Le(m)baran Bu(ras)ku

Le(m)baran Bu(ras)ku

Photo by Andrik Langfield

Hari ini, adalah hari di mana rinduku jadi semakin lembab dari hari-hari sebelumnya. Bagaimana tidak jikalau kemungkinan untuk berlebaran idul fitri bersama orang tua tercinta amat kecil? Why? Tak seharusnya kuceritakan perihal memalukan ini kepadamu. Tapi semoga ini bisa mengobati sedikit dari kekesalanku.

Aku kehabisan uang. Orang tuaku mengirimiku recehan untuk tiket pulang tapi telah kuhabiskan untuk membeli buku yang kuidamkan beberapa bulan silam. Tidak kusampaikan soal ini kepadanya. Aku hanya akan menyampaikan kenyataan lain bahwa aku sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah, sehingga tidak sempat pulang, juga tentu karena memang aku sedang melakukannya.

Apakah aku berbohong? Aku mencintai orang tuaku, dan kuanggap membohongi kedua orang itu bukanlah ciri anak yang baik. Apakah aku bukan anak yang baik? Semua orang di dunia ini, punya keburukannya sendiri, percayalah! Tetapi bukan berarti aku melakukan itu kepada orang tuaku sebagai sebuah kesengajaan. Tidak. Aku sangat merindukan mereka, tapi aku tidak punya pilihan lain.

Kemarin, kakakku memberiku pembeli tiket, atau anggap saja itu THR, tapi tidak kugunakan sebagaimana mestinya. Sebagian besar kusimpan baik-baik untuk kugunakan keperluan yang lebih mendesak suatu hari di masa-masa sulit. Selebihnya, kubelikan tisu, hanya untuk persiapan jika suatu ketika pipiku basah. Aku tahu pada saat kapan hal itu rentan terjadi, jadi aku siapkan payung sebelum hujan.

Malam ini aku menerima telepon darinya—my mom. Kami berbicara seolah-olah akan bertemu ketika lebaran nanti. Tapi, “aku baru akan pulang saat liburan semester datang,” gumamku, “maafkan aku, ma'”. Ibuku memang tidak menyelesaikan sekolahnya sampai di Sekolah Menegah Pertama, tapi kujamin, dia adalah satu-satunya orang yang paling piawai memahami perasaanku. Ia membaca pikiranku, lalu berbisik “Jika uang yang kukirimkan kepadamu tidak cukup untuk mengantarmu balik kemari nak’, pilihlah sesuai keinginanmu. Kami tentu merindukanmu di sini, tapi kuharap kau bisa mengerti tentang kesabaran dari kejadian semacam ini. Jaga kesehatanta’.”

“Ma’,” kataku,“kupake beli buku uang yang kita kirimkanka’, mungkin tidak bisaka pulang tahun ini lebaran. Lagian, adaji dengku di sini bisa kutemani kalau butuhka seseorang.”

“Iyye’ nak’,” ibuku terdiam sejenak, kutebak, ada sesuatu yang lain di bola matanya,“sabbaraki’ nak, kalau teman-temanmu lebaran dengan baju barunya, kamu hanya bisa lebaran dengan bukumu. Sabbaraki’ nak’, janganki lupa bersyukur dan sabar.”

“Iyye Ma’,” jawabku menenangkan. “Ke mana pale Tetta Ajiku, Ma’?” tanyaku kembali berusaha mengalihkan pembicaraan yang pilu, yang barusan kubuat.

“Belumpi pulang nak’,” ia kembali mendiamkan sedihnya sejenak, seperti air liurnya sedang menjanggal tenggorokannya, atau karena rindu jadi rumit ditawar saat malam hari, “hari ini katanya na datang.”

Aku baru ingat, bahwa ayahku, yang biasa kupanggil ‘Tetta Aji” itu, sebulan yang lalu meninggalkan rumah. Ia mengikuti salah satu kegiatan sebuah gerakan dakwah di kampung kami. Kegiatan dakwah itu berupa berjalan ke satu kampung ke kampung lainnya untuk berdakwah. Setelah berkali-kali tidak diizinkan oleh kami—anak dan istrinya—untuk ikut gerakan itu, akhirnya, menjelang bulan Ramadan lalu, ibu kami mengizinkan. Dan kabarnya, ia belum juga pulang. Semoga besok sudah tiba di rumah dengan selamat.

Aamiin.

Lalu bagaimana denganku di sini? Aku akan merayakan le(m)baran bu(ras)ku di sini—lebaran buras atau lembaran buku. Akan kurayakan dua-duanya sekaligus. Semoga pahitnya dapat kutelan.

Apakah Saya Berbohong?

Apakah Saya Berbohong?

Photo by PaweÅ‚ CzerwiÅ„ski on Unsplash

Hari ini saya merasa bersalah pada diri sendiri. Entah. Saya merasa harus meluangkan waktu untuk untuk memikirkannya.

(Beberapa menit kemudian)

Ok. Saya merasa bersalah (mungkin) karena saya telah menghancurkan diri saya yang different. Tapi, bukankah setiap manusia diciptakan berbeda? Ya, maksud saya: saya telah melakukan sesuatu yang menurut saya—setelah memikirkannya dengan seksama—adalah buruk bagi pembentukan kepribadian saya yang otonom.

Sebelum menjelaskan apa yang saya maksud dengan hal buruk itu, saya ingin bertanya pada diri saya sendiri: apa yang dimaksud dengan menjadi diri sendiri? apakah segala keputusan dan tindakan saya selama ini benar-benar didasari oleh pikiran dan keinginan saya sendiri atau malah sebenarnya orang lain yang membentuk dan mempengaruhi saya dalam berpikir dan bertindak?

Saya memikirkannya. Saya ingin mengakui bahwa, akhir-akhir ini, “saya tidak menjadi diri sendiri”. Ada beberapa keputusan dan pilihan yang saya pilih bukan karena benar-benar pilihan saya. Sehingga, sebagai akibat, saya tersiksa karena harus menjadi orang lain dalam tubuh saya sendiri. Saya menyadarinya. Dan kesadaran ini, sepertinya, benar-benar penting.

Dalam memilih—atau mengambil keputusan—saya seringkali mempertimbangkan: apa yang akan orang lain katakan about me? Apa yang akan dikatakan teman saya soal saya? Apa yang akan dikatakan pacar saya soal saya?

Sehingga, konsekuensi dari pikiran atau asumsi semacam ini adalah, saya, akhirnya, selalu merasa tidak enak menolak sesuatu, merasa tidak enak memutuskan sesuatu. Dan itu berarti, akan semakin berat untuk menjadi diri sendiri.

Menurut saya, hal ini (mungkin) dikarenakan oleh dua asumsi dilematis. Pertama, pandangan negatif kita terhadap diri sendiri. Kedua, ketakutan kita terhadap asumsi negatif orang lain terhadap kita. Kedua asumsi ini bertarung dalam benak kita, dalam tubuh kita.

Sehingga, pada kesempatan yang sama, kita akhirnya mengalami kegagapan independensi, atau keterombangambingan. Kita mengalami kekaburan preferensi antara memilih mengatakan sesuatu yang sebenarnya dengan kemungkinan dipandang negatif, atau mengatakan sesuatu yang bukan sebenarnya (hasil rekaan) dengan kemungkinan terlihat positif di mata orang lain.

Karena kita telah memiliki asumsi negatif pada  diri sendiri, maka kemungkinannya lebih lebih besar jika kita akan memilih pilihan yang sebenarnya bukan atas dasar keputusan pribadi yang otentik. Tetapi, atas dasar pertimbangan di luar diri atau orang lain atau asumsi lain yang mendorong kita menghasilkan rekaan.

Dalam pengertian ini, saya mengakui—dengan bahasa yang lebih kasar—bahwa saya telah berdusta selama ini. Saya, anda dan (mungkin) semua orang, telah berdusta pada diri sendiri. Pada titik inilah, kesadaran saya membuat saya merasa bersalah. Ternyata, saya—di banyak hal—adalah pembohong. 

Apa kamu akan menerima pengakuan saya ini? Apa kamu akan membantu saya mengubah kebiasaan buruk itu?

It’s me, and i hope you can help me to changes my self.

Apa Filosofi dari Oleh-Oleh?

Apa Filosofi dari Oleh-Oleh?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Hari ini, pekan ini, dan bulan ini serta tahun ini adalah rentang waktu perjalanan. Waktu yang dihiasi dengan kata mudik-balik, dihiasi dengan berbagai perjalanan. Hampir semua orang yang memiliki kampung halaman telah melakukan aktivitas mudik. Setelah mudik suatu saat dilanjutkan dengan aktivitas balik. Bukankah aktivitas mudik-balik adalah perjalanan?

Perjalanan bukan hanya untuk mereka yang memiliki kampung halaman. Bagi mereka yang tidak memiliki kampung halaman biasanya menghabiskan waktu mereka dengan berlibur ke sana kemari. Berlibur ria dengan mengunjungi berbagai tempat wisata. Nah, bukankah untuk mengunjungi suatu tempat wisata diperlukan aktivitas perjalanan pergi-balik?

Hingga saya pun tidak bisa menahan diri untuk ikut melakukan perjalanan, mudik-balik. Meskipun sejatinya hari-hari yang saya lalui selalu dengan perjalanan. Dan akhirnya pada beberapa hari yang lalu dalam suasana merangkai perjalanan saya menulis status di beranda Facebook tentang perjalanan. Dan berkat status itu saya mendapatkan sebuah pelajaran spiritual bahwa “setiap perjalanan butuh oleh-oleh”. Status tersebut seperti pada gambar di bawah:

Gambar diambil dari Facebook.

Pada status yang tertulis di beranda Facebook saya—sebagaimana yang ada di atas, menuai komentar dari kanda saya, Ma’ruf Nurhalis. Komentar tersebut membuat saya merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik komentar itu. Komentar tersebut kurang lebih berbunyi:

“Dan sebaik-baik pejalan adalah yang membawa oleh-oleh.”

– Ma’ruf Nurhalis.

Pada kali pertama saya membaca komentar tersebut serasa biasa saja. Namun hari ini, kala saya mendapati diri saya dalam keadaan dijatuhi tagihan oleh-oleh dari kawan-kawan di kampus membuat saya merenung. Aktivitas renungan ini membuat pikiran berlabuh pada sebuah ingatan, yakni ingatan saat membaca komentar di atas. Dari satuan kalimat tersebut (dan sebaik-baik pejalan adalah yang membawa oleh-oleh) yang paling teringat adalah penggalan kalimat ‘membawa oleh-oleh’. 

Saya terdiam dan mulai bertanya: apakah saya yang setiap saat melakukan perjalanan telah membawa oleh-oleh? Apakah saya telah melakukan perjalanan yang sia-sia karena tak mampu membawa oleh-oleh? Manakah oleh-oleh yang saya bawa dari perjalanan saya? Apakah ada oleh-oleh yang saya bawa untuk kawan-kawan saya? Jikalau saja tidak ada untuk kawan-kawan saya, apakah ada oleh-oleh untuk diri saya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan skeptis inilah yang menabrakkan dirinya di pelipis saya hingga memaksa saya menulis pertanyaan ini: Apa filosofi dari oleh-oleh?

Jika kita ingin mendapati makna oleh-oleh sebagai hal paling esensial maka caranya adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan reflektif di atas. Inilah yang penting. Sebagai manusia pencari oleh-oleh, kita perlu memahami apa makna oleh-oleh yang sebenarnya. Sehingga oleh-oleh yang kita cari dengan mudah kita raih dengan cara yang filosofis.

Oleh-oleh hanyalah sebuah kata. Kata biasanya menunjukkan konsep atau makna tertentu. Nah, inilah yang sebenarnya dapat menipu. Konsep atau makna menipu yang dimaksud adalah di saat kita memahami sebuah kata sebagai sesuatu yang tetap. Misalnya pemahaman kita terhadap kata “Alfian” sebagai nama saya.

Kata Alfian melukiskan paham seolah Alfian itu tetap. Meskipun Alfian itu semakin menua, kulitnya semakin keriput, rambut semakin memutih, wajah semakin ganteng, dan sebagainya, Alfian tetaplah saya. Padahal sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa segala sesuatu melakukan perjalanan. Perjalanan dalam hal ini perubahan. Sehingga apakah Alfian adalah sesuatu yang tetap? Tentu tidak. Alfian terus berubah. Alfian kemarin bukanlah Alfian yang hari ini dan seterusnya.

Begitu pun dengan kata oleh-oleh. Kita tertipu pada kata ini. Kita memaknai oleh-oleh sebagai makna sesuatu yang tetap. Kita memaknai oleh-oleh hanya sebagai benda atau sesuatu yang dibawa  pulang oleh para pejalan. Padahal esensi dari oleh-oleh bukanlah hanya persoalan benda namun persoalan hasil dan capaian. Perjalanan yang dilakukan tanpa capaian adalah perjalanan yang kerontang nan gersang.

Karena hidup selalu tentang perjalanan maka oleh-oleh selalu bermakna perubahan. Ya, ‘kehidupan tanpa perjalanan seperti kematian’. Namun ada hal yang harus diperhatikan, bahwa ada perjalanan yang tidak layak dijalani. Sebagaimana yang dikatakan oleh Socrates bahwa ‘hidup yang tanpa perenungan tak layak dijalani’. Maka begitupun perjalanan: perjalanan tanpa perenungan tak layak dijalani.

Oleh karena itu, untuk menuai permata suci dari perjalanan kita yakni oleh-oleh, diperlukan ruang renungan, diperlukan ruang filosofis, diperlukan ruang skeptis.

Bersambung…