Melambat adalah Melawan

Melambat adalah Melawan

Di Jogja, aku betah ke mana-mana dengan sepeda. Aku bahkan nyaris (sialan) selalu bisa menolak tawaran jemputan dari teman-teman baikku ketika kami hendak mengunjungi tempat-tempat tertentu (meskipun tentu saja ada alasan lain—aku pernah menulis tentang ini di blog). Tapi, yang ingin aku utarakan adalah aku tidak bisa membayangkan melakukan kebiasaan yang sama, bersepeda ke mana-mana, jika aku sedang di Makassar (kebiasan ini patut dicoba di Makassar). Kalau aku pikir-pikir lagi, barangkali, salah satu alasan mengapa aku menikmati kebiasaan ini adalah karena saat bersepeda, aku merasa lebih bisa menikmati waktuku, aku bisa lebih lamban. Dan karena itulah, aku merasa bahwa bersepeda adalah cara lain untuk melawan, melawan “raksasa besar tak kasat” yang memaksa kita untuk terus-menerus terburu-buru. Bersepeda, pada akhirnya, adalah belajar pelan, belajar melambat. Dan melambat berarti melawan!


—setelah markir di Parkiran Sepeda Asrama, 13 September 2022.

Pertambangan Berkelanjutan dan Masalahnya

Pertambangan Berkelanjutan dan Masalahnya

Percepatan digitalisasi, industrialisasi, serta maraknya proyek seperti "kendaraan listrik" akan memperbanyak produksi pertambangan, logam dan sebagainya. Mengutip argumentasi-argumentasi Aurore Stephant, manager proyek SystExt, sebuah lembaga yang menyatukan para professional yang bekerja di bidang sistem ekstraktif seperti pertambangan , bahwa di abad ini, narasi tentang pertambangan dikemas sedemikian rupa seperti "pertambangan berkelanjutan", "praktik baik pertambangan", atau "teknik [ekstraktif] revolusioner", dan lain sebagainya, seolah-olah pertambangan sekarang adalah praktik yang paling baik daripada yang pernah ada, padahal kenyataannya, jika kita meninjau kembali secara cermat, kita akan menemukan bahwa praktik-praktik pertambangan terbaru lebih destruktif dan kurang terkontrol daripada praktik-praktik pertambangan sebelumnya.

Selamat Natal, Teman

Selamat Natal, Teman

Selamat Natal, Teman

Photo by Angelina Jollivet on Unsplash

Ingatan saya masih kuat, dan saya bisa memastikan kalau saya masih ingat. Pertama kali saya mengucapkan "selamat natal" kepada orang non-Muslim adalah ketika saya masih belajar di bangku sekolah. Saya punya guru di sekolah non-Muslim, tepatnya Kristen, tapi saya tidak sempat mengetahui lebih lanjut apakah guru saya itu Katolik atau Protestan. Yang saya ingat, dia Kristen. Dia pernah ditugaskan sebagai wali kelas kami, saya dan teman-teman saya, di kelas XI. Sekarang, guru saya itu telah pindah sekolah, tapi saya masih menyimpan kontak dan, tentu saja, masih sering mengabarinya jika ada sesuatu yang penting dan/atau tiba hari natal baru. Saya ucapkan lagi, "selamat natal" ke dia.

Nama guru saya itu, Rini Tangke Datu. Jika saya tidak saya mengingat ceritanya, dia pernah menceritakan tentang orang tuanya ke kami, bahwa orang tua dia berasal dari Toraja, Sulawesi Selatan, tempat yang penduduknya mayoritas beragama Kristen, tapi sekarang dia dan keluarganya menetap di Kolaka, Sulawesi Tenggara, tempat yang penduduknya mayoritas Muslim.

Mengapa saya mengungkit guru saya ini, karena dia adalah orang pertama yang membuat saya mengucapkan "selamat natal", dan tentu saja, saya senang. Orang pertama  non-Muslim yang menjadi teman, keluarga, atau orang dekat dengan saya. 

Ada satu kejadian yang unik yang selalu saya datang di kepala saya saat mengingat nama guru saya ini. Yaitu, pernah suatu hari, kami, saya dan teman-temanku ikutan kegiatan perkemahan yang diadakan oleh salah satu organisasi di sekolah kami. Kebetulan, guru saya ini yang menjadi pendamping/pembina kami waktu itu. Dalam sepekan, selama perkemahan itu, guru saya ini selalu membangunkan saya salat subuh, seperti layaknya ibu saya ketika saya sedang di rumah, saya dibangunkan salah subuh.

Karena kebaikan dan keramahan guru saya ini, saya jadi sadar, betapa perbedaan keimanan bukan persoalan yang benar-benar besar. Kita bisa melampauinya ketika kita telah selesai dengan diri kita masing-masing. Kita tidak lagi insecure sehingga bisa menerima diri sendiri dan orang lain tanpa memandang keimanan mereka sebagai sesuatu yang mengancam kita. Sejak saat itu, saya punya kesan baik terhadap orang-orang non-Muslim sebaik kesan saya terhadap guru saya, hingga hari ini.

Sekarang, di Program Pascasarjana UGM, saya sekelas dengan empat orang non-Muslim, keempatnya Protestan. Masing-masing nama mereka adalah, Selvone Christin Pattiserlihun, Karen Erina Puimera, Elly Diah Praptanti, dan Vikry Reinaldo Paais. Mereka adalah kawan ngobrol yang menyenangkan. Mereka ramah dan hangat. Saya senang bisa bertemu, berkenalan, dan sekelas dengan mereka. Di tempat yang sama, kami, saya dan teman-teman saya juga diajar oleh beberapa dosen luar negeri yang beragama non-Muslim, seperti Konghucu, Protestan, dan Buddha.

Singkatnya, saya hanya ingin mengatakan, sekali lagi, "selamat merayakan natal" kepada teman-teman saya, guru-guru saya, dan kepada semua orang-orang di sekitar saya yang merayakannya. Selamat natal, semoga kita semua selalu berada dalam kedamaian dan kebahagiaan. Terima kasih kepada teman-teman Muslim saya yang membaca tulisan ini dan mengerti bahwa mengucapkan selamat natal bukanlah persoalan yang menggugurkan keimanan.
Harap-Harap Cemas

Harap-Harap Cemas

Harap-Harap Cemas

Photo by Radu Florin on Unsplash

aku duduk sepanjang malam 
di kedai itu, kekasih.
menunggu langkahmu tiba 
di tujuan yang tidak ingin 
                        kau tuju.

di luar basah. hujan telah,
jam 12 malam, jam di dinding
dadaku dan harap-harap cemas
terjadi seperti bencana

kutulis sajak ini
sambil berharap
            tak ada
kecewa, di antara penantian
aku dan kau dan tiada

aku duduk sepanjang malam
di kedai itu, kekasih
menempuh yang tak tertempuh
jalan tanpa arah, persimpangan
dan kau tidak pernah datang

Jogja, 08 Desember 2021. 
Mengakrabkan Diri

Mengakrabkan Diri

 Mengakrabkan Diri

Photo by Pawel Czerwinski on Unsplash

Satu hal yang membuat saya tidak waras, kadang-kadang, adalah ketika saya merasa tidak punya teman. Menyadarinya saja, bisa membuat saya tidak karuan. Lagipula, apa yang bisa membuat kita bertahan di tengah kehidupan yang serba ribut ini selain punya teman? Itu yang ada di pikiran saya sekarang. Seharusnya, bukan itu. Seharusnya, saya sadar bahwa hanya diri saya sendirilah yang sebaiknya saya ajak berteman. Mengapa takut dengan itu?

Sayangnya, setiap hari, orang-orang di sekeliling kita memaksa kita menjadi orang lain. Memaksa kita untuk berteman dan bercakap-cakap dengan seseorang selain diri kita sendiri, jadinya, kita sibuk membangun keakraban, dengan perjumpaan-percakapan, tetapi begitu perjumpaan-percakapan itu tidak mungkin lagi bisa kita lakukan, keakraban berbalik membunuh kita. Kita mati, jikapun tidak sampai segitunya, kita setengah mati. Sepotong hidup, sepotong mati, dikoyak-koyak keakraban yang hilang.

Seberapa akrab kita pada diri sendiri?
Mengamati Kematian Melambai

Mengamati Kematian Melambai

Mengamati Kematian Melambai

Photo by Raimond Klavins on Unsplash

di kapal itu
kehidupan tak segitu, bermuka
memandangi kita. 
kau tak mengenalinya
aku tak melihatnya

di kapal itu
tak ada yang... segitu.
tak ada yang melihat kita
kita tak melihat kapal
        tak melihat kematian
        kehidupan juga.

kita hanya dan begitu
        membiarkan semuanya
        dan seolah, ada.
dari arah jauh, kapal itu
dan kita, mengamati kematian melambai
                perlahan. datang.

Jogja, 08 November 2021.
Biru dan Putih

Biru dan Putih

Biru dan Putih

Photo by Uri Paz on Unsplash

waktu ia menerima kabar
    pernikahan kekasihnya,
    seluruh tubuhnya luruh,
    hilang. sebagian tiada.

"berbahagialah," bisik dia.

biar waktu, senyap
    sejenak. mengabur-nguburkan semua
    yang pernah. hujan pasti akan
    reda, dan berhenti, selama apapun ia jatuh.

"jangan bersedih," bisiknya lagi.

apa yang datang
    sebagai biru, tak selalu jadi putih
    seorang merampas biru.
    putih tetap di sini.

waktu ia menerima kabar
    pernikahan kekasihnya
    seluruh tubuhnya luruh,
    hilang. sebagian telah tiada.

putih tidak hilang, dan biru
            mungkin tidak pernah datang,
            ia tak pernah di sini. sama sekali.

Jogja, 08 Oktober 2021.
Untuk Adik Perempuanku

Untuk Adik Perempuanku

Untuk Adik Perempuanku

Photo by Rene Bernal on Unsplash

September lalu, beberapa hari sebelum saya berangkat ke Jogja, saya menyempatkan waktu untuk duduk-berkumpul dengan adik-adik perempuan saya—adik kandung, adik sepupu, dan adik-adik perempuan sekampung saya yang kebetulan tinggal di rumah yang sama dengan saya, di jalan Toddopuli, Makassar. Mereka semua mahasiswa baru di beberapa kampus di Makassar. 

Saya ingat, saya berpesan kepada mereka: “Jika kalian masuk kampus, jaga diri kalian baik-baik, di kampus, ada banyak predator seksual, predator itu bisa jadi adalah dosenmu yang kelihatan mengagumkan, temanmu yang memberi kesan melindungi, membantu, dan sebagainya. Predator itu bisa jadi adalah laki-laki siapapun di sekitarmu. Intinya, hati-hatilah! Jaga batas pertemanan, jaga sikap saat berinteraksi dengan laki-laki. Dan yang terpenting, jika kamu mengalami pelecehan, jangan takut untuk melaporkan, minta bantuan ke saya, atau ke orang terdekat.” 

Saya menyadari bahwa peringatan semacam itu benar-benar harus saya sampaikan, karena saya tahu mereka masih remaja, mereka baru akan masuk kampus, dan saya curiga, mereka belum mengerti soal kekerasan seksual yang dialami oleh orang-orang di sekitar mereka. Saya benar-benar sadar bahwa saya tidak ingin adik-adik perempuan saya mengalami apa yang dialami oleh dua teman dekat saya: 

(1) Teman perempuan saya bercerita ke saya bahwa dia mengalami pelecehan seksual di bus saat dia sedang dalam perjalanan pulang kampung. Dia menceritakan pengalaman buruk itu ke saya sambil menangis, “Pian, tidak bisaka apa-apa waktu itu, dan…” suaranya kemudian hilang, berubah jadi tangisan, semakin lama makin parah. Bagi saya, tidak ada bencana yang lebih buruk daripada melihat seorang perempuan menangis di depan saya.

(2) Teman perempuan saya yang lain, bercerita soal aksi dosen pembimbingnya, yang meminta dia untuk membantunya menyelesaikan pekerjaan kantor hingga memanggilnya beberapa kali ke hotel. Dia mengaku ke saya bahwa dia selalu berhasil menolak dosen itu. Dia mengajukan pertanyaan ke saya saat menceritakan gelagat dosennya: “Apa yang sebenarnya dosenku inginkan dari saya, Pian?” Dari detail ceritanya, saya bisa mencium niatan buruk.

Dari dua pengalaman teman dekat saya, saya turut memahami, betapa jahatnya predator-predator itu, dan tentu saja, saya tidak ingin hal semacam itu dialami oleh adik-adik perempuan saya, saya tidak ingin itu dialami oleh orang terdekat saya. Saya tidak ingin itu dialami oleh siapapun! Dan untuk sementara, satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah melindungi mereka dengan cara yang bisa saya lakukan, salah satunya: mengingatkan mereka bahwa di sekeliling kita ada banyak predator yang sedang cari mangsa.

Terakhir, siapapun yang ada di sekitar kita sekarang, di sini, saat ini, adalah yang terbaik, perlakukan mereka dengan cara terbaik.
Kisah dan Cara Saya Beragama

Kisah dan Cara Saya Beragama

Kisah dan Cara Saya Beragama

Andi Alfian
Photo by chris liu on Unsplash

Satu dari banyak hal yang membuat saya senang ketika Ramadan tiba, adalah, Ramadan dengan program ceramah yang berlimpah membuat saya bisa menyimak kembali banyak ragam kisah yang saya nikmati sewaktu kanak-kanak dulu, seperti, kisah tentang surga-neraka; kisah ajaib para nabi dan malaikat; kisah pemilik sepotong roti yang menyesal karena tidak menyerahkan semuanya; kisah api sebesar kurma yang mampu membakar semua benda di tujuh lapis langit dan bumi; dan kisah lainnya.