Iman dan Analogi Buah Kelapa

Iman dan Analogi Buah Kelapa

Photo by Louis Hansel @shotsoflouis on Unsplash

Tepat pukul 04:20 di hari Jumat, 05 Agustus 1999, anak ketujuh dari pasangan Andi Kasmi dan Andi Madeaming lahir. Semua orang yang menyaksikan kelahiran anak tersebut tersenyum sebagai tanda syukur akan anugerah Tuhan yang tiada putusnya. Pada hari itulah saya lahir, dan mulai menyaksikan bagaimana kehidupan ini berjalan. Saya lahir dari rahim seorang wanita muslimah.

Pelafalan dua kalimat syahadat dan azan di telinga saya waktu itu, merupakan penanda bahwa saya lahir sebagai bayi yang beragama sekaligus sebagai simbol pengingatan kembali akan janji di alam primordial sebelumnya, seperti yang diakui dalam ajaran agama Islam. Saya yang masih dalam kondisi belum mampu berjalan, belum mengenali ibu-ayah, telah dikukuhkan sebagai manusia beragama. “Islam adalah agamaku,” kata Ibu beberapa tahun setelahnya. 

Seperti yang dialami oleh semua orang, saya diazankan sesaat setelah lahir lalu disunat ketika menjelang balig, semua itu dilakukan atas dasar keputusan orang tua saya. Saya dimasukkan dalam kategori beragama Islam karena orang tua saya beragama Islam juga. Mungkin, tidak berlebihan jika seseorang di kemudian hari menyebut saya sebagai Islam keturunan. Tapi tak apalah, karena kabar baiknya, nyaris semua orang mengalaminya—setidaknya setelah mereka baru saja lahir ke dunia mereka memeluk agama keturunan.

Meskipun dengan keluhan semacam itu, saya merasa bersyukur karena tidak ada pilihan lain bagi orang tua saya kala itu selain membaptis atau mengukuhkan saya sebagai orang beragama Islam. Meskipun di kemudian hari saya menyadari bahwa bersyahadat sebagai muslim, atau dibaptis sebagai kristen, atau diakui sebagai orang yang beragama apa saja, itu sama saja.

Pernah, sewaktu saya masih di Sekolah Dasar, saya bertanya kepada guru saya, bagaimana jikalau seandainya orang tua saya adalah non-Muslim, dan saya lahir dan dibesarkan dalam keluarga semacam itu, dan bahkan memeluk agama yang orang tua saya peluk yakni agama non-Islam misalnya, apakah saya masih akan diterima di surga? “Tidak,” kata guru agama saya dengan tegas.

Jawaban dan nasihat guru agama saya waktu itu, cukup membuat masa kecil saya membenci bahkan tak peduli dengan teman seumuran yang beragama non-Islam. Suatu hari, saya berkunjung ke kampung tetangga, di rumah teman, saya menyaksikan di teras rumah, orang-orang Kristen sedang beribadah atau tepatnya sedang bernyanyi lagu gereja, saya dan teman-teman mengejeknya dengan mengikuti caranya menyanyi dengan suara dijelek-jelekkan bahkan diplesetkan. 

Kami, sekumpulan anak-anak muslim di kampung itu sedikit nakal terhadap anak-anak non-muslim. Bahkan ketika kami bermain, kami pernah mengejek konsep iman mereka dengan nyanyian aneh-aneh. “Tuhan Allah, Tuhan Bapak, Tuhan Anak, Tuhan Ibu, Tuhan sekeluarga, ayo kita bermain bersama Tuhan. Tuhan suka bermain-main, bukan?” teriak kami bersama sambil tertawa.

Beriring waktu, beriring pula perubahan-perubahan. Perubahan sikap beragama saya bermula ketika orang tua saya berinisiatif memasukkan saya ke sebuah surau di kampung tetangga, di sanalah saya diajari bagaimana membaca Alquran serta tata cara melaksanakan ibadah serta bagaimana bersikap kepada sesama, baik muslim dan non-muslim. Jika diketahui mengejek atau melakukan hal buruk sesama teman, pastilah kami akan dihukum. Juga seperti semua anak-anak pada masa itu, saya juga mendapatnya pengajaran semacam itu di bangku sekolah.

Akhirnya, selama sekolah, saya mengalami transformasi pengetahuan juga pengalaman sehingga sudah lebih toleran terhadap orang lain yang berbeda agama. Dan titik paling ekstrem, adalah ketika saya memasuki dunia kampus, saya mengambil jurusan Filsafat Agama di UIN Alauddin Makassar. Cara berpikir filsafat membuat saya harus mengonstruksi ulang pandangan saya tentang iman dan agama.

Kadang-kadang, saya berpikir, apakah benar waktu di alam rahim, sebelum kita terlahir, kita benar-benar ditanya soal apakah kita akan memeluk agama Islam atau tidak, atau apakah kita akan lahir dalam keluarga Bugis atau tidak, atau apakah kita akan dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, saya selalu memikirkannya, kadang-kadang Tuhan memang menyisipkan lebih banyak pertanyaan ke benak kita tentang diri-Nya. Dan anehnya, kita sama sekali takut mengatakannya atau memikirkannya meskipun sejenak.

Di semester awal, saya benar-benar mendapatkan sebuah pengalaman beragama yang baru. Ketika itu, filsafat saya jadikan sebagai hobi dalam memandang banyak hal, termasuk agama. Pertanyaan-pertanyaan radikal tentang agama pun sulit untuk terhindarkan. “Apakah kebenaran agama itu hanya satu? Mengapa Tuhan menciptakan banyak sekali agama? Atau apakah yang kita sebut sebagai Tuhan itu hanya ciptaan manusia semata? Mengapa semua orang harus beriman? Apakah yang kita maksud dengan iman?” dan pertanyaan lainnya.

Pernah suatu waktu, ketika saya pulang kampung liburan semester satu, saya bertanya kepada orang tua saya tentang iman dan agama. Dalam bahasa Bugis, saya bertanya kepadanya, “mengapa kita mesti salat, Ayah?” Ia diam. Saya mengulang pertanyaan, “mengapa kita harus salat, Ayah?” Ia mengangkat kepala, melihat saya. “Kita memang harus melakukannya,” jawabnya pelan dalam bahasa Bugis, “sebelum kita benar-benar bisa memahami maksud Tuhan memerintahkan kita.” Saya dengan cepat menyanggah, “bukankah jauh lebih bernilai jika kita mengetahui dulu apa maksudnya Tuhan memerintahkan kita salat, sebelum kita menunaikannya, Ayah?”

Waktu itu, kami di teras rumah, sebuah hari di Sabtu pagi. Ayah tidak langsung menjawab sanggahanku, ia diam. Beberapa saat berlalu, lalu memecahkan diamnya dengan menyebut namaku, seperti ada hal besar yang ingin ia sampaikan.

“Dengarkan,” sapanya sekali lagi seolah benar-benar memerintahkanku mendengarkan kalimatnya. Saya siap mendengarkan.

Ia berkata “Karena kita petani, kamu pasti tahu kan buah kelapa?!”

Saya mengangguk.

“Buah kelapa, awalnya hanya kulit, lalu dalam proses pertumbuhannya, Tuhan mengeraskan tempurungnya, memberi isi dan air, serta segala hal yang mengisi kelapa yang sebelumnya hanya kulit. Seperti itu pula iman, awalnya hanya iman, lalu kita dituntut untuk mengisinya dengan pengetahuan, dan secara terselubung, Tuhanlah yang sebenarnya mengisi pengetahuan kita.” jawab Ayah.

“Tapi jangan lupa, semua itu bermula dari iman, laksanakan dulu, kelak Tuhan mengisi pengetahuanmu tentang-Nya seperti Tuhan memberi isi pada buah kelapa yang awalnya tak berisi. Pada saat itulah pertanyaanmu tentang apa maksud-Nya memerintahkan kita untuk beriman akan terjawab, nak.”

Saya terdiam, memikirkan apa yang dikatakan oleh Ayah. Bahwa, Ayah saya—yang tidak sempat menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama, yang gagap menggunakan bahasa Indonesia, mampu menjelaskan persoalan iman dengan menggunakan analogi alam sekitar yakni melalui penciptaan buah kelapa yang setiap hari dijumpainya di kebun. Saya benar-benar memikirkan jawaban tersebut setelahnya, sampai kembali lagi ke kampus untuk melanjutkan semester selanjutnya. 

Saya masih ingat, ketika itu, di awal semester yang baru, saya menceritakan perihal itu ke dosen saya, Guru Besar Filsafat Agama, Prof. Dr. Qasim Mathar MA. dan beliau mengatakan “kamu harus belajar menjadi hamba yang baik, jangan ingin jadi Tuhan yang hendak menghakimi iman orang lain, itu bukan tugasmu.” Selain itu, saya juga menyampaikan keluhan saya, bahwa semenjak memasuki jurusan Filsafat, saya merasa bahwa kebiasaan saya salat berjamaah tepat waktu kini telah berkurang, dan menurut saya, hal ini mungkin disebabkan karena saya terlalu menggeluti filsafat. Ia menjawab, “tidak, malah kamu sebenarnya makin saleh ketika malas beribadah karena menggeluti filsafat.”

Singkatnya, sikap dan cara saya menggauli agama senantiasa mengalami perubahan sedikit demi sedikit ke suatu arah yang bisa dikatakan sebagai iman yang dewasa, seperti menegaskan perkataan seorang filsuf, Heraklitus, bahwa tidak ada identitas yang final yang dimiliki oleh manusia, semua senantiasa mengalami perubahan (pantarei). Kita hanya menunggu kematian sebagai satu-satunya penyebab keterputusan dari perubahan tiada henti tersebut.

Dan yang paling penting, bahwa iman atau dengan apapun kita menamakannya, akan sangat dipengaruhi oleh banyak hal, seperti orang-orang di sekeliling kita—yang mungkin kita jumpai melalui lingkaran organisasi yang beragam ideologi, tokoh-tokoh berpengaruh dalam prosesi akademik kita, serta buku-buku yang kita baca serta pengalaman subtil dalam kehidupan keseharian kita. Semua itu mempengaruhi akan menjadi seperti apa kita sebagai manusia beragama.

Apa Indikasi Orang Berintelektual?

Apa Indikasi Orang Berintelektual?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Tulisan ini merupakan tanggapan (antitesis) dari tulisan singkat (status) atau hasil pemikiran yang tulis oleh salah seorang pemikir di jurusan Aqidah Filsafat yang bernama Ma’ruf Nurhalis di beranda Facebooknya. Beliau mengatakan bahwa: “Tanda kita intelektual adalah seringnya kita menggelengkan kepala atau sering berkata ‘Tidak!’. Bukan ngangguk dan rajin berkata ‘Iya'”

Orang Berintelektual

Seperti gambar yang ada di atas, karena besarnya makna yang tersirat sehingga tulisan tersebut menjadi sangat populer. Dalam waktu 22 menit setelah dipublikasikan mendapatkan banyak tanggapan yakni mencapai 4 tanggapan. Membuat saya merasa tidak ingin ketinggalan menanggapinya. Jika anda tidak percaya silakan cek falsifikasinya di Facebook.

Topik tulisan singkat (status) tersebut adalah indikasi intelektual seseorang. Sebelum mengkritik ide tersebut mari kita jabarkan makna intelektual. Karena perbedaan bisa saja terjadi karena didasari oleh pisau analisis dan cara menganalisis kita berbeda. Oleh karena itu, menjelaskan makna intelektual terlebih dahulu akan memudahkan kita untuk memahami batasan intelektual mana yang akan kita bahas.

Intelektual dalam pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah cerdas, berakal, dan berpikir jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Selaku manusia yang berfilsafat defenisi demikian sangatlah dangkal, sebab tak menguraikan esensi intelektual itu sendiri. Dalam hal ini defenisi demikian di atas masih bisa menimbulkan pemaknaan yang diarahkan pada non-intelektual.

Sedangkan menurut Julien Benda dalam buku La Trahison Des Clercs (1927), bahwa inteletual itu adalah pejuang kebenaran dan keadilan, tekun dan menikmati bidang yang digelutinya, tidak ditunggangi ambisius materi dan kepentingan sesaat. Berani keluar dari sarangnya untuk memprotes atau melawan ketidakadilan dan menyuarakan kebenaran walaupun dengan resiko yang besar. Berdasarkan pandangan tersebut Julien berusaha mengungkap bahwa seseorang dikatakan berintelektual itu jika ia mampu berlaku seperti Socrates, Yesus.

Wacana tentang indikasi intelektual manusia juga di analisis oleh seorang sosiolog bernama Regis Debray. Menurut Debray kaum intelektual itu dibagi menjadi tiga generasi yakni pertama, generasi 1900-1930 yang terdiri dari para pengajar (teachers). Kedua, generasi 1930-1960 meliputi para penulis (writers, novelist, essayist). Ketiga, generasi 1960-sekarang. Generasi ketiga ini, Debray menyebutnya sebagai “cendekiawan selebritis”. Artinya orang yang berintelektual adalah mereka yang bisa tampil di media massa yang memiliki pengaruh, pesona, sensasional bagi orang banyak.

Sedangkan bagi Antonio Gramsci, seorang filsuf italia, penulis, dan juga marxism. Ia mengemukakan bahwa intelektual terdiri dari dua wilayah, yakni wilayah teori (intelektual tradisional) dan menghubungkannya dengan realitas sosial (intelektual organik). Intelektual organik dalam hal ini merupakan intelektual yang dengan sadar dan mampu menghubungkan teori dan realitas sosial yang ada dan ia bergabung dengan kaum revolusioner untuk men-support dan meng-counter hegemoni pada sebuah transformasi yang direncanakan.

Seperti itulah beberapa pandangan pemikir mengenai manusia berintelektual, tentunya itu menjadi wacana awal untuk melanjutkan analisis kita terhadap tulisan ringkas (status) Ma’ruf Nurhalis di atas. Karena pemikiran dari beberapa pemikir di atas bersifat revolusioner dan sangat teoritis, maka saya pribadi ingin mengeluarkan hasil telaah terhadap indikasi seseorang dikatakan berintelektual. Fenomena yang akan saya katakan sangat sering dijumpai karena bersifat empirikal dan tentunya indikasi intelektual yang ada di dunia kampus khususnya kampus yang katanya kampus peradaban, UIN Alauddin Makassar.

Jika salah satu pemikir yang berasal dari kampus yang katanya kampus peradaban tersebut mengatakan bahwa seseorang dikatakan berintelektual apabila ia sering dengan mudah mengatakan ‘Tidak’ atau sering kita menggelengkan kepala. Namun menurut saya indikasi intelektual seseorang tidak bisa hanya dipandang demikian, dan bahkan harus lebih dari itu. Cara kita memandang dan mengategorikan kaum intelektual harus lebih substansial.

Misalnya dosen dalam hal ini Guru Besar (profesor), akan dengan mudah mengatakan ‘Tidak’ ketika terlontar kalimat pertanyaan yang bernada menyarankan dan bahkan langsung menolak jika terdapat argumen mahasiswa yang berbeda dan menyudutkannya–meskipun tidak semua guru besar demikian. Menolak dan mengatakan dirinya lebih berintelektual adalah kesombongan intelektual tingkat dewa. Dan inilah yang menjadi pertanyaan: Apakah manusia yang dengan mudahnya menolak pendapat orang lain dengan rasa fanatis dan rasa gengsi bahkan sampai menjatuhkan orang lain tanpa rasa hormat, itu dapat dikatakan berintelektual? Tentu tidak.

Maka dari itu, bagi saya manusia yang berintelektual adalah mereka yang tidak dengan mudah mengatakan ‘Tidak’ atau dengan mudah mengatakan ‘Ya’, sebab selaku manusia yang berintelektual ia sudah pasti berlaku layaknya padi. Ia seharusnya berlaku sebagaimana petuah mengatakan “Padi semakin berisi semakin tunduk”. Bukan sebaliknya, sebagaimana analogi yang diungkap oleh Tan Malaka “Padi tumbuh tak berisi”.

Dengan demikian, ketika ia tidak dengan mudah mengatakan ‘Tidak’ atau pun ‘Ya’ maka terlihat bahwa aksiologi dari pengetahuan yang ia miliki telah terealisasi secara mendalam. Tidak dengan mudahnya menampakkan kesombongan intelektual. Yah, kesombongan intelektual yang pada dasarnya tak layak disebut sebagai kaum intelektual.

Jawaban-jawaban tersebut merupakan hasil analisis saya terhadap dunia kampus. Setelah saya menilik kampus yang dijadikan panggung sandiwara, ternyata karakter suci yang berperan di kampus itu dimainkan oleh para manusia dengan kesombongan intelektual tingkat dewa. Lantas wajarlah virus-virus kesombongan intelektual juga merembes pada para penonton sandiwara. Mungkin contohnya sebagaimana tersirat dalam tulisan singkat (status) yang ditulis oleh Ma’ruf Nurhalis. Selain itu, hipotesa saya bahwa tulisan ini juga telah terinfeksi virus kesombongan intelektual.

Tentu tujuannya agar dengan menampilkan wajah dan karakter kesombongan intelektual di tulisan ini diharapkan pembaca dapat tersadar bahwa di sekeliling kita, kesombongan intelektual telah merebak di mana-mana, mulai dari serpihan sandal jepit tukang parkir sampai pada lirikan sang ajudan penguasa. Dengan kata lain orang Makassar mengenalnya dengan kata “Orang Sotta”.😂

Mengapa Kita Menginginkan Kebahagiaan?

Mengapa Kita Menginginkan Kebahagiaan?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Dalam kehidupan sehari-hari, tanpa kita sadari, kita sering kali, melontarkan kalimat “Aku ingin bahagia”, “Yang penting kita bahagia”, “Mari hidup bahagia!”, dan berbagai argumen yang merupakan alasan-alasan yang terkadang bermakna pragmatis bagi kehidupan. Padahal kita belum pernah mengeksplorasi esensi kata ‘bahagia’ itu sendiri. Kebahagiaan bukanlah hal asing bagi kehidupan manusia. Sebab kebahagiaan ini bahkan telah menjadi dambaan dan impian oleh setiap manusia yang berpikir dengan akal sehatnya.

Kebahagiaan seolah harga yang tak dapat ditukar dengan barang apapun. Nilai kebahagiaan yang sangat berharga ini terkadang membuat orang beranggapan bahwa kebahagiaan itu harus diraih meskipun dengan mengorbankan kebahagiaan orang lain. Namun di sisi lain, terdapat sebagian orang yang berpendapat bahwa kebahagiaan itu ketika kita mampu menyalurkan cinta dan membuat banyak orang bahagia. Menyaksikan fenomena ini, menjebak kita dalam dialektika Ruang Skeptis ini.

Ya, kebahagiaan. Tema yang terkadang dianggap hal yang kompleks dan terkadang pula dianggap sebagai hal yang sangat simpel. Mengapa demikian? Apa sih itu kebahagiaan? Kapan manusia dikatakan bahagia? Mengapa manusia butuh bahagia? Siapakah pemberi kebahagiaan itu? Apakah bahagia sesimpel kata mereka yang pragmatis atau serumit kata mereka yang pesimis? Dan berbagai pertanyaan skeptis lainnya yang ketika terjawab akan membuat kita tersadar atas makna kebahagiaan secara esensial.

Apa itu kebahagiaan?

Kebahagiaan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ‘bahagia’. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tentram (bebas dari segala yang menyusahkan). Menurut saya kebahagiaan adalah kepuasan intelektual (batin) yang merupakan capaian dari berbagai potensi-potensi manusia dalam kehidupan. Jadi dengan defenisi itu, dapat menjawab masalah-masalah kebahagiaan yang tak kunjung dijumpai oleh orang-orang yang memiliki segalanya namun tak merasakan kebahagiaan.

Karena kebahagiaan bukanlah seberapa banyak istri yang anda miliki, bukan seberapa banyak mobil mewah yang dimiliki, bukan seberapa tinggi pangkat dan jabatan yang diraih. Namun kebahagiaan bagi saya adalah dimensi intelektual (batin) dalam merasakan kepuasan (syukur) terhadap yang dimilikinya yang mungkin saja tidak dimiliki oleh orang lain.

Menurut Andi Afandi Syam, mahasiswa di jurusan Perbandingan Agama UIN Alauddin Makassar mengatakan bahwa bahagia itu simpel dan relatif-universal. Bahagia itu simpel, karena kebahagiaan menurut beliau tergantung pada otoritas dan pandangan kebahagiaan individu seseorang. Misalnya, ketika seseorang mendambakan seorang pujaan hati untuk menjadi permaisurinya (istri), memiliki mobil mewah, rumah yang megah, pangkat yang tinggi dan lainnya maka kebahagiaan orang tersebut adalah ketika ia mampu mendapatkan atau merealisasikan harapan-harapannya tersebut.

Sedangkan menurut Sainal Abidin, mahasiswa di jurusan Filsafat Agama UIN Alauddin Makassar mengatakan bahwa kebahagiaan itu adalah ketika keinginan dalam pikiran dan perasaan menyatu dan terwujudkan dalam realitas. Dari pandangan kanda Sainal saya merumuskan bahwa kebahagiaan itu perpaduan antara apa yang kita pikirkan dengan perasaan kita yang kemudian menjadi sebuah realita. Nah apabila kesatuan harapan ini telah menjadi realita dalam kehidupan maka di sanalah kebahagiaan itu menampilkan eksistensinya.

Rumus Kebahagiaan

Diagram di atas merupakan sirkulasi munculnya kebahagiaan menurut Sainal Abidin. Harapan yang terakumulasi dari dua sumber yakni akal (pikiran) dan hati (perasaan) kemudian terwujud menjadi realita dalam kehidupan. Namun yang menjadi salah satu pengontrol dan pendorong dari terwujudnya akumulasi harapan tersebut adalah nafsu. Nafsu memiliki dua sisi yakni mendorong dan memotivasi pencapaian kebahagiaan dan juga di sisi lain bisa saja menjadi penghambat terwujudnya kebahagiaan.

Kapan seseorang dikatakan bahagia?

Pertanyaan tersebut memiliki jawaban yang beragam tentunya berasal dari berbagai pandangan. Ada sebagian orang berpandangan bahwa manusia dikatakan bahagia ketika ia mencapai apa yang ia cita-citakan dalam hidupnya. Dia dikatakan bahagia karena hal yang dicita-citakannya itu merupakan hal yang membuatnya terbebas dari segala kesusahan dan penderitaan. Namun ada pula beberapa orang yang berpendapat bahwa kebahagiaan itu merupakan hal yang sangat dalam dan bahkan hanya mampu mencapainya pada area sakral yakni kematian. Karena menurut beberapa orang ini (sufi) kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan non-material. Sehingga orang dikatakan bahagia ketika ia mampu terbebas pada material, dan salah satu caranya adalah mengalami kematian.

Bagaimana tingkatan kebahagiaan manusia?

Menurut saya tingkatan kebahagiaan manusia berbanding lurus dengan pengetahuan dan kesadarannya. Menurut saya ada tiga tingkatan kebahagiaan berdasarkan tingkat pengetahuan esensial manusia, yakni kebahagiaan tingkat pertama, kebahagiaan tingkat menengah, dan kebahagiaan tingkat atas.

Kebahagiaan tingkatan pertama adalah tingkatan kebahagiaan materialis. Kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan yang dangkal diantara tingkatan kebahagiaan yang ada. Mengapa hal ini juga termasuk dalam kebahagiaan? Karena tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat sebagian orang yang merasa bahagia ketika memiliki banyak materi berupa harta. Yah, orang bisa saja merasa bahagia dengan segala sumber material yang dimilikinya namun bagi saya itu hanyalah kebahagiaan yang dangkal.

Kebahagiaan tingkatan kedua adalah kebahagiaan yang berada pada tahapan kepuasan intelektual manusia. Kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan tingkat menengah dan biasanya dicapai oleh orang-orang yang taraf intelektualnya di atas orang awam. Pada tingkatan kebahagiaan ini, dalam memandang realita dunia, manusia tidak lagi mementingkan material namun lebih pada kesadaran dan kepeduliannya terhadap sesama sebagai manifestasi dari pengetahuan dan inteleknya.

Kebahagiaan tingkat tertinggi adalah kebahagiaan yang dicapai melalui jalan spiritual. Kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang selalu terpancarkan bagai cahaya lentera meskipun dilanda oleh kegelapan seperti penderitaan, kemiskinan, dan lain-lain. Itulah tiga tingkatan kebahagiaan menurut saya. Opini ini bisa saja berbeda dengan opini pembaca, sebab inilah cara Ruang Skeptis menyajikan opininya.

Siapa yang menciptakan kebahagiaan?

Mungkin saja semua orang berkeyakinan bahwa kebahagiaan sebagai wujud harapan takkan tercapai tanpa usaha yang dilakukan. Yang menjadi pertanyaan skeptis saya adalah siapakah yang memberikan kebahagiaan? Apakah manusia yang menciptakan kebahagiaannya sendiri? Atau kebahagiaan itu lahir dari orang lain yang menilai? Mengapa tiba-tiba orang bisa mengetahui yang namanya kebahagiaan? Itulah pertanyaan-pertanyaan skeptis yang kami harap mampu merangsang pembaca untuk senantiasa melakukan refleksi melalui pertanyaan dialektika-skeptis tersebut.

Manusia bisa saja menciptakan kebahagiaan untuk dirinya, namun yakinlah bahwa itu hanyalah kebahagiaan semu yang fana. Sebab kebahagiaan yang utuh dan sejati hanya milik Tuhan dan hanya mampu dirasakan oleh manusia-manusia yang dikehendaki-Nya. Jadi untuk mencicipi kebahagiaan sejati itu menurut pandangan sufistik adalah dengan kematian yang menjadi jalan pintas penyatuan diri dengan pemilik kebahagiaan.

Mengapa manusia menginginkan kebahagiaan?

Hal yang tak bisa dimungkiri dalam diskursus kebahagiaan adalah manusia menginginkan kebahagiaan. Mengapa demikian? Apakah karena hal tersebut berkaitan dengan naluri alami manusia? Apakah itu hasil olah pikiran manusia? Ataukah itu hasil hasrat yang lahir dari hawa nafsu manusia? Nah, untuk pembaca yang budiman, bagaimana menurut? Mengapa Anda menginginkan kebahagiaan?

Mengapa Tuhan Menciptakan Manusia Bisu?

Mengapa Tuhan Menciptakan Manusia Bisu?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Sebelum masuk pada tahapan menjawab dan merefleksikan pertanyan atau fenomena ini, kita seharusnya menyegarkan pengetahuan kita tentang apa itu tunawicara, apa itu tunarungu, dan bagaimana fakta-fakta yang berkaitan dengan pertanyaan skeptis-reflektif ini.

Apa itu tunawicara atau bisu?

Bisu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tidak dapat berkata-kata (karena tidak sempurna alat percakapannya atau tuli sejak kecil, atau hal tersebut juga bisa disebut dengan tunawicara. Bisu biasanya disebabkan oleh gangguan pada organ-organ tertentu seperti tenggorokan, pita suara, paru-paru, mulut, dan sebagainya. Bisu umumnya terkait dengan penyakit tunarungu atau tuli. Namun tidak selamanya orang yang bisu itu juga tuli. Oleh karena itu, selain mengetahui apa itu tunawicara selanjutnya kita juga seharusnya bisa mengetahui apa itu tunarungu.

Apa itu tunarungu atau tuli?

Tuli dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tidak dapat mendengar (karena rusak pendengarannya); pekak. Dengan demikian banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul di antaranya: apakah orang bisu juga dipengaruhi oleh penyakit tunarungu (ketulian) atau kebisuan yang mempengaruhi ketulian? Untuk pembaca yang telah memahami hal itu, semoga bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Inilah sisi lain dari Ruang Skeptis, selain selalu menanyakan hal-hal reflektif juga memberi peluang pembaca untuk bertanya atau menjawab yang nantinya menjadi pembahasan di artikel selanjutnya.

Bagaimana fakta atau keadaan penderita penyakit tersebut di Indonesia?

Karena tulisan ini terinspirasi dari salah satu masyarakat Indonesia yang saya temui dalam kondisi kebisuannya. Dalam artian saya sendiri secara langsung bertemu dengan penderita penyakit ini di Indonesia tepatnya di kota Makassar. Nah pertanyaan yang muncul, apakah hanya orang tersebut yang menderita penyakit seperti itu? Ataukah masih banyak di luar sana yang juga menderita penyakit tersebut?

Kementerian Kesehatan pada tahun 1994-1996 pernah melakukan survey di  7 provinsi di Indonesia dengan hasil bahwa jumlah penderita ganguan pendengaran di Indonesia sebanyak 35,6 juta jiwa atau 16,8% dari seluruh penduduk Indonesia. Sedangkan yang mengalami ketulian sebanyak 850.000 jiwa atau sekitar 0,4% dari populasi.

Selain terdapat riset atau survey dalam lingkup nasional, juga ada beberapa data yang berada dalam lingkup dunia. Seperti data WHO Multicenter Study tahun 1998 menemukan bahwa terdapat sekitar 240 juta (4,2%) penduduk dunia yang menderita ganguan pendengaran. Sekitar 4,6% di antaranya ada di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, Indonesia dinobatkan menjadi negara peringkat ke-4 di dunia sebagai negara yang memiliki jumlah penderita ganguan pendengaran tertinggi setelah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3).

Bagaimana perhatian pemerintah Indonesia atau dunia melihat kondisi tersebut?

Penderita penyakit ini memang kadang tidak mendapakan perhatian khusus dari pemerintah. Karena juga di sisi lain gangguan penyakit ini tidak di perhatikan oleh kalangan masyarakat itu sendiri. Namun bukan berarti pemerintah tetap diam setelah mendapatkan beberapa fakta dan data yang membuktikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara besar dari jumlah penderita penyakit tersebut.

Salah satu perhatian pemerintah yaitu pada tanggal 14 Desember 2007 membentuk Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT). Komnas PGPKT menargetkan angka penderita gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia akan turun sebanyak 50% di tahun 2015 dan tersisa 10% pada tahun 2030. Target yang menurut saya cukup menjanjikan. 

Meskipun hinga tahun 2017 belum ada data yang saya temukan mengenai penurunan jumlah penderita penyakit tersebut namun saya tetap memberikan apresiasi untuk Komnas PGPKT yang telah banyak memberikan penyuluhan di sekolah-sekolah juga bagi ibu hamil untuk selalu mencegah penyebab terjadinya kebisuan dan ketulian. Entah itu dari sejak lahir maupun setelah ia lahir. Karena menurut Komnas PGPKT, penyakit ini yang sejak lahir maupun bukan pada dasarnya masih bisa dicegah dengan beberapa pertimbangan sebelumnya.

Selain perhatian skala nasional, juga terdapat perhatian dari lembaga WHO. Setelah mengetahui kebanyakan penderita penyakit ini lebih banyak berasal dari Asia Tenggara, maka WHO mencanangkan program Sound Hearing 2030. Tujuannya adalah agar setiap penduduk di Asia Tenggara mendapatkan haknya yakni memiliki derajat kesehatan telinga dan pendengaran yang optimal di tahun 2030.

Mengapa Tuhan menciptakan manusia bisu?

Berdasarkan fakta-fakta di atas bahwa ada beberapa dari penderita penyakit ini yang berasal dari lahir dan itu sudah pasti merupakan kehendak Tuhan. Nah, pernahkah pembaca bertanya mengapa Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan tuli? Di mana letak keadilan Tuhan terhadap manusia yang tuli itu? Apakah manusia yang diciptakan tuli tersebut memang telah melakukan dosa atau kesalahan sebelum lahir sebagai wujud balasan untuknya? Ataukah seperti itukah Tuhan memberikan nikmat-Nya kepada orang tersebut berupa ketuliannya? Pertanyaan-pertanyaan itu adalah wilayah Ruang Skeptis. Namun pada tulisan ini, yang akan kami refleksikan adalah mengapa Tuhan menciptakan orang tuli dan bisu dari sisi hikmah dan rasa skeptis. 

Namun sebelumnya, pada lingkup agama pertanyaan mengapa tuhan menciptakan manusia bisu merupakan pertanyaan yang orang katakan keliru sebab pertanyaan ini seolah men-judge dan menentang otoritas penciptaan Tuhan. Namun bagi saya, pertanyaan tersebut saya pakai atas dasar pemacu pembaca untuk melakukan reflektif atas fenomena tersebut. Inti dari pertanyaan “mengapa” ini adalah kunci pertanyaan pencari hikmah. 

Meskipun pertanyaan itu terlontarkan dalam naluri saya namun saya tidak tahu secara pasti mengapa Tuhan berlaku demikian. Yang jelas menurut saya Tuhan menciptakan orang bisu sebagai pembelajaran dan media refleksi kepada manusia yang tidak bisu. Jika seandainya semua manusia tidak ada yang bisu apakah tulisan ini akan ada? Jika andai kata di antara semua orang tidak ada yang bisu maka apakah akan ada orang yang melakukan refleksi atau renungan akan keterbatasannya? Apakah masih ada wujud pembelajaran buat orang-orang yang sempurna dalam penciptaan untuk mensyukuri kesempuraan fisiknya? Yah itulah salah sebabnya.

Pernahkah kita menyadari bahwa bahasa adalah kunci paling utama untuk memahami dunia. Tidak hanya untuk mengetahui banyak hal di sekeliling kita namun juga, bahasa digunakan untuk berinteraksi dengan sesama manusia. Setiap hari kita berinteraksi dengan manusia lain dengan bahasa. Kita tidak mengetahui berapa kata yang kita ucapkan dalam sehari untuk berkomunikasi. Bagaimana dengan orang tunawicara? Ia bahkan tidak mampu berbicara. 

Wahai pembaca yang budiman, pernahkah kita berpikir demikian? Apakah pendengaran dan kemampuan berbicara yang Tuhan berikan telah kita gunakan dengan baik? Ataukah apakah kita pernah dengan mudah mengatakan “Wahai Tuhanku terima kasih atas kemampuan berbicara dan pendengaran yang telah engkau berikan”. Jika tidak pernah, di manakah letak terima kasihmu kepada Tuhan yang telah memberikan semua itu?

Kepada pembaca yang tidak menderita kebisuan dan ketulian atau diciptakan dalam kesempurnaan potensi fisik maupun non-fisik, saya memiliki pertanyaan buat anda sebagai bahan reflektif. Bagaimana jika Tuhan menciptakan anda dalam keadaan bisu? Bagaimana jika bahkan hari ini Tuhan berkehendak bahwa mulai hari ini anda bisu, apa yang akan anda lakukan? Pernahkah anda bersyukur atas nikmat pendengaran dan kemampuan berbicara yang Tuhan berikan?

Kepada pembaca yang menderita penyakit bisu, terutama tunawicara yang pernah saya jumpai. Yang ingin saya sampaikan bahwa yakinlah Tuhan menyayangi kalian sehingga hal tersebut merupakan salah satu bukti ujian dan cobaan dari-Nya. Tegarlah dalam kehidupanmu, meskipun dalam keterbatasan itu. Semoga cepat sembuh dan Tuhan membalas keikhlasan dan kesabaranmu dengan balasan yang setimpal. 

Apa Kita Salah Memaknai Agama?

Apa Kita Salah Memaknai Agama?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Maukah engkau menjawab pertanyaan konyol dariku?

Pernahkah kita bertanya, apakah pengetahuan kita bertambah setelah kita belajar pada ideologi tertentu? Apakah pengetahuan kita bertambah setelah mempelajari nilai-nilai, ajaran, kebiasaan-kebiasaan yang agama kita tuntun? Apakah dengan mempelajari ilmu agama membuat kita semakin menyayangi manusia, hewan, dan makhluk lainnya? Meskipun banyak diantara kita malah lebur dalam dogmatis yang memberikan rasa kebencian dan meremehkan mereka yang tidak seideologi dengan kita. Ataukah bahkan kita membenci dan meremehkan mereka hanya karena tidak satu tempat kajian dengan kita?

Lebih tepatnya apakah kita pernah mempertanyakan nilai-nilai, ajaran, dan kebiasan-kebiasaan yang tanamkan oleh agama dalam kehidupan kita? Apakah nilai-nilai, ajaran, kebiasaan-kebiasaan itu memberikan dampak positif atau negatif jika diyakini dan dilestarikan. Sadarkah kita, bahwa tidak sedikit di luar sana mengatasnamakan ajaran agama untuk membunuh, menistakan, mencaci, dan segala bentuk penindasan lainnya hanya karena persoalan tidak seideologi dengannya.

Maukah engkau menjawab pertanyaan konyol dariku?

Apakah menghargai dan memberi kebaikan hanya terbatas pada lingkup ideologi yang sama? Apakah ilmu agama dan ilmu – ilmu lainnya yang kita pelajari selama ini menuntun kita menjalani kehidupan yang harmonis dengan sesama manusia?

“Agama mengajari kita nilai – nilai pluralitas meskipun tidak mengakui pluralisme”, itulah kata mereka. Entah, menurutmu sepakat atau tidak. Setidaknya aku manyampaikan satu hal untuk kita renungkan. 

Para agamawan mengatakan, “Ilmu agama merupakan ilmu yang universal dan meluas”. Jika demikian mengapa banyak diantara kita, yang juga merupakan pecandu agama yang malah menganggap agama dapat dimengerti olehnya. Seolah – olah agama itu hanya bisa ditafsirkan selebar daun kelor. Mengapa kita mesti menyempitkannya dengan berbagai dalil – dalil intoleransi? 

Menyempitkan makna agama hanya sebatas kalkulasi pahala dan dosa, takut – menakuti dengan neraka, mengiming – imingkan dengan surga. Bukankah agama hadir sebagai wujud transformasi dari zaman penindasan dan kebodohan menuju zaman pembebasan dan peradaban?

Saya adalah manusia tak berilmu, tapi ada satu hal yang saya yakini bahwa Tuhan menciptakan manusia yang berbeda denganku, tak seakidah denganku, tak seideologi denganku, semua itu bukanlah kesia-siaan. Mampukah aku menjudge mereka yang berbeda denganku dengan dalil-dalil kitab suci yang sepertinya sengaja di gelintirkan sehingga bermakna intoleransi. Mampukah kita membenci dan meremehkan mereka sedangkan agama dan ideologi kita tak mengajarkan demikian? 

Menurutku tidak baik suatu ideologi jika tidak dapat memberikan nilai harmonisasi dalam kehidupan kita. Menurutku tidak baik suatu ideologi yang hanya memberikan fanatisme dan menghilangkan toleransi untuk ideologi yang lain. Itu menurutku, namun tak menghalangi engkau mengatakan hal yang berbeda atas dasar menurutmu. Saudaraku, bagaimanakah menurutmu ideologi atau agama yang baik itu?

Maukah engkau menjawab pertanyaan konyol dariku?

Pernahkah kita bertanya tentang pentingnya agama dalam kehidupan? Bukankah banyak problematika besar – besaran saat ini diakibatkan oleh persoalan agama. Penduduk Indonesia saling demo-mendemo, caci-mencaci, fitnah-memfitnah, semua itu karena alasan kriminalisasi, penistaan, dan semua itu karena agama. Kenyataan ini tidak lagi mencerminkan kesucian, kedamaian, dan urgensi ajaran agama sebagai rahmat untuk alam dan manusia.

Karena agama, tercipta peradaban yang besar dan kehidupan masyarakat damai. Namun dilain sisi karena agama pula, akan tercipta peperangan dan pertikaian diantara kita. Jika kita dihadapkan pada realitas-realitas ini dimanakah letak kesalahan kita dalam memaknai Agama dalam kehidupan ini? Mampukah setiap orang memaknai Agama itu secara filosofis sebagaimana hakikat yang paling esensial dalam suatu agama?

Ataukah agama yang kita anut adalah agama yang salah sehingga menimbulkan permasalahan? Lantas jika agama kita salah maka agama apakah yang benar yang harus kita anut? Bukankah semua agama mendefenisikan diri sebagai agama yang benar. Tapi mengapa penganutnya mendustakan kebenaran ajaran agama mereka?

Ataukah bahkan kita yang salah dalam memahami agama itu? Kesalahan pemaknaan kita akan agama membuat kita banyak melakukan penindasan, penistaan, mencela agama lain dan perbuatan lain yang kontradiksi terhadap ajaran agama. Padahal agama menjanjikan kehidupan yang sejahtera, rukun, dan damai. Namun kesalahan pemaknaan akan ajaran agama membuat kita semakin jauh akan kesejahteraan dan kerukunan itu. Apakah problematika hari ini muncul karena kesalahan pemaknaan kita terhadapa agama? Ataukah ini hanyalah masalah biasa yang dibungkus dengan nama agama?

Namun ada hal yang unik. Ada orang – orang tertentu yang memiliki pemahaman mendalam tentang agama namun juga banyak melakukan penyimpangan dan perbuatan yang tidak sesuai ajaran agama dan bahkan  lebih parah dibandingkan orang yang tidak mengenal agama. Bukan hanya ia mengkafirkan, mencaci-maki, meremehkan bahkan juga mengabaikan penderitaan saudara seagamannya. Karena terlena akan kenikmatan ritual semata. Apakah agama hanya mengajarkan ibadah dan ritual saja?

Maukah engkau menjawab pertanyaan konyol dariku?

Sangat sedikit seorang agamawan yang tidak memiliki rasa toleran. Apakah ini dikarenakan agama memang tak memiliki nilai toleran? Ataukah toleransi agama ini dimangsa oleh mereka para agamawan yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan pribadi?

Saya adalah manusia tidak berilmu, namun ada hal yang saya pahami dari ketidaktahuanku bahwa agama bukanlah persoalan hubungan seseorang dengan Tuhannya semata. Jika agama hanya persoalan hubungan antara Tuhan dan hambanya, maka pantas agama itu dikatakan candu, yang membuat orang terlena akan kenikmatan ritual semata dan mengabaikan kehidupan sekitarnya. Itulah sekelumit pemaknaanku akan entitas agama.

Saudaraku, ingat bahwa hubungan vertikal dan horizontal mesti disejalankan. Sebagai proyeksi hubungan terhadap Tuhan maka akan berdampak pada hubungan kita terhadap sesama manusia. Apakah logis jika kita mendustakan kebaikan orang lain sebagai alasan kita tidak satu agama, namun dilain hal kita meyakini bahwa Tuhan kitalah yang memberikan kasih sayang, rezeki, kekuatan kepada seluruh manusia.

Jika segala kebaikan yang orang lain berikan kepada kita hanyalah sebuah kesia-siaan karena alasan akidah yang berbeda dengan kita, bukankah lebih sia-sia lagi Tuhan menciptakan manusia yang demikian sia-sianya?

Maukah engkau menjawab pertanyaan konyol dariku?

Untuk saudaraku seakidah denganku, aku memiliki pertanyaan konyol untuk kita. Jika mereka berbeda akidah dengan kita, apakah hanya karena perbedaan itu mereka tidak layak mendapatkan perlakuan dengan kasih sayang, tidak layak mendapatkan kepedulian, dan tidak layak mendapatkan penghargaan? Atau lebih tepatnya hanya pantas mendapatkan hardikan, hujatan, lirikan sinis, dan sindiran kasar? Bukankah hujatan, hardikan, sindiran kasar, dan kekerasan bukanlah ajaran dalam ideologi dan akidah kita.?

Untuk mereka yang tidak seakidah denganku. Wahai saudaraku, jika ideologi dan agamamu memberikan dogma dan perintah demikian halnya diatas. Apakah engkau akan membunuhku hanya karena kita berbeda Ideologi dan Agama? Apakah engkau rela memutuskan tali cinta, solidaritas, dan persudaraan kita yang pernah ada hanya karena perbedaan ini? Dogmatis agamamu yang membenci ideologiku takkan mampu membuatku benci padamu karena bagiku apapun agama dan ideologimu, engkau adalah saudaraku. Saudara dalam hal makhluk ciptaan Tuhan.

Izinkan aku mencintai dan menghargaimu meskipun engkau berbeda denganku, karena aku mencintaimu dan menghargaimu tidak lain karena rasa cintaku pada Tuhan yang juga menciptakanmu. Tuhan bahkan tak mustahil menciptakan kita sama dalam satu ideologi dan agama. Aku tidak sanggup membencimu karena aku bahkan tidak sanggup membenci Tuhanku. Maka dari itu marilah hidup berdampingan secara harmonis.

Semoga engkau mampu menghargai pertanyaan – pertanyaan konyol dariku. Salam perdamaian.

Bolehkah Aku Membunuh Tuhan?

Bolehkah Aku Membunuh Tuhan?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Fenomena kehidupan beragama akhir-akhir ini sangat indah dipandang (sebaliknya). Para penganut agama memfitnah, menyiksa, dan bahkan membunuh sesama penganut yang berbeda pendapat dengannya dengan alasan membela tuhan, ISIS misalnya. Penganut agama seperti ini seakan menganut agama tuhan. Selangkah lagi menjadikan dirinya tuhan.

Penganut yang mengatakan memahami agamanya sebenar-benarnya lalu menyalahkan dan mengkafirkan penganut agama selain agama yang dianutnya, bertingkah laku seakan-akan dirinya menganut agama yang paling benar, penganut jenis ini menurut Cak Nun adalah manusia yang paling syirik. Bukankah mengatakan aku tuhan adalah bentuk kesyirikan yang paling besar?

Bukankah sangat banyak manusia sekarang ini yang ingin menjadi tuhan? Manusia yang sangat mudah mengkafirkan orang, sangat mudah mengatakan orang lain syirik, sangat mudah menyalahkan orang lain seolah dirinya yang paling benar. Itulah manusia yang ingin menjadi tuhan.

Ada pula penganut yang menklaim dirinya memahami sepenuhnya (1000%) sabda tuhan. Penganut jenis ini kerap kali melakukan hal aneh. Misalnya ketika ia marah, ketika ia membenci, ketika ia membunuh, maka seketika itu pula ia mensabdakan bahwa ia mewakili tuhan atas kemarahan dan kebenciannya. Biasanya penganut agama seperti ini sangat intoleran dan anti-perbedaan.

Terkadang pula penganut agama jenis ini menggunakan sabda lelucon. Penganut jenis ini misalnya berani menista saudaranya, berani menghina tetangganya, berani menyakiti orang tuanya, semua itu hanya untuk membela tuhan. Bahkan tak jarang melakukan pembunuhan atas sabda mewakili tuhan atau membela tuhan. Apakah tuhan selemah itu untuk kau bela? Apakah tuhan tidak berdaya sehingga membutuhkan perlindunganmu?

Padahal pada dasarnya apa yang ia pahami terhadap tuhan dan agamanya hanya pemaknaannya terhadap tuhan dan agama itu sendiri, bukan tuhan dan agama secara sejati (orisinal). Jika kalian mendapati penganut agama seperti ini, waspadalah. Sebab, yang membersamai mereka adalah tuhan palsu.

Apakah tuhan memerintahkan manusia untuk saling membenci? Apakah tuhan memerintahkan manusia untuk saling menghina? Apakah tuhan menciptakan manusia hanya untuk saling membunuh?

Jika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas adalah Ya, maka aku ingin bertanya bolehkah aku membunuh tuhan? Jika boleh, izinkan aku membunuh tuhan. Karena yang aku pahami tentang hal itu, pada hakikatnya itu bukanlah Tuhan. Namun yang menjadi dalang dari semua fenomena itu adalah Iblis yang mengaku dirinya tuhan.