Le(m)baran Bu(ras)ku
Bualan Filosofi Filsafat Gumam Lebaran Opini
Hari ini, adalah hari di mana rinduku jadi semakin lembab dari hari-hari sebelumnya. Bagaimana tidak jikalau kemungkinan untuk berlebaran idul fitri bersama orang tua tercinta amat kecil? Why? Tak seharusnya kuceritakan perihal memalukan ini kepadamu. Tapi semoga ini bisa mengobati sedikit dari kekesalanku.
Aku kehabisan uang. Orang tuaku mengirimiku recehan untuk tiket pulang tapi telah kuhabiskan untuk membeli buku yang kuidamkan beberapa bulan silam. Tidak kusampaikan soal ini kepadanya. Aku hanya akan menyampaikan kenyataan lain bahwa aku sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah, sehingga tidak sempat pulang, juga tentu karena memang aku sedang melakukannya.
Apakah aku berbohong? Aku mencintai orang tuaku, dan kuanggap membohongi kedua orang itu bukanlah ciri anak yang baik. Apakah aku bukan anak yang baik? Semua orang di dunia ini, punya keburukannya sendiri, percayalah! Tetapi bukan berarti aku melakukan itu kepada orang tuaku sebagai sebuah kesengajaan. Tidak. Aku sangat merindukan mereka, tapi aku tidak punya pilihan lain.
Kemarin, kakakku memberiku pembeli tiket, atau anggap saja itu THR, tapi tidak kugunakan sebagaimana mestinya. Sebagian besar kusimpan baik-baik untuk kugunakan keperluan yang lebih mendesak suatu hari di masa-masa sulit. Selebihnya, kubelikan tisu, hanya untuk persiapan jika suatu ketika pipiku basah. Aku tahu pada saat kapan hal itu rentan terjadi, jadi aku siapkan payung sebelum hujan.
Malam ini aku menerima telepon darinya—my mom. Kami berbicara seolah-olah akan bertemu ketika lebaran nanti. Tapi, “aku baru akan pulang saat liburan semester datang,” gumamku, “maafkan aku, ma'”. Ibuku memang tidak menyelesaikan sekolahnya sampai di Sekolah Menegah Pertama, tapi kujamin, dia adalah satu-satunya orang yang paling piawai memahami perasaanku. Ia membaca pikiranku, lalu berbisik “Jika uang yang kukirimkan kepadamu tidak cukup untuk mengantarmu balik kemari nak’, pilihlah sesuai keinginanmu. Kami tentu merindukanmu di sini, tapi kuharap kau bisa mengerti tentang kesabaran dari kejadian semacam ini. Jaga kesehatanta’.”
“Ma’,” kataku,“kupake beli buku uang yang kita kirimkanka’, mungkin tidak bisaka pulang tahun ini lebaran. Lagian, adaji dengku di sini bisa kutemani kalau butuhka seseorang.”
“Iyye’ nak’,” ibuku terdiam sejenak, kutebak, ada sesuatu yang lain di bola matanya,“sabbaraki’ nak, kalau teman-temanmu lebaran dengan baju barunya, kamu hanya bisa lebaran dengan bukumu. Sabbaraki’ nak’, janganki lupa bersyukur dan sabar.”
“Iyye Ma’,” jawabku menenangkan. “Ke mana pale Tetta Ajiku, Ma’?” tanyaku kembali berusaha mengalihkan pembicaraan yang pilu, yang barusan kubuat.
“Belumpi pulang nak’,” ia kembali mendiamkan sedihnya sejenak, seperti air liurnya sedang menjanggal tenggorokannya, atau karena rindu jadi rumit ditawar saat malam hari, “hari ini katanya na datang.”
Aku baru ingat, bahwa ayahku, yang biasa kupanggil ‘Tetta Aji” itu, sebulan yang lalu meninggalkan rumah. Ia mengikuti salah satu kegiatan sebuah gerakan dakwah di kampung kami. Kegiatan dakwah itu berupa berjalan ke satu kampung ke kampung lainnya untuk berdakwah. Setelah berkali-kali tidak diizinkan oleh kami—anak dan istrinya—untuk ikut gerakan itu, akhirnya, menjelang bulan Ramadan lalu, ibu kami mengizinkan. Dan kabarnya, ia belum juga pulang. Semoga besok sudah tiba di rumah dengan selamat.
Aamiin.
Lalu bagaimana denganku di sini? Aku akan merayakan le(m)baran bu(ras)ku di sini—lebaran buras atau lembaran buku. Akan kurayakan dua-duanya sekaligus. Semoga pahitnya dapat kutelan.