“Praaaakkkkk!!!“ Semua orang di ruangan itu menoleh kepadanya. Tapi, jauh sebelum suara kejatuhan itu tiba di telinga orang-orang yang ada di ruangan itu, dia sudah berdiri bersiap untuk mengangkat kembali kursi yang terjatuh. Pasalnya, ia sendirilah yang menjatuhkannya, dengan sengaja, untuk sebuah misi tersembunyi. Misi itu baru diketahui oleh orang-orang tiga tahun setelahnya. Kau tahu mengapa? Begini ceritanya:
Sepulang dari kampus, ia menyempatkan diri singgah di sebuah warung kopi depan kampus. Ia duduk sendiri. Dia sebenarnya tidak suka menyendiri, tapi bahkan dia sendiri lupa kapan terakhir ia duduk seperti itu dengan orang lain. Dia tidak pernah meragukan bahwa ia sangat membenci dirinya yang penyendiri, tapi mau tidak mau ia harus hidup dengan cara itu, tidak ada seorang pun yang bisa diajak olehnya untuk ngobrol.
Kesialan itu bermula ketika ia masih bayi berumur 24 bulan. Ketika itu, Ibunya bosan melihatnya menangis. “Bayi sialan! Kau hanya tahu menangis dan tidak memberitahu kami apa sebabnya. Jika kau lapar dan mau tetek ibu, bilang! Kalau kau mau main, bilang! Dasar bayi sialan! Kau kira ibumu ini malaikat yang tidak tahu marah?” Begitulah ibunya membentak dan menendangnya.
Sejak itu, dia mulai ragu akan bisa melanjutkan hidup dengan status anak dari wanita itu. Dia bersumpah kepada dirinya sendiri bahwa dia tidak ingin mengajak ibunya berbicara meskipun jika suatu saat ibunya mengajaknya berbincang. Dia berpikir, dengan cara itulah seorang bayi memperlihatkan bahwa ia juga bisa marah, seperti marah elegan dari orang dewasa.
Dia benar-benar dendam kepada ibunya. “Andai saja aku sudah besar, sudah bisa memegang pisau, aku akan memenggal lehermu, Ibu, atau setidaknya memotong puting susumu,” ketusnya dalam hati. Dia tidak pernah mengatakannya secara langsung meskipun suatu hari ia punya kesempatan untuk mengatakannya. Cerita itu ada pada bagian akhir, jadi kita jangan dulu membahasnya ya.
Ini cerita tentang si Kamu, nama lengkapnya, Kamu Sendiri bin Seorang. Bersama kekasihnya bernama Dia, nama lengkapnya, Dia Saja Sudah Cukup. Nama mereka keren-keren, bukan? Begini ceritanya:
Beberapa hari belakangan, Kamu menunggu seseorang datang menemui Kamu, atau menghubungi Kamu. Setiap satu jam, Kamu membuka email, aplikasi pesan, atau riwayat panggilan di ponsel Kamu, Kamu berharap ada pesan atau telepon yang masuk atas nama Dia. Tapi sia-sia.
Kamu mulai membayangkan banyak hal tentang Dia, misalnya, Dia mungkin sedang melakukan hal lain, sedang menyibukkan diri bersama temannya, atau sedang menyelesaikan segala urusan kuliahnya, atau sedang menghabiskan waktu dengan menonton film kesukaannya, atau memilih menghibur diri dengan menggambar sebagai hobinya, semua itu adalah usaha Dia melupakan seseorang yang namanya sama dengan nama Kamu (Tetapi hanya nama depannya saja yang sama: Kamu Berdua bin Mereka.)
Tapi si Kamu masih tetap menunggu Dia. Kamu tidak peduli pada kenyataan bahwa Dia mungkin tidak akan menemui Kamu atau mengabari Kamu lagi. Kamu sadar bahwa hal yang paling menyebalkan yang sedang Kamu lakukan saat ini adalah menunggu seseorang yang sama sekali tidak tahu bahwa “ada Kamu yang sedang menunggunya dengan setengah mati”, sedangkan Kamu sendiri tidak punya keberanian menemui atau menghubunginya secara langsung agar Dia tahu bahwa Kamu menunggunya, bahwa Kamu membutuhkannya.
Kamu akhirnya tahu, setahu-tahunya, bahwa betapa menyakitkannya menunggu Dia.
Setelah sekian lama memilih menunggu, Kamu akhirnya sadar bahwa tidak ada hal lain yang bisa Kamu lakukan selain melakukan hal yang sebaliknya: menghubungi Dia secara langsung atau menemui Dia. Tapi setelah Kamu hendak melakukannya, Kamu kembali memikirkannya, dan akhirnya menemukan kesadaran lain bahwa menghubungi orang-orang yang sebetulnya tidak ingin dihubungi hanya pekerjaan sia-sia. Pada saat itulah, Kamu memilih untuk tidak menghubungi Dia lagi. Tapi setelah memikirkanya sekali lagi, Kamu tahu bahwa hal itu tidak akan mengubah keadaan, lalu Kamu memilih mengirim pesan pendek seperti ini ke Dia:
“Aku bosan menunggumu, aku minta dua hal: Pertama, selesaikanlah segala urusan yang ingin kau selesaikan. Kedua, tidak usah lagi menghubungiku selama 45 hari ke depan. Thank you!”
Kamu mengirim pesan itu.
Sebetulnya, lewat pesan itu, Kamu hanya ingin menyampaikan sindiran ke Dia bahwa “aku sedang menunggumu, aku sedang membutuhkanmu di sini, hubungi aku!” Tapi sayangnya, si Dia tidak menghubungi kamu, bahkan tidak membalas pesan singkat Kamu. Kamu jadi tak karuan. Kamu membayangkan segala hal dan segala sesuatunya. Berusaha memikirkannya kembali. Membaca pesan singkat itu berulang kali dan berulang kali. Kamu jadi merasa bersalah.
Kamu akhirnya sangat merasa bersalah. Kamu menyesal mengirim pesan pendek itu. Kamu mengirim pesan yang lain, dengan harapan bisa menutupi rasa bersalah yang Kamu sendiri ciptakan:
“Aku minta maaf.”
“I’m so sorry!”
Setelah mengirim pesan singkat itu, Kamu merasa sedikit lebih mendingan, tapi sebetulnya Kamu tidak pernah baik-baik saja. Kamu duduk dan berpikir: aku mungkin sudah gila.
Sehari kemudian, si Dia yang Kamu tunggu mengabari Kamu atau menemui Kamu akhirnya mengirimi si Kamu pesan pendek lewat WhatsApp:
“Assalamualaikum.“
Si Kamu membacanya. Diam. Memikirkan Dia sekali lagi. Dua jam setelahnya, Kamu memilih menghapus pesan singkat itu tanpa keinginan membalasnya. Kamu diam sejenak, berusaha dengan keras menemukan jawaban dari pertanyaan: bagaimana seharusnya kita menghibur diri sendiri? Lalu Kamu sadar bahwa Kamu gagal.
Kamu telah tersesat di antara keinginan dan ketakinginan.
Tepat pukul 04:20 di hari Jumat, 05 Agustus 1999, anak ketujuh dari pasangan Andi Kasmi dan Andi Madeaming lahir. Semua orang yang menyaksikan kelahiran anak tersebut tersenyum sebagai tanda syukur akan anugerah Tuhan yang tiada putusnya. Pada hari itulah saya lahir, dan mulai menyaksikan bagaimana kehidupan ini berjalan. Saya lahir dari rahim seorang wanita muslimah.
Pelafalan dua kalimat syahadat dan azan di telinga saya waktu itu, merupakan penanda bahwa saya lahir sebagai bayi yang beragama sekaligus sebagai simbol pengingatan kembali akan janji di alam primordial sebelumnya, seperti yang diakui dalam ajaran agama Islam. Saya yang masih dalam kondisi belum mampu berjalan, belum mengenali ibu-ayah, telah dikukuhkan sebagai manusia beragama. “Islam adalah agamaku,” kata Ibu beberapa tahun setelahnya.
Seperti yang dialami oleh semua orang, saya diazankan sesaat setelah lahir lalu disunat ketika menjelang balig, semua itu dilakukan atas dasar keputusan orang tua saya. Saya dimasukkan dalam kategori beragama Islam karena orang tua saya beragama Islam juga. Mungkin, tidak berlebihan jika seseorang di kemudian hari menyebut saya sebagai Islam keturunan. Tapi tak apalah, karena kabar baiknya, nyaris semua orang mengalaminya—setidaknya setelah mereka baru saja lahir ke dunia mereka memeluk agama keturunan.
Meskipun dengan keluhan semacam itu, saya merasa bersyukur karena tidak ada pilihan lain bagi orang tua saya kala itu selain membaptis atau mengukuhkan saya sebagai orang beragama Islam. Meskipun di kemudian hari saya menyadari bahwa bersyahadat sebagai muslim, atau dibaptis sebagai kristen, atau diakui sebagai orang yang beragama apa saja, itu sama saja.
Pernah, sewaktu saya masih di Sekolah Dasar, saya bertanya kepada guru saya, bagaimana jikalau seandainya orang tua saya adalah non-Muslim, dan saya lahir dan dibesarkan dalam keluarga semacam itu, dan bahkan memeluk agama yang orang tua saya peluk yakni agama non-Islam misalnya, apakah saya masih akan diterima di surga? “Tidak,” kata guru agama saya dengan tegas.
Jawaban dan nasihat guru agama saya waktu itu, cukup membuat masa kecil saya membenci bahkan tak peduli dengan teman seumuran yang beragama non-Islam. Suatu hari, saya berkunjung ke kampung tetangga, di rumah teman, saya menyaksikan di teras rumah, orang-orang Kristen sedang beribadah atau tepatnya sedang bernyanyi lagu gereja, saya dan teman-teman mengejeknya dengan mengikuti caranya menyanyi dengan suara dijelek-jelekkan bahkan diplesetkan.
Kami, sekumpulan anak-anak muslim di kampung itu sedikit nakal terhadap anak-anak non-muslim. Bahkan ketika kami bermain, kami pernah mengejek konsep iman mereka dengan nyanyian aneh-aneh. “Tuhan Allah, Tuhan Bapak, Tuhan Anak, Tuhan Ibu, Tuhan sekeluarga, ayo kita bermain bersama Tuhan. Tuhan suka bermain-main, bukan?” teriak kami bersama sambil tertawa.
Beriring waktu, beriring pula perubahan-perubahan. Perubahan sikap beragama saya bermula ketika orang tua saya berinisiatif memasukkan saya ke sebuah surau di kampung tetangga, di sanalah saya diajari bagaimana membaca Alquran serta tata cara melaksanakan ibadah serta bagaimana bersikap kepada sesama, baik muslim dan non-muslim. Jika diketahui mengejek atau melakukan hal buruk sesama teman, pastilah kami akan dihukum. Juga seperti semua anak-anak pada masa itu, saya juga mendapatnya pengajaran semacam itu di bangku sekolah.
Akhirnya, selama sekolah, saya mengalami transformasi pengetahuan juga pengalaman sehingga sudah lebih toleran terhadap orang lain yang berbeda agama. Dan titik paling ekstrem, adalah ketika saya memasuki dunia kampus, saya mengambil jurusan Filsafat Agama di UIN Alauddin Makassar. Cara berpikir filsafat membuat saya harus mengonstruksi ulang pandangan saya tentang iman dan agama.
Kadang-kadang, saya berpikir, apakah benar waktu di alam rahim, sebelum kita terlahir, kita benar-benar ditanya soal apakah kita akan memeluk agama Islam atau tidak, atau apakah kita akan lahir dalam keluarga Bugis atau tidak, atau apakah kita akan dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, saya selalu memikirkannya, kadang-kadang Tuhan memang menyisipkan lebih banyak pertanyaan ke benak kita tentang diri-Nya. Dan anehnya, kita sama sekali takut mengatakannya atau memikirkannya meskipun sejenak.
Di semester awal, saya benar-benar mendapatkan sebuah pengalaman beragama yang baru. Ketika itu, filsafat saya jadikan sebagai hobi dalam memandang banyak hal, termasuk agama. Pertanyaan-pertanyaan radikal tentang agama pun sulit untuk terhindarkan. “Apakah kebenaran agama itu hanya satu? Mengapa Tuhan menciptakan banyak sekali agama? Atau apakah yang kita sebut sebagai Tuhan itu hanya ciptaan manusia semata? Mengapa semua orang harus beriman? Apakah yang kita maksud dengan iman?” dan pertanyaan lainnya.
Pernah suatu waktu, ketika saya pulang kampung liburan semester satu, saya bertanya kepada orang tua saya tentang iman dan agama. Dalam bahasa Bugis, saya bertanya kepadanya, “mengapa kita mesti salat, Ayah?” Ia diam. Saya mengulang pertanyaan, “mengapa kita harus salat, Ayah?” Ia mengangkat kepala, melihat saya. “Kita memang harus melakukannya,” jawabnya pelan dalam bahasa Bugis, “sebelum kita benar-benar bisa memahami maksud Tuhan memerintahkan kita.” Saya dengan cepat menyanggah, “bukankah jauh lebih bernilai jika kita mengetahui dulu apa maksudnya Tuhan memerintahkan kita salat, sebelum kita menunaikannya, Ayah?”
Waktu itu, kami di teras rumah, sebuah hari di Sabtu pagi. Ayah tidak langsung menjawab sanggahanku, ia diam. Beberapa saat berlalu, lalu memecahkan diamnya dengan menyebut namaku, seperti ada hal besar yang ingin ia sampaikan.
“Dengarkan,” sapanya sekali lagi seolah benar-benar memerintahkanku mendengarkan kalimatnya. Saya siap mendengarkan.
Ia berkata “Karena kita petani, kamu pasti tahu kan buah kelapa?!”
Saya mengangguk.
“Buah kelapa, awalnya hanya kulit, lalu dalam proses pertumbuhannya, Tuhan mengeraskan tempurungnya, memberi isi dan air, serta segala hal yang mengisi kelapa yang sebelumnya hanya kulit. Seperti itu pula iman, awalnya hanya iman, lalu kita dituntut untuk mengisinya dengan pengetahuan, dan secara terselubung, Tuhanlah yang sebenarnya mengisi pengetahuan kita.” jawab Ayah.
“Tapi jangan lupa, semua itu bermula dari iman, laksanakan dulu, kelak Tuhan mengisi pengetahuanmu tentang-Nya seperti Tuhan memberi isi pada buah kelapa yang awalnya tak berisi. Pada saat itulah pertanyaanmu tentang apa maksud-Nya memerintahkan kita untuk beriman akan terjawab, nak.”
Saya terdiam, memikirkan apa yang dikatakan oleh Ayah. Bahwa, Ayah saya—yang tidak sempat menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama, yang gagap menggunakan bahasa Indonesia, mampu menjelaskan persoalan iman dengan menggunakan analogi alam sekitar yakni melalui penciptaan buah kelapa yang setiap hari dijumpainya di kebun. Saya benar-benar memikirkan jawaban tersebut setelahnya, sampai kembali lagi ke kampus untuk melanjutkan semester selanjutnya.
Saya masih ingat, ketika itu, di awal semester yang baru, saya menceritakan perihal itu ke dosen saya, Guru Besar Filsafat Agama, Prof. Dr. Qasim Mathar MA. dan beliau mengatakan “kamu harus belajar menjadi hamba yang baik, jangan ingin jadi Tuhan yang hendak menghakimi iman orang lain, itu bukan tugasmu.” Selain itu, saya juga menyampaikan keluhan saya, bahwa semenjak memasuki jurusan Filsafat, saya merasa bahwa kebiasaan saya salat berjamaah tepat waktu kini telah berkurang, dan menurut saya, hal ini mungkin disebabkan karena saya terlalu menggeluti filsafat. Ia menjawab, “tidak, malah kamu sebenarnya makin saleh ketika malas beribadah karena menggeluti filsafat.”
Singkatnya, sikap dan cara saya menggauli agama senantiasa mengalami perubahan sedikit demi sedikit ke suatu arah yang bisa dikatakan sebagai iman yang dewasa, seperti menegaskan perkataan seorang filsuf, Heraklitus, bahwa tidak ada identitas yang final yang dimiliki oleh manusia, semua senantiasa mengalami perubahan (pantarei). Kita hanya menunggu kematian sebagai satu-satunya penyebab keterputusan dari perubahan tiada henti tersebut.
Dan yang paling penting, bahwa iman atau dengan apapun kita menamakannya, akan sangat dipengaruhi oleh banyak hal, seperti orang-orang di sekeliling kita—yang mungkin kita jumpai melalui lingkaran organisasi yang beragam ideologi, tokoh-tokoh berpengaruh dalam prosesi akademik kita, serta buku-buku yang kita baca serta pengalaman subtil dalam kehidupan keseharian kita. Semua itu mempengaruhi akan menjadi seperti apa kita sebagai manusia beragama.