
“Kamu mau masuk surga?” kembali pak Ustaz bertanya kepada Sulaiman. Sulaiman pun terdiam, tidak berkata satu kata pun.
Sang Ustaz masih sabar walau mulai kesal, sekali lagi dia bertanya “Sulaiman, kau tahu Tuhan di mana?” Sulaiman mulai bingung. Ia menelan ludahnya dan menatap tajam ke arah pak Ustaz. Karena pertanyaan pak Ustaz tidak dijawab. Pak Ustaz pun mulai emosi, dengan suara keras dan membentak berkata “Tuhan ada di mana Sulaiman?!”
“Mungkinkah Tuhan hilang?” Jawab Sulaiman dengan suara keras sambil berlari keluar ketakutan. Di pintu keluar dia bertemu dengan Sulhan.
“Ada apa denganmu Sulaiman? Apa yang pak Ustaz katakan padamu.?” tanya Sulhan. “Tuhan hilang Sulhan, dan pak Ustaz mengira kita yang mencurinya”, jawab Sulaiman.
Mendengar jawaban adiknya, Sulhan tersenyum sinis. Seolah sikapnya lebih bijak dibandingkan adiknya itu. Akhirnya, tiba giliran Sulhan yang dipanggil pak Ustaz.
“Sulhan, kamu tahu mengapa surga dan neraka itu di ciptakan?” Tanya pak Ustaz.
“Tuhan menciptakan surga, hanya untuk mengetahui mana yang cinta surga dan mana cinta Tuhan. Tuhan menciptakan neraka, hanya untuk mengetahui mana yang takut neraka dan mana yang takut Tuhan. Dan tidak menutup kemungkinan pak Ustaz juga bahkan hanya tertipu pada persoalan kalkulasi dosa dan pahala, persoalan surga dan neraka”, jawab Sulhan dengan bijak.
“Bisakah pak Ustaz menjelaskan mengapa surga dan neraka diciptakan?” lanjut Sulhan.
“Ahhh, ternyata kisah yang menggelitik itu selalu segar diingatanku. Tapi dari manakah Ayah mengetahui kisah-kisah itu?” kataku dalam hati penuh penasaran. Aku terkadang bertanya, mengapa Ayah tidak pernah memberitahuku di mana ia mendapatkan semua kisah-kisah yang pernah ia ceritakan kepadaku. Mengapa Ayah selalu berkisah padaku tentang sesuatu yang bersifat filosofis seperti itu?
Aku teringat kata Socrates bahwa salah satunya yang kita butuhkan untuk menjadi orang bijak adalah rasa ingin tahu yang penuh dengan pertanyaan. Dan dari kisah-kisah yang Ayah ceritakan, membuatku mengalami hal demikian. Entahlah. Setidaknya Ayah telah mengajarkanku cara menjadi orang bijak.
Aku baru tersadar, ternyata aku tenggelam dalam rayuan imajinerku. Kini udara mulai memanas, mentari semakin tinggi mencumbui langit. Aku lagi-lagi kembali menatap kertas putih yang ada di tanganku. Tak ada satupun kata yang tercoret di sana.
“Sekarang aku harus memulai menulis”, kataku sambil memperbaiki posisi dudukku. Aku memulainya dengan menuliskan sebuah judul. Setelah menulis judulnya tiba-tiba Ayah menyapaku dari belakang.
“Apa yang kamu lakukan di situ, Nak?” tanya Ayah.
“Aku sedang menikmati dialektika Tuhan melalui alam yang Tuhan ciptakan, Tetta.” Jawabku saat menoleh ke arah Ayah.
Ayah mendekatiku. Saat itu, aku memandangi Ayah seolah aku melihat Plato. Mungkin karena bahu Ayah yang lebar. Setelah Ayah duduk di sampingku, ia melirik kertas yang ada di tangan kiriku.
“Tetta, Mengapa Tetta bisa mengetahui banyak kisah terdahulu bahkan ribuan tahun sebelum Tetta lahir? Darimanakah Tetta mengetahui semua itu?” tanyaku penuh penasaran.
Mendengar itu Ayah menatapku dengan senyumnya yang lebar, matanya yang selalu berbinar.
“Membaca adalah napas hidup Nak, aku takkan pernah merasakan hidup tanpa membaca. Membaca adalah cara paling tepat menyelami masa lalu, dan melabuhi masa depan. Melihat alam hanya mampu memperlihatkan tempat yang terbatas, tapi membaca buku mampu memberikan dunia yang tak terbatas. Namun ingatlah anakku, hidup takkan abadi kecuali dengan menulis. Membaca dan menulis adalah dua sisi literasi yang tidak bisa dipisahkan. Maka membaca dan menulislah! Tiada peradaban tanpa literasi. Dunia literasi adalah jalan yang tepat untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaanmu, Nak”, jawab Ayah sambil mengelus kepalaku lalu berdiri dan beranjak pergi.
Aku terdiam. Aku merasa bahwa Ayah telah membuang sandal keraguanku, yang selama ini membuatku takut melukiskan jejak kakiku di dunia literasi. Aku merasa Ayah telah memecahkan kacamata hitamku, yang selama ini membuatku takut memandang corak paradigma dunia. Aku kembali teringat sosok Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan bahwa “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Aku merasa Ayah membawaku ke dunia baru yakni dunia literasi.
“Terima kasih, Tetta”, teriakku pada Ayah.
Ayahpun berbalik dan melemparkan senyumnya padaku.
[Cerita ini dipublikasi ulang oleh Komunitas ReadPublik di readpublik.com, 12 Maret 2017.]