Iman dan Analogi Buah Kelapa

Iman dan Analogi Buah Kelapa

Photo by Louis Hansel @shotsoflouis on Unsplash

Tepat pukul 04:20 di hari Jumat, 05 Agustus 1999, anak ketujuh dari pasangan Andi Kasmi dan Andi Madeaming lahir. Semua orang yang menyaksikan kelahiran anak tersebut tersenyum sebagai tanda syukur akan anugerah Tuhan yang tiada putusnya. Pada hari itulah saya lahir, dan mulai menyaksikan bagaimana kehidupan ini berjalan. Saya lahir dari rahim seorang wanita muslimah.

Pelafalan dua kalimat syahadat dan azan di telinga saya waktu itu, merupakan penanda bahwa saya lahir sebagai bayi yang beragama sekaligus sebagai simbol pengingatan kembali akan janji di alam primordial sebelumnya, seperti yang diakui dalam ajaran agama Islam. Saya yang masih dalam kondisi belum mampu berjalan, belum mengenali ibu-ayah, telah dikukuhkan sebagai manusia beragama. “Islam adalah agamaku,” kata Ibu beberapa tahun setelahnya. 

Seperti yang dialami oleh semua orang, saya diazankan sesaat setelah lahir lalu disunat ketika menjelang balig, semua itu dilakukan atas dasar keputusan orang tua saya. Saya dimasukkan dalam kategori beragama Islam karena orang tua saya beragama Islam juga. Mungkin, tidak berlebihan jika seseorang di kemudian hari menyebut saya sebagai Islam keturunan. Tapi tak apalah, karena kabar baiknya, nyaris semua orang mengalaminya—setidaknya setelah mereka baru saja lahir ke dunia mereka memeluk agama keturunan.

Meskipun dengan keluhan semacam itu, saya merasa bersyukur karena tidak ada pilihan lain bagi orang tua saya kala itu selain membaptis atau mengukuhkan saya sebagai orang beragama Islam. Meskipun di kemudian hari saya menyadari bahwa bersyahadat sebagai muslim, atau dibaptis sebagai kristen, atau diakui sebagai orang yang beragama apa saja, itu sama saja.

Pernah, sewaktu saya masih di Sekolah Dasar, saya bertanya kepada guru saya, bagaimana jikalau seandainya orang tua saya adalah non-Muslim, dan saya lahir dan dibesarkan dalam keluarga semacam itu, dan bahkan memeluk agama yang orang tua saya peluk yakni agama non-Islam misalnya, apakah saya masih akan diterima di surga? “Tidak,” kata guru agama saya dengan tegas.

Jawaban dan nasihat guru agama saya waktu itu, cukup membuat masa kecil saya membenci bahkan tak peduli dengan teman seumuran yang beragama non-Islam. Suatu hari, saya berkunjung ke kampung tetangga, di rumah teman, saya menyaksikan di teras rumah, orang-orang Kristen sedang beribadah atau tepatnya sedang bernyanyi lagu gereja, saya dan teman-teman mengejeknya dengan mengikuti caranya menyanyi dengan suara dijelek-jelekkan bahkan diplesetkan. 

Kami, sekumpulan anak-anak muslim di kampung itu sedikit nakal terhadap anak-anak non-muslim. Bahkan ketika kami bermain, kami pernah mengejek konsep iman mereka dengan nyanyian aneh-aneh. “Tuhan Allah, Tuhan Bapak, Tuhan Anak, Tuhan Ibu, Tuhan sekeluarga, ayo kita bermain bersama Tuhan. Tuhan suka bermain-main, bukan?” teriak kami bersama sambil tertawa.

Beriring waktu, beriring pula perubahan-perubahan. Perubahan sikap beragama saya bermula ketika orang tua saya berinisiatif memasukkan saya ke sebuah surau di kampung tetangga, di sanalah saya diajari bagaimana membaca Alquran serta tata cara melaksanakan ibadah serta bagaimana bersikap kepada sesama, baik muslim dan non-muslim. Jika diketahui mengejek atau melakukan hal buruk sesama teman, pastilah kami akan dihukum. Juga seperti semua anak-anak pada masa itu, saya juga mendapatnya pengajaran semacam itu di bangku sekolah.

Akhirnya, selama sekolah, saya mengalami transformasi pengetahuan juga pengalaman sehingga sudah lebih toleran terhadap orang lain yang berbeda agama. Dan titik paling ekstrem, adalah ketika saya memasuki dunia kampus, saya mengambil jurusan Filsafat Agama di UIN Alauddin Makassar. Cara berpikir filsafat membuat saya harus mengonstruksi ulang pandangan saya tentang iman dan agama.

Kadang-kadang, saya berpikir, apakah benar waktu di alam rahim, sebelum kita terlahir, kita benar-benar ditanya soal apakah kita akan memeluk agama Islam atau tidak, atau apakah kita akan lahir dalam keluarga Bugis atau tidak, atau apakah kita akan dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, saya selalu memikirkannya, kadang-kadang Tuhan memang menyisipkan lebih banyak pertanyaan ke benak kita tentang diri-Nya. Dan anehnya, kita sama sekali takut mengatakannya atau memikirkannya meskipun sejenak.

Di semester awal, saya benar-benar mendapatkan sebuah pengalaman beragama yang baru. Ketika itu, filsafat saya jadikan sebagai hobi dalam memandang banyak hal, termasuk agama. Pertanyaan-pertanyaan radikal tentang agama pun sulit untuk terhindarkan. “Apakah kebenaran agama itu hanya satu? Mengapa Tuhan menciptakan banyak sekali agama? Atau apakah yang kita sebut sebagai Tuhan itu hanya ciptaan manusia semata? Mengapa semua orang harus beriman? Apakah yang kita maksud dengan iman?” dan pertanyaan lainnya.

Pernah suatu waktu, ketika saya pulang kampung liburan semester satu, saya bertanya kepada orang tua saya tentang iman dan agama. Dalam bahasa Bugis, saya bertanya kepadanya, “mengapa kita mesti salat, Ayah?” Ia diam. Saya mengulang pertanyaan, “mengapa kita harus salat, Ayah?” Ia mengangkat kepala, melihat saya. “Kita memang harus melakukannya,” jawabnya pelan dalam bahasa Bugis, “sebelum kita benar-benar bisa memahami maksud Tuhan memerintahkan kita.” Saya dengan cepat menyanggah, “bukankah jauh lebih bernilai jika kita mengetahui dulu apa maksudnya Tuhan memerintahkan kita salat, sebelum kita menunaikannya, Ayah?”

Waktu itu, kami di teras rumah, sebuah hari di Sabtu pagi. Ayah tidak langsung menjawab sanggahanku, ia diam. Beberapa saat berlalu, lalu memecahkan diamnya dengan menyebut namaku, seperti ada hal besar yang ingin ia sampaikan.

“Dengarkan,” sapanya sekali lagi seolah benar-benar memerintahkanku mendengarkan kalimatnya. Saya siap mendengarkan.

Ia berkata “Karena kita petani, kamu pasti tahu kan buah kelapa?!”

Saya mengangguk.

“Buah kelapa, awalnya hanya kulit, lalu dalam proses pertumbuhannya, Tuhan mengeraskan tempurungnya, memberi isi dan air, serta segala hal yang mengisi kelapa yang sebelumnya hanya kulit. Seperti itu pula iman, awalnya hanya iman, lalu kita dituntut untuk mengisinya dengan pengetahuan, dan secara terselubung, Tuhanlah yang sebenarnya mengisi pengetahuan kita.” jawab Ayah.

“Tapi jangan lupa, semua itu bermula dari iman, laksanakan dulu, kelak Tuhan mengisi pengetahuanmu tentang-Nya seperti Tuhan memberi isi pada buah kelapa yang awalnya tak berisi. Pada saat itulah pertanyaanmu tentang apa maksud-Nya memerintahkan kita untuk beriman akan terjawab, nak.”

Saya terdiam, memikirkan apa yang dikatakan oleh Ayah. Bahwa, Ayah saya—yang tidak sempat menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama, yang gagap menggunakan bahasa Indonesia, mampu menjelaskan persoalan iman dengan menggunakan analogi alam sekitar yakni melalui penciptaan buah kelapa yang setiap hari dijumpainya di kebun. Saya benar-benar memikirkan jawaban tersebut setelahnya, sampai kembali lagi ke kampus untuk melanjutkan semester selanjutnya. 

Saya masih ingat, ketika itu, di awal semester yang baru, saya menceritakan perihal itu ke dosen saya, Guru Besar Filsafat Agama, Prof. Dr. Qasim Mathar MA. dan beliau mengatakan “kamu harus belajar menjadi hamba yang baik, jangan ingin jadi Tuhan yang hendak menghakimi iman orang lain, itu bukan tugasmu.” Selain itu, saya juga menyampaikan keluhan saya, bahwa semenjak memasuki jurusan Filsafat, saya merasa bahwa kebiasaan saya salat berjamaah tepat waktu kini telah berkurang, dan menurut saya, hal ini mungkin disebabkan karena saya terlalu menggeluti filsafat. Ia menjawab, “tidak, malah kamu sebenarnya makin saleh ketika malas beribadah karena menggeluti filsafat.”

Singkatnya, sikap dan cara saya menggauli agama senantiasa mengalami perubahan sedikit demi sedikit ke suatu arah yang bisa dikatakan sebagai iman yang dewasa, seperti menegaskan perkataan seorang filsuf, Heraklitus, bahwa tidak ada identitas yang final yang dimiliki oleh manusia, semua senantiasa mengalami perubahan (pantarei). Kita hanya menunggu kematian sebagai satu-satunya penyebab keterputusan dari perubahan tiada henti tersebut.

Dan yang paling penting, bahwa iman atau dengan apapun kita menamakannya, akan sangat dipengaruhi oleh banyak hal, seperti orang-orang di sekeliling kita—yang mungkin kita jumpai melalui lingkaran organisasi yang beragam ideologi, tokoh-tokoh berpengaruh dalam prosesi akademik kita, serta buku-buku yang kita baca serta pengalaman subtil dalam kehidupan keseharian kita. Semua itu mempengaruhi akan menjadi seperti apa kita sebagai manusia beragama.

Load comments