Apa Filosofi dari Oleh-Oleh?

Apa Filosofi dari Oleh-Oleh?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Hari ini, pekan ini, dan bulan ini serta tahun ini adalah rentang waktu perjalanan. Waktu yang dihiasi dengan kata mudik-balik, dihiasi dengan berbagai perjalanan. Hampir semua orang yang memiliki kampung halaman telah melakukan aktivitas mudik. Setelah mudik suatu saat dilanjutkan dengan aktivitas balik. Bukankah aktivitas mudik-balik adalah perjalanan?

Perjalanan bukan hanya untuk mereka yang memiliki kampung halaman. Bagi mereka yang tidak memiliki kampung halaman biasanya menghabiskan waktu mereka dengan berlibur ke sana kemari. Berlibur ria dengan mengunjungi berbagai tempat wisata. Nah, bukankah untuk mengunjungi suatu tempat wisata diperlukan aktivitas perjalanan pergi-balik?

Hingga saya pun tidak bisa menahan diri untuk ikut melakukan perjalanan, mudik-balik. Meskipun sejatinya hari-hari yang saya lalui selalu dengan perjalanan. Dan akhirnya pada beberapa hari yang lalu dalam suasana merangkai perjalanan saya menulis status di beranda Facebook tentang perjalanan. Dan berkat status itu saya mendapatkan sebuah pelajaran spiritual bahwa “setiap perjalanan butuh oleh-oleh”. Status tersebut seperti pada gambar di bawah:

Gambar diambil dari Facebook.

Pada status yang tertulis di beranda Facebook saya—sebagaimana yang ada di atas, menuai komentar dari kanda saya, Ma’ruf Nurhalis. Komentar tersebut membuat saya merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik komentar itu. Komentar tersebut kurang lebih berbunyi:

“Dan sebaik-baik pejalan adalah yang membawa oleh-oleh.”

– Ma’ruf Nurhalis.

Pada kali pertama saya membaca komentar tersebut serasa biasa saja. Namun hari ini, kala saya mendapati diri saya dalam keadaan dijatuhi tagihan oleh-oleh dari kawan-kawan di kampus membuat saya merenung. Aktivitas renungan ini membuat pikiran berlabuh pada sebuah ingatan, yakni ingatan saat membaca komentar di atas. Dari satuan kalimat tersebut (dan sebaik-baik pejalan adalah yang membawa oleh-oleh) yang paling teringat adalah penggalan kalimat ‘membawa oleh-oleh’. 

Saya terdiam dan mulai bertanya: apakah saya yang setiap saat melakukan perjalanan telah membawa oleh-oleh? Apakah saya telah melakukan perjalanan yang sia-sia karena tak mampu membawa oleh-oleh? Manakah oleh-oleh yang saya bawa dari perjalanan saya? Apakah ada oleh-oleh yang saya bawa untuk kawan-kawan saya? Jikalau saja tidak ada untuk kawan-kawan saya, apakah ada oleh-oleh untuk diri saya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan skeptis inilah yang menabrakkan dirinya di pelipis saya hingga memaksa saya menulis pertanyaan ini: Apa filosofi dari oleh-oleh?

Jika kita ingin mendapati makna oleh-oleh sebagai hal paling esensial maka caranya adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan reflektif di atas. Inilah yang penting. Sebagai manusia pencari oleh-oleh, kita perlu memahami apa makna oleh-oleh yang sebenarnya. Sehingga oleh-oleh yang kita cari dengan mudah kita raih dengan cara yang filosofis.

Oleh-oleh hanyalah sebuah kata. Kata biasanya menunjukkan konsep atau makna tertentu. Nah, inilah yang sebenarnya dapat menipu. Konsep atau makna menipu yang dimaksud adalah di saat kita memahami sebuah kata sebagai sesuatu yang tetap. Misalnya pemahaman kita terhadap kata “Alfian” sebagai nama saya.

Kata Alfian melukiskan paham seolah Alfian itu tetap. Meskipun Alfian itu semakin menua, kulitnya semakin keriput, rambut semakin memutih, wajah semakin ganteng, dan sebagainya, Alfian tetaplah saya. Padahal sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa segala sesuatu melakukan perjalanan. Perjalanan dalam hal ini perubahan. Sehingga apakah Alfian adalah sesuatu yang tetap? Tentu tidak. Alfian terus berubah. Alfian kemarin bukanlah Alfian yang hari ini dan seterusnya.

Begitu pun dengan kata oleh-oleh. Kita tertipu pada kata ini. Kita memaknai oleh-oleh sebagai makna sesuatu yang tetap. Kita memaknai oleh-oleh hanya sebagai benda atau sesuatu yang dibawa  pulang oleh para pejalan. Padahal esensi dari oleh-oleh bukanlah hanya persoalan benda namun persoalan hasil dan capaian. Perjalanan yang dilakukan tanpa capaian adalah perjalanan yang kerontang nan gersang.

Karena hidup selalu tentang perjalanan maka oleh-oleh selalu bermakna perubahan. Ya, ‘kehidupan tanpa perjalanan seperti kematian’. Namun ada hal yang harus diperhatikan, bahwa ada perjalanan yang tidak layak dijalani. Sebagaimana yang dikatakan oleh Socrates bahwa ‘hidup yang tanpa perenungan tak layak dijalani’. Maka begitupun perjalanan: perjalanan tanpa perenungan tak layak dijalani.

Oleh karena itu, untuk menuai permata suci dari perjalanan kita yakni oleh-oleh, diperlukan ruang renungan, diperlukan ruang filosofis, diperlukan ruang skeptis.

Bersambung…

Apa Indikasi Orang Berintelektual?

Apa Indikasi Orang Berintelektual?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Tulisan ini merupakan tanggapan (antitesis) dari tulisan singkat (status) atau hasil pemikiran yang tulis oleh salah seorang pemikir di jurusan Aqidah Filsafat yang bernama Ma’ruf Nurhalis di beranda Facebooknya. Beliau mengatakan bahwa: “Tanda kita intelektual adalah seringnya kita menggelengkan kepala atau sering berkata ‘Tidak!’. Bukan ngangguk dan rajin berkata ‘Iya'”

Orang Berintelektual

Seperti gambar yang ada di atas, karena besarnya makna yang tersirat sehingga tulisan tersebut menjadi sangat populer. Dalam waktu 22 menit setelah dipublikasikan mendapatkan banyak tanggapan yakni mencapai 4 tanggapan. Membuat saya merasa tidak ingin ketinggalan menanggapinya. Jika anda tidak percaya silakan cek falsifikasinya di Facebook.

Topik tulisan singkat (status) tersebut adalah indikasi intelektual seseorang. Sebelum mengkritik ide tersebut mari kita jabarkan makna intelektual. Karena perbedaan bisa saja terjadi karena didasari oleh pisau analisis dan cara menganalisis kita berbeda. Oleh karena itu, menjelaskan makna intelektual terlebih dahulu akan memudahkan kita untuk memahami batasan intelektual mana yang akan kita bahas.

Intelektual dalam pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah cerdas, berakal, dan berpikir jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Selaku manusia yang berfilsafat defenisi demikian sangatlah dangkal, sebab tak menguraikan esensi intelektual itu sendiri. Dalam hal ini defenisi demikian di atas masih bisa menimbulkan pemaknaan yang diarahkan pada non-intelektual.

Sedangkan menurut Julien Benda dalam buku La Trahison Des Clercs (1927), bahwa inteletual itu adalah pejuang kebenaran dan keadilan, tekun dan menikmati bidang yang digelutinya, tidak ditunggangi ambisius materi dan kepentingan sesaat. Berani keluar dari sarangnya untuk memprotes atau melawan ketidakadilan dan menyuarakan kebenaran walaupun dengan resiko yang besar. Berdasarkan pandangan tersebut Julien berusaha mengungkap bahwa seseorang dikatakan berintelektual itu jika ia mampu berlaku seperti Socrates, Yesus.

Wacana tentang indikasi intelektual manusia juga di analisis oleh seorang sosiolog bernama Regis Debray. Menurut Debray kaum intelektual itu dibagi menjadi tiga generasi yakni pertama, generasi 1900-1930 yang terdiri dari para pengajar (teachers). Kedua, generasi 1930-1960 meliputi para penulis (writers, novelist, essayist). Ketiga, generasi 1960-sekarang. Generasi ketiga ini, Debray menyebutnya sebagai “cendekiawan selebritis”. Artinya orang yang berintelektual adalah mereka yang bisa tampil di media massa yang memiliki pengaruh, pesona, sensasional bagi orang banyak.

Sedangkan bagi Antonio Gramsci, seorang filsuf italia, penulis, dan juga marxism. Ia mengemukakan bahwa intelektual terdiri dari dua wilayah, yakni wilayah teori (intelektual tradisional) dan menghubungkannya dengan realitas sosial (intelektual organik). Intelektual organik dalam hal ini merupakan intelektual yang dengan sadar dan mampu menghubungkan teori dan realitas sosial yang ada dan ia bergabung dengan kaum revolusioner untuk men-support dan meng-counter hegemoni pada sebuah transformasi yang direncanakan.

Seperti itulah beberapa pandangan pemikir mengenai manusia berintelektual, tentunya itu menjadi wacana awal untuk melanjutkan analisis kita terhadap tulisan ringkas (status) Ma’ruf Nurhalis di atas. Karena pemikiran dari beberapa pemikir di atas bersifat revolusioner dan sangat teoritis, maka saya pribadi ingin mengeluarkan hasil telaah terhadap indikasi seseorang dikatakan berintelektual. Fenomena yang akan saya katakan sangat sering dijumpai karena bersifat empirikal dan tentunya indikasi intelektual yang ada di dunia kampus khususnya kampus yang katanya kampus peradaban, UIN Alauddin Makassar.

Jika salah satu pemikir yang berasal dari kampus yang katanya kampus peradaban tersebut mengatakan bahwa seseorang dikatakan berintelektual apabila ia sering dengan mudah mengatakan ‘Tidak’ atau sering kita menggelengkan kepala. Namun menurut saya indikasi intelektual seseorang tidak bisa hanya dipandang demikian, dan bahkan harus lebih dari itu. Cara kita memandang dan mengategorikan kaum intelektual harus lebih substansial.

Misalnya dosen dalam hal ini Guru Besar (profesor), akan dengan mudah mengatakan ‘Tidak’ ketika terlontar kalimat pertanyaan yang bernada menyarankan dan bahkan langsung menolak jika terdapat argumen mahasiswa yang berbeda dan menyudutkannya–meskipun tidak semua guru besar demikian. Menolak dan mengatakan dirinya lebih berintelektual adalah kesombongan intelektual tingkat dewa. Dan inilah yang menjadi pertanyaan: Apakah manusia yang dengan mudahnya menolak pendapat orang lain dengan rasa fanatis dan rasa gengsi bahkan sampai menjatuhkan orang lain tanpa rasa hormat, itu dapat dikatakan berintelektual? Tentu tidak.

Maka dari itu, bagi saya manusia yang berintelektual adalah mereka yang tidak dengan mudah mengatakan ‘Tidak’ atau dengan mudah mengatakan ‘Ya’, sebab selaku manusia yang berintelektual ia sudah pasti berlaku layaknya padi. Ia seharusnya berlaku sebagaimana petuah mengatakan “Padi semakin berisi semakin tunduk”. Bukan sebaliknya, sebagaimana analogi yang diungkap oleh Tan Malaka “Padi tumbuh tak berisi”.

Dengan demikian, ketika ia tidak dengan mudah mengatakan ‘Tidak’ atau pun ‘Ya’ maka terlihat bahwa aksiologi dari pengetahuan yang ia miliki telah terealisasi secara mendalam. Tidak dengan mudahnya menampakkan kesombongan intelektual. Yah, kesombongan intelektual yang pada dasarnya tak layak disebut sebagai kaum intelektual.

Jawaban-jawaban tersebut merupakan hasil analisis saya terhadap dunia kampus. Setelah saya menilik kampus yang dijadikan panggung sandiwara, ternyata karakter suci yang berperan di kampus itu dimainkan oleh para manusia dengan kesombongan intelektual tingkat dewa. Lantas wajarlah virus-virus kesombongan intelektual juga merembes pada para penonton sandiwara. Mungkin contohnya sebagaimana tersirat dalam tulisan singkat (status) yang ditulis oleh Ma’ruf Nurhalis. Selain itu, hipotesa saya bahwa tulisan ini juga telah terinfeksi virus kesombongan intelektual.

Tentu tujuannya agar dengan menampilkan wajah dan karakter kesombongan intelektual di tulisan ini diharapkan pembaca dapat tersadar bahwa di sekeliling kita, kesombongan intelektual telah merebak di mana-mana, mulai dari serpihan sandal jepit tukang parkir sampai pada lirikan sang ajudan penguasa. Dengan kata lain orang Makassar mengenalnya dengan kata “Orang Sotta”.😂