Aku benci azan magrib. Ia suka merebut sebagian waktu membacaku dan memberiku kesibukan yang lain. Setiap kali suara persetan itu memasuki telingaku, aku harus mandi dan bergegas melaksanakan salat. Kuakui, kedua pekerjaan itu paling menyebalkan ketika aku sedang membaca buku di senja hari.
Tapi, untuk tidak melakukannya, aku takut pacarku akan memutuskan aku—kau jangan salah paham, aku biasa memanggil pacar, untuk siapa saja yang kuanggap berarti, termasuk Tuhan dan Buku. Meskipun kadang-kadang aku membuang Tuhan pada tempatnya, ketika kupikir aku malas memikirkannya sama sekali. Juga bahkan Buku, ketika ia ditulis oleh pembual. Kau bisa menemukan buku semacam itu di toko buku agama, biasanya diberi judul Siksa Neraka atau Jalan Pintas Masuk Surga, dan sejenisnya.
Tapi, sudahlah, aku harus mandi dan bersiap salat segera, sebelum aku mengutuk Tuhan dengan kata-kata yang jauh lebih banyak dari jumlah menit yang seharusnya kuhabiskan untuk dua pekerjaan jahanam itu.
Sebelum masuk pada tahapan menjawab dan merefleksikan pertanyan atau fenomena ini, kita seharusnya menyegarkan pengetahuan kita tentang apa itu tunawicara, apa itu tunarungu, dan bagaimana fakta-fakta yang berkaitan dengan pertanyaan skeptis-reflektif ini.
Apa itu tunawicara atau bisu?
Bisu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tidak dapat berkata-kata (karena tidak sempurna alat percakapannya atau tuli sejak kecil, atau hal tersebut juga bisa disebut dengan tunawicara. Bisu biasanya disebabkan oleh gangguan pada organ-organ tertentu seperti tenggorokan, pita suara, paru-paru, mulut, dan sebagainya. Bisu umumnya terkait dengan penyakit tunarungu atau tuli. Namun tidak selamanya orang yang bisu itu juga tuli. Oleh karena itu, selain mengetahui apa itu tunawicara selanjutnya kita juga seharusnya bisa mengetahui apa itu tunarungu.
Apa itu tunarungu atau tuli?
Tuli dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tidak dapat mendengar (karena rusak pendengarannya); pekak. Dengan demikian banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul di antaranya: apakah orang bisu juga dipengaruhi oleh penyakit tunarungu (ketulian) atau kebisuan yang mempengaruhi ketulian? Untuk pembaca yang telah memahami hal itu, semoga bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Inilah sisi lain dari Ruang Skeptis, selain selalu menanyakan hal-hal reflektif juga memberi peluang pembaca untuk bertanya atau menjawab yang nantinya menjadi pembahasan di artikel selanjutnya.
Bagaimana fakta atau keadaan penderita penyakit tersebut di Indonesia?
Karena tulisan ini terinspirasi dari salah satu masyarakat Indonesia yang saya temui dalam kondisi kebisuannya. Dalam artian saya sendiri secara langsung bertemu dengan penderita penyakit ini di Indonesia tepatnya di kota Makassar. Nah pertanyaan yang muncul, apakah hanya orang tersebut yang menderita penyakit seperti itu? Ataukah masih banyak di luar sana yang juga menderita penyakit tersebut?
Kementerian Kesehatan pada tahun 1994-1996 pernah melakukan survey di 7 provinsi di Indonesia dengan hasil bahwa jumlah penderita ganguan pendengaran di Indonesia sebanyak 35,6 juta jiwa atau 16,8% dari seluruh penduduk Indonesia. Sedangkan yang mengalami ketulian sebanyak 850.000 jiwa atau sekitar 0,4% dari populasi.
Selain terdapat riset atau survey dalam lingkup nasional, juga ada beberapa data yang berada dalam lingkup dunia. Seperti data WHO Multicenter Study tahun 1998 menemukan bahwa terdapat sekitar 240 juta (4,2%) penduduk dunia yang menderita ganguan pendengaran. Sekitar 4,6% di antaranya ada di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, Indonesia dinobatkan menjadi negara peringkat ke-4 di dunia sebagai negara yang memiliki jumlah penderita ganguan pendengaran tertinggi setelah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3).
Bagaimana perhatian pemerintah Indonesia atau dunia melihat kondisi tersebut?
Penderita penyakit ini memang kadang tidak mendapakan perhatian khusus dari pemerintah. Karena juga di sisi lain gangguan penyakit ini tidak di perhatikan oleh kalangan masyarakat itu sendiri. Namun bukan berarti pemerintah tetap diam setelah mendapatkan beberapa fakta dan data yang membuktikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara besar dari jumlah penderita penyakit tersebut.
Salah satu perhatian pemerintah yaitu pada tanggal 14 Desember 2007 membentuk Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT). Komnas PGPKT menargetkan angka penderita gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia akan turun sebanyak 50% di tahun 2015 dan tersisa 10% pada tahun 2030. Target yang menurut saya cukup menjanjikan.
Meskipun hinga tahun 2017 belum ada data yang saya temukan mengenai penurunan jumlah penderita penyakit tersebut namun saya tetap memberikan apresiasi untuk Komnas PGPKT yang telah banyak memberikan penyuluhan di sekolah-sekolah juga bagi ibu hamil untuk selalu mencegah penyebab terjadinya kebisuan dan ketulian. Entah itu dari sejak lahir maupun setelah ia lahir. Karena menurut Komnas PGPKT, penyakit ini yang sejak lahir maupun bukan pada dasarnya masih bisa dicegah dengan beberapa pertimbangan sebelumnya.
Selain perhatian skala nasional, juga terdapat perhatian dari lembaga WHO. Setelah mengetahui kebanyakan penderita penyakit ini lebih banyak berasal dari Asia Tenggara, maka WHO mencanangkan program Sound Hearing 2030. Tujuannya adalah agar setiap penduduk di Asia Tenggara mendapatkan haknya yakni memiliki derajat kesehatan telinga dan pendengaran yang optimal di tahun 2030.
Mengapa Tuhan menciptakan manusia bisu?
Berdasarkan fakta-fakta di atas bahwa ada beberapa dari penderita penyakit ini yang berasal dari lahir dan itu sudah pasti merupakan kehendak Tuhan. Nah, pernahkah pembaca bertanya mengapa Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan tuli? Di mana letak keadilan Tuhan terhadap manusia yang tuli itu? Apakah manusia yang diciptakan tuli tersebut memang telah melakukan dosa atau kesalahan sebelum lahir sebagai wujud balasan untuknya? Ataukah seperti itukah Tuhan memberikan nikmat-Nya kepada orang tersebut berupa ketuliannya? Pertanyaan-pertanyaan itu adalah wilayah Ruang Skeptis. Namun pada tulisan ini, yang akan kami refleksikan adalah mengapa Tuhan menciptakan orang tuli dan bisu dari sisi hikmah dan rasa skeptis.
Namun sebelumnya, pada lingkup agama pertanyaan mengapa tuhan menciptakan manusia bisu merupakan pertanyaan yang orang katakan keliru sebab pertanyaan ini seolah men-judge dan menentang otoritas penciptaan Tuhan. Namun bagi saya, pertanyaan tersebut saya pakai atas dasar pemacu pembaca untuk melakukan reflektif atas fenomena tersebut. Inti dari pertanyaan “mengapa” ini adalah kunci pertanyaan pencari hikmah.
Meskipun pertanyaan itu terlontarkan dalam naluri saya namun saya tidak tahu secara pasti mengapa Tuhan berlaku demikian. Yang jelas menurut saya Tuhan menciptakan orang bisu sebagai pembelajaran dan media refleksi kepada manusia yang tidak bisu. Jika seandainya semua manusia tidak ada yang bisu apakah tulisan ini akan ada? Jika andai kata di antara semua orang tidak ada yang bisu maka apakah akan ada orang yang melakukan refleksi atau renungan akan keterbatasannya? Apakah masih ada wujud pembelajaran buat orang-orang yang sempurna dalam penciptaan untuk mensyukuri kesempuraan fisiknya? Yah itulah salah sebabnya.
Pernahkah kita menyadari bahwa bahasa adalah kunci paling utama untuk memahami dunia. Tidak hanya untuk mengetahui banyak hal di sekeliling kita namun juga, bahasa digunakan untuk berinteraksi dengan sesama manusia. Setiap hari kita berinteraksi dengan manusia lain dengan bahasa. Kita tidak mengetahui berapa kata yang kita ucapkan dalam sehari untuk berkomunikasi. Bagaimana dengan orang tunawicara? Ia bahkan tidak mampu berbicara.
Wahai pembaca yang budiman, pernahkah kita berpikir demikian? Apakah pendengaran dan kemampuan berbicara yang Tuhan berikan telah kita gunakan dengan baik? Ataukah apakah kita pernah dengan mudah mengatakan “Wahai Tuhanku terima kasih atas kemampuan berbicara dan pendengaran yang telah engkau berikan”. Jika tidak pernah, di manakah letak terima kasihmu kepada Tuhan yang telah memberikan semua itu?
Kepada pembaca yang tidak menderita kebisuan dan ketulian atau diciptakan dalam kesempurnaan potensi fisik maupun non-fisik, saya memiliki pertanyaan buat anda sebagai bahan reflektif. Bagaimana jika Tuhan menciptakan anda dalam keadaan bisu? Bagaimana jika bahkan hari ini Tuhan berkehendak bahwa mulai hari ini anda bisu, apa yang akan anda lakukan? Pernahkah anda bersyukur atas nikmat pendengaran dan kemampuan berbicara yang Tuhan berikan?
Kepada pembaca yang menderita penyakit bisu, terutama tunawicara yang pernah saya jumpai. Yang ingin saya sampaikan bahwa yakinlah Tuhan menyayangi kalian sehingga hal tersebut merupakan salah satu bukti ujian dan cobaan dari-Nya. Tegarlah dalam kehidupanmu, meskipun dalam keterbatasan itu. Semoga cepat sembuh dan Tuhan membalas keikhlasan dan kesabaranmu dengan balasan yang setimpal.
Pernahkah kita bertanya, apakah pengetahuan kita bertambah setelah kita belajar pada ideologi tertentu? Apakah pengetahuan kita bertambah setelah mempelajari nilai-nilai, ajaran, kebiasaan-kebiasaan yang agama kita tuntun? Apakah dengan mempelajari ilmu agama membuat kita semakin menyayangi manusia, hewan, dan makhluk lainnya? Meskipun banyak diantara kita malah lebur dalam dogmatis yang memberikan rasa kebencian dan meremehkan mereka yang tidak seideologi dengan kita. Ataukah bahkan kita membenci dan meremehkan mereka hanya karena tidak satu tempat kajian dengan kita?
Lebih tepatnya apakah kita pernah mempertanyakan nilai-nilai, ajaran, dan kebiasan-kebiasaan yang tanamkan oleh agama dalam kehidupan kita? Apakah nilai-nilai, ajaran, kebiasaan-kebiasaan itu memberikan dampak positif atau negatif jika diyakini dan dilestarikan. Sadarkah kita, bahwa tidak sedikit di luar sana mengatasnamakan ajaran agama untuk membunuh, menistakan, mencaci, dan segala bentuk penindasan lainnya hanya karena persoalan tidak seideologi dengannya.
Maukah engkau menjawab pertanyaan konyol dariku?
Apakah menghargai dan memberi kebaikan hanya terbatas pada lingkup ideologi yang sama? Apakah ilmu agama dan ilmu – ilmu lainnya yang kita pelajari selama ini menuntun kita menjalani kehidupan yang harmonis dengan sesama manusia?
“Agama mengajari kita nilai – nilai pluralitas meskipun tidak mengakui pluralisme”, itulah kata mereka. Entah, menurutmu sepakat atau tidak. Setidaknya aku manyampaikan satu hal untuk kita renungkan.
Para agamawan mengatakan, “Ilmu agama merupakan ilmu yang universal dan meluas”. Jika demikian mengapa banyak diantara kita, yang juga merupakan pecandu agama yang malah menganggap agama dapat dimengerti olehnya. Seolah – olah agama itu hanya bisa ditafsirkan selebar daun kelor. Mengapa kita mesti menyempitkannya dengan berbagai dalil – dalil intoleransi?
Menyempitkan makna agama hanya sebatas kalkulasi pahala dan dosa, takut – menakuti dengan neraka, mengiming – imingkan dengan surga. Bukankah agama hadir sebagai wujud transformasi dari zaman penindasan dan kebodohan menuju zaman pembebasan dan peradaban?
Saya adalah manusia tak berilmu, tapi ada satu hal yang saya yakini bahwa Tuhan menciptakan manusia yang berbeda denganku, tak seakidah denganku, tak seideologi denganku, semua itu bukanlah kesia-siaan. Mampukah aku menjudge mereka yang berbeda denganku dengan dalil-dalil kitab suci yang sepertinya sengaja di gelintirkan sehingga bermakna intoleransi. Mampukah kita membenci dan meremehkan mereka sedangkan agama dan ideologi kita tak mengajarkan demikian?
Menurutku tidak baik suatu ideologi jika tidak dapat memberikan nilai harmonisasi dalam kehidupan kita. Menurutku tidak baik suatu ideologi yang hanya memberikan fanatisme dan menghilangkan toleransi untuk ideologi yang lain. Itu menurutku, namun tak menghalangi engkau mengatakan hal yang berbeda atas dasar menurutmu. Saudaraku, bagaimanakah menurutmu ideologi atau agama yang baik itu?
Maukah engkau menjawab pertanyaan konyol dariku?
Pernahkah kita bertanya tentang pentingnya agama dalam kehidupan? Bukankah banyak problematika besar – besaran saat ini diakibatkan oleh persoalan agama. Penduduk Indonesia saling demo-mendemo, caci-mencaci, fitnah-memfitnah, semua itu karena alasan kriminalisasi, penistaan, dan semua itu karena agama. Kenyataan ini tidak lagi mencerminkan kesucian, kedamaian, dan urgensi ajaran agama sebagai rahmat untuk alam dan manusia.
Karena agama, tercipta peradaban yang besar dan kehidupan masyarakat damai. Namun dilain sisi karena agama pula, akan tercipta peperangan dan pertikaian diantara kita. Jika kita dihadapkan pada realitas-realitas ini dimanakah letak kesalahan kita dalam memaknai Agama dalam kehidupan ini? Mampukah setiap orang memaknai Agama itu secara filosofis sebagaimana hakikat yang paling esensial dalam suatu agama?
Ataukah agama yang kita anut adalah agama yang salah sehingga menimbulkan permasalahan? Lantas jika agama kita salah maka agama apakah yang benar yang harus kita anut? Bukankah semua agama mendefenisikan diri sebagai agama yang benar. Tapi mengapa penganutnya mendustakan kebenaran ajaran agama mereka?
Ataukah bahkan kita yang salah dalam memahami agama itu? Kesalahan pemaknaan kita akan agama membuat kita banyak melakukan penindasan, penistaan, mencela agama lain dan perbuatan lain yang kontradiksi terhadap ajaran agama. Padahal agama menjanjikan kehidupan yang sejahtera, rukun, dan damai. Namun kesalahan pemaknaan akan ajaran agama membuat kita semakin jauh akan kesejahteraan dan kerukunan itu. Apakah problematika hari ini muncul karena kesalahan pemaknaan kita terhadapa agama? Ataukah ini hanyalah masalah biasa yang dibungkus dengan nama agama?
Namun ada hal yang unik. Ada orang – orang tertentu yang memiliki pemahaman mendalam tentang agama namun juga banyak melakukan penyimpangan dan perbuatan yang tidak sesuai ajaran agama dan bahkan lebih parah dibandingkan orang yang tidak mengenal agama. Bukan hanya ia mengkafirkan, mencaci-maki, meremehkan bahkan juga mengabaikan penderitaan saudara seagamannya. Karena terlena akan kenikmatan ritual semata. Apakah agama hanya mengajarkan ibadah dan ritual saja?
Maukah engkau menjawab pertanyaan konyol dariku?
Sangat sedikit seorang agamawan yang tidak memiliki rasa toleran. Apakah ini dikarenakan agama memang tak memiliki nilai toleran? Ataukah toleransi agama ini dimangsa oleh mereka para agamawan yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan pribadi?
Saya adalah manusia tidak berilmu, namun ada hal yang saya pahami dari ketidaktahuanku bahwa agama bukanlah persoalan hubungan seseorang dengan Tuhannya semata. Jika agama hanya persoalan hubungan antara Tuhan dan hambanya, maka pantas agama itu dikatakan candu, yang membuat orang terlena akan kenikmatan ritual semata dan mengabaikan kehidupan sekitarnya. Itulah sekelumit pemaknaanku akan entitas agama.
Saudaraku, ingat bahwa hubungan vertikal dan horizontal mesti disejalankan. Sebagai proyeksi hubungan terhadap Tuhan maka akan berdampak pada hubungan kita terhadap sesama manusia. Apakah logis jika kita mendustakan kebaikan orang lain sebagai alasan kita tidak satu agama, namun dilain hal kita meyakini bahwa Tuhan kitalah yang memberikan kasih sayang, rezeki, kekuatan kepada seluruh manusia.
Jika segala kebaikan yang orang lain berikan kepada kita hanyalah sebuah kesia-siaan karena alasan akidah yang berbeda dengan kita, bukankah lebih sia-sia lagi Tuhan menciptakan manusia yang demikian sia-sianya?
Maukah engkau menjawab pertanyaan konyol dariku?
Untuk saudaraku seakidah denganku, aku memiliki pertanyaan konyol untuk kita. Jika mereka berbeda akidah dengan kita, apakah hanya karena perbedaan itu mereka tidak layak mendapatkan perlakuan dengan kasih sayang, tidak layak mendapatkan kepedulian, dan tidak layak mendapatkan penghargaan? Atau lebih tepatnya hanya pantas mendapatkan hardikan, hujatan, lirikan sinis, dan sindiran kasar? Bukankah hujatan, hardikan, sindiran kasar, dan kekerasan bukanlah ajaran dalam ideologi dan akidah kita.?
Untuk mereka yang tidak seakidah denganku. Wahai saudaraku, jika ideologi dan agamamu memberikan dogma dan perintah demikian halnya diatas. Apakah engkau akan membunuhku hanya karena kita berbeda Ideologi dan Agama? Apakah engkau rela memutuskan tali cinta, solidaritas, dan persudaraan kita yang pernah ada hanya karena perbedaan ini? Dogmatis agamamu yang membenci ideologiku takkan mampu membuatku benci padamu karena bagiku apapun agama dan ideologimu, engkau adalah saudaraku. Saudara dalam hal makhluk ciptaan Tuhan.
Izinkan aku mencintai dan menghargaimu meskipun engkau berbeda denganku, karena aku mencintaimu dan menghargaimu tidak lain karena rasa cintaku pada Tuhan yang juga menciptakanmu. Tuhan bahkan tak mustahil menciptakan kita sama dalam satu ideologi dan agama. Aku tidak sanggup membencimu karena aku bahkan tidak sanggup membenci Tuhanku. Maka dari itu marilah hidup berdampingan secara harmonis.
Fenomena kehidupan beragama akhir-akhir ini sangat indah dipandang (sebaliknya). Para penganut agama memfitnah, menyiksa, dan bahkan membunuh sesama penganut yang berbeda pendapat dengannya dengan alasan membela tuhan, ISIS misalnya. Penganut agama seperti ini seakan menganut agama tuhan. Selangkah lagi menjadikan dirinya tuhan.
Penganut yang mengatakan memahami agamanya sebenar-benarnya lalu menyalahkan dan mengkafirkan penganut agama selain agama yang dianutnya, bertingkah laku seakan-akan dirinya menganut agama yang paling benar, penganut jenis ini menurut Cak Nun adalah manusia yang paling syirik. Bukankah mengatakan aku tuhan adalah bentuk kesyirikan yang paling besar?
Bukankah sangat banyak manusia sekarang ini yang ingin menjadi tuhan? Manusia yang sangat mudah mengkafirkan orang, sangat mudah mengatakan orang lain syirik, sangat mudah menyalahkan orang lain seolah dirinya yang paling benar. Itulah manusia yang ingin menjadi tuhan.
Ada pula penganut yang menklaim dirinya memahami sepenuhnya (1000%) sabda tuhan. Penganut jenis ini kerap kali melakukan hal aneh. Misalnya ketika ia marah, ketika ia membenci, ketika ia membunuh, maka seketika itu pula ia mensabdakan bahwa ia mewakili tuhan atas kemarahan dan kebenciannya. Biasanya penganut agama seperti ini sangat intoleran dan anti-perbedaan.
Terkadang pula penganut agama jenis ini menggunakan sabda lelucon. Penganut jenis ini misalnya berani menista saudaranya, berani menghina tetangganya, berani menyakiti orang tuanya, semua itu hanya untuk membela tuhan. Bahkan tak jarang melakukan pembunuhan atas sabda mewakili tuhan atau membela tuhan. Apakah tuhan selemah itu untuk kau bela? Apakah tuhan tidak berdaya sehingga membutuhkan perlindunganmu?
Padahal pada dasarnya apa yang ia pahami terhadap tuhan dan agamanya hanya pemaknaannya terhadap tuhan dan agama itu sendiri, bukan tuhan dan agama secara sejati (orisinal). Jika kalian mendapati penganut agama seperti ini, waspadalah. Sebab, yang membersamai mereka adalah tuhan palsu.
Apakah tuhan memerintahkan manusia untuk saling membenci? Apakah tuhan memerintahkan manusia untuk saling menghina? Apakah tuhan menciptakan manusia hanya untuk saling membunuh?
Jika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas adalah Ya, maka aku ingin bertanya bolehkah aku membunuh tuhan? Jika boleh, izinkan aku membunuh tuhan. Karena yang aku pahami tentang hal itu, pada hakikatnya itu bukanlah Tuhan. Namun yang menjadi dalang dari semua fenomena itu adalah Iblis yang mengaku dirinya tuhan.