Penceramah

Penceramah

Photo by ibrahim abdullah on Unsplash

Senja hari, menjelang berbuka puasa, teleponku berdering. Kuangkat. Suara yang tidak asing memasuki telingaku. Berbalas salam lalu kami berbincang.

“Kapanki pulang Nak?”

“Tidak pulangka kayaknya lebaran tahun ini Puang.”

“Kenapa? Padahal mauka rencana suruhki jadi khatib pada saat salat idul fitri nanti Nak.”

***

Seperti beberapa lebaran-lebaran sebelumnya, om atau pamanku selalu menghubungiku beberapa hari sebelum lebaran. Menanyakan kapan kepulanganku. Tahun ini adalah tahun ketiga berturut-turut ia menanyakan hal yang sama. Ia ingin sekali mendengarku membawakan khotbah saat salat idul fitrisemenjak saya kuliah.

Salah satu rutinitas yang harus kutunaikan jika aku pulang kampung saat bulan Ramadan adalah berceramah, seperti Ramadan-ramadan sebelumnya, kecuali dua Ramadan terakhirRamadan tahun ini dan tahun lalu.

Kutebak, hal ini dikarenakan aku kuliah di UIN Alauddin. Kampus Islam, kata orang. Ya, siapapun bisa menebaknya. Universitas InsyaAllah Negeri atau disingkat UIN. Kampus agama, kata sebagian orang lainnya. Itulah sebab, nyaris semua dari kamiyang kuliah di UIN selalu diperintahkan untuk naik ke mimbar bicara soal agama.

Suatu waktu, saat aku pulang kampung, aku disuruh naik ke mimbar memberikan ceramah kepada jamaah tarawih. Aku mengangkat tema soal ‘eudamonia’, kukutiplah Aristoteles dan para filsuf yang lain, yang asing dari kepala jamaah, juga tentunya beberapa ayat Alquran dan Hadis biar terdengar alim. Di akhir ceramah, ingin sekali kuberikan kesempatan kepada jamaah untuk bertanya, tapi kuurungkan niatku.

Aku ingin sekali melakukannya, karena kupikir, hal ini menjadi keresahanku beberapa tahun lamanya, mungkin hingga sekarang, mengapa para penceramah di mimbar-mimbar tidak pernah membuka sesi tanya jawab kepada jamaahnya? Atau mengapa jamaah tidak boleh memberikan intruksi kepada penceramah saat ia terlalu lama berbicara, saat ia terlalu sok tahu, atau saat ia terlalu menakut-nakuti?

Semoga kelak, siapa saja yang akan jadi penceramah mampu melakukannya dengan baik. Setelahnya, orang tuaku menyampaikan kepadaku bahwa mereka mendapatkan pengakuan bahwa ceramahku malam itu sangat dinikmati oleh jamaah, meskipun saya ragu jika mereka memahaminya. Aku aku juga tidak boleh berpikir seperti itu.

Aku membayangkan, di masjid atau di atas mimbar, penceramah memberikan kesempatan kepada jamaah untuk mengajukan pertanyaan atau sanggahan, kulihat jamaah melempari penceramah dengan pertanyaan-pertanyaan atau malah jamaah jadi demam karena tidak punya pertanyaan apa-apa atau takut dianggap bodoh karena bertanya.

Le(m)baran Bu(ras)ku

Le(m)baran Bu(ras)ku

Photo by Andrik Langfield

Hari ini, adalah hari di mana rinduku jadi semakin lembab dari hari-hari sebelumnya. Bagaimana tidak jikalau kemungkinan untuk berlebaran idul fitri bersama orang tua tercinta amat kecil? Why? Tak seharusnya kuceritakan perihal memalukan ini kepadamu. Tapi semoga ini bisa mengobati sedikit dari kekesalanku.

Aku kehabisan uang. Orang tuaku mengirimiku recehan untuk tiket pulang tapi telah kuhabiskan untuk membeli buku yang kuidamkan beberapa bulan silam. Tidak kusampaikan soal ini kepadanya. Aku hanya akan menyampaikan kenyataan lain bahwa aku sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah, sehingga tidak sempat pulang, juga tentu karena memang aku sedang melakukannya.

Apakah aku berbohong? Aku mencintai orang tuaku, dan kuanggap membohongi kedua orang itu bukanlah ciri anak yang baik. Apakah aku bukan anak yang baik? Semua orang di dunia ini, punya keburukannya sendiri, percayalah! Tetapi bukan berarti aku melakukan itu kepada orang tuaku sebagai sebuah kesengajaan. Tidak. Aku sangat merindukan mereka, tapi aku tidak punya pilihan lain.

Kemarin, kakakku memberiku pembeli tiket, atau anggap saja itu THR, tapi tidak kugunakan sebagaimana mestinya. Sebagian besar kusimpan baik-baik untuk kugunakan keperluan yang lebih mendesak suatu hari di masa-masa sulit. Selebihnya, kubelikan tisu, hanya untuk persiapan jika suatu ketika pipiku basah. Aku tahu pada saat kapan hal itu rentan terjadi, jadi aku siapkan payung sebelum hujan.

Malam ini aku menerima telepon darinya—my mom. Kami berbicara seolah-olah akan bertemu ketika lebaran nanti. Tapi, “aku baru akan pulang saat liburan semester datang,” gumamku, “maafkan aku, ma'”. Ibuku memang tidak menyelesaikan sekolahnya sampai di Sekolah Menegah Pertama, tapi kujamin, dia adalah satu-satunya orang yang paling piawai memahami perasaanku. Ia membaca pikiranku, lalu berbisik “Jika uang yang kukirimkan kepadamu tidak cukup untuk mengantarmu balik kemari nak’, pilihlah sesuai keinginanmu. Kami tentu merindukanmu di sini, tapi kuharap kau bisa mengerti tentang kesabaran dari kejadian semacam ini. Jaga kesehatanta’.”

“Ma’,” kataku,“kupake beli buku uang yang kita kirimkanka’, mungkin tidak bisaka pulang tahun ini lebaran. Lagian, adaji dengku di sini bisa kutemani kalau butuhka seseorang.”

“Iyye’ nak’,” ibuku terdiam sejenak, kutebak, ada sesuatu yang lain di bola matanya,“sabbaraki’ nak, kalau teman-temanmu lebaran dengan baju barunya, kamu hanya bisa lebaran dengan bukumu. Sabbaraki’ nak’, janganki lupa bersyukur dan sabar.”

“Iyye Ma’,” jawabku menenangkan. “Ke mana pale Tetta Ajiku, Ma’?” tanyaku kembali berusaha mengalihkan pembicaraan yang pilu, yang barusan kubuat.

“Belumpi pulang nak’,” ia kembali mendiamkan sedihnya sejenak, seperti air liurnya sedang menjanggal tenggorokannya, atau karena rindu jadi rumit ditawar saat malam hari, “hari ini katanya na datang.”

Aku baru ingat, bahwa ayahku, yang biasa kupanggil ‘Tetta Aji” itu, sebulan yang lalu meninggalkan rumah. Ia mengikuti salah satu kegiatan sebuah gerakan dakwah di kampung kami. Kegiatan dakwah itu berupa berjalan ke satu kampung ke kampung lainnya untuk berdakwah. Setelah berkali-kali tidak diizinkan oleh kami—anak dan istrinya—untuk ikut gerakan itu, akhirnya, menjelang bulan Ramadan lalu, ibu kami mengizinkan. Dan kabarnya, ia belum juga pulang. Semoga besok sudah tiba di rumah dengan selamat.

Aamiin.

Lalu bagaimana denganku di sini? Aku akan merayakan le(m)baran bu(ras)ku di sini—lebaran buras atau lembaran buku. Akan kurayakan dua-duanya sekaligus. Semoga pahitnya dapat kutelan.

Mengapa Kata Cinta Dianggap Lebay?

Mengapa Kata Cinta Dianggap Lebay?

Kolom Tanya, Andi Alfian
Apa defenisi dan makna kata Cinta?

Di dalam Filsafat Cinta yang pernah dikemukan oleh kanda Sainal, salah satu mahasiswa Aqidah Filsafat UIN Alauddin mengatakan bahwa cinta adalah suatu hal yang tak dapat didefenisikan. Sebab ketika kita mendefenisikan cinta maka semakin jauh defenisi itu dari cinta yang sebenarnya. Kanda Sainal juga memberikan kesamaan kategori antara kata cinta dengan kata ilmu dan kata ada. Kata Ilmu misalnya, menurut kanda Sainal kata Ilmu tak dapat didefenisikan karena untuk mendefenisikannya kita membutuhkan Ilmu.

Ketiga kata tersebut merupakan kata yang tak dapat didefenisikan. Mendengar kalimat tersebut membuat saya bertanya, lantas bagaimana kita memahami kata tersebut jika tanpa pendefenisian? Atau bahkan kita hanya butuh memahami bukan mendefenisikan? Atau pertanyaan yang lebih spesifik seperti apa hubungan pemahaman kita terhadap kemampuan kita mendefenisikan? Semoga kak Sainal bisa menjawab hal tersebut melalui kolom komentar.

Apa defenisi dan makna kata Lebay?

Menurut Aulia Rahmadani, narasumber yang mungkin terjebak dalam paksaan penulis untuk berkomentar mengenai pertanyaan ini. Karena menurut penulis ia memiliki banyak pengalaman bertemu orang-orang lebay di sekitarnya. “Maaf, saya mungkin menggunakan kalimat lebay sebagai contoh bahwa seperti itulah kalimat lebay”☺. 

Aulia mengatakan bahwa kata Lebay merupakan kata yang berasal dari bahasa Alay. Bahasa Alay ini sendiri merupakan bahasa anak muda. Ia juga menjelaskan bahwa kata lebay merupakan bentuk lain dari kata “terlalu” dalam bahasa Indonesia, juga merupakan bentuk lain dari “Too Much” dalam bahasa Inggris. “Lebay itu kata sifat, Alay itu kata benda”, tulis Aulia saat di tanya di WhatsApp.

Dalam beberapa artikel yang pernah saya baca bahwa Alay itu dapat diartikan sebagai Anak Layangan (Alay). Jika anda pernah mendengar lirik lagu berikut maka anda mungkin paham makna kata Alay :

“Alay, anak layangan… Nongkrong pinggir jalan sama teman-teman, biar keliatan anak pergaulan yang doyan kelayapan….”

Jika kita bertolak pada lirik lagu di atas, kata Alay dapat bermakna anak kampungan yang berlaku seenaknya atau berlebihan. Hal itu juga dijelaskan oleh Aulia bahwa kata atau tindakan itu akan bermakna lebay apabila ia terletak pada kadar “terlalu/berlebihan”.

Nah pertanyaan selanjutnya yang lebih inti dan mendalam adalah: Mengapa kata cinta kadang bermakna lebay? dan Apa hubungan pemaknaan kita terhadap cinta yang selalu berujung pada ke-lebay-an.

Nah, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Saya akan kembali mengutip pendapat dari Aulia Rahmadani sebagai narasumber kita pada tema ini. Ketika ditanya kapan kata cinta itu bermakna lebay? Ia menjawab dengan menulisnya seperti berikut :

When I say, I love him, It’s lebay. Except my dad” > Jika diterjemahkan mungkin artinya kurang lebih “Ketika saya mengatakan, saya mencintai lelaki, maka itu lebay. Kecuali ayah saya”.

Mungkin berdasarkan pesan singkat tersebut anda bisa memahami kapan kalimat cinta bermakna lebay. Selanjutnya, berdasarkan defenisi lebay yang jelaskan oleh Aulia pada pertanyaan di atas dapat kita simpulkan bahwa ternyata cinta akan bermakna lebay apabila ia diungkapkan secara berlebihan baik itu lisan dan tulisan maupun tindakan.

Jadi, Apakah kata cinta yang tulus dan mendalam itu juga lebay? atau dengan pertanyaan lan apakah semua cinta bermakna lebay? 

Menurut Aulia, tidak semua cinta bermakna lebay sebab demikian misalnya cinta kita kepada kedua orang tua tidak pernah bermakna lebay meskipun mungkin kita tidak pernah mengucapkan langsung padanya. Namun tindakan yang kita lakukan kadang sangat besar yakni melakukan yang terbaik semata-mata hanya untuk membahagiakannya sebagai cinta kita dan hal itu tidak pernah di maknai sebagai tindakan yang lebay. 

Namun selanjutnya kembali ia mengatakan bahwa letak makna cinta yang lebay itu tergantung pada orang yang memaknai cinta itu. Jadi meskipun kita sebagai orang yang mengatakan cinta tidak berniat lebay, namun karena orang yang mendengarkan kalimat cinta itu bisa saja merasakan dan memaknainya dengan kata lebay. Sehingga muncullah istilah cintamu lebay.

Menurut saya sendiri, cinta memang tidak selamanya lebay. Cinta akan bermakna lebay jika ia masuk dalam kualitas yang dangkal. Masuk dalam kotak-kotak yang membatasi esensi cinta itu sendiri. Salah satu contoh yang membuat esensial cinta itu lebay dan dangkal adalah adanya cinta yang dinuansai pacaran. Nah padahal dengan pacaran inilah wadah cinta itu terkadang terlihat lebay. Ingatlah bahwa ke-lebay-an seorang lelaki terkadang berbanding lurus sama epitumia yang dimiliki.

Namun di lain sisi juga, tidak dapat saya mungkiri bahwa terkadang ada rasa yang kita ungkapkan akan disandingkan dengan makna lebay meskipun bukan dalam kotak pacaran, status galau misalnya. Sedangkan contoh cinta yang tidak bermakna lebay adalah cinta seorang sufi yang memiliki dan memberikan cintanya kepada Tuhannya yang sangat berlebihan bahkan pada taraf non-rasional. Tapi cinta ini tidak pernah dimaknai dengan makna cinta yang lebay.

Jadi kesimpulannya orang akan dianggap lebay jika ia melakukan sesuatu yang berlebihan dan secara normal hal tersebut hanyalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Ketika seseorang mengungkapkan cintanya dengan cara yang berlebihan dan tidak seperti pengungkapan cinta secara lazim akan dianggap lebay. Itulah kesimpulan awal saya. 

Tidak jadi soal jika kawan-kawan pembaca dan memiliki kesimpulan yang berbeda. Sebab tulisan ini merupakan opinial-skeptis yang bertujuan untuk memacu pembaca agar lebih berani menarasikan ide yang ada dengan metode skeptis.

Bolehkah Aku Membunuh Tuhan?

Bolehkah Aku Membunuh Tuhan?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Fenomena kehidupan beragama akhir-akhir ini sangat indah dipandang (sebaliknya). Para penganut agama memfitnah, menyiksa, dan bahkan membunuh sesama penganut yang berbeda pendapat dengannya dengan alasan membela tuhan, ISIS misalnya. Penganut agama seperti ini seakan menganut agama tuhan. Selangkah lagi menjadikan dirinya tuhan.

Penganut yang mengatakan memahami agamanya sebenar-benarnya lalu menyalahkan dan mengkafirkan penganut agama selain agama yang dianutnya, bertingkah laku seakan-akan dirinya menganut agama yang paling benar, penganut jenis ini menurut Cak Nun adalah manusia yang paling syirik. Bukankah mengatakan aku tuhan adalah bentuk kesyirikan yang paling besar?

Bukankah sangat banyak manusia sekarang ini yang ingin menjadi tuhan? Manusia yang sangat mudah mengkafirkan orang, sangat mudah mengatakan orang lain syirik, sangat mudah menyalahkan orang lain seolah dirinya yang paling benar. Itulah manusia yang ingin menjadi tuhan.

Ada pula penganut yang menklaim dirinya memahami sepenuhnya (1000%) sabda tuhan. Penganut jenis ini kerap kali melakukan hal aneh. Misalnya ketika ia marah, ketika ia membenci, ketika ia membunuh, maka seketika itu pula ia mensabdakan bahwa ia mewakili tuhan atas kemarahan dan kebenciannya. Biasanya penganut agama seperti ini sangat intoleran dan anti-perbedaan.

Terkadang pula penganut agama jenis ini menggunakan sabda lelucon. Penganut jenis ini misalnya berani menista saudaranya, berani menghina tetangganya, berani menyakiti orang tuanya, semua itu hanya untuk membela tuhan. Bahkan tak jarang melakukan pembunuhan atas sabda mewakili tuhan atau membela tuhan. Apakah tuhan selemah itu untuk kau bela? Apakah tuhan tidak berdaya sehingga membutuhkan perlindunganmu?

Padahal pada dasarnya apa yang ia pahami terhadap tuhan dan agamanya hanya pemaknaannya terhadap tuhan dan agama itu sendiri, bukan tuhan dan agama secara sejati (orisinal). Jika kalian mendapati penganut agama seperti ini, waspadalah. Sebab, yang membersamai mereka adalah tuhan palsu.

Apakah tuhan memerintahkan manusia untuk saling membenci? Apakah tuhan memerintahkan manusia untuk saling menghina? Apakah tuhan menciptakan manusia hanya untuk saling membunuh?

Jika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas adalah Ya, maka aku ingin bertanya bolehkah aku membunuh tuhan? Jika boleh, izinkan aku membunuh tuhan. Karena yang aku pahami tentang hal itu, pada hakikatnya itu bukanlah Tuhan. Namun yang menjadi dalang dari semua fenomena itu adalah Iblis yang mengaku dirinya tuhan.

Mengapa Saya Menulis Puisi?

Mengapa Saya Menulis Puisi?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Kemarin, di salah satu grup WhatsApp, seseorang melontarkan dua pertanyaan setelah membaca beberapa puisi yang saya tulis. Ia bertanya: “Mengapa Anda menulis puisi? Apakah Anda ingin menjadi penulis atau penyair?” 

Perihal pertanyaan itu, saya menjawabnya dengan beberapa penjelasan berikut:

Saya tidak ingin menjadi penulis apalagi penyair. Saya hanya manusia biasa yang tidak ingin menjadi apa-apa. Alasan saya menulis karena, di pikiran dan di hati saya, ada semacam keterharuan, ketakutan dan segala macam pemaknaan skeptis terhadap kehidupan. Entah itu pada kehidupan dalam lingkup diri sendiri maupun kehidupan orang lain.

Keterharuan ini muncul dari kebiasaan saya melihat dan memperhatikan hiruk pikuk kehidupan kota yang semakin menggila. Dengan perhatian dan obsesi yang tinggi, saya seringkali merasa senasib dengan mereka: para pelacur, perampok, penjudi, pemulung, dan semua orang yang saya jumpai di kehidupan yang semakin gila ini.

Melihat mereka sebagai manusia yang mati-matian ingin hidup selalu saja memantik perasaan tragis dalam jiwa. Dan itu mesti diluapkan. Di titik inilah saya percaya, bahwa ujung lidah terlalu naif untuk bisa mengungkapkan semua itu. Sehingga menulis adalah alternatif yang tepat. Saya tidak peduli apakah itu baik atau buruk—saya tipe manusia immoral, tapi setidaknya saya masih punya keharuan dan keprihatinan  kapan dan di mana saya sekarang: hari ini dan di kehidupan. 

Saya pikir, dengan menulis saya punya waktu memikirkan diri saya sendiri. Dengan menulis saya punya waktu memikirkan saudara saya: pemulung, pelacur dan siapa saja yang menjalani hidup dalam kekalutan. Saya bersaudara dengan mereka. Ibu kami adalah kemanusiaan. Dan saya selalu ingin mengabari mereka lewat tulisan, lewat puisi atau apa saja namanya. Suatu hari, mungkin di hari lebaran atau di hari kiamat, saya punya kesempatan memeluk mereka tanpa perbedaan identitas, memeluk mereka sebagaimana saya memeluk tangan saya sendiri ketika kedinginan.

Dan jika kalian punya rasa sama, menulislah! Sungguh, haram hukumnya mengungkapkan perasaan dan pikiran semacam itu dengan ujung lidah. Kau akan dianggap sebagai manusia pembual, seperti saya di tulisan ini. Saya membual!