“Jika kau ke kampusku – jika kau ke kampusku – jika kau ke kampusku,” lidahmu akan kaku jika kau membaca kalimat itu terburu-buru, atau kau telungkup dulu di bawah tungku, atau kepalkan tangan kirimu dan masukkan ke mulutmu lalu eja kembali kalimat itu. Bagaimana? Berhasil bukan?
Kujamin berhasil, karena saat menulisnya, aku berdoa sebanyak dua puluh kali dua puluh (tidak usah memikirkan hasilnya berapa) bahwa semoga semua orang yang membaca kalimat itu, dapat mengalami keguguran, gugup, seperti gonggongan anjing penjaga gubuk, gugug! Semoga kau tergugu. Gugulah dengan teguh.
Maafkan pembukaan yang bodoh itu, aku sengaja menulisnya agar kau mengerti bahwa tulisan ini dibuat untuk menyalurkan kebodohanku sendiri. Kutegaskan, tidak ada yang ingin kusampaikan di tulisan ini, selain bukti kebodohanku atau hanya untuk mengantarkanku pada mimpi buruk saat aku tertidur. Jika kau sedang membacanya, kau hanya sedang membuang separuh waktumu, juga aku.
Bahwa besok adalah Senin, besoknya Selasa, lalu Rabu, jadi aku harus istirahat di Ahad malam ini lebih awal. Besok aku ke kampus, semoga semua mahasiswa termasuk aku bisa cuti kuliah karena alasan apa saja, semoga besok ada keajaiban sehingga semua mahasiswa tidak lagi kuliah.
Atau aku punya ide, bagaimana kalau kampus kita bakar saja? Setelah itu, semua mahasiswa akan sibuk mencari koran untuk membaca berita tentang seorang Rektor di sebuah Universitas yang alim menangis dengan air mata palsu karena tidak sempat melihat meja di ruangannya sebelum habis dilahap api.
Setidaknya, peristiwa semacam itu bisa membuat koran-koran di pinggir jalan laris manis. Atau, malah koran lokal yang punya kolom puisi bisa memuat puisi-puisi yang lebih berisi seperti puisi yang berjudul Kampusku Kebakaran, Aku Senang Sekali!
Ohya, jika kau mahasiswa, besok jangan lupa ke kampus, bawa dua korek, lebih juga tidak apa-apa. Kau akan ikut sama-sama membakar kampus kita, bukan? Jangan pernah berpikir bahwa ini lucu, karena tindakan berjamaah semacam ini adalah ibadah yang pahalanya melebihi pahala ibadah haji tiga kali di Gunung Bawakaraeng.
Jika kau berniat bergabung, hanya satu pesan, jangan lupa patahkan lidahmu terlebih dahulu agar kita bisa melakukannya tanpa banyak menghabiskan air liur. Sudah cukup banyak air liur yang dihabiskan oleh para dosen di dalam kelas, dan itu tidak pernah cukup untuk membuat kita semakin tolol.
Tapi, kusarankan agar kau tak berniat sama sekali untuk melakukannya. Jangan kecewa padaku, aku sudah ingin tidur. Selamat malam!
Tulisan ini merupakan tanggapan (antitesis) dari tulisan singkat (status) atau hasil pemikiran yang tulis oleh salah seorang pemikir di jurusan Aqidah Filsafat yang bernama Ma’ruf Nurhalis di beranda Facebooknya. Beliau mengatakan bahwa: “Tanda kita intelektual adalah seringnya kita menggelengkan kepala atau sering berkata ‘Tidak!’. Bukan ngangguk dan rajin berkata ‘Iya'”
Seperti gambar yang ada di atas, karena besarnya makna yang tersirat sehingga tulisan tersebut menjadi sangat populer. Dalam waktu 22 menit setelah dipublikasikan mendapatkan banyak tanggapan yakni mencapai 4 tanggapan. Membuat saya merasa tidak ingin ketinggalan menanggapinya. Jika anda tidak percaya silakan cek falsifikasinya di Facebook.
Topik tulisan singkat (status) tersebut adalah indikasi intelektual seseorang. Sebelum mengkritik ide tersebut mari kita jabarkan makna intelektual. Karena perbedaan bisa saja terjadi karena didasari oleh pisau analisis dan cara menganalisis kita berbeda. Oleh karena itu, menjelaskan makna intelektual terlebih dahulu akan memudahkan kita untuk memahami batasan intelektual mana yang akan kita bahas.
Intelektual dalam pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah cerdas, berakal, dan berpikir jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Selaku manusia yang berfilsafat defenisi demikian sangatlah dangkal, sebab tak menguraikan esensi intelektual itu sendiri. Dalam hal ini defenisi demikian di atas masih bisa menimbulkan pemaknaan yang diarahkan pada non-intelektual.
Sedangkan menurut Julien Benda dalam buku La Trahison Des Clercs (1927), bahwa inteletual itu adalah pejuang kebenaran dan keadilan, tekun dan menikmati bidang yang digelutinya, tidak ditunggangi ambisius materi dan kepentingan sesaat. Berani keluar dari sarangnya untuk memprotes atau melawan ketidakadilan dan menyuarakan kebenaran walaupun dengan resiko yang besar. Berdasarkan pandangan tersebut Julien berusaha mengungkap bahwa seseorang dikatakan berintelektual itu jika ia mampu berlaku seperti Socrates, Yesus.
Wacana tentang indikasi intelektual manusia juga di analisis oleh seorang sosiolog bernama Regis Debray. Menurut Debray kaum intelektual itu dibagi menjadi tiga generasi yakni pertama, generasi 1900-1930 yang terdiri dari para pengajar (teachers). Kedua, generasi 1930-1960 meliputi para penulis (writers, novelist, essayist). Ketiga, generasi 1960-sekarang. Generasi ketiga ini, Debray menyebutnya sebagai “cendekiawan selebritis”. Artinya orang yang berintelektual adalah mereka yang bisa tampil di media massa yang memiliki pengaruh, pesona, sensasional bagi orang banyak.
Sedangkan bagi Antonio Gramsci, seorang filsuf italia, penulis, dan juga marxism. Ia mengemukakan bahwa intelektual terdiri dari dua wilayah, yakni wilayah teori (intelektual tradisional) dan menghubungkannya dengan realitas sosial (intelektual organik). Intelektual organik dalam hal ini merupakan intelektual yang dengan sadar dan mampu menghubungkan teori dan realitas sosial yang ada dan ia bergabung dengan kaum revolusioner untuk men-support dan meng-counter hegemoni pada sebuah transformasi yang direncanakan.
Seperti itulah beberapa pandangan pemikir mengenai manusia berintelektual, tentunya itu menjadi wacana awal untuk melanjutkan analisis kita terhadap tulisan ringkas (status) Ma’ruf Nurhalis di atas. Karena pemikiran dari beberapa pemikir di atas bersifat revolusioner dan sangat teoritis, maka saya pribadi ingin mengeluarkan hasil telaah terhadap indikasi seseorang dikatakan berintelektual. Fenomena yang akan saya katakan sangat sering dijumpai karena bersifat empirikal dan tentunya indikasi intelektual yang ada di dunia kampus khususnya kampus yang katanya kampus peradaban, UIN Alauddin Makassar.
Jika salah satu pemikir yang berasal dari kampus yang katanya kampus peradaban tersebut mengatakan bahwa seseorang dikatakan berintelektual apabila ia sering dengan mudah mengatakan ‘Tidak’ atau sering kita menggelengkan kepala. Namun menurut saya indikasi intelektual seseorang tidak bisa hanya dipandang demikian, dan bahkan harus lebih dari itu. Cara kita memandang dan mengategorikan kaum intelektual harus lebih substansial.
Misalnya dosen dalam hal ini Guru Besar (profesor), akan dengan mudah mengatakan ‘Tidak’ ketika terlontar kalimat pertanyaan yang bernada menyarankan dan bahkan langsung menolak jika terdapat argumen mahasiswa yang berbeda dan menyudutkannya–meskipun tidak semua guru besar demikian. Menolak dan mengatakan dirinya lebih berintelektual adalah kesombongan intelektual tingkat dewa. Dan inilah yang menjadi pertanyaan: Apakah manusia yang dengan mudahnya menolak pendapat orang lain dengan rasa fanatis dan rasa gengsi bahkan sampai menjatuhkan orang lain tanpa rasa hormat, itu dapat dikatakan berintelektual? Tentu tidak.
Maka dari itu, bagi saya manusia yang berintelektual adalah mereka yang tidak dengan mudah mengatakan ‘Tidak’ atau dengan mudah mengatakan ‘Ya’, sebab selaku manusia yang berintelektual ia sudah pasti berlaku layaknya padi. Ia seharusnya berlaku sebagaimana petuah mengatakan “Padi semakin berisi semakin tunduk”. Bukan sebaliknya, sebagaimana analogi yang diungkap oleh Tan Malaka “Padi tumbuh tak berisi”.
Dengan demikian, ketika ia tidak dengan mudah mengatakan ‘Tidak’ atau pun ‘Ya’ maka terlihat bahwa aksiologi dari pengetahuan yang ia miliki telah terealisasi secara mendalam. Tidak dengan mudahnya menampakkan kesombongan intelektual. Yah, kesombongan intelektual yang pada dasarnya tak layak disebut sebagai kaum intelektual.
Jawaban-jawaban tersebut merupakan hasil analisis saya terhadap dunia kampus. Setelah saya menilik kampus yang dijadikan panggung sandiwara, ternyata karakter suci yang berperan di kampus itu dimainkan oleh para manusia dengan kesombongan intelektual tingkat dewa. Lantas wajarlah virus-virus kesombongan intelektual juga merembes pada para penonton sandiwara. Mungkin contohnya sebagaimana tersirat dalam tulisan singkat (status) yang ditulis oleh Ma’ruf Nurhalis. Selain itu, hipotesa saya bahwa tulisan ini juga telah terinfeksi virus kesombongan intelektual.
Tentu tujuannya agar dengan menampilkan wajah dan karakter kesombongan intelektual di tulisan ini diharapkan pembaca dapat tersadar bahwa di sekeliling kita, kesombongan intelektual telah merebak di mana-mana, mulai dari serpihan sandal jepit tukang parkir sampai pada lirikan sang ajudan penguasa. Dengan kata lain orang Makassar mengenalnya dengan kata “Orang Sotta”.😂
Dalam kehidupan sehari-hari, tanpa kita sadari, kita sering kali, melontarkan kalimat “Aku ingin bahagia”, “Yang penting kita bahagia”, “Mari hidup bahagia!”, dan berbagai argumen yang merupakan alasan-alasan yang terkadang bermakna pragmatis bagi kehidupan. Padahal kita belum pernah mengeksplorasi esensi kata ‘bahagia’ itu sendiri. Kebahagiaan bukanlah hal asing bagi kehidupan manusia. Sebab kebahagiaan ini bahkan telah menjadi dambaan dan impian oleh setiap manusia yang berpikir dengan akal sehatnya.
Kebahagiaan seolah harga yang tak dapat ditukar dengan barang apapun. Nilai kebahagiaan yang sangat berharga ini terkadang membuat orang beranggapan bahwa kebahagiaan itu harus diraih meskipun dengan mengorbankan kebahagiaan orang lain. Namun di sisi lain, terdapat sebagian orang yang berpendapat bahwa kebahagiaan itu ketika kita mampu menyalurkan cinta dan membuat banyak orang bahagia. Menyaksikan fenomena ini, menjebak kita dalam dialektika Ruang Skeptis ini.
Ya, kebahagiaan. Tema yang terkadang dianggap hal yang kompleks dan terkadang pula dianggap sebagai hal yang sangat simpel. Mengapa demikian? Apa sih itu kebahagiaan? Kapan manusia dikatakan bahagia? Mengapa manusia butuh bahagia? Siapakah pemberi kebahagiaan itu? Apakah bahagia sesimpel kata mereka yang pragmatis atau serumit kata mereka yang pesimis? Dan berbagai pertanyaan skeptis lainnya yang ketika terjawab akan membuat kita tersadar atas makna kebahagiaan secara esensial.
Apa itu kebahagiaan?
Kebahagiaan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ‘bahagia’. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tentram (bebas dari segala yang menyusahkan). Menurut saya kebahagiaan adalah kepuasan intelektual (batin) yang merupakan capaian dari berbagai potensi-potensi manusia dalam kehidupan. Jadi dengan defenisi itu, dapat menjawab masalah-masalah kebahagiaan yang tak kunjung dijumpai oleh orang-orang yang memiliki segalanya namun tak merasakan kebahagiaan.
Karena kebahagiaan bukanlah seberapa banyak istri yang anda miliki, bukan seberapa banyak mobil mewah yang dimiliki, bukan seberapa tinggi pangkat dan jabatan yang diraih. Namun kebahagiaan bagi saya adalah dimensi intelektual (batin) dalam merasakan kepuasan (syukur) terhadap yang dimilikinya yang mungkin saja tidak dimiliki oleh orang lain.
Menurut Andi Afandi Syam, mahasiswa di jurusan Perbandingan Agama UIN Alauddin Makassar mengatakan bahwa bahagia itu simpel dan relatif-universal. Bahagia itu simpel, karena kebahagiaan menurut beliau tergantung pada otoritas dan pandangan kebahagiaan individu seseorang. Misalnya, ketika seseorang mendambakan seorang pujaan hati untuk menjadi permaisurinya (istri), memiliki mobil mewah, rumah yang megah, pangkat yang tinggi dan lainnya maka kebahagiaan orang tersebut adalah ketika ia mampu mendapatkan atau merealisasikan harapan-harapannya tersebut.
Sedangkan menurut Sainal Abidin, mahasiswa di jurusan Filsafat Agama UIN Alauddin Makassar mengatakan bahwa kebahagiaan itu adalah ketika keinginan dalam pikiran dan perasaan menyatu dan terwujudkan dalam realitas. Dari pandangan kanda Sainal saya merumuskan bahwa kebahagiaan itu perpaduan antara apa yang kita pikirkan dengan perasaan kita yang kemudian menjadi sebuah realita. Nah apabila kesatuan harapan ini telah menjadi realita dalam kehidupan maka di sanalah kebahagiaan itu menampilkan eksistensinya.
Diagram di atas merupakan sirkulasi munculnya kebahagiaan menurut Sainal Abidin. Harapan yang terakumulasi dari dua sumber yakni akal (pikiran) dan hati (perasaan) kemudian terwujud menjadi realita dalam kehidupan. Namun yang menjadi salah satu pengontrol dan pendorong dari terwujudnya akumulasi harapan tersebut adalah nafsu. Nafsu memiliki dua sisi yakni mendorong dan memotivasi pencapaian kebahagiaan dan juga di sisi lain bisa saja menjadi penghambat terwujudnya kebahagiaan.
Kapan seseorang dikatakan bahagia?
Pertanyaan tersebut memiliki jawaban yang beragam tentunya berasal dari berbagai pandangan. Ada sebagian orang berpandangan bahwa manusia dikatakan bahagia ketika ia mencapai apa yang ia cita-citakan dalam hidupnya. Dia dikatakan bahagia karena hal yang dicita-citakannya itu merupakan hal yang membuatnya terbebas dari segala kesusahan dan penderitaan. Namun ada pula beberapa orang yang berpendapat bahwa kebahagiaan itu merupakan hal yang sangat dalam dan bahkan hanya mampu mencapainya pada area sakral yakni kematian. Karena menurut beberapa orang ini (sufi) kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan non-material. Sehingga orang dikatakan bahagia ketika ia mampu terbebas pada material, dan salah satu caranya adalah mengalami kematian.
Bagaimana tingkatan kebahagiaan manusia?
Menurut saya tingkatan kebahagiaan manusia berbanding lurus dengan pengetahuan dan kesadarannya. Menurut saya ada tiga tingkatan kebahagiaan berdasarkan tingkat pengetahuan esensial manusia, yakni kebahagiaan tingkat pertama, kebahagiaan tingkat menengah, dan kebahagiaan tingkat atas.
Kebahagiaan tingkatan pertama adalah tingkatan kebahagiaan materialis. Kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan yang dangkal diantara tingkatan kebahagiaan yang ada. Mengapa hal ini juga termasuk dalam kebahagiaan? Karena tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat sebagian orang yang merasa bahagia ketika memiliki banyak materi berupa harta. Yah, orang bisa saja merasa bahagia dengan segala sumber material yang dimilikinya namun bagi saya itu hanyalah kebahagiaan yang dangkal.
Kebahagiaan tingkatan kedua adalah kebahagiaan yang berada pada tahapan kepuasan intelektual manusia. Kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan tingkat menengah dan biasanya dicapai oleh orang-orang yang taraf intelektualnya di atas orang awam. Pada tingkatan kebahagiaan ini, dalam memandang realita dunia, manusia tidak lagi mementingkan material namun lebih pada kesadaran dan kepeduliannya terhadap sesama sebagai manifestasi dari pengetahuan dan inteleknya.
Kebahagiaan tingkat tertinggi adalah kebahagiaan yang dicapai melalui jalan spiritual. Kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang selalu terpancarkan bagai cahaya lentera meskipun dilanda oleh kegelapan seperti penderitaan, kemiskinan, dan lain-lain. Itulah tiga tingkatan kebahagiaan menurut saya. Opini ini bisa saja berbeda dengan opini pembaca, sebab inilah cara Ruang Skeptis menyajikan opininya.
Siapa yang menciptakan kebahagiaan?
Mungkin saja semua orang berkeyakinan bahwa kebahagiaan sebagai wujud harapan takkan tercapai tanpa usaha yang dilakukan. Yang menjadi pertanyaan skeptis saya adalah siapakah yang memberikan kebahagiaan? Apakah manusia yang menciptakan kebahagiaannya sendiri? Atau kebahagiaan itu lahir dari orang lain yang menilai? Mengapa tiba-tiba orang bisa mengetahui yang namanya kebahagiaan? Itulah pertanyaan-pertanyaan skeptis yang kami harap mampu merangsang pembaca untuk senantiasa melakukan refleksi melalui pertanyaan dialektika-skeptis tersebut.
Manusia bisa saja menciptakan kebahagiaan untuk dirinya, namun yakinlah bahwa itu hanyalah kebahagiaan semu yang fana. Sebab kebahagiaan yang utuh dan sejati hanya milik Tuhan dan hanya mampu dirasakan oleh manusia-manusia yang dikehendaki-Nya. Jadi untuk mencicipi kebahagiaan sejati itu menurut pandangan sufistik adalah dengan kematian yang menjadi jalan pintas penyatuan diri dengan pemilik kebahagiaan.
Mengapa manusia menginginkan kebahagiaan?
Hal yang tak bisa dimungkiri dalam diskursus kebahagiaan adalah manusia menginginkan kebahagiaan. Mengapa demikian? Apakah karena hal tersebut berkaitan dengan naluri alami manusia? Apakah itu hasil olah pikiran manusia? Ataukah itu hasil hasrat yang lahir dari hawa nafsu manusia? Nah, untuk pembaca yang budiman, bagaimana menurut? Mengapa Anda menginginkan kebahagiaan?
Di dalam Filsafat Cinta yang pernah dikemukan oleh kanda Sainal, salah satu mahasiswa Aqidah Filsafat UIN Alauddin mengatakan bahwa cinta adalah suatu hal yang tak dapat didefenisikan. Sebab ketika kita mendefenisikan cinta maka semakin jauh defenisi itu dari cinta yang sebenarnya. Kanda Sainal juga memberikan kesamaan kategori antara kata cinta dengan kata ilmu dan kata ada. Kata Ilmu misalnya, menurut kanda Sainal kata Ilmu tak dapat didefenisikan karena untuk mendefenisikannya kita membutuhkan Ilmu.
Ketiga kata tersebut merupakan kata yang tak dapat didefenisikan. Mendengar kalimat tersebut membuat saya bertanya, lantas bagaimana kita memahami kata tersebut jika tanpa pendefenisian? Atau bahkan kita hanya butuh memahami bukan mendefenisikan? Atau pertanyaan yang lebih spesifik seperti apa hubungan pemahaman kita terhadap kemampuan kita mendefenisikan? Semoga kak Sainal bisa menjawab hal tersebut melalui kolom komentar.
Apa defenisi dan makna kata Lebay?
Menurut Aulia Rahmadani, narasumber yang mungkin terjebak dalam paksaan penulis untuk berkomentar mengenai pertanyaan ini. Karena menurut penulis ia memiliki banyak pengalaman bertemu orang-orang lebay di sekitarnya. “Maaf, saya mungkin menggunakan kalimat lebay sebagai contoh bahwa seperti itulah kalimat lebay”☺.
Aulia mengatakan bahwa kata Lebay merupakan kata yang berasal dari bahasa Alay. Bahasa Alay ini sendiri merupakan bahasa anak muda. Ia juga menjelaskan bahwa kata lebay merupakan bentuk lain dari kata “terlalu” dalam bahasa Indonesia, juga merupakan bentuk lain dari “Too Much” dalam bahasa Inggris. “Lebay itu kata sifat, Alay itu kata benda”, tulis Aulia saat di tanya di WhatsApp.
Dalam beberapa artikel yang pernah saya baca bahwa Alay itu dapat diartikan sebagai Anak Layangan (Alay). Jika anda pernah mendengar lirik lagu berikut maka anda mungkin paham makna kata Alay :
“Alay, anak layangan… Nongkrong pinggir jalan sama teman-teman, biar keliatan anak pergaulan yang doyan kelayapan….”
Jika kita bertolak pada lirik lagu di atas, kata Alay dapat bermakna anak kampungan yang berlaku seenaknya atau berlebihan. Hal itu juga dijelaskan oleh Aulia bahwa kata atau tindakan itu akan bermakna lebay apabila ia terletak pada kadar “terlalu/berlebihan”.
Nah pertanyaan selanjutnya yang lebih inti dan mendalam adalah: Mengapa kata cinta kadang bermakna lebay? dan Apa hubungan pemaknaan kita terhadap cinta yang selalu berujung pada ke-lebay-an.
Nah, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Saya akan kembali mengutip pendapat dari Aulia Rahmadani sebagai narasumber kita pada tema ini. Ketika ditanya kapan kata cinta itu bermakna lebay? Ia menjawab dengan menulisnya seperti berikut :
“When I say, I love him, It’s lebay. Except my dad” > Jika diterjemahkan mungkin artinya kurang lebih “Ketika saya mengatakan, saya mencintai lelaki, maka itu lebay. Kecuali ayah saya”.
Mungkin berdasarkan pesan singkat tersebut anda bisa memahami kapan kalimat cinta bermakna lebay. Selanjutnya, berdasarkan defenisi lebay yang jelaskan oleh Aulia pada pertanyaan di atas dapat kita simpulkan bahwa ternyata cinta akan bermakna lebay apabila ia diungkapkan secara berlebihan baik itu lisan dan tulisan maupun tindakan.
Jadi, Apakah kata cinta yang tulus dan mendalam itu juga lebay? atau dengan pertanyaan lan apakah semua cinta bermakna lebay?
Menurut Aulia, tidak semua cinta bermakna lebay sebab demikian misalnya cinta kita kepada kedua orang tua tidak pernah bermakna lebay meskipun mungkin kita tidak pernah mengucapkan langsung padanya. Namun tindakan yang kita lakukan kadang sangat besar yakni melakukan yang terbaik semata-mata hanya untuk membahagiakannya sebagai cinta kita dan hal itu tidak pernah di maknai sebagai tindakan yang lebay.
Namun selanjutnya kembali ia mengatakan bahwa letak makna cinta yang lebay itu tergantung pada orang yang memaknai cinta itu. Jadi meskipun kita sebagai orang yang mengatakan cinta tidak berniat lebay, namun karena orang yang mendengarkan kalimat cinta itu bisa saja merasakan dan memaknainya dengan kata lebay. Sehingga muncullah istilah cintamu lebay.
Menurut saya sendiri, cinta memang tidak selamanya lebay. Cinta akan bermakna lebay jika ia masuk dalam kualitas yang dangkal. Masuk dalam kotak-kotak yang membatasi esensi cinta itu sendiri. Salah satu contoh yang membuat esensial cinta itu lebay dan dangkal adalah adanya cinta yang dinuansai pacaran. Nah padahal dengan pacaran inilah wadah cinta itu terkadang terlihat lebay. Ingatlah bahwa ke-lebay-an seorang lelaki terkadang berbanding lurus sama epitumia yang dimiliki.
Namun di lain sisi juga, tidak dapat saya mungkiri bahwa terkadang ada rasa yang kita ungkapkan akan disandingkan dengan makna lebay meskipun bukan dalam kotak pacaran, status galau misalnya. Sedangkan contoh cinta yang tidak bermakna lebay adalah cinta seorang sufi yang memiliki dan memberikan cintanya kepada Tuhannya yang sangat berlebihan bahkan pada taraf non-rasional. Tapi cinta ini tidak pernah dimaknai dengan makna cinta yang lebay.
Jadi kesimpulannya orang akan dianggap lebay jika ia melakukan sesuatu yang berlebihan dan secara normal hal tersebut hanyalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Ketika seseorang mengungkapkan cintanya dengan cara yang berlebihan dan tidak seperti pengungkapan cinta secara lazim akan dianggap lebay. Itulah kesimpulan awal saya.
Tidak jadi soal jika kawan-kawan pembaca dan memiliki kesimpulan yang berbeda. Sebab tulisan ini merupakan opinial-skeptis yang bertujuan untuk memacu pembaca agar lebih berani menarasikan ide yang ada dengan metode skeptis.
Tulisan ini terinspirasi dari calon mahasiswa yang bertanya kepada saya tentang apa jurusan saya dan peluang kerjanya ke depan. Semoga dengan tulisan ini bisa memberikan sedikit pencerahan dan gambaran.
Apa itu jurusan filsafat?
Jurusan filsafat itu, yah, jurusan filsafat! Saya tidak akan mendefenisikan jurusan filsafat sebagaimana adanya atau berdasarkan teori besar. Karena segala pengetahuan saya tentang jurusan filsafat bersifat subjektif yang bisa saja berbeda dengan pemahaman pembaca dalam mendefenisikannya. Namun meskipun demikian saya juga tetap menuliskan defenisi filsafat yang saya pahami di bawah ini.
Secara singkat, filsafat adalah ilmu pengetahuan atau jurusan yang membahas tiga hal utama yakni Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi. Pertama, Epistemologi membahas tentang hakikat pengetahuan, keabsahan pengetahuan, bagaimana mendapatkan pengetahuan, dan hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Kedua, Ontologi membahas tentang yang ada, baik ada dalam pikiran, ada dalam realitas, dan ada dalam kemungkinan. Ketiga, Aksiologi yang membahas tentang nilai-nilai dalam segala realitas dan kehidupan. Penjelasan ini bisa juga dikatakan sebagai cabang-cabang filsafat.
Saya juga mengutip pengertian filsafat yang dikemukan oleh Al-Farabi, filsuf muslim yang terdapat dalam Ensiklopedi Islam bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya. Sedangkan menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu pengetahuan meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika.
Menurut Reza A.A Wattimena, dosen Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya bahwa filsafat bukan sekadar jurusan, bukan pula sekadar mata kuliah. Namun, filsafat merupakan suatu tindakan, suatu aktivitas. Filsafat menurut Reza merupakan aktivitas berpikir secara mendalam tentang pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup manusia (apa tujuan hidup manusia, apakah tuhan ada, bagaimana hidup yang baik) dan mencoba menjawabnya secara rasional, kritis dan sistematis.
Sedangkan opini dari Ashar Febriadi (salah satu mahasiswa yang tersesat di jurusan Filsafat Agama UINAM, angkatan 2016) mengatakan bahwa jurusan filsafat itu adalah jurusan yang kompleks karena objek kajiannya sangat luas mulai dari manusia, alam, Tuhan, bahkan sesuatu yang tidak mungkin pun akan menjadi objek kajiannya.
Mengapa takut memilih jurusan filsafat?
Sebenarnya para calon mahasiswa tidak memilih jurusan filsafat bukan takut karena jurusan filsafat itu menyeramkan. Namun ketakutan ini bersumber dari pola pikir calon mahasiswa yang masih sangat dangkal. Menurut Abdul Kamal mengatakan bahwa adanya stigma anak sekolah mengenai pendidikan untuk mencari pekerjaan bukan menuntut ilmu maka dalam memilih jurusan pun stigma ini dijadikan landasan. Sehingga banyak calon mahasiswa yang takut memilih jurusan filsafat karena baginya, jurusan ini sangat langka peluang kerja yang ditawarkan.
Hal itu memang tidak dapat dimungkiri bahwa mayoritas dari calon mahasiswa lazimnya memilah-milah jurusan berdasarkan peluang kerja yang ditawarkan oleh jurusan tersebut setelah sarjana. Pekerjaan memang terkadang membuat kita lupa aspek lain yang mesti dipertimbangkan. Aspek pekerjaan ini menjadi prioritas dikarenakan semua manusia ingin hidup layak dan bahagia, tentunya untuk memenuhi harapan kebahagiaan hidup itu mesti mempertimbangkan cara hidupnya.
Apa manfaat belajar di jurusan filsafat?
Menurut Abdul Kamal (salah satu mahasiswa senior di jurusan Filsafat UIN Alauddin Makassar) bahwa manfaat belajar di jurusan filsafat itu ada dua :
Pertama, manfaat yang secara teoritis yang biasanya bisa dirasakan bersamaan dengan proses berfilsafat. Manfaat ini meliputi metode berpikir yang terarah, sistematis, kritis dan rasional. Selain itu pemaknaan akan hidup lebih substansial, sehingga kita bisa menjalani kehidupan dengan lebih bermakna. Dan juga dengan berfilsafat kita bisa memahami dan mengambil pelajaran dari berbagai pemikir besar terdahulu. Misalnya Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Thomas Aquinas, Derrida, dan lainnya.
Kedua, manfaat secara praktis yang biasanya didapatkan ketika telah menyelesaikan kuliah di jurusan ini. Biasanya manfaat seperti inilah yang menjadi pertimbangan calon mahasiswa baru untuk memilih jurusan. Manfaat ini meliputi peluang kerja atau karir untuk lulusan jurusan ini yakni Ahli Filsafat (Filsuf), Peneliti, Penulis, Dosen, HRD, Konsultan Rekrutmen Perusahaan, Wartawan (Jurnalis), Psikoterapis, dan di Departemen Agama.
Itulah beberapa manfaat dan prospek kerja dari lulusan filsafat. Namun hal itu tidak menjadi ikatan atau batasan buat para mahasiswa dan sarjana filsafat untuk berkarir di berbagai bidang. Sebab, sebagaimana yang lazim terjadi banyak para mahasiswa dan sarjana yang berkarir di luar lingkup jurusannya.
Apa saja kategori mahasiswa yang mendaftar di jurusan filsafat?
Berdasarkan alasan memilih jurusan ini, biasanya akan menunjukkan beberapa jenis mahasiswa filsafat.
Pertama, mahasiswa yang sadar dan tidak merasa tersesat. Mahasiswa yang awal pendaftarannya memang memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang filsafat. Biasanya mahasiswa jenis ini, sebelum masuk di jurusan filsafat juga belum pernah mendengar kata filsafat sehingga bertanya-tanya apa itu jurusan Filsafat. Rasa ingin tahu yang ada membuatnya berminat memilih jurusan tersebut. Atau ada pula yang memang minat di jurusan ini karena sudah mengetahui seperti apa pembelajaran di jurusan ini.
Kedua, mahasiswa yang sadar dan merasa tersesat. Mahasiswa jenis ini merupakan mahasiswa yang pada masa pendaftarannya merasa tersesat. Entah dengan alasan salah pilih, pilihan terakhir, dipilihkan oleh teman, sampai pada alasan “Gengsi, daripada tinggal di kampung mending kuliah saja” di jurusan ini. Sungguh menyedihkan mahasiswa semacam ini.
Namun, menurut saya, mahasiswa filsafat yang memasuki fase-fase semester empat ke atas sudah banyak menyadari begitu pentingnya belajar di filsafat. Kemungkinan manfaat dari pengetahuannya tentang filsafat mulai jelas dalam kehidupan. Namun bagi mereka yang tidak mengetahui makna dan manfaat belajar filsafat sangat sulit bertahan di jurusan ini.
Berdasarkan hal itu, saya sepakat apa yang dituliskan oleh Hernowo dalam bukunya Mengikat Makna, bahwa dalam menanamkan minat membaca dan menulis, hal yang pertama kali kita lakukan adalah bertanya tentang AMBAK. Istilah AMBAK ini di tulis Hernowo sebagai akronim dari “apa manfaatnya bagiku?”
Begitupun dalam memilih jurusan, pertanyaan tentang “apa manfaatnya bagiku?”, harus terjawab sebelum memilih jurusan. Karena dengan mengetahui manfaat dan tujuan kita maka akan menumbuh motivasi tersendiri dalam diri dan tentu pula langkah kita semakin terarah ke depannya.
Di tulisan ini, saya menuangkan beberapa sabda lisan yang terdengar dan aksara yang terbaca dan tersaring di pikiran saya sepulang dari kegiataan bedah buku Tafsir Alquran di Medsos. Semoga lisan yang saya dengar, makna yang tersaring, yang saya tuai dan saya tuangkan dalam bentuk reportasi ini bisa mengabadi.
Perbincangan fenomena beragama pada generasi milenial saat ini cukup menarik. Begitulah yang timbul dalam pikiran saya setelah mengikuti kegiatan bedah buku Tafsir Alquran di Medsos yang ditulis oleh Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D. Bedah buku ini dilaksanakan oleh Pusat Kajian Islam, Sains, dan Teknologi (PUKISTEK) UIN Alauddin Makassar yang merupakan salah satu program PUKISTEK selain Kajian Rutin, Pelatihan Intensif Pengembangan Intelektual Mahasiswa (PIPIM), dan program lainnya. Jika dilihat dari spanduknya, kegiatan ini dilaksanakan oleh PUKISTEK bekerja sama dengan penerbit Bentang—penerbit buku Tafsir Alquran di Medsos. Terima kasih atas PUKISTEK dan Bentang yang telah melaksanakan kegiataan semacam ini.
Kegiatan bedah buku yang bertema “Mengkaji dan Mengaji Alquran Lewat Medsos Untuk Generasi Milenial” tersebut dihadiri oleh dua narasumber. Narasumber pertama yaitu penulis buku Tafsir Alquran di Medsos, Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D dan nasaumber kedua yakni Direktur PUKISTEK UIN Alauddin Makassar, Drs Wahyuddin Halim, MA,. Ph.D. Serta dimoderatori oleh Fajar, dosen di UIN Alauddin Makassar.
Diskusi bedah buku ini dibuka oleh moderator dengan memperkenalkan kedua narasumber. Narasumber pertama, Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D adalah penulis buku Tafsir Alquran di Medsos yang berprofesi sebagai Rois Syuriah PCI NU Australia dan New Zaeland, juga sebagai pengajar Monash Law School di Monash University, Australia. Selain buku Tafsir Alquran di Medsos ada beberapa naskah buku yang berikutnya akan diterbitkan sesuai pengakuannya. Semoga buku-buku beliau segera diterbitkan.
Kemudian narasumber kedua, Drs. Wahyuddin Halim, MA,. Ph.D adalah Direktur PUKISTEK UIN Alauddin Makassar sekaligus dosen di Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik.
Setelah memperkenalkan kedua narasumber, Fajar selaku moderator atau sebut saja provokator dalam diskusi ini, memberikan kesempatan kepada kedua pemateri untuk mendedahkan gagasannya atau materinya dalam bedah buku Tafsir Alquran di Medsos. Narasumber yang pertama yang diberikan kesempatan untuk menyampaikan gagasan atau materinya adalah Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D.
Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D atau yang akrab dipanggil Gus Nadir ini membuka materinya dengan argumentasi bahwa sangat banyak manusia beragama, khususnya muslim, menjadikan tafsir Alquran sebagai pendukung atas kepentingannya sendiri. Dalam istilah populer akademik disebut cocoklogi beragama. Apapun kepentingannya selalu menggunakan tafsir Alquran sebagai bentuk legitimasi kepentingan. Dan beliau juga banyak menyebutkan analogi berkaitan dengan fenomena tersebut.
Selanjutnya ia juga mempertegas dengan mengatakan bahwa terlalu banyak muslim—manusia yang beragama Islam, memahami Alquran hanya sebatas terjemahan (tekstual). Padahal seharusnya, dalam aktivitas memahami Alquran sebagai pedoman hidup mesti membuka, membaca, dan memahami berbagai kitab tafsir.
Ciri beragama yang memaknai landasan agama—Alquran dan Hadis, hanya sebatas terjemahan biasanya banyak dihinggapi oleh generasi milenial. Selain ciri negatif tersebut, Gus Nadir juga mengungkapkan bahwa generasi milenial umumnya memiliki tingkat minat baca yang sangat kurang. Sehingga kita semua penting untuk mencari solusi pergerakan dalam meminimalisir atau mengatasi dampak dan ciri khas generasi milenial. inilah yang menjadi wacana penting untuk didiskusikan.
Generasi milenial dalam belajar dan memahami agamanya sangat berbeda dengan beberapa generasi pra-milenial. Semisal, dulu kata Gus Nadir, kita harus berangkat ke majelis taklim untuk mendengarkan dan menyimak para kiai atau ustaz dalam mengajar tafsir Alquran. Sedangkan sekarang, kita bisa mendengarkan dan menyimak para dai, kiai, atau ustaz berceramah dan mengajarkan tafsir Alquran melalui medsos. Sehingga perlu inovasi atau renovasi tata cara berdakwah yakni dengan melalui teknologi yang disebut dengan medsos ini.
Selanjutnya, Gus Nadir juga sempat mengungkapkan perbedaan sistem pembelajaran yang efisien antara generasi pra-milenial dengan generasi milenial. “Dulu—generasi pra-milenial, proses pengajaran hanya bisa berlangsung efektif selama 25 menit. Sedangkan bagi generasi milenial hanya bisa efektif selama 3 menit” ungkap Gus Nadir. Sesuai pengakuan Gus Nadir, hal tersebut ia dapatkan dari sebuah studi penelitian.
Sehingga menurut Gus Nadir, yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengajarkan tafsir Alquran kepada generasi milenial yang hanya bisa membaca selama 3 menit bersama gadgetnya? Hal inilah yang menyebabkan Gus Nadir banyak menulis tafsir Alquran di medsos dengan singkat dan padat sehingga melahirkan karya Tafsir Alquran di Medsos.
Mengapa mesti mencari metode penjelasan tafsir Alquran kepada generasi milenial? Karena tanpa penjelasan tafsir yang efisien bagi generasi milenial, maka kemungkinan akbar generasi kita akan melahirkan banyak fenomena radikalisme, intoleran, sumbu pendek, dan berbagai fenomena beragama negatif lainnya.
Sebelum mengakhiri dedahan materinya, Gus Nadir mengemukakan prediksinya terhadap fenomena generasi milenial 10-15 tahun ke depan. “10-15 tahun ke depan, ruang kelas pembelajaran sudah tidak ada. Segala bentuk pembelajaran dalam dunia pendidikan akan bersistem online. Sehingga dosen tidak mesti lagi ke kampus untuk mengajar, karena di dalam kamar mandi pun ia bisa mengisi kuliah” pungkas Gus Nadir.
Dan bahkan ditegaskanya pula bahwa dengan hilangnya ruang kelas pembelajaran maka runtuhlah hirarki keilmuan. Sebab tak ada lagi strata pemisah antara guru dan murid, dosen dan mahasiswa, kiai dan santri, dan berbagai sistem pembelajar yang memiliki hirarki maqam keilmuan. Oleh karena itu, perlu pembekalan bagi generasi milenial dalam menyikapi era perkembangan teknologi medsos yang begitu cepat.
Selain fenomena semacam itu, Gus Nadir juga memprediksi bahwa 10-15 tahun ke depan akan terbukti terjadi fenomena seperti judul buku dari A.A Navis yakni Robohnya Surau Kami. Dalam artian, kita tidak lagi bisa berharap pada generasi millenial untuk menghidupkan dan mensejahterakan masjid, karena generasi milenial 15 tahun ke depan hanya akan merobohkan masjid. Pernyataan merobohkan masjid di sini hanyalah sebatas pernyataan metaforis dari Gus Nadir.
Dunia telah berubah dengan cepat kata Gus Nadir. “Dulu kita, ketika ingin mengetahui shahihnya sebuah hadis maka harus membuka 150 kitab atau bahkan lebih. Tapi sekarang, generasi milenial, jika ingin mengetahui shahihnya sebuah hadis tinggal membuka mbah google atau aplikasi islami yang berkaitan dengan hadis” ujar Gus Nadir. Lebih lanjut lagi, ia mengatakan “dulu para santri atau murid meminta berkah pada kiainya dengan bersalaman sehabis taklim. Sedangkan generasi milenial sekarang, untuk mendapatkan atau meminta berkah keilmuan dilakukan dengan selfie bersama dengan kiainya sehabis taklim”.
Oleh karena itu, mahasiswa dan para ustaz, dai, kiai, atau pengajar sekalipun harus mulai berinisiasi melakukan dakwah yang berbasis medsos ini. Sebab tanpa pembekalan dan progress dalam dakwah yang tepat untuk generasi milenial maka generasi milenial akan roboh.
Tetapi menurut Gus Nadir, persoalannya yang muncul jika dakwah berbasis medsos adalah apakah semua yang kita baca lewat medsos itu semua benar? Bagaimana memilah-milah mana yang hoax dan mana yang tidak? Apakah kita harus menghafal hadis lagi jika semuanya bisa langsung diakses di mesin pencari yang bernama mbah google? Nah, untuk mendapatkan penjelasan jawaban atas pertanyaan tersebut Anda bisa membeli buku Tafsir Alquran di Medsos tersebut.
*Pentilan aksara yang tidak penting untuk hari ini.
Awal semester ganjil selalu menjadi momen pertarungan bagi para organisatoris (kader organisasi) untuk menarik minat dan memberikan pengaruh kepada domba-domba tersesat dalam hutan kampus belantara ini. Jangankan menarik minat bahkan sampai pada tendensi atau penekanan pada nilai senioritas sehingga selaku junior haruslah mengikuti sabda-sabda senior yang sedikit lagi menjadi tuhan. Ya, saya tidak mengatakan hal tersebut yang melatarbelakangi aksi demonstran para senior pagi tadi😁, tapi saya ingin menuliskan bahwa sabda-sabda seniorlah yang mendorong diri saya untuk ikut menyambangi aksi demostrasi tadi pagi.
Ada hal yang dilematis dalam pikiran saya ketika mengikuti sabda atau perintah demonstrasi dari senior. Mengapa mesti merasa dilema? Karena bagi saya pribadi, haruskah sabda senior saya terima begitu saja jika bahkan sabda agama pun saya pertanyakan? Saya tidak tahu alasan paling mendasar mengapa saya harus ikut berdemo yang bahkan pada jam yang sama saya memiliki jadwal kuliah yang menurut saya juga cukup penting.
Awalnya saya tetap mengikuti aksi tersebut dengan langkah sedikit ragu karena tidak terbebas dari berbagai pertanyaan skeptis di pikiran saya. Karena merasa ada hal yang mesti saya jawab terlebih dahulu, seperti mengapa saya mesti ikut berdemonstrasi? Apakah demonstrasi jauh lebih penting dari kuliah? Apakah orientasi demonstrasi pagi ini memang jelas atau hanyalah permainan himpunan ataukah strategi senior yang hanya memiliki kepentingan identitasnya? Dan berbagai pertanyaan-pertanyaan skeptis lainnya.
Karena pertanyaan-pertanyaan tersebut belum terjawab, maka saya memutuskan untuk berhenti berjalan, meninggalkan gerombolan demonstran, dan kembali memasuki ruang kuliah. Tindakan saya tersebut bukan untuk mencederai nilai solidaritas kita—antar junior dan senior—tetapi bagi saya, mengikuti intruksi senior tanpa memahami landasan dan orientasinya adalah hal paling dangkal dalam hidup—seperti beriman tanpa akal. Itulah keputusan saya.
Setelah kuliah selesai, saya kembali ingin mencari tahu alasan terjadi demonstrasi dan tujuannya. Akhirnya saya menemukan para demonstran ini berdialog di salah satu ruangan di lantai 4 Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik. Dialog ini dihadiri oleh dekan fakultas dan wakil dekan serta beberapa pendampingnya. Sedangkan peserta diskusi terdiri dari mahasiswa baru (teridentifikasi dari kepalanya sedikit lebih cerah karena rambutnya lebih pendek) dan lebih dominan lagi dari pengurus himpunan di beberapa jurusan.
Beginilah jika warga Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik melakukan demonstrasi selalu berakhir dengan diskusi (sangat jarang berakhir dengan bentrok) berbeda dengan beberapa fakultas di UIN Alauddin yang biasanya demonstrasinya berakhir dengan bentrok atau solusi yang lebih bersifat represif.
Setelah menanyakan permasalahan kepada beberapa orang senior—persoalan LDKM, sayapun tetap merasa tidak ingin mengambil bagian pada permasalahan ini. Meskipun saya juga merupakan anggota dari Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Saya sudah cukup merasa kecewa. Merasa kesepian di keramaian, merasa tamu di rumah sendiri.
Entah, saya juga kurang mengerti dengan pengurus inti HMJ yang telah menjanjikan berbagai program-program akademiknya untuk kami—penghuni jurusan, yang bahkan tak kunjung terealisasi meskipun beberapa minggu lalu telah mulai mengadakan kajian rutin di hari senin—katanya. Entahlah, sebab bahkan kemarin—senin—tak ada juga kajian. Saya malas dengan solidaritas kalian yang berbau citraan tanpa landasan yang jelas dan bermanfaat bagi segala pihak. Jangan hanya cari lubang atas nama himpunan! Masihkah himpunan hanya sebatas wadah untuk bermain, menyusuri lorong gelap, menggelinding untuk menemukan lubang?
Sudahlah. Kami (saya dan rekan yang lain) sudah lelah melakukan demonstrasi untuk kalian—pengurus inti himpunan, yang bahkan meminta kami untuk ikut berdemonstrasi karena mengalami kendala pada pelaksanaan kegiatan pencarian lubangmu yang baru. Kata lubang kami gunakan untuk mewakili kepentingan dan hasrat kalian di himpunan (tentu penggunaan kata ini memiliki alasan mendasar yang lebih filosofis, tapi jika ingin mengetahui lebih dalam silakan tanyakan secara langsung pada kami di dunia nyata, bukan melalui dunia maya—media sosial). Tapi kalian pasti tahu bahwa tingkah kami ini adalah wujud prihatin dan solidaritas kami terhadap himpunan yang telah lama tidur dalam ketidaknyenyakan.
Untuk soal demonstrasi tadi pagi, maafkan kami—khususnya saya—karena tidak mengikuti demonstrasi hingga selesai karena menurut hemat saya, untuk berunjuk rasa, untuk memberikan penjelasan akan budaya akademik yang baik kepada birokrasi haruslah dimulai dari diri sendiri. Nah, bagaimana mungkin saya bisa memberikan penjelasan tentang tujuan demonstrasi jika saya cuman ikut-ikutan?😁 Olehnya itu, maafkan saya yang tidak mengikuti aksi hingga selesai. Maaf ya!😁
Untuk rekan-rekan seangkatan dan junior: demonstrasi itu pilihan. Jika merasa diperbudak oleh senior untuk demonstrasi maka jangan ikut berdemonstrasi. Tapi bagaimana mungkin ingin bebas dari penjara senior jika tidak bisa membebaskan diri dari penjara diri? Maka dari itu, mari membebaskan diri dari penjara diri. Karena penjara dirilah yang memaksa kita untuk mencari lubang. Mari berkesadaran: jangan berteriak meminta kebebasan pada ruang yang bahkan penuh dengan kebebasan tapi merasa terpenjara karena bahkan penjara itu hanyalah ilusi yang lahir dari ketakutan diri sendiri.
Singkat kata, terkadang kita selaku mahasiswa terlalu menuntut banyak hal namun lupa pada kewajiban dan kepantasan kita akan hal tersebut. Kita—sebagian mahasiswa—mengkiritik kinerja banyak dosen atau pun kinerja pejabat birokrasi tapi malah melupakan kewajiban kita yang juga merupakan penunjang stabilitas kehidupan kampus. Ini terdengar ironis. Tapi begitulah faktanya, meskipun mungkin tidak semua demikian, dan tidak boleh menghakimi keseluruhan karena pengetahuan kita akan hal itu hanya bersifat parsial.
Dalam sebuah diskusi yang membahas tentang masalah dan solusi budaya akademik kampus di kegaiatan Pelatihan Intensif Pengembangan Intelektual Mahasiswa (PIPIM) PUKISTEK UIN Alauddin Makassar, terdapat sebuah kesimpulan yang menarik bahwa salah satu hal yang menjadi alasan atau penyebab rusaknya tradisi intelektualitas mahasiswa di lingkungan akademik kampus adalah lahirnya mahasiswa yang tidak tahu diri. Mahasiswa yang mental kritisnya tidak lahir dari dirinya sendiri tapi lahir dari doktrinasi seniornya. Sehingga yang terjadi semacam ironi: semisal mahasiswa yang menuntut pembelajaran efektif tapi tidak pernah masuk kampus, koruptor berceramah tentang bahaya korupsi, dan contoh lainnya.
Entahlah. Ini semua hanyalah ngawur. Karena tulisan pendek ini tercipta di atas motor, di pinggir jalan, tadi siang di saat menunggu aksi sweeping polisi selesai 😂