Jangan Menjadi Demonstran Ikut-Ikutan
Demonstran Kampus Gumam HMJ Aqidah dan Filsafat Islam UIN Alauddin Makassar
*Pentilan aksara yang tidak penting untuk hari ini.
Awal semester ganjil selalu menjadi momen pertarungan bagi para organisatoris (kader organisasi) untuk menarik minat dan memberikan pengaruh kepada domba-domba tersesat dalam hutan kampus belantara ini. Jangankan menarik minat bahkan sampai pada tendensi atau penekanan pada nilai senioritas sehingga selaku junior haruslah mengikuti sabda-sabda senior yang sedikit lagi menjadi tuhan. Ya, saya tidak mengatakan hal tersebut yang melatarbelakangi aksi demonstran para senior pagi tadi😁, tapi saya ingin menuliskan bahwa sabda-sabda seniorlah yang mendorong diri saya untuk ikut menyambangi aksi demostrasi tadi pagi.
Ada hal yang dilematis dalam pikiran saya ketika mengikuti sabda atau perintah demonstrasi dari senior. Mengapa mesti merasa dilema? Karena bagi saya pribadi, haruskah sabda senior saya terima begitu saja jika bahkan sabda agama pun saya pertanyakan? Saya tidak tahu alasan paling mendasar mengapa saya harus ikut berdemo yang bahkan pada jam yang sama saya memiliki jadwal kuliah yang menurut saya juga cukup penting.
Awalnya saya tetap mengikuti aksi tersebut dengan langkah sedikit ragu karena tidak terbebas dari berbagai pertanyaan skeptis di pikiran saya. Karena merasa ada hal yang mesti saya jawab terlebih dahulu, seperti mengapa saya mesti ikut berdemonstrasi? Apakah demonstrasi jauh lebih penting dari kuliah? Apakah orientasi demonstrasi pagi ini memang jelas atau hanyalah permainan himpunan ataukah strategi senior yang hanya memiliki kepentingan identitasnya? Dan berbagai pertanyaan-pertanyaan skeptis lainnya.
Karena pertanyaan-pertanyaan tersebut belum terjawab, maka saya memutuskan untuk berhenti berjalan, meninggalkan gerombolan demonstran, dan kembali memasuki ruang kuliah. Tindakan saya tersebut bukan untuk mencederai nilai solidaritas kita—antar junior dan senior—tetapi bagi saya, mengikuti intruksi senior tanpa memahami landasan dan orientasinya adalah hal paling dangkal dalam hidup—seperti beriman tanpa akal. Itulah keputusan saya.
Setelah kuliah selesai, saya kembali ingin mencari tahu alasan terjadi demonstrasi dan tujuannya. Akhirnya saya menemukan para demonstran ini berdialog di salah satu ruangan di lantai 4 Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik. Dialog ini dihadiri oleh dekan fakultas dan wakil dekan serta beberapa pendampingnya. Sedangkan peserta diskusi terdiri dari mahasiswa baru (teridentifikasi dari kepalanya sedikit lebih cerah karena rambutnya lebih pendek) dan lebih dominan lagi dari pengurus himpunan di beberapa jurusan.
Beginilah jika warga Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik melakukan demonstrasi selalu berakhir dengan diskusi (sangat jarang berakhir dengan bentrok) berbeda dengan beberapa fakultas di UIN Alauddin yang biasanya demonstrasinya berakhir dengan bentrok atau solusi yang lebih bersifat represif.
Setelah menanyakan permasalahan kepada beberapa orang senior—persoalan LDKM, sayapun tetap merasa tidak ingin mengambil bagian pada permasalahan ini. Meskipun saya juga merupakan anggota dari Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Saya sudah cukup merasa kecewa. Merasa kesepian di keramaian, merasa tamu di rumah sendiri.
Entah, saya juga kurang mengerti dengan pengurus inti HMJ yang telah menjanjikan berbagai program-program akademiknya untuk kami—penghuni jurusan, yang bahkan tak kunjung terealisasi meskipun beberapa minggu lalu telah mulai mengadakan kajian rutin di hari senin—katanya. Entahlah, sebab bahkan kemarin—senin—tak ada juga kajian. Saya malas dengan solidaritas kalian yang berbau citraan tanpa landasan yang jelas dan bermanfaat bagi segala pihak. Jangan hanya cari lubang atas nama himpunan! Masihkah himpunan hanya sebatas wadah untuk bermain, menyusuri lorong gelap, menggelinding untuk menemukan lubang?
Sudahlah. Kami (saya dan rekan yang lain) sudah lelah melakukan demonstrasi untuk kalian—pengurus inti himpunan, yang bahkan meminta kami untuk ikut berdemonstrasi karena mengalami kendala pada pelaksanaan kegiatan pencarian lubangmu yang baru. Kata lubang kami gunakan untuk mewakili kepentingan dan hasrat kalian di himpunan (tentu penggunaan kata ini memiliki alasan mendasar yang lebih filosofis, tapi jika ingin mengetahui lebih dalam silakan tanyakan secara langsung pada kami di dunia nyata, bukan melalui dunia maya—media sosial). Tapi kalian pasti tahu bahwa tingkah kami ini adalah wujud prihatin dan solidaritas kami terhadap himpunan yang telah lama tidur dalam ketidaknyenyakan.
Untuk soal demonstrasi tadi pagi, maafkan kami—khususnya saya—karena tidak mengikuti demonstrasi hingga selesai karena menurut hemat saya, untuk berunjuk rasa, untuk memberikan penjelasan akan budaya akademik yang baik kepada birokrasi haruslah dimulai dari diri sendiri. Nah, bagaimana mungkin saya bisa memberikan penjelasan tentang tujuan demonstrasi jika saya cuman ikut-ikutan?😁 Olehnya itu, maafkan saya yang tidak mengikuti aksi hingga selesai. Maaf ya!😁
Untuk rekan-rekan seangkatan dan junior: demonstrasi itu pilihan. Jika merasa diperbudak oleh senior untuk demonstrasi maka jangan ikut berdemonstrasi. Tapi bagaimana mungkin ingin bebas dari penjara senior jika tidak bisa membebaskan diri dari penjara diri? Maka dari itu, mari membebaskan diri dari penjara diri. Karena penjara dirilah yang memaksa kita untuk mencari lubang. Mari berkesadaran: jangan berteriak meminta kebebasan pada ruang yang bahkan penuh dengan kebebasan tapi merasa terpenjara karena bahkan penjara itu hanyalah ilusi yang lahir dari ketakutan diri sendiri.
Singkat kata, terkadang kita selaku mahasiswa terlalu menuntut banyak hal namun lupa pada kewajiban dan kepantasan kita akan hal tersebut. Kita—sebagian mahasiswa—mengkiritik kinerja banyak dosen atau pun kinerja pejabat birokrasi tapi malah melupakan kewajiban kita yang juga merupakan penunjang stabilitas kehidupan kampus. Ini terdengar ironis. Tapi begitulah faktanya, meskipun mungkin tidak semua demikian, dan tidak boleh menghakimi keseluruhan karena pengetahuan kita akan hal itu hanya bersifat parsial.
Dalam sebuah diskusi yang membahas tentang masalah dan solusi budaya akademik kampus di kegaiatan Pelatihan Intensif Pengembangan Intelektual Mahasiswa (PIPIM) PUKISTEK UIN Alauddin Makassar, terdapat sebuah kesimpulan yang menarik bahwa salah satu hal yang menjadi alasan atau penyebab rusaknya tradisi intelektualitas mahasiswa di lingkungan akademik kampus adalah lahirnya mahasiswa yang tidak tahu diri. Mahasiswa yang mental kritisnya tidak lahir dari dirinya sendiri tapi lahir dari doktrinasi seniornya. Sehingga yang terjadi semacam ironi: semisal mahasiswa yang menuntut pembelajaran efektif tapi tidak pernah masuk kampus, koruptor berceramah tentang bahaya korupsi, dan contoh lainnya.
Entahlah. Ini semua hanyalah ngawur. Karena tulisan pendek ini tercipta di atas motor, di pinggir jalan, tadi siang di saat menunggu aksi sweeping polisi selesai 😂