Bagaimana Kita Menghibur Diri Sendiri?
Cerpen Filsafat Gumam Opini Philosophy Refleksi Diri SajakIni cerita tentang si Kamu, nama lengkapnya, Kamu Sendiri bin Seorang. Bersama kekasihnya bernama Dia, nama lengkapnya, Dia Saja Sudah Cukup. Nama mereka keren-keren, bukan? Begini ceritanya:
Beberapa hari belakangan, Kamu menunggu seseorang datang menemui Kamu, atau menghubungi Kamu. Setiap satu jam, Kamu membuka email, aplikasi pesan, atau riwayat panggilan di ponsel Kamu, Kamu berharap ada pesan atau telepon yang masuk atas nama Dia. Tapi sia-sia.
Kamu mulai membayangkan banyak hal tentang Dia, misalnya, Dia mungkin sedang melakukan hal lain, sedang menyibukkan diri bersama temannya, atau sedang menyelesaikan segala urusan kuliahnya, atau sedang menghabiskan waktu dengan menonton film kesukaannya, atau memilih menghibur diri dengan menggambar sebagai hobinya, semua itu adalah usaha Dia melupakan seseorang yang namanya sama dengan nama Kamu (Tetapi hanya nama depannya saja yang sama: Kamu Berdua bin Mereka.)
Tapi si Kamu masih tetap menunggu Dia. Kamu tidak peduli pada kenyataan bahwa Dia mungkin tidak akan menemui Kamu atau mengabari Kamu lagi. Kamu sadar bahwa hal yang paling menyebalkan yang sedang Kamu lakukan saat ini adalah menunggu seseorang yang sama sekali tidak tahu bahwa “ada Kamu yang sedang menunggunya dengan setengah mati”, sedangkan Kamu sendiri tidak punya keberanian menemui atau menghubunginya secara langsung agar Dia tahu bahwa Kamu menunggunya, bahwa Kamu membutuhkannya.
Kamu akhirnya tahu, setahu-tahunya, bahwa betapa menyakitkannya menunggu Dia.
Setelah sekian lama memilih menunggu, Kamu akhirnya sadar bahwa tidak ada hal lain yang bisa Kamu lakukan selain melakukan hal yang sebaliknya: menghubungi Dia secara langsung atau menemui Dia. Tapi setelah Kamu hendak melakukannya, Kamu kembali memikirkannya, dan akhirnya menemukan kesadaran lain bahwa menghubungi orang-orang yang sebetulnya tidak ingin dihubungi hanya pekerjaan sia-sia. Pada saat itulah, Kamu memilih untuk tidak menghubungi Dia lagi. Tapi setelah memikirkanya sekali lagi, Kamu tahu bahwa hal itu tidak akan mengubah keadaan, lalu Kamu memilih mengirim pesan pendek seperti ini ke Dia:
“Aku bosan menunggumu, aku minta dua hal: Pertama, selesaikanlah segala urusan yang ingin kau selesaikan. Kedua, tidak usah lagi menghubungiku selama 45 hari ke depan. Thank you!”
Kamu mengirim pesan itu.
Sebetulnya, lewat pesan itu, Kamu hanya ingin menyampaikan sindiran ke Dia bahwa “aku sedang menunggumu, aku sedang membutuhkanmu di sini, hubungi aku!” Tapi sayangnya, si Dia tidak menghubungi kamu, bahkan tidak membalas pesan singkat Kamu. Kamu jadi tak karuan. Kamu membayangkan segala hal dan segala sesuatunya. Berusaha memikirkannya kembali. Membaca pesan singkat itu berulang kali dan berulang kali. Kamu jadi merasa bersalah.
Kamu akhirnya sangat merasa bersalah. Kamu menyesal mengirim pesan pendek itu. Kamu mengirim pesan yang lain, dengan harapan bisa menutupi rasa bersalah yang Kamu sendiri ciptakan:
“Aku minta maaf.”
“I’m so sorry!”
Setelah mengirim pesan singkat itu, Kamu merasa sedikit lebih mendingan, tapi sebetulnya Kamu tidak pernah baik-baik saja. Kamu duduk dan berpikir: aku mungkin sudah gila.
Sehari kemudian, si Dia yang Kamu tunggu mengabari Kamu atau menemui Kamu akhirnya mengirimi si Kamu pesan pendek lewat WhatsApp:
“Assalamualaikum.“
Si Kamu membacanya. Diam. Memikirkan Dia sekali lagi. Dua jam setelahnya, Kamu memilih menghapus pesan singkat itu tanpa keinginan membalasnya. Kamu diam sejenak, berusaha dengan keras menemukan jawaban dari pertanyaan: bagaimana seharusnya kita menghibur diri sendiri? Lalu Kamu sadar bahwa Kamu gagal.
Kamu telah tersesat di antara keinginan dan ketakinginan.