Saya Menulis (Lagi)

Saya Menulis (Lagi)

Saya Menulis (Lagi)

Andi Alfian
Photo by fotografierende on Unsplash
Saya baru pulang dari kuliah, sebagaimana mahasiswa-mahasiswa lainnya. Saya masuk ke dalam kamar saya, dan saya melihat tumpukan buku dan komputer kesayangan saya. Tiba-tiba saya teringat blog ini, saya pun membukanya.

Beberapa hari yang lalu, saya bergabung di kelas literasi. Kelas literasi pertama yang saya masuki, Paradigma Institute. Semoga dengan kelas ini saya bisa tercerahkan melalui dunia literasi. Untuk itu, saya membuat planning untuk menjalankan tantangan pribadi. Tantangan pribadi ini bertujuan meningkatkan konsistensi saya dalam belajar menulis dan mendalami dunia literasi.

Tantangan Pribadi:


  • Saya mewajibkan diri saya untuk menulis artikel setiap hari tanpa terkecuali. Panjang artikelnya minimal 500 kata dengan tema pembahasan apa saja.
  • Saya mewajibkan diri saya untuk membaca buku minimal 30 lembar per hari. Buku apa saja.
Saya tidak mengetahui banyak hal mengenai teori-teori dalam menulis. Oleh karena itu, hari ini, saya ingin menulis untuk diri saya sendiri. Mungkin ini agak berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya, saat saya menulis di blog ini, yakni dengan tujuan agar artikel saya bermanfaat untuk orang lain. Tapi hari ini, agak berbeda, meskipun saya masih tetap berharap demikian. 

Saya teringat kalimat yang tidak asing bagi saya, kurang lebih seperti ini: belajarlah bermanfaat untuk diri sendiri karena jika engkau bermanfaat untuk dirimu sendiri, maka tidak menutup kemungkinan engkau akan bermanfaat untuk orang lain. Karena itu, selain berharap artikel-artikel ini bermanfaat untuk saya pribadi, juga saya berharap artikel yang saya tulis di blog ini memberikan manfaat atau pun motivasi buat teman-teman pemula dalam belajar menulis.

Hari ini, saya ingin menulis tentang hal yang saya rasa unik yang pernah saya alami selama hari libur yang lalu. Malam itu tepat jam 12 malam, saya duduk di atas kapal yang menuju kampung kelahiran saya dengan tujuan ikut berpesta demokrasi (pemilu). Tepatnya pilkada serentak pada tanggal 15 Februari 2017 lalu. Saya memandang laut yang kian tak pernah tenang, namun selalu menenangkan para nelayan.

Saya menikmati dinginnya malam seakan dingin itu mencumbui saya dengan mesra. Juga saya pandang cahaya dari kota beradat, Watampone. Saya saksikan cahaya kota itu yang semakin kecil dan seolah pergi meninggalkan saya atau bahkan sayalah yang meninggalkannya, Entahlah.

Sepanjang perjalanan, saya meresapi nilai filosofis dunia lautan dan stagnan pada area politisasi yang kian muncul di benak saya.

Siapa yang mesti saya pilih saat pemilu nanti? Apa peran saya dalam dunia demokrasi politik hari ini sebagai seorang memiliki hak pilih? Pantaskah suara para preman, ulama, tokoh masyarakat disamakan dalam 1 poin suara? Apakah indahnya politik itu?

Semua itu merupakan pertanyaan yang kian muncul. Saya ingin berkata bahwa saya merindukan kampung halaman saya yang penduduknya ramah, harmonis dalam kehidupan bertentangga.  Namun kenyataannya, ketika saya tiba di kampung halaman saya yang saya dapati kala itu berbeda dengan romatika dulu. Mungkin saja hal ini disebabkan dengan adanya dialektika politik yang cukup memanas.

Jika saya beranjak pada area politik dan pesta rakyat, ada hal yang membuat saya tertarik dengan para pasangan calon bupati di Bombana. Pasangan nomor urut satu mengambil identitas “BERKAH” sebagai akronim dari Bersama Kasra Jaru Munara dan Man Arfah. Sedangkan pasangan nomor urut dua dengan identitas “BERTAHAN” sebagai akronim dari Bersama Tafdil dan Johan.

Kalimat bijak dari tim sukses dari paslon nomor satu “Hidup indah jika mencari berkah, maka pilih Berkah”. Namun di pihak paslon nomor dua mengambil kalimat bijak “Dalam hidup, sulit meraih keberkahan tanpa Bertahan”. Hal ini cukup unik, di ibukota negara ramai politisasi dengan kendaraan sabda–sabda dari kitab suci. Namun di kampung halaman saya ramai politisasi yang identik dengan ide dan tindakan bijak. Itulah refleksi saya.

Seiring waktu aku kembali duduk diatas kapal yang dulu aku tumpangi, memandang lautan yang dulu aku pandangi, merasakan dinginnya malam yang dulu aku mesrai, mengevaluasi pilkada yang dulu aku refleksi seolah membuatku ingin menuliskan seuntai kata. Kini kembali ke rantauan dan meninggalkan suasana kampung halaman dengan kondisi damai. 

Selamat jalan Bombana. Selamat jalan Sulawesi Tenggara. Sampai jumpa kembali.

Sebenarnya, saya ingin menulis banyak hal yang saya alami saat masa liburan di kampung halaman. Namun hanya sampai di situ dulu. Pena di tangan saya bisu, weitss! Mungkin butuh istirahat karena masih terasa lelah dari kampus.☺

Untuk teman-teman dan pembaca artikel ini, jika kamu adalah orang yang mengenal dunia literasi maka saya sangat mengharapkan saran dan kritikan dari kamu.

Besok aku akan menulis lagi minimal 500 kata!
Load comments