Mengapa Kita Mengenang Masa Lalu?
Al-Gazali Masa Lalu Tanya
Di pagi yang mendung, di atas pemukaan kosmos nan luas, gerimis menyihir embun menjelma menjadi gumpalan-gumpalan air. Angin enggan menjadi badai, ia hanya terdiam dalam hening. Mentari enggan bersinar seolah takut manyapa, padahal awan kelam telah menantinya di pelupuk mata. Pagi ini kurang cerah!
Lalu kubuka Facebook, kuharap ada yang cerah di sana. Walhasil saya mendapati setumpuk kenangan yang Facebook bagikan tepatnya dua tahun silam. Kenanganku di masa lalu, masa yang semakin menjauh. Aku menyadari itu. Hingga kutulis semua masa lalu agar semuanya tetap ada dalam aksara keabadian (terdengar amat lebay).
Keabadian bagi manusia adalah kefanaan, itu hanyalah ungkapan opinial dari saya. Namun akan ada apresiasi tersendiri untuk Facebook, ia mampu merangkai kenangan di setiap harinya. Hingga keabadian pun mulai tampak pada kenangan, meskipun kian akan terlupakan.
Untuk itu, inilah setitik apresiasi buat Mark Zuckerberg yang telah meluncurkan Facebook sehingga kubisa memantik kembali makna masa lalu. Ya, apresiasi untuk Mark Zuckerberg, yang telah memberikan ruang bagi semua penggunanya untuk menyimpan kenangan di karyanya itu.
Bagaimana mungkin kita merasakan manfaat pada sebuah karya dengan begitu saja tanpa apresiasi? Bukankah itu merupakan kekufuran terkecil di dunia maya khususnya terhadap Facebook? Mungkin setidaknya menulis sepatah kata di beranda Facebook adalah bagian pengugur kekufuran media sosial. Entahlah, itu hanyalah guyonan, dan mungkin saja seabad ke depan semua itu akan menjadi guyonan, ketika manusia tak lagi mempercayai kekufuran.
Terima kasih juga buat kenangan yang tetap saja setia merayap di laman Facebook seolah-olah tidak ingin meninggalkan masa kiniku. Tapi apalah arti rayapan jikalau masa lalu tetap saja merupakan hal yang paling jauh dari masa kini manusia. Ya, seperti itulah yang disampaikan sang guru intelektual, Al-Gazali.
Berawal dari kenangan yang Facebook bagikan, sebagai manusia yang penuh rasa skeptis, melahirkan sebuah pertanyaan: mengapa kita mengenang masa lalu? Ya, mengapa mesti mengenang masa lalu? Bukankah kata Inul Daratista dalam lagunya mengatakan masa lalu hanya akan membuat cemburu? (hehehe)
“..Masa lalu biarlah masa lalu,
Jangan kau ungkit, jangan kau ingatkan aku
Masa lalu biarlah masa lalu
Sungguh hatiku tetap cemburu…”
Seperti itulah penggalan lirik lagu Inul berjudul Masa Lalu. Yang dapat saya pahami dari lirik tersebut adalah seolah akan bermakna kesedihan jika kita ingin mengungkap masa lalu. Entahlah, itu hanyalah sebuah lagu.
Jauh dari itu saya ingin mengeluarkan beberapa dialektika bahwa bisakah kita mengenali orang lain dengan masa lalunya? Bisakah masa lalu dihapus dari pola pandangan manusia? Ataukah masa lalu itu adalah gambaran kefanaan sekaligus kefakiran manusia terhadap keabadian?
Saya teringat sorang filsuf bernama Jonathan Black mengatakan bahwa dengan mengingat apa yang kita lakukan kemarin, kita bisa mengenal diri kita sendiri sebagai seseorang yang melakukan hal-hal yang telah lalu. Sehingga jika saya tafsirkan bahwa masa lalu bisa menampilkan identitas seseorang meskipun dalam lingkup di masa lalunya.
Tapi, apakah masa kini tidak dipengaruhi oleh masa lalu? Menurut saya, pasti masa lalu berdampak atau mempengaruhi masa kini. Hal ini juga dikemukan oleh Jonathan bahwa salah satu hikmah dari masa lalu adalah apakah kita bisa lebih kuat atau kita malah lebih lemah. Dengan demikian, masa lalu tentulah memiliki implikasi pada masa kini.
Jawaban apakah kita merasa lebih baik atau lebih kuat itu berasal dari pertimbangan dan perbandingan masa kini dan masa lalu. Sehingga sebagian manusia meyakini bahwa masa lalu juga merupakan penentu masa kini. Atau dengan kalimat lain yang lebih pragmatis bahwa tidak mudah masa kini hadir tanpa masa lalu. Meskipun ada para pemikir sufistik yang berpendapat bahwa masa lalu tidak ada, yang ada hanyalah masa kini. Mengenai pendapat tersebut nanti kita bahas di artikel selanjutnya (agar ada di antara kita yang penasaran, dan tetap menunggu postingan selanjutnya).
Kesimpulannya, mengenang masa lalu adalah sebuah tahapan filosofis manusia di mana ia kembali merefleksi dan menata resolusi masa depan yang lebih cerah melalui jendela masa lalu. Sebab ada pepatah mengatakan “hanya keledai yang jatuh pada lubang yang sama dua kali”. Maka dari itu, marilah mengenang masa lalu dengan cara filosofis-dialektis agar menghasilkan resolusi masa depan yang lebih cerah.