Iman dan Analogi Buah Kelapa

Iman dan Analogi Buah Kelapa

Photo by Louis Hansel @shotsoflouis on Unsplash

Tepat pukul 04:20 di hari Jumat, 05 Agustus 1999, anak ketujuh dari pasangan Andi Kasmi dan Andi Madeaming lahir. Semua orang yang menyaksikan kelahiran anak tersebut tersenyum sebagai tanda syukur akan anugerah Tuhan yang tiada putusnya. Pada hari itulah saya lahir, dan mulai menyaksikan bagaimana kehidupan ini berjalan. Saya lahir dari rahim seorang wanita muslimah.

Pelafalan dua kalimat syahadat dan azan di telinga saya waktu itu, merupakan penanda bahwa saya lahir sebagai bayi yang beragama sekaligus sebagai simbol pengingatan kembali akan janji di alam primordial sebelumnya, seperti yang diakui dalam ajaran agama Islam. Saya yang masih dalam kondisi belum mampu berjalan, belum mengenali ibu-ayah, telah dikukuhkan sebagai manusia beragama. “Islam adalah agamaku,” kata Ibu beberapa tahun setelahnya. 

Seperti yang dialami oleh semua orang, saya diazankan sesaat setelah lahir lalu disunat ketika menjelang balig, semua itu dilakukan atas dasar keputusan orang tua saya. Saya dimasukkan dalam kategori beragama Islam karena orang tua saya beragama Islam juga. Mungkin, tidak berlebihan jika seseorang di kemudian hari menyebut saya sebagai Islam keturunan. Tapi tak apalah, karena kabar baiknya, nyaris semua orang mengalaminya—setidaknya setelah mereka baru saja lahir ke dunia mereka memeluk agama keturunan.

Meskipun dengan keluhan semacam itu, saya merasa bersyukur karena tidak ada pilihan lain bagi orang tua saya kala itu selain membaptis atau mengukuhkan saya sebagai orang beragama Islam. Meskipun di kemudian hari saya menyadari bahwa bersyahadat sebagai muslim, atau dibaptis sebagai kristen, atau diakui sebagai orang yang beragama apa saja, itu sama saja.

Pernah, sewaktu saya masih di Sekolah Dasar, saya bertanya kepada guru saya, bagaimana jikalau seandainya orang tua saya adalah non-Muslim, dan saya lahir dan dibesarkan dalam keluarga semacam itu, dan bahkan memeluk agama yang orang tua saya peluk yakni agama non-Islam misalnya, apakah saya masih akan diterima di surga? “Tidak,” kata guru agama saya dengan tegas.

Jawaban dan nasihat guru agama saya waktu itu, cukup membuat masa kecil saya membenci bahkan tak peduli dengan teman seumuran yang beragama non-Islam. Suatu hari, saya berkunjung ke kampung tetangga, di rumah teman, saya menyaksikan di teras rumah, orang-orang Kristen sedang beribadah atau tepatnya sedang bernyanyi lagu gereja, saya dan teman-teman mengejeknya dengan mengikuti caranya menyanyi dengan suara dijelek-jelekkan bahkan diplesetkan. 

Kami, sekumpulan anak-anak muslim di kampung itu sedikit nakal terhadap anak-anak non-muslim. Bahkan ketika kami bermain, kami pernah mengejek konsep iman mereka dengan nyanyian aneh-aneh. “Tuhan Allah, Tuhan Bapak, Tuhan Anak, Tuhan Ibu, Tuhan sekeluarga, ayo kita bermain bersama Tuhan. Tuhan suka bermain-main, bukan?” teriak kami bersama sambil tertawa.

Beriring waktu, beriring pula perubahan-perubahan. Perubahan sikap beragama saya bermula ketika orang tua saya berinisiatif memasukkan saya ke sebuah surau di kampung tetangga, di sanalah saya diajari bagaimana membaca Alquran serta tata cara melaksanakan ibadah serta bagaimana bersikap kepada sesama, baik muslim dan non-muslim. Jika diketahui mengejek atau melakukan hal buruk sesama teman, pastilah kami akan dihukum. Juga seperti semua anak-anak pada masa itu, saya juga mendapatnya pengajaran semacam itu di bangku sekolah.

Akhirnya, selama sekolah, saya mengalami transformasi pengetahuan juga pengalaman sehingga sudah lebih toleran terhadap orang lain yang berbeda agama. Dan titik paling ekstrem, adalah ketika saya memasuki dunia kampus, saya mengambil jurusan Filsafat Agama di UIN Alauddin Makassar. Cara berpikir filsafat membuat saya harus mengonstruksi ulang pandangan saya tentang iman dan agama.

Kadang-kadang, saya berpikir, apakah benar waktu di alam rahim, sebelum kita terlahir, kita benar-benar ditanya soal apakah kita akan memeluk agama Islam atau tidak, atau apakah kita akan lahir dalam keluarga Bugis atau tidak, atau apakah kita akan dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, saya selalu memikirkannya, kadang-kadang Tuhan memang menyisipkan lebih banyak pertanyaan ke benak kita tentang diri-Nya. Dan anehnya, kita sama sekali takut mengatakannya atau memikirkannya meskipun sejenak.

Di semester awal, saya benar-benar mendapatkan sebuah pengalaman beragama yang baru. Ketika itu, filsafat saya jadikan sebagai hobi dalam memandang banyak hal, termasuk agama. Pertanyaan-pertanyaan radikal tentang agama pun sulit untuk terhindarkan. “Apakah kebenaran agama itu hanya satu? Mengapa Tuhan menciptakan banyak sekali agama? Atau apakah yang kita sebut sebagai Tuhan itu hanya ciptaan manusia semata? Mengapa semua orang harus beriman? Apakah yang kita maksud dengan iman?” dan pertanyaan lainnya.

Pernah suatu waktu, ketika saya pulang kampung liburan semester satu, saya bertanya kepada orang tua saya tentang iman dan agama. Dalam bahasa Bugis, saya bertanya kepadanya, “mengapa kita mesti salat, Ayah?” Ia diam. Saya mengulang pertanyaan, “mengapa kita harus salat, Ayah?” Ia mengangkat kepala, melihat saya. “Kita memang harus melakukannya,” jawabnya pelan dalam bahasa Bugis, “sebelum kita benar-benar bisa memahami maksud Tuhan memerintahkan kita.” Saya dengan cepat menyanggah, “bukankah jauh lebih bernilai jika kita mengetahui dulu apa maksudnya Tuhan memerintahkan kita salat, sebelum kita menunaikannya, Ayah?”

Waktu itu, kami di teras rumah, sebuah hari di Sabtu pagi. Ayah tidak langsung menjawab sanggahanku, ia diam. Beberapa saat berlalu, lalu memecahkan diamnya dengan menyebut namaku, seperti ada hal besar yang ingin ia sampaikan.

“Dengarkan,” sapanya sekali lagi seolah benar-benar memerintahkanku mendengarkan kalimatnya. Saya siap mendengarkan.

Ia berkata “Karena kita petani, kamu pasti tahu kan buah kelapa?!”

Saya mengangguk.

“Buah kelapa, awalnya hanya kulit, lalu dalam proses pertumbuhannya, Tuhan mengeraskan tempurungnya, memberi isi dan air, serta segala hal yang mengisi kelapa yang sebelumnya hanya kulit. Seperti itu pula iman, awalnya hanya iman, lalu kita dituntut untuk mengisinya dengan pengetahuan, dan secara terselubung, Tuhanlah yang sebenarnya mengisi pengetahuan kita.” jawab Ayah.

“Tapi jangan lupa, semua itu bermula dari iman, laksanakan dulu, kelak Tuhan mengisi pengetahuanmu tentang-Nya seperti Tuhan memberi isi pada buah kelapa yang awalnya tak berisi. Pada saat itulah pertanyaanmu tentang apa maksud-Nya memerintahkan kita untuk beriman akan terjawab, nak.”

Saya terdiam, memikirkan apa yang dikatakan oleh Ayah. Bahwa, Ayah saya—yang tidak sempat menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama, yang gagap menggunakan bahasa Indonesia, mampu menjelaskan persoalan iman dengan menggunakan analogi alam sekitar yakni melalui penciptaan buah kelapa yang setiap hari dijumpainya di kebun. Saya benar-benar memikirkan jawaban tersebut setelahnya, sampai kembali lagi ke kampus untuk melanjutkan semester selanjutnya. 

Saya masih ingat, ketika itu, di awal semester yang baru, saya menceritakan perihal itu ke dosen saya, Guru Besar Filsafat Agama, Prof. Dr. Qasim Mathar MA. dan beliau mengatakan “kamu harus belajar menjadi hamba yang baik, jangan ingin jadi Tuhan yang hendak menghakimi iman orang lain, itu bukan tugasmu.” Selain itu, saya juga menyampaikan keluhan saya, bahwa semenjak memasuki jurusan Filsafat, saya merasa bahwa kebiasaan saya salat berjamaah tepat waktu kini telah berkurang, dan menurut saya, hal ini mungkin disebabkan karena saya terlalu menggeluti filsafat. Ia menjawab, “tidak, malah kamu sebenarnya makin saleh ketika malas beribadah karena menggeluti filsafat.”

Singkatnya, sikap dan cara saya menggauli agama senantiasa mengalami perubahan sedikit demi sedikit ke suatu arah yang bisa dikatakan sebagai iman yang dewasa, seperti menegaskan perkataan seorang filsuf, Heraklitus, bahwa tidak ada identitas yang final yang dimiliki oleh manusia, semua senantiasa mengalami perubahan (pantarei). Kita hanya menunggu kematian sebagai satu-satunya penyebab keterputusan dari perubahan tiada henti tersebut.

Dan yang paling penting, bahwa iman atau dengan apapun kita menamakannya, akan sangat dipengaruhi oleh banyak hal, seperti orang-orang di sekeliling kita—yang mungkin kita jumpai melalui lingkaran organisasi yang beragam ideologi, tokoh-tokoh berpengaruh dalam prosesi akademik kita, serta buku-buku yang kita baca serta pengalaman subtil dalam kehidupan keseharian kita. Semua itu mempengaruhi akan menjadi seperti apa kita sebagai manusia beragama.

Aku Benci Azan Magrib

Aku Benci Azan Magrib

Photo by Hannah Troupe on Unsplash

Aku benci azan magrib. Ia suka merebut sebagian waktu membacaku dan memberiku kesibukan yang lain. Setiap kali suara persetan itu memasuki telingaku, aku harus mandi dan bergegas melaksanakan salat. Kuakui, kedua pekerjaan itu paling menyebalkan ketika aku sedang membaca buku di senja hari.

Tapi, untuk tidak melakukannya, aku takut pacarku akan memutuskan aku—kau jangan salah paham, aku biasa memanggil pacar, untuk siapa saja yang kuanggap berarti, termasuk Tuhan dan Buku. Meskipun kadang-kadang aku membuang Tuhan pada tempatnya, ketika kupikir aku malas memikirkannya sama sekali. Juga bahkan Buku, ketika ia ditulis oleh pembual. Kau bisa menemukan buku semacam itu di toko buku agama, biasanya diberi judul Siksa Neraka atau Jalan Pintas Masuk Surga, dan sejenisnya.

Tapi, sudahlah, aku harus mandi dan bersiap salat segera, sebelum aku mengutuk Tuhan dengan kata-kata yang jauh lebih banyak dari jumlah menit yang seharusnya kuhabiskan untuk dua pekerjaan jahanam itu.

Mandi dan salatlah. Semoga Tuhan masuk neraka!

Mengapa Tuhan Menciptakan Manusia Bisu?

Mengapa Tuhan Menciptakan Manusia Bisu?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Sebelum masuk pada tahapan menjawab dan merefleksikan pertanyan atau fenomena ini, kita seharusnya menyegarkan pengetahuan kita tentang apa itu tunawicara, apa itu tunarungu, dan bagaimana fakta-fakta yang berkaitan dengan pertanyaan skeptis-reflektif ini.

Apa itu tunawicara atau bisu?

Bisu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tidak dapat berkata-kata (karena tidak sempurna alat percakapannya atau tuli sejak kecil, atau hal tersebut juga bisa disebut dengan tunawicara. Bisu biasanya disebabkan oleh gangguan pada organ-organ tertentu seperti tenggorokan, pita suara, paru-paru, mulut, dan sebagainya. Bisu umumnya terkait dengan penyakit tunarungu atau tuli. Namun tidak selamanya orang yang bisu itu juga tuli. Oleh karena itu, selain mengetahui apa itu tunawicara selanjutnya kita juga seharusnya bisa mengetahui apa itu tunarungu.

Apa itu tunarungu atau tuli?

Tuli dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tidak dapat mendengar (karena rusak pendengarannya); pekak. Dengan demikian banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul di antaranya: apakah orang bisu juga dipengaruhi oleh penyakit tunarungu (ketulian) atau kebisuan yang mempengaruhi ketulian? Untuk pembaca yang telah memahami hal itu, semoga bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Inilah sisi lain dari Ruang Skeptis, selain selalu menanyakan hal-hal reflektif juga memberi peluang pembaca untuk bertanya atau menjawab yang nantinya menjadi pembahasan di artikel selanjutnya.

Bagaimana fakta atau keadaan penderita penyakit tersebut di Indonesia?

Karena tulisan ini terinspirasi dari salah satu masyarakat Indonesia yang saya temui dalam kondisi kebisuannya. Dalam artian saya sendiri secara langsung bertemu dengan penderita penyakit ini di Indonesia tepatnya di kota Makassar. Nah pertanyaan yang muncul, apakah hanya orang tersebut yang menderita penyakit seperti itu? Ataukah masih banyak di luar sana yang juga menderita penyakit tersebut?

Kementerian Kesehatan pada tahun 1994-1996 pernah melakukan survey di  7 provinsi di Indonesia dengan hasil bahwa jumlah penderita ganguan pendengaran di Indonesia sebanyak 35,6 juta jiwa atau 16,8% dari seluruh penduduk Indonesia. Sedangkan yang mengalami ketulian sebanyak 850.000 jiwa atau sekitar 0,4% dari populasi.

Selain terdapat riset atau survey dalam lingkup nasional, juga ada beberapa data yang berada dalam lingkup dunia. Seperti data WHO Multicenter Study tahun 1998 menemukan bahwa terdapat sekitar 240 juta (4,2%) penduduk dunia yang menderita ganguan pendengaran. Sekitar 4,6% di antaranya ada di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, Indonesia dinobatkan menjadi negara peringkat ke-4 di dunia sebagai negara yang memiliki jumlah penderita ganguan pendengaran tertinggi setelah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3).

Bagaimana perhatian pemerintah Indonesia atau dunia melihat kondisi tersebut?

Penderita penyakit ini memang kadang tidak mendapakan perhatian khusus dari pemerintah. Karena juga di sisi lain gangguan penyakit ini tidak di perhatikan oleh kalangan masyarakat itu sendiri. Namun bukan berarti pemerintah tetap diam setelah mendapatkan beberapa fakta dan data yang membuktikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara besar dari jumlah penderita penyakit tersebut.

Salah satu perhatian pemerintah yaitu pada tanggal 14 Desember 2007 membentuk Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT). Komnas PGPKT menargetkan angka penderita gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia akan turun sebanyak 50% di tahun 2015 dan tersisa 10% pada tahun 2030. Target yang menurut saya cukup menjanjikan. 

Meskipun hinga tahun 2017 belum ada data yang saya temukan mengenai penurunan jumlah penderita penyakit tersebut namun saya tetap memberikan apresiasi untuk Komnas PGPKT yang telah banyak memberikan penyuluhan di sekolah-sekolah juga bagi ibu hamil untuk selalu mencegah penyebab terjadinya kebisuan dan ketulian. Entah itu dari sejak lahir maupun setelah ia lahir. Karena menurut Komnas PGPKT, penyakit ini yang sejak lahir maupun bukan pada dasarnya masih bisa dicegah dengan beberapa pertimbangan sebelumnya.

Selain perhatian skala nasional, juga terdapat perhatian dari lembaga WHO. Setelah mengetahui kebanyakan penderita penyakit ini lebih banyak berasal dari Asia Tenggara, maka WHO mencanangkan program Sound Hearing 2030. Tujuannya adalah agar setiap penduduk di Asia Tenggara mendapatkan haknya yakni memiliki derajat kesehatan telinga dan pendengaran yang optimal di tahun 2030.

Mengapa Tuhan menciptakan manusia bisu?

Berdasarkan fakta-fakta di atas bahwa ada beberapa dari penderita penyakit ini yang berasal dari lahir dan itu sudah pasti merupakan kehendak Tuhan. Nah, pernahkah pembaca bertanya mengapa Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan tuli? Di mana letak keadilan Tuhan terhadap manusia yang tuli itu? Apakah manusia yang diciptakan tuli tersebut memang telah melakukan dosa atau kesalahan sebelum lahir sebagai wujud balasan untuknya? Ataukah seperti itukah Tuhan memberikan nikmat-Nya kepada orang tersebut berupa ketuliannya? Pertanyaan-pertanyaan itu adalah wilayah Ruang Skeptis. Namun pada tulisan ini, yang akan kami refleksikan adalah mengapa Tuhan menciptakan orang tuli dan bisu dari sisi hikmah dan rasa skeptis. 

Namun sebelumnya, pada lingkup agama pertanyaan mengapa tuhan menciptakan manusia bisu merupakan pertanyaan yang orang katakan keliru sebab pertanyaan ini seolah men-judge dan menentang otoritas penciptaan Tuhan. Namun bagi saya, pertanyaan tersebut saya pakai atas dasar pemacu pembaca untuk melakukan reflektif atas fenomena tersebut. Inti dari pertanyaan “mengapa” ini adalah kunci pertanyaan pencari hikmah. 

Meskipun pertanyaan itu terlontarkan dalam naluri saya namun saya tidak tahu secara pasti mengapa Tuhan berlaku demikian. Yang jelas menurut saya Tuhan menciptakan orang bisu sebagai pembelajaran dan media refleksi kepada manusia yang tidak bisu. Jika seandainya semua manusia tidak ada yang bisu apakah tulisan ini akan ada? Jika andai kata di antara semua orang tidak ada yang bisu maka apakah akan ada orang yang melakukan refleksi atau renungan akan keterbatasannya? Apakah masih ada wujud pembelajaran buat orang-orang yang sempurna dalam penciptaan untuk mensyukuri kesempuraan fisiknya? Yah itulah salah sebabnya.

Pernahkah kita menyadari bahwa bahasa adalah kunci paling utama untuk memahami dunia. Tidak hanya untuk mengetahui banyak hal di sekeliling kita namun juga, bahasa digunakan untuk berinteraksi dengan sesama manusia. Setiap hari kita berinteraksi dengan manusia lain dengan bahasa. Kita tidak mengetahui berapa kata yang kita ucapkan dalam sehari untuk berkomunikasi. Bagaimana dengan orang tunawicara? Ia bahkan tidak mampu berbicara. 

Wahai pembaca yang budiman, pernahkah kita berpikir demikian? Apakah pendengaran dan kemampuan berbicara yang Tuhan berikan telah kita gunakan dengan baik? Ataukah apakah kita pernah dengan mudah mengatakan “Wahai Tuhanku terima kasih atas kemampuan berbicara dan pendengaran yang telah engkau berikan”. Jika tidak pernah, di manakah letak terima kasihmu kepada Tuhan yang telah memberikan semua itu?

Kepada pembaca yang tidak menderita kebisuan dan ketulian atau diciptakan dalam kesempurnaan potensi fisik maupun non-fisik, saya memiliki pertanyaan buat anda sebagai bahan reflektif. Bagaimana jika Tuhan menciptakan anda dalam keadaan bisu? Bagaimana jika bahkan hari ini Tuhan berkehendak bahwa mulai hari ini anda bisu, apa yang akan anda lakukan? Pernahkah anda bersyukur atas nikmat pendengaran dan kemampuan berbicara yang Tuhan berikan?

Kepada pembaca yang menderita penyakit bisu, terutama tunawicara yang pernah saya jumpai. Yang ingin saya sampaikan bahwa yakinlah Tuhan menyayangi kalian sehingga hal tersebut merupakan salah satu bukti ujian dan cobaan dari-Nya. Tegarlah dalam kehidupanmu, meskipun dalam keterbatasan itu. Semoga cepat sembuh dan Tuhan membalas keikhlasan dan kesabaranmu dengan balasan yang setimpal. 

Apa Kita Salah Memaknai Agama?

Apa Kita Salah Memaknai Agama?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Maukah engkau menjawab pertanyaan konyol dariku?

Pernahkah kita bertanya, apakah pengetahuan kita bertambah setelah kita belajar pada ideologi tertentu? Apakah pengetahuan kita bertambah setelah mempelajari nilai-nilai, ajaran, kebiasaan-kebiasaan yang agama kita tuntun? Apakah dengan mempelajari ilmu agama membuat kita semakin menyayangi manusia, hewan, dan makhluk lainnya? Meskipun banyak diantara kita malah lebur dalam dogmatis yang memberikan rasa kebencian dan meremehkan mereka yang tidak seideologi dengan kita. Ataukah bahkan kita membenci dan meremehkan mereka hanya karena tidak satu tempat kajian dengan kita?

Lebih tepatnya apakah kita pernah mempertanyakan nilai-nilai, ajaran, dan kebiasan-kebiasaan yang tanamkan oleh agama dalam kehidupan kita? Apakah nilai-nilai, ajaran, kebiasaan-kebiasaan itu memberikan dampak positif atau negatif jika diyakini dan dilestarikan. Sadarkah kita, bahwa tidak sedikit di luar sana mengatasnamakan ajaran agama untuk membunuh, menistakan, mencaci, dan segala bentuk penindasan lainnya hanya karena persoalan tidak seideologi dengannya.

Maukah engkau menjawab pertanyaan konyol dariku?

Apakah menghargai dan memberi kebaikan hanya terbatas pada lingkup ideologi yang sama? Apakah ilmu agama dan ilmu – ilmu lainnya yang kita pelajari selama ini menuntun kita menjalani kehidupan yang harmonis dengan sesama manusia?

“Agama mengajari kita nilai – nilai pluralitas meskipun tidak mengakui pluralisme”, itulah kata mereka. Entah, menurutmu sepakat atau tidak. Setidaknya aku manyampaikan satu hal untuk kita renungkan. 

Para agamawan mengatakan, “Ilmu agama merupakan ilmu yang universal dan meluas”. Jika demikian mengapa banyak diantara kita, yang juga merupakan pecandu agama yang malah menganggap agama dapat dimengerti olehnya. Seolah – olah agama itu hanya bisa ditafsirkan selebar daun kelor. Mengapa kita mesti menyempitkannya dengan berbagai dalil – dalil intoleransi? 

Menyempitkan makna agama hanya sebatas kalkulasi pahala dan dosa, takut – menakuti dengan neraka, mengiming – imingkan dengan surga. Bukankah agama hadir sebagai wujud transformasi dari zaman penindasan dan kebodohan menuju zaman pembebasan dan peradaban?

Saya adalah manusia tak berilmu, tapi ada satu hal yang saya yakini bahwa Tuhan menciptakan manusia yang berbeda denganku, tak seakidah denganku, tak seideologi denganku, semua itu bukanlah kesia-siaan. Mampukah aku menjudge mereka yang berbeda denganku dengan dalil-dalil kitab suci yang sepertinya sengaja di gelintirkan sehingga bermakna intoleransi. Mampukah kita membenci dan meremehkan mereka sedangkan agama dan ideologi kita tak mengajarkan demikian? 

Menurutku tidak baik suatu ideologi jika tidak dapat memberikan nilai harmonisasi dalam kehidupan kita. Menurutku tidak baik suatu ideologi yang hanya memberikan fanatisme dan menghilangkan toleransi untuk ideologi yang lain. Itu menurutku, namun tak menghalangi engkau mengatakan hal yang berbeda atas dasar menurutmu. Saudaraku, bagaimanakah menurutmu ideologi atau agama yang baik itu?

Maukah engkau menjawab pertanyaan konyol dariku?

Pernahkah kita bertanya tentang pentingnya agama dalam kehidupan? Bukankah banyak problematika besar – besaran saat ini diakibatkan oleh persoalan agama. Penduduk Indonesia saling demo-mendemo, caci-mencaci, fitnah-memfitnah, semua itu karena alasan kriminalisasi, penistaan, dan semua itu karena agama. Kenyataan ini tidak lagi mencerminkan kesucian, kedamaian, dan urgensi ajaran agama sebagai rahmat untuk alam dan manusia.

Karena agama, tercipta peradaban yang besar dan kehidupan masyarakat damai. Namun dilain sisi karena agama pula, akan tercipta peperangan dan pertikaian diantara kita. Jika kita dihadapkan pada realitas-realitas ini dimanakah letak kesalahan kita dalam memaknai Agama dalam kehidupan ini? Mampukah setiap orang memaknai Agama itu secara filosofis sebagaimana hakikat yang paling esensial dalam suatu agama?

Ataukah agama yang kita anut adalah agama yang salah sehingga menimbulkan permasalahan? Lantas jika agama kita salah maka agama apakah yang benar yang harus kita anut? Bukankah semua agama mendefenisikan diri sebagai agama yang benar. Tapi mengapa penganutnya mendustakan kebenaran ajaran agama mereka?

Ataukah bahkan kita yang salah dalam memahami agama itu? Kesalahan pemaknaan kita akan agama membuat kita banyak melakukan penindasan, penistaan, mencela agama lain dan perbuatan lain yang kontradiksi terhadap ajaran agama. Padahal agama menjanjikan kehidupan yang sejahtera, rukun, dan damai. Namun kesalahan pemaknaan akan ajaran agama membuat kita semakin jauh akan kesejahteraan dan kerukunan itu. Apakah problematika hari ini muncul karena kesalahan pemaknaan kita terhadapa agama? Ataukah ini hanyalah masalah biasa yang dibungkus dengan nama agama?

Namun ada hal yang unik. Ada orang – orang tertentu yang memiliki pemahaman mendalam tentang agama namun juga banyak melakukan penyimpangan dan perbuatan yang tidak sesuai ajaran agama dan bahkan  lebih parah dibandingkan orang yang tidak mengenal agama. Bukan hanya ia mengkafirkan, mencaci-maki, meremehkan bahkan juga mengabaikan penderitaan saudara seagamannya. Karena terlena akan kenikmatan ritual semata. Apakah agama hanya mengajarkan ibadah dan ritual saja?

Maukah engkau menjawab pertanyaan konyol dariku?

Sangat sedikit seorang agamawan yang tidak memiliki rasa toleran. Apakah ini dikarenakan agama memang tak memiliki nilai toleran? Ataukah toleransi agama ini dimangsa oleh mereka para agamawan yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan pribadi?

Saya adalah manusia tidak berilmu, namun ada hal yang saya pahami dari ketidaktahuanku bahwa agama bukanlah persoalan hubungan seseorang dengan Tuhannya semata. Jika agama hanya persoalan hubungan antara Tuhan dan hambanya, maka pantas agama itu dikatakan candu, yang membuat orang terlena akan kenikmatan ritual semata dan mengabaikan kehidupan sekitarnya. Itulah sekelumit pemaknaanku akan entitas agama.

Saudaraku, ingat bahwa hubungan vertikal dan horizontal mesti disejalankan. Sebagai proyeksi hubungan terhadap Tuhan maka akan berdampak pada hubungan kita terhadap sesama manusia. Apakah logis jika kita mendustakan kebaikan orang lain sebagai alasan kita tidak satu agama, namun dilain hal kita meyakini bahwa Tuhan kitalah yang memberikan kasih sayang, rezeki, kekuatan kepada seluruh manusia.

Jika segala kebaikan yang orang lain berikan kepada kita hanyalah sebuah kesia-siaan karena alasan akidah yang berbeda dengan kita, bukankah lebih sia-sia lagi Tuhan menciptakan manusia yang demikian sia-sianya?

Maukah engkau menjawab pertanyaan konyol dariku?

Untuk saudaraku seakidah denganku, aku memiliki pertanyaan konyol untuk kita. Jika mereka berbeda akidah dengan kita, apakah hanya karena perbedaan itu mereka tidak layak mendapatkan perlakuan dengan kasih sayang, tidak layak mendapatkan kepedulian, dan tidak layak mendapatkan penghargaan? Atau lebih tepatnya hanya pantas mendapatkan hardikan, hujatan, lirikan sinis, dan sindiran kasar? Bukankah hujatan, hardikan, sindiran kasar, dan kekerasan bukanlah ajaran dalam ideologi dan akidah kita.?

Untuk mereka yang tidak seakidah denganku. Wahai saudaraku, jika ideologi dan agamamu memberikan dogma dan perintah demikian halnya diatas. Apakah engkau akan membunuhku hanya karena kita berbeda Ideologi dan Agama? Apakah engkau rela memutuskan tali cinta, solidaritas, dan persudaraan kita yang pernah ada hanya karena perbedaan ini? Dogmatis agamamu yang membenci ideologiku takkan mampu membuatku benci padamu karena bagiku apapun agama dan ideologimu, engkau adalah saudaraku. Saudara dalam hal makhluk ciptaan Tuhan.

Izinkan aku mencintai dan menghargaimu meskipun engkau berbeda denganku, karena aku mencintaimu dan menghargaimu tidak lain karena rasa cintaku pada Tuhan yang juga menciptakanmu. Tuhan bahkan tak mustahil menciptakan kita sama dalam satu ideologi dan agama. Aku tidak sanggup membencimu karena aku bahkan tidak sanggup membenci Tuhanku. Maka dari itu marilah hidup berdampingan secara harmonis.

Semoga engkau mampu menghargai pertanyaan – pertanyaan konyol dariku. Salam perdamaian.

Agamaisme Versus Jombloisme

Agamaisme Versus Jombloisme

Photo by cloudvisual.co.uk on Unsplash

Wacana atau tesis tentang Persamaan Ateisme dan Jombloisme bermula dari sebuah diskusi tentang Pengaruh Agama dalam Kehidupan Manusia dalam sebuah mata kuliah Psikologi Agama.

Diawali oleh sebuah pertanyaan seorang teman saya: Apakah gejala psikis seorang jomblo berpengaruh terhadap penghayatan dan kebutuhannya terhadap agama? Pertanyaan ini sulit dijawab oleh teman kami yang bertindak sebagai pemateri pada diskusi itu dan bahkan mengaku bahwa ia tidak memahami maksud dari pertanyaan tersebut.

Tampak raut wajah pemateri seolah sengaja tidak ingin menjawab pertanyaan tersebut. Hal mendorong saya untuk berkomentar dengan menyodorkan sebuah pertanyaan awal yang seharusnya ia jawab: Apakah Anda jomblo? Pertanyaan saya tampaknya mengusik banyak jomblowers di kelas. Dan jawabannya adalah ya. Mereka sebagai pemateri mengaku jomblo.

Dari fakta itu, relevan dengan jawaban kemudian ia diberikan. Bahwa jomblo dalam hal ini kekosongan pasangan adalah sebuah ujian. Ia juga mengungkapkan bahwa dalam agama sebenarnya, pacaran tidak dikenal. Apalagi jika kita menilik lebih mendalam praktik pacaran jaman now. Tentu akan bertentang dengan asas agama yang sifatnya spiritualis-religius, jawab pemateri itu.

Untuk memahami argumen atau pernyataan, di atas juga perlu dilakukan pendekatan individu pengungkap penyataan. Dalam artian, ketika pemateri mengatakan demikian, tentu tidak jauh dari efek ke-jombloisme-an yang dianutnya selama ini.

Sehingga jawaban demikian masih bisalah didebatkan. Apalagi ketika saya mendengar bisikan-bisikan kritik dari peserta diskusi yang tergolong punya pacar. Mereka mencibir bahwa jombloisme sudah pasti berpengaruh terhadap kualitas kebutuhannya terhadap agama. Misalnya, seorang jomblo selalu lebih dekat dengan Tuhan yang dijadikannya sebagai pasangan. Sebab, bukankah dia jomblo? Dan jomblo suka atau lebih sering kesepian.

Selain itu, jombloisme yang lebih ekstrem, cipir para mahasiswa yang punya pacar itu, terkadang suka mencari-cari dalil-dalil tentang penyimpangan para kita-kita yang memiliki pacar. Meskipun tidak semua jomblo itu kesepian. Tidak semua jomblo selalu mencari dali kesesatan mereka yang pacaran.

Konklusi yang sifatnya menggeneralisasi di atas masih perlu diperdebatkan juga. Tetapi apakah salah jika kita menggunakan penarikan kesimpulan secara generalisasi sebagaimana yang diajarkan di kuliah-kuliah logika? Entah.

Setelah melalui perdebatan-perdebatan subjektif tentang pertanyaan di atas. Saya kemudian menyodorkan pernyataan lalu pertanyaan.

Saya menyatakan dengan sedikit tegas bahwa: frustasi dan rasa yang dialami manusia tidak dapat dijadikan sebagai faktor penyebab semakin meningkatnya kebutuhan terhadap agama. Sebab, sebagaimana yang dikemukan oleh pemateri bahwa para ahli psikologi menyatakan bahwa rasa frustasi dan rasa takut memiliki sumbangsih besar terhadap peningkatan kebutuhan manusia terhadap agama.

Saya menilai itu sebagai sebuah temuan yang lemah sebab sifatnya yang relatif. Sebab, di sisi lain rasa frustasi dan takut itu menyebabkan seorang yang beragama menjauhi agamanya. Biasanya, fakta ini terjadi sebagai bentuk pemberontakan akan frustasi dan rasa takut terhadap agama. Hal ini bisa ditemukan dalam kehidupan nyata maupun dalam kehidupan fiksi. Sebagaimana yang ditampakkan oleh Muhidin M Dahlan dalam novelnya Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur.

Dalam novel tersebut, tergambarlah Nidah Kirani sebagai seorang muslimah sholehah yang memperjuangkan tegakkan Daulah Islamiyah yang kemudian hari kecewa dengan gerakan Islamisme tersebut. Ia kecewa kepada gerakan ekstrem tersebut dan melarikan diri yang disebutnya sebagai pengkhianatan dan kembali pada kehidupan biasa.

Frustasi dan kekecewaan yang dialaminya mendorong Nidah Kirani untuk menuntut Tuhan sebagai pengatur kehidupan. Ia menuntut Tuhan, karena baginya, Tuhan membalas pengabdiannya dengan sebegitu abai. Akhirnya ia memberontak dengan cara memasuki wilayah tabu: tubuh dan setubuh.

Ia menyetubuhi lelaki siapa saja yang mendekatinya. Karena bosan disetubuhi secara gratis akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pelacur. “Setidaknya aku bisa memberi harga pada tubuhku sendiri,” ungkapnya. Semua yang dilakukannya tidak lain ingin menyalurkan kekesalannya terhadap Tuhan, terhadap lelaki melalui dunia tubuh dan tabu.

Dari contoh di atas, terlihat jelas bahwa rasa takut dan frustasi terhadap Tuhan yang dimiliki oleh Nidah Kirani, malah menuntunnya ke jalan yang lain: losmen lacuran. Dan bahkan, jika kita menarik pada realitas nyata, warna sebagian kecil muslim saat ini demikian. Agama atau rasa takutnya terhadap Tuhan dilontarkan kepada sesamanya dalam bentuk teror dan hal negatif lainnya.

Hal ini menghasilkan paradox keagamaan. Di sisi lain, agama sebagai penyelamat, pembawa kedamaian, namun di sisi yang lain, agama dijadikan dogma untuk saling mengakui diri sebagai yang selamat serta yang paling parah agama tidak lagi membawa kedamaian bahkan sebaliknya.

Pertanyaan saya kemudian adalah mengapa mesti beragama jika demikian? Dan selanjutnya saya menegaskan bahwa pertanyaan mengapa kita beragama? sesungguhnya identik dengan pertanyaan mengapa Anda jomblo?, dan jika Anda benar-benar jomblo maka jawablah pertanyaan itu!

Salah satu mahasiswa di kelas tersebut, Sahrul T, kemudian menjawab bahwa kita beragama karena agama adalah obat penawar. Obat bagi hidup yang kering kerontang. Obat bagi hidup yang hampa akan kebahagiaan. Agama menjadi sangat penting karena agamalah yang mampu memberikan jalan yang penuh arti terhadap kesejatian hidup dan kehidupan.

Dengan landasan argumen Sahrul di atas, dapatkah disamakan orang beragama dengan orang pacaran dalam perspektif psikologi?

Orang yang pacaran pada dasarnya dilatari oleh keinginan untuk menyalurkan sepi yang ada di dada sehingga rasa itu dapat bertransformasi menjadi sebuah obat kehidupan. Sehingga tidak sedikit alasan orang yang pacaran itu disebabkan oleh keinginan mewarnai kesehariannya dengan wanita atau lelaki yang dicintainya.

Pacaran kemudian menjadi obat dari keringnya hidup. Obat penawar dari sepi, sunyi, dan sendiri. Segalanya akan jadi berarti, meskipun ini hanyalah spekulasi.

Tetapi bagi Firdaus, juga mahasiswa di kelas itu, pacaran tidak boleh disamakan dengan beragama. Karena pacaran bagi Firdaus, tidaklah dikenal dalam Islam. Lebih lanjut lagi, ia mengatakan bahwa pacaran adalah proses pengenalan body, buka budi. Padahal dalam Islam, prosesi saling mengenal mestilah diprioritaskan pengenalan budi, bukan body.

Diskusi itulah yang menarik dalam kelas Psikologi Agama hari itu.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip kalimat penutup dari dosen mata kuliah kami bahwa “pacaran itu adalah game.” Lihatlah, bagaimana seorang pasangan menguji kesetiaan dan kepekaan melalui sebuah permainan. Anda juga bahkan bisa mengatakan “agama itu adalah game.” Lihatlah, bagaimana Tuhan menguji kesetiaan dan keimanan hamba-Nya dengan sebuah permainan. Maka bermainlah, karena bahkan, hidup ini adalah game!

Selamat Hari Natal, Bu!

Selamat Hari Natal, Bu!

Aku tahu bahwa kita berbeda keyakinan, tapi bagaimanapun engkau adalah guruku. Aku tahu bahwa engkau juga tahu kita berbeda keyakinan, tapi tak menghalangimu untuk memberikan kasih sayangmu kepadaku, kasih sayang sebagai seorang ibu pada anaknya.

Aku tahu, di luar tulisan ini, di media sosial, terdapat banyak bertebaran larangan bagiku untuk mengucapkan selamat atas natalan yang engkau rayakan. Dan dari sanalah pulalah aku memiliki alasan mengapa aku harus mengucapkan selamat natal padamu.

Guruku. Masih segar dalam ingatanku, dalam sebuah kegiatan perkemahan engkau pernah membangunkan kami (siswa beragama Islam) untuk melaksanakan salat subuh. Aku tidak tahu, apakah agamamu melarang atau menganjurkan hal tersebut. Tapi yang aku pahami bahwa di balik tindakanmu itu, sesarinya mengandung nilai religiusitas yang tinggi.

Jika berlandaskan pada nilai religiusitas itu, aku ingin mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kita. Kita hidup di bawah naungan atap yang sama, bahkan kita berlaku baik atas dasar firman yang sama, yakni firman Tuhan. Kita beribadah di ruang yang sama, ruang semesta. Semesta yang menjadi pemersatu bagi kita, semesta menjadi masjid/mushallah bagi kami, dan juga menjadi gereja bagimu.

Betapa aku mencintaimu, menghormatimu, dan menghargai keyakinanmu. Karena kutahu bahwa agamaku mengajarkan demikian padaku dan juga bahkan kupahami bahwa agamamu juga mengajarkan demikian.

Satu hal yang pasti tentangmu, adalah cinta dan kasihmu selalu tegas tergambar di tingkah dan wajahmu di mana pun aku mengadu tentang ketidaktahuanku di lingkungan sekolah. Cinta dan kasih itulah yang menyatukan kita.

Selamat Natal, Bu! Semoga dengan momen natalan ini, kita semua menjadi pembawa cinta kasih, damai dan berkasih bagi dunia. Selamat natal bagi umat nasrani, semoga kehidupan kita semua selalu dipenuhi dengan cinta dan damai.

Untuk guruku, Rini Tangke Datu.