Agamaisme Versus Jombloisme

Agamaisme Versus Jombloisme

Photo by cloudvisual.co.uk on Unsplash

Wacana atau tesis tentang Persamaan Ateisme dan Jombloisme bermula dari sebuah diskusi tentang Pengaruh Agama dalam Kehidupan Manusia dalam sebuah mata kuliah Psikologi Agama.

Diawali oleh sebuah pertanyaan seorang teman saya: Apakah gejala psikis seorang jomblo berpengaruh terhadap penghayatan dan kebutuhannya terhadap agama? Pertanyaan ini sulit dijawab oleh teman kami yang bertindak sebagai pemateri pada diskusi itu dan bahkan mengaku bahwa ia tidak memahami maksud dari pertanyaan tersebut.

Tampak raut wajah pemateri seolah sengaja tidak ingin menjawab pertanyaan tersebut. Hal mendorong saya untuk berkomentar dengan menyodorkan sebuah pertanyaan awal yang seharusnya ia jawab: Apakah Anda jomblo? Pertanyaan saya tampaknya mengusik banyak jomblowers di kelas. Dan jawabannya adalah ya. Mereka sebagai pemateri mengaku jomblo.

Dari fakta itu, relevan dengan jawaban kemudian ia diberikan. Bahwa jomblo dalam hal ini kekosongan pasangan adalah sebuah ujian. Ia juga mengungkapkan bahwa dalam agama sebenarnya, pacaran tidak dikenal. Apalagi jika kita menilik lebih mendalam praktik pacaran jaman now. Tentu akan bertentang dengan asas agama yang sifatnya spiritualis-religius, jawab pemateri itu.

Untuk memahami argumen atau pernyataan, di atas juga perlu dilakukan pendekatan individu pengungkap penyataan. Dalam artian, ketika pemateri mengatakan demikian, tentu tidak jauh dari efek ke-jombloisme-an yang dianutnya selama ini.

Sehingga jawaban demikian masih bisalah didebatkan. Apalagi ketika saya mendengar bisikan-bisikan kritik dari peserta diskusi yang tergolong punya pacar. Mereka mencibir bahwa jombloisme sudah pasti berpengaruh terhadap kualitas kebutuhannya terhadap agama. Misalnya, seorang jomblo selalu lebih dekat dengan Tuhan yang dijadikannya sebagai pasangan. Sebab, bukankah dia jomblo? Dan jomblo suka atau lebih sering kesepian.

Selain itu, jombloisme yang lebih ekstrem, cipir para mahasiswa yang punya pacar itu, terkadang suka mencari-cari dalil-dalil tentang penyimpangan para kita-kita yang memiliki pacar. Meskipun tidak semua jomblo itu kesepian. Tidak semua jomblo selalu mencari dali kesesatan mereka yang pacaran.

Konklusi yang sifatnya menggeneralisasi di atas masih perlu diperdebatkan juga. Tetapi apakah salah jika kita menggunakan penarikan kesimpulan secara generalisasi sebagaimana yang diajarkan di kuliah-kuliah logika? Entah.

Setelah melalui perdebatan-perdebatan subjektif tentang pertanyaan di atas. Saya kemudian menyodorkan pernyataan lalu pertanyaan.

Saya menyatakan dengan sedikit tegas bahwa: frustasi dan rasa yang dialami manusia tidak dapat dijadikan sebagai faktor penyebab semakin meningkatnya kebutuhan terhadap agama. Sebab, sebagaimana yang dikemukan oleh pemateri bahwa para ahli psikologi menyatakan bahwa rasa frustasi dan rasa takut memiliki sumbangsih besar terhadap peningkatan kebutuhan manusia terhadap agama.

Saya menilai itu sebagai sebuah temuan yang lemah sebab sifatnya yang relatif. Sebab, di sisi lain rasa frustasi dan takut itu menyebabkan seorang yang beragama menjauhi agamanya. Biasanya, fakta ini terjadi sebagai bentuk pemberontakan akan frustasi dan rasa takut terhadap agama. Hal ini bisa ditemukan dalam kehidupan nyata maupun dalam kehidupan fiksi. Sebagaimana yang ditampakkan oleh Muhidin M Dahlan dalam novelnya Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur.

Dalam novel tersebut, tergambarlah Nidah Kirani sebagai seorang muslimah sholehah yang memperjuangkan tegakkan Daulah Islamiyah yang kemudian hari kecewa dengan gerakan Islamisme tersebut. Ia kecewa kepada gerakan ekstrem tersebut dan melarikan diri yang disebutnya sebagai pengkhianatan dan kembali pada kehidupan biasa.

Frustasi dan kekecewaan yang dialaminya mendorong Nidah Kirani untuk menuntut Tuhan sebagai pengatur kehidupan. Ia menuntut Tuhan, karena baginya, Tuhan membalas pengabdiannya dengan sebegitu abai. Akhirnya ia memberontak dengan cara memasuki wilayah tabu: tubuh dan setubuh.

Ia menyetubuhi lelaki siapa saja yang mendekatinya. Karena bosan disetubuhi secara gratis akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pelacur. “Setidaknya aku bisa memberi harga pada tubuhku sendiri,” ungkapnya. Semua yang dilakukannya tidak lain ingin menyalurkan kekesalannya terhadap Tuhan, terhadap lelaki melalui dunia tubuh dan tabu.

Dari contoh di atas, terlihat jelas bahwa rasa takut dan frustasi terhadap Tuhan yang dimiliki oleh Nidah Kirani, malah menuntunnya ke jalan yang lain: losmen lacuran. Dan bahkan, jika kita menarik pada realitas nyata, warna sebagian kecil muslim saat ini demikian. Agama atau rasa takutnya terhadap Tuhan dilontarkan kepada sesamanya dalam bentuk teror dan hal negatif lainnya.

Hal ini menghasilkan paradox keagamaan. Di sisi lain, agama sebagai penyelamat, pembawa kedamaian, namun di sisi yang lain, agama dijadikan dogma untuk saling mengakui diri sebagai yang selamat serta yang paling parah agama tidak lagi membawa kedamaian bahkan sebaliknya.

Pertanyaan saya kemudian adalah mengapa mesti beragama jika demikian? Dan selanjutnya saya menegaskan bahwa pertanyaan mengapa kita beragama? sesungguhnya identik dengan pertanyaan mengapa Anda jomblo?, dan jika Anda benar-benar jomblo maka jawablah pertanyaan itu!

Salah satu mahasiswa di kelas tersebut, Sahrul T, kemudian menjawab bahwa kita beragama karena agama adalah obat penawar. Obat bagi hidup yang kering kerontang. Obat bagi hidup yang hampa akan kebahagiaan. Agama menjadi sangat penting karena agamalah yang mampu memberikan jalan yang penuh arti terhadap kesejatian hidup dan kehidupan.

Dengan landasan argumen Sahrul di atas, dapatkah disamakan orang beragama dengan orang pacaran dalam perspektif psikologi?

Orang yang pacaran pada dasarnya dilatari oleh keinginan untuk menyalurkan sepi yang ada di dada sehingga rasa itu dapat bertransformasi menjadi sebuah obat kehidupan. Sehingga tidak sedikit alasan orang yang pacaran itu disebabkan oleh keinginan mewarnai kesehariannya dengan wanita atau lelaki yang dicintainya.

Pacaran kemudian menjadi obat dari keringnya hidup. Obat penawar dari sepi, sunyi, dan sendiri. Segalanya akan jadi berarti, meskipun ini hanyalah spekulasi.

Tetapi bagi Firdaus, juga mahasiswa di kelas itu, pacaran tidak boleh disamakan dengan beragama. Karena pacaran bagi Firdaus, tidaklah dikenal dalam Islam. Lebih lanjut lagi, ia mengatakan bahwa pacaran adalah proses pengenalan body, buka budi. Padahal dalam Islam, prosesi saling mengenal mestilah diprioritaskan pengenalan budi, bukan body.

Diskusi itulah yang menarik dalam kelas Psikologi Agama hari itu.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip kalimat penutup dari dosen mata kuliah kami bahwa “pacaran itu adalah game.” Lihatlah, bagaimana seorang pasangan menguji kesetiaan dan kepekaan melalui sebuah permainan. Anda juga bahkan bisa mengatakan “agama itu adalah game.” Lihatlah, bagaimana Tuhan menguji kesetiaan dan keimanan hamba-Nya dengan sebuah permainan. Maka bermainlah, karena bahkan, hidup ini adalah game!

Load comments