Bedah Buku Tafsir Alquran di Medsos

Bedah Buku Tafsir Alquran di Medsos

Tafsir Al-quran di Medsos
Gambar diambil dari Goodreads.

Di tulisan ini, saya menuangkan beberapa sabda lisan yang terdengar dan aksara yang terbaca dan tersaring di pikiran saya sepulang dari kegiataan bedah buku Tafsir Alquran di Medsos. Semoga lisan yang saya dengar, makna yang tersaring, yang saya tuai dan saya tuangkan dalam bentuk reportasi ini bisa mengabadi.


Perbincangan fenomena beragama pada generasi milenial saat ini cukup menarik. Begitulah yang timbul dalam pikiran saya setelah mengikuti kegiatan bedah buku Tafsir Alquran di Medsos yang ditulis oleh Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D. Bedah buku ini dilaksanakan oleh Pusat Kajian Islam, Sains, dan Teknologi (PUKISTEK) UIN Alauddin Makassar yang merupakan salah satu program PUKISTEK selain Kajian Rutin, Pelatihan Intensif Pengembangan Intelektual Mahasiswa (PIPIM), dan program lainnya. Jika dilihat dari spanduknya, kegiatan ini dilaksanakan oleh PUKISTEK bekerja sama dengan penerbit Bentang—penerbit buku Tafsir Alquran di Medsos. Terima kasih atas PUKISTEK dan Bentang yang telah melaksanakan kegiataan semacam ini.

Kegiatan bedah buku yang bertema “Mengkaji dan Mengaji Alquran Lewat Medsos Untuk Generasi Milenial” tersebut dihadiri oleh dua narasumber. Narasumber pertama yaitu penulis buku Tafsir Alquran di Medsos, Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D dan nasaumber kedua yakni Direktur PUKISTEK UIN Alauddin Makassar, Drs Wahyuddin Halim, MA,. Ph.D. Serta dimoderatori oleh Fajar, dosen di UIN Alauddin Makassar.

Diskusi bedah buku ini dibuka oleh moderator dengan memperkenalkan kedua narasumber. Narasumber pertama, Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D adalah penulis buku Tafsir Alquran di Medsos yang berprofesi sebagai Rois Syuriah PCI NU Australia dan New Zaeland, juga sebagai pengajar Monash Law School di Monash University, Australia. Selain buku Tafsir Alquran di Medsos ada beberapa naskah buku yang berikutnya akan diterbitkan sesuai pengakuannya. Semoga buku-buku beliau segera diterbitkan.

Kemudian narasumber kedua, Drs. Wahyuddin Halim, MA,. Ph.D adalah Direktur PUKISTEK UIN Alauddin Makassar sekaligus dosen di Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik.

Setelah memperkenalkan kedua narasumber, Fajar selaku moderator atau sebut saja provokator dalam diskusi ini, memberikan kesempatan kepada kedua pemateri untuk mendedahkan gagasannya atau materinya dalam bedah buku Tafsir Alquran di Medsos. Narasumber yang pertama yang diberikan kesempatan untuk menyampaikan gagasan atau materinya adalah Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D.

Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D atau yang akrab dipanggil Gus Nadir ini membuka materinya dengan argumentasi bahwa sangat banyak manusia beragama, khususnya muslim, menjadikan tafsir Alquran sebagai pendukung atas kepentingannya sendiri. Dalam istilah populer akademik disebut cocoklogi beragama. Apapun kepentingannya selalu menggunakan tafsir Alquran sebagai bentuk legitimasi kepentingan. Dan beliau juga banyak menyebutkan analogi berkaitan dengan fenomena tersebut.

Selanjutnya ia juga mempertegas dengan mengatakan bahwa terlalu banyak muslim—manusia yang beragama Islam, memahami Alquran hanya sebatas terjemahan (tekstual). Padahal seharusnya, dalam aktivitas memahami Alquran sebagai pedoman hidup mesti membuka, membaca, dan memahami berbagai kitab tafsir.

Ciri beragama yang memaknai landasan agama—Alquran dan Hadis, hanya sebatas terjemahan biasanya banyak dihinggapi oleh generasi milenial. Selain ciri negatif tersebut, Gus Nadir juga mengungkapkan bahwa generasi milenial umumnya memiliki tingkat minat baca yang sangat kurang. Sehingga kita semua penting untuk mencari solusi pergerakan dalam meminimalisir atau mengatasi dampak dan ciri khas generasi milenial. inilah yang menjadi wacana penting untuk didiskusikan.

Generasi milenial dalam belajar dan memahami agamanya sangat berbeda dengan beberapa generasi pra-milenial. Semisal, dulu kata Gus Nadir, kita harus berangkat ke majelis taklim untuk mendengarkan dan menyimak para kiai atau ustaz dalam mengajar tafsir Alquran. Sedangkan sekarang, kita bisa mendengarkan dan menyimak para dai, kiai, atau ustaz berceramah dan mengajarkan tafsir Alquran melalui medsos. Sehingga perlu inovasi atau renovasi tata cara berdakwah yakni dengan melalui teknologi yang disebut dengan medsos ini.

Selanjutnya, Gus Nadir juga sempat mengungkapkan perbedaan sistem pembelajaran yang efisien antara generasi pra-milenial dengan generasi milenial. “Dulu—generasi pra-milenial, proses pengajaran hanya bisa berlangsung efektif selama 25 menit. Sedangkan bagi generasi milenial hanya bisa efektif selama 3 menit” ungkap Gus Nadir. Sesuai pengakuan Gus Nadir, hal tersebut ia dapatkan dari sebuah studi penelitian.

Sehingga menurut Gus Nadir, yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengajarkan tafsir Alquran kepada generasi milenial yang hanya bisa membaca selama 3 menit bersama gadgetnya? Hal inilah yang menyebabkan Gus Nadir banyak menulis tafsir Alquran di medsos dengan singkat dan padat sehingga melahirkan karya Tafsir Alquran di Medsos.

Mengapa mesti mencari metode penjelasan tafsir Alquran kepada generasi milenial? Karena tanpa penjelasan tafsir yang efisien bagi generasi milenial, maka kemungkinan akbar generasi kita akan melahirkan banyak fenomena radikalisme, intoleran, sumbu pendek, dan berbagai fenomena beragama negatif lainnya.

Sebelum mengakhiri dedahan materinya, Gus Nadir mengemukakan prediksinya terhadap fenomena generasi milenial 10-15 tahun ke depan. “10-15 tahun ke depan, ruang kelas pembelajaran sudah tidak ada. Segala bentuk pembelajaran dalam dunia pendidikan akan bersistem online. Sehingga dosen tidak mesti lagi ke kampus untuk mengajar, karena di dalam kamar mandi pun ia bisa mengisi kuliah” pungkas Gus Nadir.

Dan bahkan ditegaskanya pula bahwa dengan hilangnya ruang kelas pembelajaran maka runtuhlah hirarki keilmuan. Sebab tak ada lagi strata pemisah antara guru dan murid, dosen dan mahasiswa, kiai dan santri, dan berbagai sistem pembelajar yang memiliki hirarki maqam keilmuan. Oleh karena itu, perlu pembekalan bagi generasi milenial dalam menyikapi era perkembangan teknologi medsos yang begitu cepat.

Selain fenomena semacam itu, Gus Nadir juga memprediksi bahwa 10-15 tahun ke depan akan terbukti terjadi fenomena seperti judul buku dari A.A Navis yakni Robohnya Surau Kami. Dalam artian, kita tidak lagi bisa berharap pada generasi millenial untuk menghidupkan dan mensejahterakan masjid, karena generasi milenial 15 tahun ke depan hanya akan merobohkan masjid. Pernyataan merobohkan masjid di sini hanyalah sebatas pernyataan metaforis dari Gus Nadir.

Dunia telah berubah dengan cepat kata Gus Nadir. “Dulu kita, ketika ingin mengetahui shahihnya sebuah hadis maka harus membuka 150 kitab atau bahkan lebih. Tapi sekarang, generasi milenial, jika ingin mengetahui shahihnya sebuah hadis tinggal membuka mbah google atau aplikasi islami yang berkaitan dengan hadis” ujar Gus Nadir. Lebih lanjut lagi, ia mengatakan “dulu para santri atau murid meminta berkah pada kiainya dengan bersalaman sehabis taklim. Sedangkan generasi milenial sekarang, untuk mendapatkan atau meminta berkah keilmuan dilakukan dengan selfie bersama dengan kiainya sehabis taklim”.

Oleh karena itu, mahasiswa dan para ustaz, dai, kiai, atau pengajar sekalipun harus mulai berinisiasi melakukan dakwah yang berbasis medsos ini. Sebab tanpa pembekalan dan progress dalam dakwah yang tepat untuk generasi milenial maka generasi milenial akan roboh.

Tetapi menurut Gus Nadir, persoalannya yang muncul jika dakwah berbasis medsos adalah apakah semua yang kita baca lewat medsos itu semua benar? Bagaimana memilah-milah mana yang hoax dan mana yang tidak? Apakah kita harus menghafal hadis lagi jika semuanya bisa langsung diakses di mesin pencari yang bernama mbah google? Nah, untuk mendapatkan penjelasan jawaban atas pertanyaan tersebut Anda bisa membeli buku Tafsir Alquran di Medsos tersebut.

*endors!

Load comments