Mengapa Saya Menulis Puisi?

Mengapa Saya Menulis Puisi?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Kemarin, di salah satu grup WhatsApp, seseorang melontarkan dua pertanyaan setelah membaca beberapa puisi yang saya tulis. Ia bertanya: “Mengapa Anda menulis puisi? Apakah Anda ingin menjadi penulis atau penyair?” 

Perihal pertanyaan itu, saya menjawabnya dengan beberapa penjelasan berikut:

Saya tidak ingin menjadi penulis apalagi penyair. Saya hanya manusia biasa yang tidak ingin menjadi apa-apa. Alasan saya menulis karena, di pikiran dan di hati saya, ada semacam keterharuan, ketakutan dan segala macam pemaknaan skeptis terhadap kehidupan. Entah itu pada kehidupan dalam lingkup diri sendiri maupun kehidupan orang lain.

Keterharuan ini muncul dari kebiasaan saya melihat dan memperhatikan hiruk pikuk kehidupan kota yang semakin menggila. Dengan perhatian dan obsesi yang tinggi, saya seringkali merasa senasib dengan mereka: para pelacur, perampok, penjudi, pemulung, dan semua orang yang saya jumpai di kehidupan yang semakin gila ini.

Melihat mereka sebagai manusia yang mati-matian ingin hidup selalu saja memantik perasaan tragis dalam jiwa. Dan itu mesti diluapkan. Di titik inilah saya percaya, bahwa ujung lidah terlalu naif untuk bisa mengungkapkan semua itu. Sehingga menulis adalah alternatif yang tepat. Saya tidak peduli apakah itu baik atau buruk—saya tipe manusia immoral, tapi setidaknya saya masih punya keharuan dan keprihatinan  kapan dan di mana saya sekarang: hari ini dan di kehidupan. 

Saya pikir, dengan menulis saya punya waktu memikirkan diri saya sendiri. Dengan menulis saya punya waktu memikirkan saudara saya: pemulung, pelacur dan siapa saja yang menjalani hidup dalam kekalutan. Saya bersaudara dengan mereka. Ibu kami adalah kemanusiaan. Dan saya selalu ingin mengabari mereka lewat tulisan, lewat puisi atau apa saja namanya. Suatu hari, mungkin di hari lebaran atau di hari kiamat, saya punya kesempatan memeluk mereka tanpa perbedaan identitas, memeluk mereka sebagaimana saya memeluk tangan saya sendiri ketika kedinginan.

Dan jika kalian punya rasa sama, menulislah! Sungguh, haram hukumnya mengungkapkan perasaan dan pikiran semacam itu dengan ujung lidah. Kau akan dianggap sebagai manusia pembual, seperti saya di tulisan ini. Saya membual!

Load comments