Barang Tertinggal

Barang Tertinggal

https://pixabay.com/id/

:sebuah pen(in)ggalan.


masa depan pelukan kita seperti barang tertinggal di perpustakaan. kita sampai lengah mencarinya kemana-mana. padahal. daun kering tidaklah pernah kembali menjadi pucuk, sayang.


Jaynet, 21 Maret 2019.

Aku Hantu Biru

Aku Hantu Biru

https://pixabay.com/en

:sebuah puisi.


aku ingin memecahkan kepalaku di kening seseorang. saling retak.

setelahnya, aku ingin membunuh wanita bernama kau.

aku ingin sekali. mandi dengan bintik-bintik merah di tangan.

sekali ini saja. izinkan aku!

setelah kematianmu, akan kuhidupkan kembali kau dengan caraku sendiri.

—sebab senyummu adalah sebaik-baik peti kematian yang setia menanti kita di depan pintu.

kau lihat itu? darahmu biru laut. warna yang kau suka. kita suka.

kau dan aku menyukainya bukan?

ya! aku hantu, sayang.


Makassar, 2019.

Mencintaimu Dengan Sederhana

Mencintaimu Dengan Sederhana

Sumber gambar: @Engin_Akyurt (Pixabay).

Mencintaimu Dengan Sederhana

:sebuah puisi.

1/

aku ingin mencintaimu dengan sederhana. tanpa filsafat. tanpa matematika. tanpa rumus fisika. tanpa teori apa saja yang membuat siswa berhenti sekolah.

2/

aku ingin mencintaimu dengan sederhana. tanpa kata-kata. tanpa bahasa. tanpa apa saja yang kita sebut sebagai cara menyampaikan keluh dan kesah. tanpa apa saja!

3/

aku ingin mencintaimu dengan sederhana, kekasih. tapi nyatanya kau terlampau rumit. lebih rumit dari filsafat. lebih rumit dari rumus matematika, fisika atau rumus kehidupan apa saja yang membuat orang-orang bumi lupa di mana kaki mereka berpijak.

kau lebih rumit, sayang.

titik.


JayNet, 24 Januari 2019.

I Miss You Even More

I Miss You Even More

Dari sebuah profil WA.

: sebuah puisi.

“kekasih, apa yang membuatmu tidak karuan?”

“aku sedang terjerembab rindu,” kataku.

“kepada siapa, kekasih? — tunggu, aku ingin menebaknya. apa kau akan mengatakan ‘aku sedang rindu namun tidak sedang mengetahui kepada siapa rindu akan dilabuhkan?’ Kau biasa menjawab pertanyaan itu dengan jawaban semacam itu, bukan ?! ”

“aku akan memberi jawaban yang lebih buruk atau (malah) lebih baik bagimu. aku sedang rindu kau, ”akuanku.

dan kau nyaris membunuhku dengan sebaris pisau: “i miss you even more.”

dan kata terakhir: nite.

i love you.


Makassar, 16 Desember 2018.

Melerai Bentrok

Melerai Bentrok

Foto milik pribadi.

:sebuah puisi.

1/

para filsuf adalah mereka yang hobi memikirkan orang lain sedang bentrok di kepala mereka.

melukis kaca jendela pecah di benak — dan kacamata selalu berfungsi menciptakan lebih banyak orang buta.

dan kepala sumbat saling raba. batu-batu jadi jari tangan yang punya kemampuan terbang seperti pesawat tanpa bahan bakar.

polisi — polusi tercipta.

2/

filsuf kemudian kena penyakit. ia sakit mata.

juga tenggorokan yang tersumbat oleh teriakan para pembela gedung fakultas — tidak ada perpustakaan. di kepala.

sebagian yang lain berlarian ke masjid melalui lubang hidung.

mereka berebut siapa yang lebih awal meminum obat flu.

3/

lalu, filsuf kesulitan menjadi dokter bagi matanya sendiri atau bagi tenggorokan orang lain.

ia membuka halaman-halaman buku tapi tiba di halaman kampus yang rumit.

— tempat kebenaran di lempar-lempari seperti nabi Ibrahim melempari kepalanya sendiri. setan.

kita butuh orang botak, dan filsuf adalah gondrong yang rela memotong habis rambutnya.

4/

kini, filsuf jadi gelandangan. menyaksikan cara manusia membangun pemakaman. di kedua telapak tangan mereka.

— dua tetangga saling mencibir soal siapa yang lebih dulu menjadi tuan rumah di koran. dengan cita-cita dapat naik haji.

bagi mereka, ini adalah cara yang baik untuk belajar agar tidak gagal mengerjakan soal ujian di tanah suci.

kita semua adalah filsuf. tapi kita lebih suka menjadi yang lain daripada yang lain dengan cara yang benar-benar lain. lain-lain.

5/

filsuf lalu bersabda:

mari mengakhiri bentrok di puisi ini, biar kata-kata menjadi tetangga.

— seperti dua keping telinga yang tidak pernah saling mencibir. atau yang lain.

lain-lain.


UIN Alauddin, 23 Oktober 2018.

Kancing Baju

Kancing Baju

Dokumentasi pribadi.

:sebuah puisi.

1/

hari senin selalu menjadi hari yang menyebalkan untuk melanjutkan hidup

seperti kekalutan kisah cinta yang kita rajut

semakin dekat, erat memuai pucat

sepucat tembok putih luruh, karena terlampau tua tuk sekedar menghitung usia dan menyembuhkan kantuk

2/

satu, atau dua — atau lupa berapa jumlah kancing baju yang terjatuh

kau menariknya dengan tergesa-gesa

awalnya kau bilang, kita akan bercinta setelah aku membacakan tiga dongeng terjemahan kesukaanmu: aku adalah penerjemah dari cerita yang tidak pernah ada sebelumnya

tapi kau keburu renta, menjadi rentan — tak tahan

3/

aku tetap menunda

sampai dongeng yang kubaca telah usai dan kau resah

kau mengerti dan ingin menjadi Alamanda, tapi aku tidak ingin memahami apa-apa

ternyata lelaki tidak seperti wanita — tetap perawan kapan saja.

4/

setelahnya, kau tetiba marah dan benci

—dongeng kubacakan adalah tentang kau yang tidak lagi!

esoknya kau pergi lekas daripada pagi

hari ini senin dan kita, tidak lagi…


Makassar, 1 Oktober 2018.

Malam Tanpa Kata dan Kita

Malam Tanpa Kata dan Kita

Sumber ilustrasi: https://pixabay.com/en/milky-way-universe-person-stars-1023340/

:sebuah puisi.

1/

aku bermimpi

kulihat diriku sendiri menuju pintu

lalu mengetuknya dengan kepala dan mulut bisu

sayangnya kau tak ada di sana

— kau ada di sini dan tidak pernah sendiri

2/

di dalam bayang tubuh — entah milik siapa

kau sedang menyusun sketsa dari banyak luka

tapi aneh, karena yang paling kita rindukan

adalah tak pernah ada cara menyembuhkannya dengan mudah

3/

seperti dadaku yang amat pendiam di sediakala

kau datang dan menyulapnya menjadi peramah

atau, membuatnya menjadi tidak pemalu

— atau kau hanya akan membuatku malu

4/

kau seperti kebenaran metafisis

yang hendak mengajariku cara mereka-reka

tanpa ada kepastian di ujungnya

— dan filsuf dalam tubuh kita telah mati muda!


Makassar, 02 September 2018.

Kapan Harus Menua?

Kapan Harus Menua?

Sumber ilustrasi: https://pixabay.com/en/people-man-kid-boy-child-read-2572105/

:sebuah puisi.

1.

andai saja aku tahu

kata-kata akan lumpuh

takkan kubiarkan kau

melepas pelukan terakhirmu

2.

— sebab, aku dan kata-kata

akan memilih dingin dan beku lebih awal

daripada hasil perkiraan cuaca

di aplikasi ponsel cerdasmu

3.

andai saja kau tahu:

waktu teramat singkat

takkan kau biarkan aku

meninggalkan kecupan pertama di keningmu

4.

— sebab, kau dan waktu

seperti sebiji mangga mengkal

yang menolak jatuh ke tangan

anak kecil di bawah ranting dan pohonnya

5.

dan aku — hanyalah anak kecil

yang tidak tahu: kapan harus menua?


Makassar, 27 Agustus 2018.

Pintu dan Sepotong Kue

Pintu dan Sepotong Kue

Sumber ilustrasi: https://pixabay.com/

:sebuah catatan pendek tentang filsafat.

Katanya, filsafat itu seperti kue pemberian yang tidak punya nama, tetapi punya rasa yang nikmat. Meskipun, klaim ‘nikmat’ tidak tepat untuk sebuah rasa kue yang bahkan baru pertama kali kita kunyah. Yang lain mengatakan, filsafat itu seperti cahaya di layar komputer yang memerah tercampur putih, dihiasi biru dan kuning, dibungkus oleh hitam yang sedikit kecoklatan, sehingga tampak seperti warna ungu yang lebih hijau. Abstrak. Filsafat itu abstrak nan jauh, kata mereka.

Tetapi sebenarnya, filsafat itu konkret dan amat dekat. Terbukti, filsafat selalu membahas apa saja yang ada di sekitar kita. Jika Anda lapar, filsafat mengajak Anda mencari makan. Bukan hanya sampai di situ, filsafat akan mengajari Anda cara makan dan bahkan memaksa Anda bertanya: ‘siapa yang membuat perut kita kenyang?’. Jika dari analogi itu Anda masih tidak paham bahwa filsafat itu dekat maka saya menyarankan kepada Anda untuk mencoba memandang mata kanan Anda dengan menggunakan mata kiri. Setelah itu, Anda akan percaya bahwa filsafat amat dekat sehingga ia amat rumit untuk di dekati. Anda harus menjadi buta, agar bisa lebih mudah paham pada filsafat yang mengajari kita cara memandang.


Malam ini saya kue, dan filsafat, kata mereka, seperti kue. Kue tanda tanya.


Besok pagi saya ingin membuka pintu, dan filsafat, kata mereka, seperti pintu. Pintu menuju pintu yang lain — sampai rindu.


Ternyata, filsafat itu seperti tanda tanya di belakang pintu. Sehingga, saya tetiba ingat kapan pertama kali berfilsafat. Ketika pagi itu — saya lupa umur berapa, yang pasti saya sedang menanti kepulangan ibu dari pasar. Dan tepat di belakang pintu, saya telungkup dengan tanda tanya: ‘apakah ibu akan membelikan saya kue?’, dan ternyata, ibu membawa kantong dengan isi apang — kue khas Bugis. Entah dengan alasan apa, Tuhan menciptakan saya sebagai manusia pecinta kue apang. Karena kenyataan yang membahagiakan pagi itu, esoknya — di sekolah, saya menuliskan satu puisi untuk ibu:

apang — kue pengharapan

mengapa kita bercita-cita untuk masa depan?

padahal capain selalu saja di belakang.

mengapa kita kadang merasa ketakutan?

padahal tuhan jauh lebih besar dari kue apang.

Bait di atas adalah bait terakhir. Saya menulis puisi itu sebanyak sepuluh bait. Karena saya pikir, ibu saya membelikan saya sepuluh kue apang maka saya setidaknya harus membalasnya dengan sepuluh bait puisi pula. Meskipun dari bait pertama hingga baik kesepuluh memakai kata dan kalimat yang sama. Tidak ada yang beda. Dari pengalaman itu, saya paham bahwa hidup tidak semudah menyalin satu bait puisi, dan menjadikannya sepuluh bait. Sungguh, tidak semudah itu.

Filsafat juga mengajari saya tentang itu. Suatu hari di masa tua, saya akan membelikan lebih banyak kue untuk cucu-cucu saya yang aneh. Dan setelahnya, mereka akan menjadi ayah atau ibu yang akan mengajari anaknya cara membuat kue. Lalu cucu mereka akan paham, bahwa kue amat nikmat jika bagikan kepada tetangga — atau kepada siapa saja. Dan tiba pada suatu masa, siapa saja bisa diajak bertukar sepotong kue. Sepotong kue filsafat.