masa depan pelukan kita seperti barang tertinggal di perpustakaan. kita sampai lengah mencarinya kemana-mana. padahal. daun kering tidaklah pernah kembali menjadi pucuk, sayang.
aku ingin mencintaimu dengan sederhana. tanpa filsafat. tanpa matematika. tanpa rumus fisika. tanpa teori apa saja yang membuat siswa berhenti sekolah.
2/
aku ingin mencintaimu dengan sederhana. tanpa kata-kata. tanpa bahasa. tanpa apa saja yang kita sebut sebagai cara menyampaikan keluh dan kesah. tanpa apa saja!
3/
aku ingin mencintaimu dengan sederhana, kekasih. tapi nyatanya kau terlampau rumit. lebih rumit dari filsafat. lebih rumit dari rumus matematika, fisika atau rumus kehidupan apa saja yang membuat orang-orang bumi lupa di mana kaki mereka berpijak.
“kepada siapa, kekasih? — tunggu, aku ingin menebaknya. apa kau akan mengatakan ‘aku sedang rindu namun tidak sedang mengetahui kepada siapa rindu akan dilabuhkan?’ Kau biasa menjawab pertanyaan itu dengan jawaban semacam itu, bukan ?! ”
“aku akan memberi jawaban yang lebih buruk atau (malah) lebih baik bagimu. aku sedang rindu kau, ”akuanku.
dan kau nyaris membunuhku dengan sebaris pisau: “i miss you even more.”
hari senin selalu menjadi hari yang menyebalkan untuk melanjutkan hidup
seperti kekalutan kisah cinta yang kita rajut
semakin dekat, erat memuai pucat
sepucat tembok putih luruh, karena terlampau tua tuk sekedar menghitung usia dan menyembuhkan kantuk
2/
satu, atau dua — atau lupa berapa jumlah kancing baju yang terjatuh
kau menariknya dengan tergesa-gesa
awalnya kau bilang, kita akan bercinta setelah aku membacakan tiga dongeng terjemahan kesukaanmu: aku adalah penerjemah dari cerita yang tidak pernah ada sebelumnya
tapi kau keburu renta, menjadi rentan — tak tahan
3/
aku tetap menunda
sampai dongeng yang kubaca telah usai dan kau resah
kau mengerti dan ingin menjadi Alamanda, tapi aku tidak ingin memahami apa-apa
ternyata lelaki tidak seperti wanita — tetap perawan kapan saja.
4/
setelahnya, kau tetiba marah dan benci
—dongeng kubacakan adalah tentang kau yang tidak lagi!
Katanya, filsafat itu seperti kue pemberian yang tidak punya nama, tetapi punya rasa yang nikmat. Meskipun, klaim ‘nikmat’ tidak tepat untuk sebuah rasa kue yang bahkan baru pertama kali kita kunyah. Yang lain mengatakan, filsafat itu seperti cahaya di layar komputer yang memerah tercampur putih, dihiasi biru dan kuning, dibungkus oleh hitam yang sedikit kecoklatan, sehingga tampak seperti warna ungu yang lebih hijau. Abstrak. Filsafat itu abstrak nan jauh, kata mereka.
Tetapi sebenarnya, filsafat itu konkret dan amat dekat. Terbukti, filsafat selalu membahas apa saja yang ada di sekitar kita. Jika Anda lapar, filsafat mengajak Anda mencari makan. Bukan hanya sampai di situ, filsafat akan mengajari Anda cara makan dan bahkan memaksa Anda bertanya: ‘siapa yang membuat perut kita kenyang?’. Jika dari analogi itu Anda masih tidak paham bahwa filsafat itu dekat maka saya menyarankan kepada Anda untuk mencoba memandang mata kanan Anda dengan menggunakan mata kiri. Setelah itu, Anda akan percaya bahwa filsafat amat dekat sehingga ia amat rumit untuk di dekati. Anda harus menjadi buta, agar bisa lebih mudah paham pada filsafat yang mengajari kita cara memandang.
Malam ini saya kue, dan filsafat, kata mereka, seperti kue. Kue tanda tanya.
Besok pagi saya ingin membuka pintu, dan filsafat, kata mereka, seperti pintu. Pintu menuju pintu yang lain — sampai rindu.
Ternyata, filsafat itu seperti tanda tanya di belakang pintu. Sehingga, saya tetiba ingat kapan pertama kali berfilsafat. Ketika pagi itu — saya lupa umur berapa, yang pasti saya sedang menanti kepulangan ibu dari pasar. Dan tepat di belakang pintu, saya telungkup dengan tanda tanya: ‘apakah ibu akan membelikan saya kue?’, dan ternyata, ibu membawa kantong dengan isi apang — kue khas Bugis. Entah dengan alasan apa, Tuhan menciptakan saya sebagai manusia pecinta kue apang. Karena kenyataan yang membahagiakan pagi itu, esoknya — di sekolah, saya menuliskan satu puisi untuk ibu:
‘apang — kue pengharapan
mengapa kita bercita-cita untuk masa depan?
padahal capain selalu saja di belakang.
mengapa kita kadang merasa ketakutan?
padahal tuhan jauh lebih besar dari kue apang.
Bait di atas adalah bait terakhir. Saya menulis puisi itu sebanyak sepuluh bait. Karena saya pikir, ibu saya membelikan saya sepuluh kue apang maka saya setidaknya harus membalasnya dengan sepuluh bait puisi pula. Meskipun dari bait pertama hingga baik kesepuluh memakai kata dan kalimat yang sama. Tidak ada yang beda. Dari pengalaman itu, saya paham bahwa hidup tidak semudah menyalin satu bait puisi, dan menjadikannya sepuluh bait. Sungguh, tidak semudah itu.
Filsafat juga mengajari saya tentang itu. Suatu hari di masa tua, saya akan membelikan lebih banyak kue untuk cucu-cucu saya yang aneh. Dan setelahnya, mereka akan menjadi ayah atau ibu yang akan mengajari anaknya cara membuat kue. Lalu cucu mereka akan paham, bahwa kue amat nikmat jika bagikan kepada tetangga — atau kepada siapa saja. Dan tiba pada suatu masa, siapa saja bisa diajak bertukar sepotong kue. Sepotong kue filsafat.