Literasi Sebagai Solusi Intoleransi
blog essaysPhoto by Studio Blackthorns on Unsplash |
Seperti hari kemarin, dalam pengap kamar ini, saya kembali menatap layar komputer kesayangan. Dan hari ini juga, saya kembali mengevaluasi konsistensi pelaksanaan tantangan pribadi, yakni kembali menulis artikel di blog ini. Saya telah membuat tulisan tentang Relevansi Nilai-Nilai Sosiologi dan Agama, namun tidak mempublikasikannya di blog ini.
Di pagi hari, saya mengikuti mata kuliah tentang Pengantar Sosiologi yang dibawakan oleh dosen saya yang bernama Dra. Hj. Marhaeni Saleh, M.Pd. Beliau adalah dosen di UIN Alauddin Makassar dan juga ketua program studi Ilmu Aqidah, di jurusan Aqidah Filsafat.
Ada hal yang saya dapatkan dari pengantar dosen saya mengenai mata kuliah Sosiologi, yakni tentang interaksi keberagaman yang terjadi di salah satu daerah di Indonesia. Daerah ini terletak di provinsi Bali. Ini merupakan pengalaman beliau ketika berkunjung ke tempat itu dan sekarang menceritakannya kepada kami. Di Bali, terdapat suatu perkampungan yang di dalamnya di bangun lima tempat ibadah yang berbeda, tentunya dengan agama yang berbeda.
Uniknya lagi, ketika orang Islam melakukan sholat Jumat yang juga merupakan hari raya bagi umat Islam, maka orang beragama lain yang bertindak sebagai pengaman dari pelaksanaan sholat Jumat tersebut. Meliputi mengatur dan menjaga tempat parkiran serta jenis pengamanan lainnya. Begitu pun hari-hari raya lainnya. Tidak hanya pada hari-hari raya umat Islam, juga berlaku hari-hari raya umat agama non-Islam. Penganut agama Islam pun sangat empati kepada mereka yang menganut agama lain.
Di daerah itu, interaksi keberagaman penduduk tidak mempersoalkan perbedaan ideologi dan agama. Namun penduduknya senantiasa berinteraksi berdasarkan nilai-nilai kesamaan di antara mereka. Seperti itulah wujud toleransi sebagai realisasi nilai sosiologi yang Dra. Hj. Marhaeni Saleh, M.Pd jelaskan kepada kami.
Penjelasan pengantar sosiologi yang ibu bawakan sangat mengintegrasikan relevansinya dengan agama. Karena berdasarkan salah satu tujuan yang hendak dicapai dengan mata kuliah ini adalah menanamkan nilai-nilai sosiologi dan spiritual. Nilai-nilai sosiologi identik dengan kemanusiaan sehingga dengan memahami nilai-nilai ini diharapkan dapat menciptakan kasih sayang dan toleransi di antara manusia.
Beliau menyarankan kepada mahasiswa untuk tidak eksklusif dalam beragama dan banyak melakukan sharing atau dialog dengan orang lain meskipun berbeda agama dengan kita. Karena dengan begitu maka kita akan memiliki semangat untuk mengeksplorasi pengetahuan yang kita miliki dan juga akan menumbuhkan bibit-bibit toleransi dalam sosial beragama.
Menurut Dra. Hj. Marhaeni Saleh, M.Pd bahwa kurangnya membaca atau sering disebut kepicikan akan literasi sosiologi dalam beragama akan melahirkan manusia beragama dengan tiga ciri khas yakni radikal, fundamental, dan ekslusif. Seperti itulah yang dikatakan oleh beliau.
Berdasarkan hal itu, saya teringat penjelasan materi Intoleransi = Iliterasi yang dibawakan oleh Drs. Wahyuddin Halim, MA., Ph.D pada kegiatan yang bertemakan Anak Muda Membaca Bangsa, yang dirangkaikan dengan peluncuran buku, Telinga Palsu. Kegiatan ini diadakan oleh Komunitas Literasi Makassar, bekerjasama dengan Tempo Institute, Koran Kampus Identitas UNHAS, dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNHAS, bertempat di Aula Prof. Mattulada UNHAS. Wahyuddin Halim memberikan penjelasan bahwa ada tiga kepicikan yang menyebabkan seorang manusia terjangkiti oleh virus intoleransi:
Pertama, kepicikan georafis. Ketika seseorang terisolir dalam wilayah geografis tertentu, atau tidak pernah melakukan perjalanan, maka semua yang tidak sama dengan apa yang dialaminya, dianggap sebagai perbedaan. Dan perbedaan inilah yang memacu sikap intoleransi. Karena dengan adanya perbedaan, akan merasa bahwa perbedaan inilah yang akan melegitimasi bagian dari paradigmanya.
Kedua, kepicikan ideologis. Kepicikan ini disebabkan oleh tertutupnya paradigma yang dianut oleh seseorang. Dengan tertutupnya cakrawala seseorang maka, akan memunculkan sikap merasa paling benar sehingga memacu sikap intoleransi. Karena sangat sulit menumbuhkan budaya harmonis dialektis di kalangan orang yang menderita kepicikan ideologis. Sebagaimana Sokrates mengatakan bahwa salah satu cara yang kita butuhkan untuk menjadi orang bijak adalah rasa ingin tahu. Tentunya dalam artian tidak menutupi diri dengan ideologi tertentu.
Ketiga, kepicikan literasi. Kepicikan literasi adalah penyakit cukup besar dampaknya, termasuk menimbulkan sikap intoleran. Seseorang yang sangat tertutup dan bahkan sangat kurang membaca bacaan yang berbeda dengan ideologinya akan terasingkan dengan sendirinya. Namun di balik itu, dengan memperkaya literasi maka kita akan mampu mengatasi apa kepicikan-kepicikan sebelumnya seperti kepicikan geografis dan ideologis. Dengan banyak membaca maka kita dapat menjelajahi dunia, dengan membaca buku kita dapat memahami nilai-nilai dan inti sari ideologi lain.
Seperti itulah yang beliau jelaskan tentang mengapa penyakit intoleransi menjangkiti anak muda masa kini. Maka dari mari meningkatkan minat membaca di dunia literasi agar terhindar dari penyakit intoleransi. Ingatlah bahwa perbedaan hadir sebagai bentuk rahmat yang Tuhan berikan. Karena bahkan Tuhan tidak mustahil menciptakan kita sama.
Terakhir, hari ini saya juga sempat ikut diskusi bedah tokoh, yang dibawakan oleh kanda Asran Salam dan sebagai penutup saya ingin mengutip kalimat yang beliau katakan:
"Membaca buku bukan hanya mengumpulkan banyak wawasan namun, sejatinya membaca buku adalah merealisasikan makna bacaan melalui pergerakan." - Asran Salam