Lebaran Kali Ini Aku Tidak Pulang
Andi Alfian Filsafat Gumam Lebaran Puasa Puisi Sajak— kepada orang-orang yang sedih jika aku tidak pulang.

Hari ini, 2 Juni, kuhabiskan sebagian siang dan soreku melahap buku. Tak terencana, kutemui sepenggal kalimat seorang prosais di buku yang kubaca, lebaran selalu membawa orang-orang pulang. Aku sedih membacanya.
Lebaran kali ini aku tidak pulang. Aku tidak pulang. Tidak pulang. (Kuucapkan tiga kalimat itu berulang-ulang, hingga aku mengerti mengapa Tuhan menciptakan tenggorokan—agar kita bisa menggunakannya untuk menelan, termasuk kesedihan.
“Sudah dua tahun aku tidak merayakan hari raya di kampung halaman.” Kubayangkan suatu hari di masa akan datang, aku menulis kalimat sebelumnya dengan jumlah tahun yang berbeda, mungkin sepuluh tahun atau dua puluh tahun. Setelah itu, aku pasti akan pulang! Aku pasti merindukan semua yang ada di sana:
***
0.
Aku merindukan sungai yang tak jauh dari rumah, entah siapa yang memindahkannya kemari, ke antara mata dan pipiku, kurasa airnya mengalir lebih deras dari sebelumnya—ketika kami terakhir kali mengunjunginya sepulang sekolah atau dari rumah. Aku hampir lupa kapan persisnya.
1.
Aku merindukan tetanggaku: gadis kecil yang suka menangis, wanita tua yang belum menikah, dan seorang ibu yang menyeret kakinya saat berjalan karena strok, serta semua orang yang mengaku dirinya lebih sehat dan lebih bahagia dari yang kusebutkan. Aku merindukan mereka—semuanya.
2.
Aku merindukan semua teman-teman sekolah dulu. Mereka yang hingga hari ini tidak mau bunuh diri, meskipun kenyataan bahwa masa depan jauh lebih kejam daripada guru agama kami dulu, atau penjaga kantin di sekolah yang melarang kami mengutang, yang tidak segan-segan memukuli kami ketika mendapat laporan dari teman perempuan kami bahwa kami telah mencuri permen karet di toplesnya.
3.
Aku merindukan mereka: kakak-kakakku. Mereka yang pernah membuatku menangis dengan bentakan dan pukulannya karena aku jadi anak yang payah dan lemah dalam melakukan segala sesuatu.
4.
Aku merindukan mereka: adik-adikku. Mereka yang jadi tempatku paling aman untuk marah ketika aku kalah bermain kelereng dengan teman sekolah, mereka yang kusalahkan serta kusebut bodoh ketika salah melakukan perintahku.
5.
Aku merindukan saudara laki-lakiku: mulai dari dia yang ingin menikah lebih muda dengan janda, hingga dia yang mau jadi tukang cukur agar bisa memerintah presiden dengan mudah—semua imajinasi nakal kami waktu masih kanak-kanak menjadi ruang yang ingin sekali kukunjungi sekali lagi.
6.
Aku merindukan saudara perempuanku: mulai dari dia yang selalu berlaku seperti seorang ibu kepada kami, hingga dia yang menganggap Ibu kami sebagai miliknya seorang. Mereka yang selalu kudoakan agar dapat jodoh lelaki yang penyayang lagi tampan, agar kelak aku bisa punya kakak—setidaknya kakak ipar, yang lebih penyayang dan lebih tampan dari kakakku yang laki-laki.
7.
Dan di antara semua yang kusebutkan, tiadalah taranya kecintaan dan kerinduanku kepada dua seniman:
Aku merindukan ibuku, yang pandai menyembunyikan air sungai di matanya. Meski bencana alam selalu datang menghantui tubuh dan pikirannya. Ketika anak-anaknya bersedih, ibuku selalu jadi matahari, tempat kami mengeringkan pipi yang basah. Dan terlebih lagi, hanya kepada ibu, kita bisa melihat bulan lebih dekat lewat pelukannya.
Aku merindukan ayahku, yang pandai menyulap keburukan di dadaku menjadi kebajian, yang ketika aku melihat hantu, ia melihat Tuhan, yang ketika aku terjatuh ia datang dengan lengan. Sesunguh-sungguhnya pengakuan, kuakui, bahwa ayahku, adalah laki-laki paling gagah di muka bumi ini, meskipun sebagian rambutnya telah memutih.
Aku akan selalu merindukan dua seniman itu: ibu dan ayahku.