Pertarungan Waktu di Perguruan Tinggi

Pertarungan Waktu di Perguruan Tinggi

Koran Harian Tribun Timur, 12 November 2019.


Jika masa depan suatu negeri dapat diprediksi dari kualitas anak mudanya hari ini, ayo kita mulai tulisan ini dengan beberapa pertanyaan spekulatif: Apa yang sekarang sedang dipikirkan oleh anak muda? Di mana dan untuk kepentingan apa mereka menghabiskan waktu luang yang mereka miliki? Untuk menerawang pertanyaan tersebut, mari kita menengok institusi pendidikan tinggi sebagai tempat yang dipenuhi anak-anak muda.

Paragraf pembuka di atas adalah pragraf pembuka yang juga digunakan oleh Harry Isra M. dalam Anak Muda dan Krisis Waktu Publik yang dimuat di Literasi Koran Tempo Makassar, 2015. Dalam tulisan tersebut, Harry Isra mengeksplorasi pemikiran Henry Giroux tentang mahasiswa yang tengah terprivatisasi dan mengalami krisis sosial di perguruan tinggi. Menurut Giroux, di universitaslah pertarungan antara public time dan corporate time sebagai dua jenis waktu yang membentuk tipikal mahasiswa sedang berlangsung terus menerus. 

Public time yang dimaksudkan oleh Giroux adalah waktu yang dihabiskan oleh anak muda atau mahasiswa untuk menggelisahkan persoalan-persoalan sosial-kemanusiaan lalu mengerahkan seluruh pengetahuan, kemampuan serta waktunya untuk melakukan advokasi dan resistensi semaksimalnya. Jenis public time tidak mengenal apa disebut time is money. Anak muda atau mahasiswa dengan tipikal semacam ini mengganggap waktu bukan untuk dikonversi menjadi uang tetapi untuk berpikir kritis, berkontemplasi, serta melakukan aksi-aksi kemanusiaan.  

Kontras dengan jenis waktu pertama, corporate time adalah waktu yang digunakan oleh anak muda atau mahasiswa untuk kegiatan kompetisi, enterpreneurship, atau aksi-aksi hiper-individualistik-pragmatik. Bahwa bagi mereka, proses belajar di perguruan tinggi tidak lain adalah hanya untuk memperoleh keuntungan pribadi yang lebih mapan tanpa harus mempedulikan kondisi sosial-kemanusiaan di sekitarnya.

Untuk masa depan suatu negeri, universitas sebagai institusi pendidikan tinggi yang mengumpulkan anak-anak muda berserta segala jenis waktu luang yang dimilikinya, harusnya menjadi benteng pertahanan untuk melindungi serta melestarikan apa yang disebut oleh Giroux sebagai public time. Sebab jika tidak, maka kita akan kehilangan anak-anak muda tipikal public time, dan itu berarti bahwa kita akan kehilangan pula masa depan yang lebih kritis dan demokratis.

Tetapi ironisnya, pimpinan universitas yang memiliki otoritas untuk menjaga public time-nya anak-anak muda, malah lebih memilih membangun pagar setinggi-tingginya—dengan maksud: lebih memilih menjadi penjara bagi waktu luang anak muda dibandingkan membangun sebuah institusi akademik yang mengedukasi semanusia-manusianya manusia. 

Bagaimana mungkin universitas dapat melestarikan public time-nya anak muda, jika bahkan jam yang digunakan anak muda untuk berdiskusi, berorganisasi, berkesenian, dan segala macamnya telah dicuri oleh pimpinan universitas melalui beberapa kebijakan?!

Jam Malam di Perguruan Tinggi


Salah satu contoh kebijakan pimpinan universitas yang mencuri public time-nya anak muda adalah kebijakan pimpinan UIN Alauddin Makassar yang beberapa hari lalu melalui Surat Edaran Rektor No. B/8/0/Un.06.1/PP.00.9/10/2019 menetapkan aturan tentang tata tertib lembaga atau organisasi kemahasiswaan dalam lingkup UIN Alauddin. Dalam surat edaran tersebut dijabarkan melalui empat pasal tentang dua perihal utama:

Perihal pertama, tentang larangan penggunaan jam malam di lingkungan kampus. Bahwa aktivitas kepengurusan lembaga atau organisasi intra kampus di UIN Alauddin dimulai dari jam 06:00 sampai 17:30. Aturan tersebut tidak hanya terkhusus untuk pengurus lembaga atau organisasi intra kampus saja, akan tetapi diperuntukkan kepada seluruh mahasiswa UIN Alauddin—dan itu berarti bahwa seluruh mahasiswa UIN Alauddin hanya boleh beraktivitas di dalam kampus mereka sendiri dari pagi hingga sore, selebihnya, mereka akan diusir oleh pihak satuan pengamanan (satpam).

Perihal kedua, tentang larangan memasang atribut, lambang, spanduk, baliho, pamflet, poster, selebaran, tanda organisasi dan atau segala bentuk alat media yang sejenisnya tanpa terlebih dahulu memperoleh izin dari pimpinan universitas. Jika mahasiswa tidak mengindahkan larangan tersebut, sebagaimana tertera dalam pasal 2 pada surat edaran itu, maka pimpinan universitas berhak membubarkan paksa, mencabut atau menyita atribut-atribut yang telah dipasang.

Dari dua larangan di atas, setidaknya kita bisa melihat bagaimana universitas sebagai tempat yang idealnya paling demokratis, malah berubah menjadi penjara. Tempat  yang seharusnya menjamin pertarungan public time dan corporate time, bukan malah sebaliknya. 

Dalam sejarah institusi pendidikan tinggi di Indonesia, peraturan tentang jam malam memang telah menjadi pro-kontra. Beberapa universitas di Indonesia seperti UI, UGM, UIN Sunan Kalijaga, dan beberapa kampus negeri yang lain, pernah menerapkan aturan yang sama namun kemudian menghapus regulasi tersebut karena dinilai represif bagi demokratisasi anak muda di kampus, dan yang terpenting bahwa penerapan aturan tersebut kontra-produktif.

Oleh karena itu, sudah tibalah saatnya pimpinan universitas merumuskan solusi baru bagi masalah ketidakamanan kampus, saat pilihan menutup pagar tidak lagi relevan untuk dilakukan. Karena menggunakan solusi purba yang terbukti gagal berkali-kali hanyalah kebiasaan orang-orang malas untuk berpikir.

Tulisan ini pertama kali terbit di Koran Harian Tribun Timur, 12 November 2019. Versi onlinenya bisa dibaca di Washilah.


Load comments