Mengapa Kita Menginginkan Kebahagiaan?

Mengapa Kita Menginginkan Kebahagiaan?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Dalam kehidupan sehari-hari, tanpa kita sadari, kita sering kali, melontarkan kalimat “Aku ingin bahagia”, “Yang penting kita bahagia”, “Mari hidup bahagia!”, dan berbagai argumen yang merupakan alasan-alasan yang terkadang bermakna pragmatis bagi kehidupan. Padahal kita belum pernah mengeksplorasi esensi kata ‘bahagia’ itu sendiri. Kebahagiaan bukanlah hal asing bagi kehidupan manusia. Sebab kebahagiaan ini bahkan telah menjadi dambaan dan impian oleh setiap manusia yang berpikir dengan akal sehatnya.

Kebahagiaan seolah harga yang tak dapat ditukar dengan barang apapun. Nilai kebahagiaan yang sangat berharga ini terkadang membuat orang beranggapan bahwa kebahagiaan itu harus diraih meskipun dengan mengorbankan kebahagiaan orang lain. Namun di sisi lain, terdapat sebagian orang yang berpendapat bahwa kebahagiaan itu ketika kita mampu menyalurkan cinta dan membuat banyak orang bahagia. Menyaksikan fenomena ini, menjebak kita dalam dialektika Ruang Skeptis ini.

Ya, kebahagiaan. Tema yang terkadang dianggap hal yang kompleks dan terkadang pula dianggap sebagai hal yang sangat simpel. Mengapa demikian? Apa sih itu kebahagiaan? Kapan manusia dikatakan bahagia? Mengapa manusia butuh bahagia? Siapakah pemberi kebahagiaan itu? Apakah bahagia sesimpel kata mereka yang pragmatis atau serumit kata mereka yang pesimis? Dan berbagai pertanyaan skeptis lainnya yang ketika terjawab akan membuat kita tersadar atas makna kebahagiaan secara esensial.

Apa itu kebahagiaan?

Kebahagiaan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ‘bahagia’. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tentram (bebas dari segala yang menyusahkan). Menurut saya kebahagiaan adalah kepuasan intelektual (batin) yang merupakan capaian dari berbagai potensi-potensi manusia dalam kehidupan. Jadi dengan defenisi itu, dapat menjawab masalah-masalah kebahagiaan yang tak kunjung dijumpai oleh orang-orang yang memiliki segalanya namun tak merasakan kebahagiaan.

Karena kebahagiaan bukanlah seberapa banyak istri yang anda miliki, bukan seberapa banyak mobil mewah yang dimiliki, bukan seberapa tinggi pangkat dan jabatan yang diraih. Namun kebahagiaan bagi saya adalah dimensi intelektual (batin) dalam merasakan kepuasan (syukur) terhadap yang dimilikinya yang mungkin saja tidak dimiliki oleh orang lain.

Menurut Andi Afandi Syam, mahasiswa di jurusan Perbandingan Agama UIN Alauddin Makassar mengatakan bahwa bahagia itu simpel dan relatif-universal. Bahagia itu simpel, karena kebahagiaan menurut beliau tergantung pada otoritas dan pandangan kebahagiaan individu seseorang. Misalnya, ketika seseorang mendambakan seorang pujaan hati untuk menjadi permaisurinya (istri), memiliki mobil mewah, rumah yang megah, pangkat yang tinggi dan lainnya maka kebahagiaan orang tersebut adalah ketika ia mampu mendapatkan atau merealisasikan harapan-harapannya tersebut.

Sedangkan menurut Sainal Abidin, mahasiswa di jurusan Filsafat Agama UIN Alauddin Makassar mengatakan bahwa kebahagiaan itu adalah ketika keinginan dalam pikiran dan perasaan menyatu dan terwujudkan dalam realitas. Dari pandangan kanda Sainal saya merumuskan bahwa kebahagiaan itu perpaduan antara apa yang kita pikirkan dengan perasaan kita yang kemudian menjadi sebuah realita. Nah apabila kesatuan harapan ini telah menjadi realita dalam kehidupan maka di sanalah kebahagiaan itu menampilkan eksistensinya.

Rumus Kebahagiaan

Diagram di atas merupakan sirkulasi munculnya kebahagiaan menurut Sainal Abidin. Harapan yang terakumulasi dari dua sumber yakni akal (pikiran) dan hati (perasaan) kemudian terwujud menjadi realita dalam kehidupan. Namun yang menjadi salah satu pengontrol dan pendorong dari terwujudnya akumulasi harapan tersebut adalah nafsu. Nafsu memiliki dua sisi yakni mendorong dan memotivasi pencapaian kebahagiaan dan juga di sisi lain bisa saja menjadi penghambat terwujudnya kebahagiaan.

Kapan seseorang dikatakan bahagia?

Pertanyaan tersebut memiliki jawaban yang beragam tentunya berasal dari berbagai pandangan. Ada sebagian orang berpandangan bahwa manusia dikatakan bahagia ketika ia mencapai apa yang ia cita-citakan dalam hidupnya. Dia dikatakan bahagia karena hal yang dicita-citakannya itu merupakan hal yang membuatnya terbebas dari segala kesusahan dan penderitaan. Namun ada pula beberapa orang yang berpendapat bahwa kebahagiaan itu merupakan hal yang sangat dalam dan bahkan hanya mampu mencapainya pada area sakral yakni kematian. Karena menurut beberapa orang ini (sufi) kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan non-material. Sehingga orang dikatakan bahagia ketika ia mampu terbebas pada material, dan salah satu caranya adalah mengalami kematian.

Bagaimana tingkatan kebahagiaan manusia?

Menurut saya tingkatan kebahagiaan manusia berbanding lurus dengan pengetahuan dan kesadarannya. Menurut saya ada tiga tingkatan kebahagiaan berdasarkan tingkat pengetahuan esensial manusia, yakni kebahagiaan tingkat pertama, kebahagiaan tingkat menengah, dan kebahagiaan tingkat atas.

Kebahagiaan tingkatan pertama adalah tingkatan kebahagiaan materialis. Kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan yang dangkal diantara tingkatan kebahagiaan yang ada. Mengapa hal ini juga termasuk dalam kebahagiaan? Karena tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat sebagian orang yang merasa bahagia ketika memiliki banyak materi berupa harta. Yah, orang bisa saja merasa bahagia dengan segala sumber material yang dimilikinya namun bagi saya itu hanyalah kebahagiaan yang dangkal.

Kebahagiaan tingkatan kedua adalah kebahagiaan yang berada pada tahapan kepuasan intelektual manusia. Kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan tingkat menengah dan biasanya dicapai oleh orang-orang yang taraf intelektualnya di atas orang awam. Pada tingkatan kebahagiaan ini, dalam memandang realita dunia, manusia tidak lagi mementingkan material namun lebih pada kesadaran dan kepeduliannya terhadap sesama sebagai manifestasi dari pengetahuan dan inteleknya.

Kebahagiaan tingkat tertinggi adalah kebahagiaan yang dicapai melalui jalan spiritual. Kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang selalu terpancarkan bagai cahaya lentera meskipun dilanda oleh kegelapan seperti penderitaan, kemiskinan, dan lain-lain. Itulah tiga tingkatan kebahagiaan menurut saya. Opini ini bisa saja berbeda dengan opini pembaca, sebab inilah cara Ruang Skeptis menyajikan opininya.

Siapa yang menciptakan kebahagiaan?

Mungkin saja semua orang berkeyakinan bahwa kebahagiaan sebagai wujud harapan takkan tercapai tanpa usaha yang dilakukan. Yang menjadi pertanyaan skeptis saya adalah siapakah yang memberikan kebahagiaan? Apakah manusia yang menciptakan kebahagiaannya sendiri? Atau kebahagiaan itu lahir dari orang lain yang menilai? Mengapa tiba-tiba orang bisa mengetahui yang namanya kebahagiaan? Itulah pertanyaan-pertanyaan skeptis yang kami harap mampu merangsang pembaca untuk senantiasa melakukan refleksi melalui pertanyaan dialektika-skeptis tersebut.

Manusia bisa saja menciptakan kebahagiaan untuk dirinya, namun yakinlah bahwa itu hanyalah kebahagiaan semu yang fana. Sebab kebahagiaan yang utuh dan sejati hanya milik Tuhan dan hanya mampu dirasakan oleh manusia-manusia yang dikehendaki-Nya. Jadi untuk mencicipi kebahagiaan sejati itu menurut pandangan sufistik adalah dengan kematian yang menjadi jalan pintas penyatuan diri dengan pemilik kebahagiaan.

Mengapa manusia menginginkan kebahagiaan?

Hal yang tak bisa dimungkiri dalam diskursus kebahagiaan adalah manusia menginginkan kebahagiaan. Mengapa demikian? Apakah karena hal tersebut berkaitan dengan naluri alami manusia? Apakah itu hasil olah pikiran manusia? Ataukah itu hasil hasrat yang lahir dari hawa nafsu manusia? Nah, untuk pembaca yang budiman, bagaimana menurut? Mengapa Anda menginginkan kebahagiaan?

Mengapa Kata Cinta Dianggap Lebay?

Mengapa Kata Cinta Dianggap Lebay?

Kolom Tanya, Andi Alfian
Apa defenisi dan makna kata Cinta?

Di dalam Filsafat Cinta yang pernah dikemukan oleh kanda Sainal, salah satu mahasiswa Aqidah Filsafat UIN Alauddin mengatakan bahwa cinta adalah suatu hal yang tak dapat didefenisikan. Sebab ketika kita mendefenisikan cinta maka semakin jauh defenisi itu dari cinta yang sebenarnya. Kanda Sainal juga memberikan kesamaan kategori antara kata cinta dengan kata ilmu dan kata ada. Kata Ilmu misalnya, menurut kanda Sainal kata Ilmu tak dapat didefenisikan karena untuk mendefenisikannya kita membutuhkan Ilmu.

Ketiga kata tersebut merupakan kata yang tak dapat didefenisikan. Mendengar kalimat tersebut membuat saya bertanya, lantas bagaimana kita memahami kata tersebut jika tanpa pendefenisian? Atau bahkan kita hanya butuh memahami bukan mendefenisikan? Atau pertanyaan yang lebih spesifik seperti apa hubungan pemahaman kita terhadap kemampuan kita mendefenisikan? Semoga kak Sainal bisa menjawab hal tersebut melalui kolom komentar.

Apa defenisi dan makna kata Lebay?

Menurut Aulia Rahmadani, narasumber yang mungkin terjebak dalam paksaan penulis untuk berkomentar mengenai pertanyaan ini. Karena menurut penulis ia memiliki banyak pengalaman bertemu orang-orang lebay di sekitarnya. “Maaf, saya mungkin menggunakan kalimat lebay sebagai contoh bahwa seperti itulah kalimat lebay”☺. 

Aulia mengatakan bahwa kata Lebay merupakan kata yang berasal dari bahasa Alay. Bahasa Alay ini sendiri merupakan bahasa anak muda. Ia juga menjelaskan bahwa kata lebay merupakan bentuk lain dari kata “terlalu” dalam bahasa Indonesia, juga merupakan bentuk lain dari “Too Much” dalam bahasa Inggris. “Lebay itu kata sifat, Alay itu kata benda”, tulis Aulia saat di tanya di WhatsApp.

Dalam beberapa artikel yang pernah saya baca bahwa Alay itu dapat diartikan sebagai Anak Layangan (Alay). Jika anda pernah mendengar lirik lagu berikut maka anda mungkin paham makna kata Alay :

“Alay, anak layangan… Nongkrong pinggir jalan sama teman-teman, biar keliatan anak pergaulan yang doyan kelayapan….”

Jika kita bertolak pada lirik lagu di atas, kata Alay dapat bermakna anak kampungan yang berlaku seenaknya atau berlebihan. Hal itu juga dijelaskan oleh Aulia bahwa kata atau tindakan itu akan bermakna lebay apabila ia terletak pada kadar “terlalu/berlebihan”.

Nah pertanyaan selanjutnya yang lebih inti dan mendalam adalah: Mengapa kata cinta kadang bermakna lebay? dan Apa hubungan pemaknaan kita terhadap cinta yang selalu berujung pada ke-lebay-an.

Nah, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Saya akan kembali mengutip pendapat dari Aulia Rahmadani sebagai narasumber kita pada tema ini. Ketika ditanya kapan kata cinta itu bermakna lebay? Ia menjawab dengan menulisnya seperti berikut :

When I say, I love him, It’s lebay. Except my dad” > Jika diterjemahkan mungkin artinya kurang lebih “Ketika saya mengatakan, saya mencintai lelaki, maka itu lebay. Kecuali ayah saya”.

Mungkin berdasarkan pesan singkat tersebut anda bisa memahami kapan kalimat cinta bermakna lebay. Selanjutnya, berdasarkan defenisi lebay yang jelaskan oleh Aulia pada pertanyaan di atas dapat kita simpulkan bahwa ternyata cinta akan bermakna lebay apabila ia diungkapkan secara berlebihan baik itu lisan dan tulisan maupun tindakan.

Jadi, Apakah kata cinta yang tulus dan mendalam itu juga lebay? atau dengan pertanyaan lan apakah semua cinta bermakna lebay? 

Menurut Aulia, tidak semua cinta bermakna lebay sebab demikian misalnya cinta kita kepada kedua orang tua tidak pernah bermakna lebay meskipun mungkin kita tidak pernah mengucapkan langsung padanya. Namun tindakan yang kita lakukan kadang sangat besar yakni melakukan yang terbaik semata-mata hanya untuk membahagiakannya sebagai cinta kita dan hal itu tidak pernah di maknai sebagai tindakan yang lebay. 

Namun selanjutnya kembali ia mengatakan bahwa letak makna cinta yang lebay itu tergantung pada orang yang memaknai cinta itu. Jadi meskipun kita sebagai orang yang mengatakan cinta tidak berniat lebay, namun karena orang yang mendengarkan kalimat cinta itu bisa saja merasakan dan memaknainya dengan kata lebay. Sehingga muncullah istilah cintamu lebay.

Menurut saya sendiri, cinta memang tidak selamanya lebay. Cinta akan bermakna lebay jika ia masuk dalam kualitas yang dangkal. Masuk dalam kotak-kotak yang membatasi esensi cinta itu sendiri. Salah satu contoh yang membuat esensial cinta itu lebay dan dangkal adalah adanya cinta yang dinuansai pacaran. Nah padahal dengan pacaran inilah wadah cinta itu terkadang terlihat lebay. Ingatlah bahwa ke-lebay-an seorang lelaki terkadang berbanding lurus sama epitumia yang dimiliki.

Namun di lain sisi juga, tidak dapat saya mungkiri bahwa terkadang ada rasa yang kita ungkapkan akan disandingkan dengan makna lebay meskipun bukan dalam kotak pacaran, status galau misalnya. Sedangkan contoh cinta yang tidak bermakna lebay adalah cinta seorang sufi yang memiliki dan memberikan cintanya kepada Tuhannya yang sangat berlebihan bahkan pada taraf non-rasional. Tapi cinta ini tidak pernah dimaknai dengan makna cinta yang lebay.

Jadi kesimpulannya orang akan dianggap lebay jika ia melakukan sesuatu yang berlebihan dan secara normal hal tersebut hanyalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Ketika seseorang mengungkapkan cintanya dengan cara yang berlebihan dan tidak seperti pengungkapan cinta secara lazim akan dianggap lebay. Itulah kesimpulan awal saya. 

Tidak jadi soal jika kawan-kawan pembaca dan memiliki kesimpulan yang berbeda. Sebab tulisan ini merupakan opinial-skeptis yang bertujuan untuk memacu pembaca agar lebih berani menarasikan ide yang ada dengan metode skeptis.