Lebaran Kali Ini Aku Tidak Pulang

Lebaran Kali Ini Aku Tidak Pulang

kepada orang-orang yang sedih jika aku tidak pulang.

Photo by Annie Spratt on Unsplash

Hari ini, 2 Juni, kuhabiskan sebagian siang dan soreku melahap buku. Tak terencana, kutemui sepenggal kalimat seorang prosais di buku yang kubaca, lebaran selalu membawa orang-orang pulang. Aku sedih membacanya.

Lebaran kali ini aku tidak pulang. Aku tidak pulang. Tidak pulang. (Kuucapkan tiga kalimat itu berulang-ulang, hingga aku mengerti mengapa Tuhan menciptakan tenggorokan—agar kita bisa menggunakannya untuk menelan, termasuk kesedihan.

“Sudah dua tahun aku tidak merayakan hari raya di kampung halaman.” Kubayangkan suatu hari di masa akan datang, aku menulis kalimat sebelumnya dengan jumlah tahun yang berbeda, mungkin sepuluh tahun atau dua puluh tahun. Setelah itu, aku pasti akan pulang! Aku pasti merindukan semua yang ada di sana:

***

0.

Aku merindukan sungai yang tak jauh dari rumah, entah siapa yang memindahkannya kemari, ke antara mata dan pipiku, kurasa airnya mengalir lebih deras dari sebelumnya—ketika kami terakhir kali mengunjunginya sepulang sekolah atau dari rumah. Aku hampir lupa kapan persisnya.

1.

Aku merindukan tetanggaku: gadis kecil yang suka menangis, wanita tua yang belum menikah, dan seorang ibu yang menyeret kakinya saat berjalan karena strok, serta semua orang yang mengaku dirinya lebih sehat dan lebih bahagia dari yang kusebutkan. Aku merindukan mereka—semuanya.

2.

Aku merindukan semua teman-teman sekolah dulu. Mereka yang hingga hari ini tidak mau bunuh diri, meskipun kenyataan bahwa masa depan jauh lebih kejam daripada guru agama kami dulu, atau penjaga kantin di sekolah yang melarang kami mengutang, yang tidak segan-segan memukuli kami ketika mendapat laporan dari teman perempuan kami bahwa kami telah mencuri permen karet di toplesnya.

3.

Aku merindukan mereka: kakak-kakakku. Mereka yang pernah membuatku menangis dengan bentakan dan pukulannya karena aku jadi anak yang payah dan lemah dalam melakukan segala sesuatu.

4.

Aku merindukan mereka: adik-adikku. Mereka yang jadi tempatku paling aman untuk marah ketika aku kalah bermain kelereng dengan teman sekolah, mereka yang kusalahkan serta kusebut bodoh ketika salah melakukan perintahku.

5.

Aku merindukan saudara laki-lakiku: mulai dari dia yang ingin menikah lebih muda dengan janda, hingga dia yang mau jadi tukang cukur agar bisa memerintah presiden dengan mudah—semua imajinasi nakal kami waktu masih kanak-kanak menjadi ruang yang ingin sekali kukunjungi sekali lagi.

6.

Aku merindukan saudara perempuanku: mulai dari dia yang selalu berlaku seperti seorang ibu kepada kami, hingga dia yang menganggap Ibu kami sebagai miliknya seorang. Mereka yang selalu kudoakan agar dapat jodoh lelaki yang penyayang lagi tampan, agar kelak aku bisa punya kakak—setidaknya kakak ipar, yang lebih penyayang dan lebih tampan dari kakakku yang laki-laki.

7.

Dan di antara semua yang kusebutkan, tiadalah taranya kecintaan dan kerinduanku kepada dua seniman:

Aku merindukan ibuku, yang pandai menyembunyikan air sungai di matanya. Meski bencana alam selalu datang menghantui tubuh dan pikirannya. Ketika anak-anaknya bersedih, ibuku selalu jadi matahari, tempat kami mengeringkan pipi yang basah. Dan terlebih lagi, hanya kepada ibu, kita bisa melihat bulan lebih dekat lewat pelukannya.

Aku merindukan ayahku, yang pandai menyulap keburukan di dadaku menjadi kebajian, yang ketika aku melihat hantu, ia melihat Tuhan, yang ketika aku terjatuh ia datang dengan lengan. Sesunguh-sungguhnya pengakuan, kuakui, bahwa ayahku, adalah laki-laki paling gagah di muka bumi ini, meskipun sebagian rambutnya telah memutih.

Aku akan selalu merindukan dua seniman itu: ibu dan ayahku.

Le(m)baran Bu(ras)ku

Le(m)baran Bu(ras)ku

Photo by Andrik Langfield

Hari ini, adalah hari di mana rinduku jadi semakin lembab dari hari-hari sebelumnya. Bagaimana tidak jikalau kemungkinan untuk berlebaran idul fitri bersama orang tua tercinta amat kecil? Why? Tak seharusnya kuceritakan perihal memalukan ini kepadamu. Tapi semoga ini bisa mengobati sedikit dari kekesalanku.

Aku kehabisan uang. Orang tuaku mengirimiku recehan untuk tiket pulang tapi telah kuhabiskan untuk membeli buku yang kuidamkan beberapa bulan silam. Tidak kusampaikan soal ini kepadanya. Aku hanya akan menyampaikan kenyataan lain bahwa aku sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah, sehingga tidak sempat pulang, juga tentu karena memang aku sedang melakukannya.

Apakah aku berbohong? Aku mencintai orang tuaku, dan kuanggap membohongi kedua orang itu bukanlah ciri anak yang baik. Apakah aku bukan anak yang baik? Semua orang di dunia ini, punya keburukannya sendiri, percayalah! Tetapi bukan berarti aku melakukan itu kepada orang tuaku sebagai sebuah kesengajaan. Tidak. Aku sangat merindukan mereka, tapi aku tidak punya pilihan lain.

Kemarin, kakakku memberiku pembeli tiket, atau anggap saja itu THR, tapi tidak kugunakan sebagaimana mestinya. Sebagian besar kusimpan baik-baik untuk kugunakan keperluan yang lebih mendesak suatu hari di masa-masa sulit. Selebihnya, kubelikan tisu, hanya untuk persiapan jika suatu ketika pipiku basah. Aku tahu pada saat kapan hal itu rentan terjadi, jadi aku siapkan payung sebelum hujan.

Malam ini aku menerima telepon darinya—my mom. Kami berbicara seolah-olah akan bertemu ketika lebaran nanti. Tapi, “aku baru akan pulang saat liburan semester datang,” gumamku, “maafkan aku, ma'”. Ibuku memang tidak menyelesaikan sekolahnya sampai di Sekolah Menegah Pertama, tapi kujamin, dia adalah satu-satunya orang yang paling piawai memahami perasaanku. Ia membaca pikiranku, lalu berbisik “Jika uang yang kukirimkan kepadamu tidak cukup untuk mengantarmu balik kemari nak’, pilihlah sesuai keinginanmu. Kami tentu merindukanmu di sini, tapi kuharap kau bisa mengerti tentang kesabaran dari kejadian semacam ini. Jaga kesehatanta’.”

“Ma’,” kataku,“kupake beli buku uang yang kita kirimkanka’, mungkin tidak bisaka pulang tahun ini lebaran. Lagian, adaji dengku di sini bisa kutemani kalau butuhka seseorang.”

“Iyye’ nak’,” ibuku terdiam sejenak, kutebak, ada sesuatu yang lain di bola matanya,“sabbaraki’ nak, kalau teman-temanmu lebaran dengan baju barunya, kamu hanya bisa lebaran dengan bukumu. Sabbaraki’ nak’, janganki lupa bersyukur dan sabar.”

“Iyye Ma’,” jawabku menenangkan. “Ke mana pale Tetta Ajiku, Ma’?” tanyaku kembali berusaha mengalihkan pembicaraan yang pilu, yang barusan kubuat.

“Belumpi pulang nak’,” ia kembali mendiamkan sedihnya sejenak, seperti air liurnya sedang menjanggal tenggorokannya, atau karena rindu jadi rumit ditawar saat malam hari, “hari ini katanya na datang.”

Aku baru ingat, bahwa ayahku, yang biasa kupanggil ‘Tetta Aji” itu, sebulan yang lalu meninggalkan rumah. Ia mengikuti salah satu kegiatan sebuah gerakan dakwah di kampung kami. Kegiatan dakwah itu berupa berjalan ke satu kampung ke kampung lainnya untuk berdakwah. Setelah berkali-kali tidak diizinkan oleh kami—anak dan istrinya—untuk ikut gerakan itu, akhirnya, menjelang bulan Ramadan lalu, ibu kami mengizinkan. Dan kabarnya, ia belum juga pulang. Semoga besok sudah tiba di rumah dengan selamat.

Aamiin.

Lalu bagaimana denganku di sini? Aku akan merayakan le(m)baran bu(ras)ku di sini—lebaran buras atau lembaran buku. Akan kurayakan dua-duanya sekaligus. Semoga pahitnya dapat kutelan.