Apa Indikasi Orang Berintelektual?

Apa Indikasi Orang Berintelektual?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Tulisan ini merupakan tanggapan (antitesis) dari tulisan singkat (status) atau hasil pemikiran yang tulis oleh salah seorang pemikir di jurusan Aqidah Filsafat yang bernama Ma’ruf Nurhalis di beranda Facebooknya. Beliau mengatakan bahwa: “Tanda kita intelektual adalah seringnya kita menggelengkan kepala atau sering berkata ‘Tidak!’. Bukan ngangguk dan rajin berkata ‘Iya'”

Orang Berintelektual

Seperti gambar yang ada di atas, karena besarnya makna yang tersirat sehingga tulisan tersebut menjadi sangat populer. Dalam waktu 22 menit setelah dipublikasikan mendapatkan banyak tanggapan yakni mencapai 4 tanggapan. Membuat saya merasa tidak ingin ketinggalan menanggapinya. Jika anda tidak percaya silakan cek falsifikasinya di Facebook.

Topik tulisan singkat (status) tersebut adalah indikasi intelektual seseorang. Sebelum mengkritik ide tersebut mari kita jabarkan makna intelektual. Karena perbedaan bisa saja terjadi karena didasari oleh pisau analisis dan cara menganalisis kita berbeda. Oleh karena itu, menjelaskan makna intelektual terlebih dahulu akan memudahkan kita untuk memahami batasan intelektual mana yang akan kita bahas.

Intelektual dalam pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah cerdas, berakal, dan berpikir jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Selaku manusia yang berfilsafat defenisi demikian sangatlah dangkal, sebab tak menguraikan esensi intelektual itu sendiri. Dalam hal ini defenisi demikian di atas masih bisa menimbulkan pemaknaan yang diarahkan pada non-intelektual.

Sedangkan menurut Julien Benda dalam buku La Trahison Des Clercs (1927), bahwa inteletual itu adalah pejuang kebenaran dan keadilan, tekun dan menikmati bidang yang digelutinya, tidak ditunggangi ambisius materi dan kepentingan sesaat. Berani keluar dari sarangnya untuk memprotes atau melawan ketidakadilan dan menyuarakan kebenaran walaupun dengan resiko yang besar. Berdasarkan pandangan tersebut Julien berusaha mengungkap bahwa seseorang dikatakan berintelektual itu jika ia mampu berlaku seperti Socrates, Yesus.

Wacana tentang indikasi intelektual manusia juga di analisis oleh seorang sosiolog bernama Regis Debray. Menurut Debray kaum intelektual itu dibagi menjadi tiga generasi yakni pertama, generasi 1900-1930 yang terdiri dari para pengajar (teachers). Kedua, generasi 1930-1960 meliputi para penulis (writers, novelist, essayist). Ketiga, generasi 1960-sekarang. Generasi ketiga ini, Debray menyebutnya sebagai “cendekiawan selebritis”. Artinya orang yang berintelektual adalah mereka yang bisa tampil di media massa yang memiliki pengaruh, pesona, sensasional bagi orang banyak.

Sedangkan bagi Antonio Gramsci, seorang filsuf italia, penulis, dan juga marxism. Ia mengemukakan bahwa intelektual terdiri dari dua wilayah, yakni wilayah teori (intelektual tradisional) dan menghubungkannya dengan realitas sosial (intelektual organik). Intelektual organik dalam hal ini merupakan intelektual yang dengan sadar dan mampu menghubungkan teori dan realitas sosial yang ada dan ia bergabung dengan kaum revolusioner untuk men-support dan meng-counter hegemoni pada sebuah transformasi yang direncanakan.

Seperti itulah beberapa pandangan pemikir mengenai manusia berintelektual, tentunya itu menjadi wacana awal untuk melanjutkan analisis kita terhadap tulisan ringkas (status) Ma’ruf Nurhalis di atas. Karena pemikiran dari beberapa pemikir di atas bersifat revolusioner dan sangat teoritis, maka saya pribadi ingin mengeluarkan hasil telaah terhadap indikasi seseorang dikatakan berintelektual. Fenomena yang akan saya katakan sangat sering dijumpai karena bersifat empirikal dan tentunya indikasi intelektual yang ada di dunia kampus khususnya kampus yang katanya kampus peradaban, UIN Alauddin Makassar.

Jika salah satu pemikir yang berasal dari kampus yang katanya kampus peradaban tersebut mengatakan bahwa seseorang dikatakan berintelektual apabila ia sering dengan mudah mengatakan ‘Tidak’ atau sering kita menggelengkan kepala. Namun menurut saya indikasi intelektual seseorang tidak bisa hanya dipandang demikian, dan bahkan harus lebih dari itu. Cara kita memandang dan mengategorikan kaum intelektual harus lebih substansial.

Misalnya dosen dalam hal ini Guru Besar (profesor), akan dengan mudah mengatakan ‘Tidak’ ketika terlontar kalimat pertanyaan yang bernada menyarankan dan bahkan langsung menolak jika terdapat argumen mahasiswa yang berbeda dan menyudutkannya–meskipun tidak semua guru besar demikian. Menolak dan mengatakan dirinya lebih berintelektual adalah kesombongan intelektual tingkat dewa. Dan inilah yang menjadi pertanyaan: Apakah manusia yang dengan mudahnya menolak pendapat orang lain dengan rasa fanatis dan rasa gengsi bahkan sampai menjatuhkan orang lain tanpa rasa hormat, itu dapat dikatakan berintelektual? Tentu tidak.

Maka dari itu, bagi saya manusia yang berintelektual adalah mereka yang tidak dengan mudah mengatakan ‘Tidak’ atau dengan mudah mengatakan ‘Ya’, sebab selaku manusia yang berintelektual ia sudah pasti berlaku layaknya padi. Ia seharusnya berlaku sebagaimana petuah mengatakan “Padi semakin berisi semakin tunduk”. Bukan sebaliknya, sebagaimana analogi yang diungkap oleh Tan Malaka “Padi tumbuh tak berisi”.

Dengan demikian, ketika ia tidak dengan mudah mengatakan ‘Tidak’ atau pun ‘Ya’ maka terlihat bahwa aksiologi dari pengetahuan yang ia miliki telah terealisasi secara mendalam. Tidak dengan mudahnya menampakkan kesombongan intelektual. Yah, kesombongan intelektual yang pada dasarnya tak layak disebut sebagai kaum intelektual.

Jawaban-jawaban tersebut merupakan hasil analisis saya terhadap dunia kampus. Setelah saya menilik kampus yang dijadikan panggung sandiwara, ternyata karakter suci yang berperan di kampus itu dimainkan oleh para manusia dengan kesombongan intelektual tingkat dewa. Lantas wajarlah virus-virus kesombongan intelektual juga merembes pada para penonton sandiwara. Mungkin contohnya sebagaimana tersirat dalam tulisan singkat (status) yang ditulis oleh Ma’ruf Nurhalis. Selain itu, hipotesa saya bahwa tulisan ini juga telah terinfeksi virus kesombongan intelektual.

Tentu tujuannya agar dengan menampilkan wajah dan karakter kesombongan intelektual di tulisan ini diharapkan pembaca dapat tersadar bahwa di sekeliling kita, kesombongan intelektual telah merebak di mana-mana, mulai dari serpihan sandal jepit tukang parkir sampai pada lirikan sang ajudan penguasa. Dengan kata lain orang Makassar mengenalnya dengan kata “Orang Sotta”.😂

Mengapa Kita Menginginkan Kebahagiaan?

Mengapa Kita Menginginkan Kebahagiaan?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Dalam kehidupan sehari-hari, tanpa kita sadari, kita sering kali, melontarkan kalimat “Aku ingin bahagia”, “Yang penting kita bahagia”, “Mari hidup bahagia!”, dan berbagai argumen yang merupakan alasan-alasan yang terkadang bermakna pragmatis bagi kehidupan. Padahal kita belum pernah mengeksplorasi esensi kata ‘bahagia’ itu sendiri. Kebahagiaan bukanlah hal asing bagi kehidupan manusia. Sebab kebahagiaan ini bahkan telah menjadi dambaan dan impian oleh setiap manusia yang berpikir dengan akal sehatnya.

Kebahagiaan seolah harga yang tak dapat ditukar dengan barang apapun. Nilai kebahagiaan yang sangat berharga ini terkadang membuat orang beranggapan bahwa kebahagiaan itu harus diraih meskipun dengan mengorbankan kebahagiaan orang lain. Namun di sisi lain, terdapat sebagian orang yang berpendapat bahwa kebahagiaan itu ketika kita mampu menyalurkan cinta dan membuat banyak orang bahagia. Menyaksikan fenomena ini, menjebak kita dalam dialektika Ruang Skeptis ini.

Ya, kebahagiaan. Tema yang terkadang dianggap hal yang kompleks dan terkadang pula dianggap sebagai hal yang sangat simpel. Mengapa demikian? Apa sih itu kebahagiaan? Kapan manusia dikatakan bahagia? Mengapa manusia butuh bahagia? Siapakah pemberi kebahagiaan itu? Apakah bahagia sesimpel kata mereka yang pragmatis atau serumit kata mereka yang pesimis? Dan berbagai pertanyaan skeptis lainnya yang ketika terjawab akan membuat kita tersadar atas makna kebahagiaan secara esensial.

Apa itu kebahagiaan?

Kebahagiaan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ‘bahagia’. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tentram (bebas dari segala yang menyusahkan). Menurut saya kebahagiaan adalah kepuasan intelektual (batin) yang merupakan capaian dari berbagai potensi-potensi manusia dalam kehidupan. Jadi dengan defenisi itu, dapat menjawab masalah-masalah kebahagiaan yang tak kunjung dijumpai oleh orang-orang yang memiliki segalanya namun tak merasakan kebahagiaan.

Karena kebahagiaan bukanlah seberapa banyak istri yang anda miliki, bukan seberapa banyak mobil mewah yang dimiliki, bukan seberapa tinggi pangkat dan jabatan yang diraih. Namun kebahagiaan bagi saya adalah dimensi intelektual (batin) dalam merasakan kepuasan (syukur) terhadap yang dimilikinya yang mungkin saja tidak dimiliki oleh orang lain.

Menurut Andi Afandi Syam, mahasiswa di jurusan Perbandingan Agama UIN Alauddin Makassar mengatakan bahwa bahagia itu simpel dan relatif-universal. Bahagia itu simpel, karena kebahagiaan menurut beliau tergantung pada otoritas dan pandangan kebahagiaan individu seseorang. Misalnya, ketika seseorang mendambakan seorang pujaan hati untuk menjadi permaisurinya (istri), memiliki mobil mewah, rumah yang megah, pangkat yang tinggi dan lainnya maka kebahagiaan orang tersebut adalah ketika ia mampu mendapatkan atau merealisasikan harapan-harapannya tersebut.

Sedangkan menurut Sainal Abidin, mahasiswa di jurusan Filsafat Agama UIN Alauddin Makassar mengatakan bahwa kebahagiaan itu adalah ketika keinginan dalam pikiran dan perasaan menyatu dan terwujudkan dalam realitas. Dari pandangan kanda Sainal saya merumuskan bahwa kebahagiaan itu perpaduan antara apa yang kita pikirkan dengan perasaan kita yang kemudian menjadi sebuah realita. Nah apabila kesatuan harapan ini telah menjadi realita dalam kehidupan maka di sanalah kebahagiaan itu menampilkan eksistensinya.

Rumus Kebahagiaan

Diagram di atas merupakan sirkulasi munculnya kebahagiaan menurut Sainal Abidin. Harapan yang terakumulasi dari dua sumber yakni akal (pikiran) dan hati (perasaan) kemudian terwujud menjadi realita dalam kehidupan. Namun yang menjadi salah satu pengontrol dan pendorong dari terwujudnya akumulasi harapan tersebut adalah nafsu. Nafsu memiliki dua sisi yakni mendorong dan memotivasi pencapaian kebahagiaan dan juga di sisi lain bisa saja menjadi penghambat terwujudnya kebahagiaan.

Kapan seseorang dikatakan bahagia?

Pertanyaan tersebut memiliki jawaban yang beragam tentunya berasal dari berbagai pandangan. Ada sebagian orang berpandangan bahwa manusia dikatakan bahagia ketika ia mencapai apa yang ia cita-citakan dalam hidupnya. Dia dikatakan bahagia karena hal yang dicita-citakannya itu merupakan hal yang membuatnya terbebas dari segala kesusahan dan penderitaan. Namun ada pula beberapa orang yang berpendapat bahwa kebahagiaan itu merupakan hal yang sangat dalam dan bahkan hanya mampu mencapainya pada area sakral yakni kematian. Karena menurut beberapa orang ini (sufi) kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan non-material. Sehingga orang dikatakan bahagia ketika ia mampu terbebas pada material, dan salah satu caranya adalah mengalami kematian.

Bagaimana tingkatan kebahagiaan manusia?

Menurut saya tingkatan kebahagiaan manusia berbanding lurus dengan pengetahuan dan kesadarannya. Menurut saya ada tiga tingkatan kebahagiaan berdasarkan tingkat pengetahuan esensial manusia, yakni kebahagiaan tingkat pertama, kebahagiaan tingkat menengah, dan kebahagiaan tingkat atas.

Kebahagiaan tingkatan pertama adalah tingkatan kebahagiaan materialis. Kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan yang dangkal diantara tingkatan kebahagiaan yang ada. Mengapa hal ini juga termasuk dalam kebahagiaan? Karena tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat sebagian orang yang merasa bahagia ketika memiliki banyak materi berupa harta. Yah, orang bisa saja merasa bahagia dengan segala sumber material yang dimilikinya namun bagi saya itu hanyalah kebahagiaan yang dangkal.

Kebahagiaan tingkatan kedua adalah kebahagiaan yang berada pada tahapan kepuasan intelektual manusia. Kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan tingkat menengah dan biasanya dicapai oleh orang-orang yang taraf intelektualnya di atas orang awam. Pada tingkatan kebahagiaan ini, dalam memandang realita dunia, manusia tidak lagi mementingkan material namun lebih pada kesadaran dan kepeduliannya terhadap sesama sebagai manifestasi dari pengetahuan dan inteleknya.

Kebahagiaan tingkat tertinggi adalah kebahagiaan yang dicapai melalui jalan spiritual. Kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang selalu terpancarkan bagai cahaya lentera meskipun dilanda oleh kegelapan seperti penderitaan, kemiskinan, dan lain-lain. Itulah tiga tingkatan kebahagiaan menurut saya. Opini ini bisa saja berbeda dengan opini pembaca, sebab inilah cara Ruang Skeptis menyajikan opininya.

Siapa yang menciptakan kebahagiaan?

Mungkin saja semua orang berkeyakinan bahwa kebahagiaan sebagai wujud harapan takkan tercapai tanpa usaha yang dilakukan. Yang menjadi pertanyaan skeptis saya adalah siapakah yang memberikan kebahagiaan? Apakah manusia yang menciptakan kebahagiaannya sendiri? Atau kebahagiaan itu lahir dari orang lain yang menilai? Mengapa tiba-tiba orang bisa mengetahui yang namanya kebahagiaan? Itulah pertanyaan-pertanyaan skeptis yang kami harap mampu merangsang pembaca untuk senantiasa melakukan refleksi melalui pertanyaan dialektika-skeptis tersebut.

Manusia bisa saja menciptakan kebahagiaan untuk dirinya, namun yakinlah bahwa itu hanyalah kebahagiaan semu yang fana. Sebab kebahagiaan yang utuh dan sejati hanya milik Tuhan dan hanya mampu dirasakan oleh manusia-manusia yang dikehendaki-Nya. Jadi untuk mencicipi kebahagiaan sejati itu menurut pandangan sufistik adalah dengan kematian yang menjadi jalan pintas penyatuan diri dengan pemilik kebahagiaan.

Mengapa manusia menginginkan kebahagiaan?

Hal yang tak bisa dimungkiri dalam diskursus kebahagiaan adalah manusia menginginkan kebahagiaan. Mengapa demikian? Apakah karena hal tersebut berkaitan dengan naluri alami manusia? Apakah itu hasil olah pikiran manusia? Ataukah itu hasil hasrat yang lahir dari hawa nafsu manusia? Nah, untuk pembaca yang budiman, bagaimana menurut? Mengapa Anda menginginkan kebahagiaan?

Mengapa Tuhan Menciptakan Manusia Bisu?

Mengapa Tuhan Menciptakan Manusia Bisu?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Sebelum masuk pada tahapan menjawab dan merefleksikan pertanyan atau fenomena ini, kita seharusnya menyegarkan pengetahuan kita tentang apa itu tunawicara, apa itu tunarungu, dan bagaimana fakta-fakta yang berkaitan dengan pertanyaan skeptis-reflektif ini.

Apa itu tunawicara atau bisu?

Bisu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tidak dapat berkata-kata (karena tidak sempurna alat percakapannya atau tuli sejak kecil, atau hal tersebut juga bisa disebut dengan tunawicara. Bisu biasanya disebabkan oleh gangguan pada organ-organ tertentu seperti tenggorokan, pita suara, paru-paru, mulut, dan sebagainya. Bisu umumnya terkait dengan penyakit tunarungu atau tuli. Namun tidak selamanya orang yang bisu itu juga tuli. Oleh karena itu, selain mengetahui apa itu tunawicara selanjutnya kita juga seharusnya bisa mengetahui apa itu tunarungu.

Apa itu tunarungu atau tuli?

Tuli dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tidak dapat mendengar (karena rusak pendengarannya); pekak. Dengan demikian banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul di antaranya: apakah orang bisu juga dipengaruhi oleh penyakit tunarungu (ketulian) atau kebisuan yang mempengaruhi ketulian? Untuk pembaca yang telah memahami hal itu, semoga bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Inilah sisi lain dari Ruang Skeptis, selain selalu menanyakan hal-hal reflektif juga memberi peluang pembaca untuk bertanya atau menjawab yang nantinya menjadi pembahasan di artikel selanjutnya.

Bagaimana fakta atau keadaan penderita penyakit tersebut di Indonesia?

Karena tulisan ini terinspirasi dari salah satu masyarakat Indonesia yang saya temui dalam kondisi kebisuannya. Dalam artian saya sendiri secara langsung bertemu dengan penderita penyakit ini di Indonesia tepatnya di kota Makassar. Nah pertanyaan yang muncul, apakah hanya orang tersebut yang menderita penyakit seperti itu? Ataukah masih banyak di luar sana yang juga menderita penyakit tersebut?

Kementerian Kesehatan pada tahun 1994-1996 pernah melakukan survey di  7 provinsi di Indonesia dengan hasil bahwa jumlah penderita ganguan pendengaran di Indonesia sebanyak 35,6 juta jiwa atau 16,8% dari seluruh penduduk Indonesia. Sedangkan yang mengalami ketulian sebanyak 850.000 jiwa atau sekitar 0,4% dari populasi.

Selain terdapat riset atau survey dalam lingkup nasional, juga ada beberapa data yang berada dalam lingkup dunia. Seperti data WHO Multicenter Study tahun 1998 menemukan bahwa terdapat sekitar 240 juta (4,2%) penduduk dunia yang menderita ganguan pendengaran. Sekitar 4,6% di antaranya ada di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, Indonesia dinobatkan menjadi negara peringkat ke-4 di dunia sebagai negara yang memiliki jumlah penderita ganguan pendengaran tertinggi setelah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3).

Bagaimana perhatian pemerintah Indonesia atau dunia melihat kondisi tersebut?

Penderita penyakit ini memang kadang tidak mendapakan perhatian khusus dari pemerintah. Karena juga di sisi lain gangguan penyakit ini tidak di perhatikan oleh kalangan masyarakat itu sendiri. Namun bukan berarti pemerintah tetap diam setelah mendapatkan beberapa fakta dan data yang membuktikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara besar dari jumlah penderita penyakit tersebut.

Salah satu perhatian pemerintah yaitu pada tanggal 14 Desember 2007 membentuk Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT). Komnas PGPKT menargetkan angka penderita gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia akan turun sebanyak 50% di tahun 2015 dan tersisa 10% pada tahun 2030. Target yang menurut saya cukup menjanjikan. 

Meskipun hinga tahun 2017 belum ada data yang saya temukan mengenai penurunan jumlah penderita penyakit tersebut namun saya tetap memberikan apresiasi untuk Komnas PGPKT yang telah banyak memberikan penyuluhan di sekolah-sekolah juga bagi ibu hamil untuk selalu mencegah penyebab terjadinya kebisuan dan ketulian. Entah itu dari sejak lahir maupun setelah ia lahir. Karena menurut Komnas PGPKT, penyakit ini yang sejak lahir maupun bukan pada dasarnya masih bisa dicegah dengan beberapa pertimbangan sebelumnya.

Selain perhatian skala nasional, juga terdapat perhatian dari lembaga WHO. Setelah mengetahui kebanyakan penderita penyakit ini lebih banyak berasal dari Asia Tenggara, maka WHO mencanangkan program Sound Hearing 2030. Tujuannya adalah agar setiap penduduk di Asia Tenggara mendapatkan haknya yakni memiliki derajat kesehatan telinga dan pendengaran yang optimal di tahun 2030.

Mengapa Tuhan menciptakan manusia bisu?

Berdasarkan fakta-fakta di atas bahwa ada beberapa dari penderita penyakit ini yang berasal dari lahir dan itu sudah pasti merupakan kehendak Tuhan. Nah, pernahkah pembaca bertanya mengapa Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan tuli? Di mana letak keadilan Tuhan terhadap manusia yang tuli itu? Apakah manusia yang diciptakan tuli tersebut memang telah melakukan dosa atau kesalahan sebelum lahir sebagai wujud balasan untuknya? Ataukah seperti itukah Tuhan memberikan nikmat-Nya kepada orang tersebut berupa ketuliannya? Pertanyaan-pertanyaan itu adalah wilayah Ruang Skeptis. Namun pada tulisan ini, yang akan kami refleksikan adalah mengapa Tuhan menciptakan orang tuli dan bisu dari sisi hikmah dan rasa skeptis. 

Namun sebelumnya, pada lingkup agama pertanyaan mengapa tuhan menciptakan manusia bisu merupakan pertanyaan yang orang katakan keliru sebab pertanyaan ini seolah men-judge dan menentang otoritas penciptaan Tuhan. Namun bagi saya, pertanyaan tersebut saya pakai atas dasar pemacu pembaca untuk melakukan reflektif atas fenomena tersebut. Inti dari pertanyaan “mengapa” ini adalah kunci pertanyaan pencari hikmah. 

Meskipun pertanyaan itu terlontarkan dalam naluri saya namun saya tidak tahu secara pasti mengapa Tuhan berlaku demikian. Yang jelas menurut saya Tuhan menciptakan orang bisu sebagai pembelajaran dan media refleksi kepada manusia yang tidak bisu. Jika seandainya semua manusia tidak ada yang bisu apakah tulisan ini akan ada? Jika andai kata di antara semua orang tidak ada yang bisu maka apakah akan ada orang yang melakukan refleksi atau renungan akan keterbatasannya? Apakah masih ada wujud pembelajaran buat orang-orang yang sempurna dalam penciptaan untuk mensyukuri kesempuraan fisiknya? Yah itulah salah sebabnya.

Pernahkah kita menyadari bahwa bahasa adalah kunci paling utama untuk memahami dunia. Tidak hanya untuk mengetahui banyak hal di sekeliling kita namun juga, bahasa digunakan untuk berinteraksi dengan sesama manusia. Setiap hari kita berinteraksi dengan manusia lain dengan bahasa. Kita tidak mengetahui berapa kata yang kita ucapkan dalam sehari untuk berkomunikasi. Bagaimana dengan orang tunawicara? Ia bahkan tidak mampu berbicara. 

Wahai pembaca yang budiman, pernahkah kita berpikir demikian? Apakah pendengaran dan kemampuan berbicara yang Tuhan berikan telah kita gunakan dengan baik? Ataukah apakah kita pernah dengan mudah mengatakan “Wahai Tuhanku terima kasih atas kemampuan berbicara dan pendengaran yang telah engkau berikan”. Jika tidak pernah, di manakah letak terima kasihmu kepada Tuhan yang telah memberikan semua itu?

Kepada pembaca yang tidak menderita kebisuan dan ketulian atau diciptakan dalam kesempurnaan potensi fisik maupun non-fisik, saya memiliki pertanyaan buat anda sebagai bahan reflektif. Bagaimana jika Tuhan menciptakan anda dalam keadaan bisu? Bagaimana jika bahkan hari ini Tuhan berkehendak bahwa mulai hari ini anda bisu, apa yang akan anda lakukan? Pernahkah anda bersyukur atas nikmat pendengaran dan kemampuan berbicara yang Tuhan berikan?

Kepada pembaca yang menderita penyakit bisu, terutama tunawicara yang pernah saya jumpai. Yang ingin saya sampaikan bahwa yakinlah Tuhan menyayangi kalian sehingga hal tersebut merupakan salah satu bukti ujian dan cobaan dari-Nya. Tegarlah dalam kehidupanmu, meskipun dalam keterbatasan itu. Semoga cepat sembuh dan Tuhan membalas keikhlasan dan kesabaranmu dengan balasan yang setimpal.