Aku Hantu Biru

Aku Hantu Biru

https://pixabay.com/en

:sebuah puisi.


aku ingin memecahkan kepalaku di kening seseorang. saling retak.

setelahnya, aku ingin membunuh wanita bernama kau.

aku ingin sekali. mandi dengan bintik-bintik merah di tangan.

sekali ini saja. izinkan aku!

setelah kematianmu, akan kuhidupkan kembali kau dengan caraku sendiri.

—sebab senyummu adalah sebaik-baik peti kematian yang setia menanti kita di depan pintu.

kau lihat itu? darahmu biru laut. warna yang kau suka. kita suka.

kau dan aku menyukainya bukan?

ya! aku hantu, sayang.


Makassar, 2019.

Mencintaimu Dengan Sederhana

Mencintaimu Dengan Sederhana

Sumber gambar: @Engin_Akyurt (Pixabay).

Mencintaimu Dengan Sederhana

:sebuah puisi.

1/

aku ingin mencintaimu dengan sederhana. tanpa filsafat. tanpa matematika. tanpa rumus fisika. tanpa teori apa saja yang membuat siswa berhenti sekolah.

2/

aku ingin mencintaimu dengan sederhana. tanpa kata-kata. tanpa bahasa. tanpa apa saja yang kita sebut sebagai cara menyampaikan keluh dan kesah. tanpa apa saja!

3/

aku ingin mencintaimu dengan sederhana, kekasih. tapi nyatanya kau terlampau rumit. lebih rumit dari filsafat. lebih rumit dari rumus matematika, fisika atau rumus kehidupan apa saja yang membuat orang-orang bumi lupa di mana kaki mereka berpijak.

kau lebih rumit, sayang.

titik.


JayNet, 24 Januari 2019.

I Miss You Even More

I Miss You Even More

Dari sebuah profil WA.

: sebuah puisi.

“kekasih, apa yang membuatmu tidak karuan?”

“aku sedang terjerembab rindu,” kataku.

“kepada siapa, kekasih? — tunggu, aku ingin menebaknya. apa kau akan mengatakan ‘aku sedang rindu namun tidak sedang mengetahui kepada siapa rindu akan dilabuhkan?’ Kau biasa menjawab pertanyaan itu dengan jawaban semacam itu, bukan ?! ”

“aku akan memberi jawaban yang lebih buruk atau (malah) lebih baik bagimu. aku sedang rindu kau, ”akuanku.

dan kau nyaris membunuhku dengan sebaris pisau: “i miss you even more.”

dan kata terakhir: nite.

i love you.


Makassar, 16 Desember 2018.

Melerai Bentrok

Melerai Bentrok

Foto milik pribadi.

:sebuah puisi.

1/

para filsuf adalah mereka yang hobi memikirkan orang lain sedang bentrok di kepala mereka.

melukis kaca jendela pecah di benak — dan kacamata selalu berfungsi menciptakan lebih banyak orang buta.

dan kepala sumbat saling raba. batu-batu jadi jari tangan yang punya kemampuan terbang seperti pesawat tanpa bahan bakar.

polisi — polusi tercipta.

2/

filsuf kemudian kena penyakit. ia sakit mata.

juga tenggorokan yang tersumbat oleh teriakan para pembela gedung fakultas — tidak ada perpustakaan. di kepala.

sebagian yang lain berlarian ke masjid melalui lubang hidung.

mereka berebut siapa yang lebih awal meminum obat flu.

3/

lalu, filsuf kesulitan menjadi dokter bagi matanya sendiri atau bagi tenggorokan orang lain.

ia membuka halaman-halaman buku tapi tiba di halaman kampus yang rumit.

— tempat kebenaran di lempar-lempari seperti nabi Ibrahim melempari kepalanya sendiri. setan.

kita butuh orang botak, dan filsuf adalah gondrong yang rela memotong habis rambutnya.

4/

kini, filsuf jadi gelandangan. menyaksikan cara manusia membangun pemakaman. di kedua telapak tangan mereka.

— dua tetangga saling mencibir soal siapa yang lebih dulu menjadi tuan rumah di koran. dengan cita-cita dapat naik haji.

bagi mereka, ini adalah cara yang baik untuk belajar agar tidak gagal mengerjakan soal ujian di tanah suci.

kita semua adalah filsuf. tapi kita lebih suka menjadi yang lain daripada yang lain dengan cara yang benar-benar lain. lain-lain.

5/

filsuf lalu bersabda:

mari mengakhiri bentrok di puisi ini, biar kata-kata menjadi tetangga.

— seperti dua keping telinga yang tidak pernah saling mencibir. atau yang lain.

lain-lain.


UIN Alauddin, 23 Oktober 2018.

Kancing Baju

Kancing Baju

Dokumentasi pribadi.

:sebuah puisi.

1/

hari senin selalu menjadi hari yang menyebalkan untuk melanjutkan hidup

seperti kekalutan kisah cinta yang kita rajut

semakin dekat, erat memuai pucat

sepucat tembok putih luruh, karena terlampau tua tuk sekedar menghitung usia dan menyembuhkan kantuk

2/

satu, atau dua — atau lupa berapa jumlah kancing baju yang terjatuh

kau menariknya dengan tergesa-gesa

awalnya kau bilang, kita akan bercinta setelah aku membacakan tiga dongeng terjemahan kesukaanmu: aku adalah penerjemah dari cerita yang tidak pernah ada sebelumnya

tapi kau keburu renta, menjadi rentan — tak tahan

3/

aku tetap menunda

sampai dongeng yang kubaca telah usai dan kau resah

kau mengerti dan ingin menjadi Alamanda, tapi aku tidak ingin memahami apa-apa

ternyata lelaki tidak seperti wanita — tetap perawan kapan saja.

4/

setelahnya, kau tetiba marah dan benci

—dongeng kubacakan adalah tentang kau yang tidak lagi!

esoknya kau pergi lekas daripada pagi

hari ini senin dan kita, tidak lagi…


Makassar, 1 Oktober 2018.

Malam Tanpa Kata dan Kita

Malam Tanpa Kata dan Kita

Sumber ilustrasi: https://pixabay.com/en/milky-way-universe-person-stars-1023340/

:sebuah puisi.

1/

aku bermimpi

kulihat diriku sendiri menuju pintu

lalu mengetuknya dengan kepala dan mulut bisu

sayangnya kau tak ada di sana

— kau ada di sini dan tidak pernah sendiri

2/

di dalam bayang tubuh — entah milik siapa

kau sedang menyusun sketsa dari banyak luka

tapi aneh, karena yang paling kita rindukan

adalah tak pernah ada cara menyembuhkannya dengan mudah

3/

seperti dadaku yang amat pendiam di sediakala

kau datang dan menyulapnya menjadi peramah

atau, membuatnya menjadi tidak pemalu

— atau kau hanya akan membuatku malu

4/

kau seperti kebenaran metafisis

yang hendak mengajariku cara mereka-reka

tanpa ada kepastian di ujungnya

— dan filsuf dalam tubuh kita telah mati muda!


Makassar, 02 September 2018.

Kapan Harus Menua?

Kapan Harus Menua?

Sumber ilustrasi: https://pixabay.com/en/people-man-kid-boy-child-read-2572105/

:sebuah puisi.

1.

andai saja aku tahu

kata-kata akan lumpuh

takkan kubiarkan kau

melepas pelukan terakhirmu

2.

— sebab, aku dan kata-kata

akan memilih dingin dan beku lebih awal

daripada hasil perkiraan cuaca

di aplikasi ponsel cerdasmu

3.

andai saja kau tahu:

waktu teramat singkat

takkan kau biarkan aku

meninggalkan kecupan pertama di keningmu

4.

— sebab, kau dan waktu

seperti sebiji mangga mengkal

yang menolak jatuh ke tangan

anak kecil di bawah ranting dan pohonnya

5.

dan aku — hanyalah anak kecil

yang tidak tahu: kapan harus menua?


Makassar, 27 Agustus 2018.

Kusadari Kau Tidak Pernah Ada

Kusadari Kau Tidak Pernah Ada

Sumber ilustrasi: https://pixabay.com/en/woman-desperate-sad-tears-cry-1006100/

:sebuah puisi.

1.

aku sibuk menelusuri lorong waktu

kusadari hanya ada satu tempat dan pintu

di matamu, — tempatku menyusun lebih banyak reruntuhan —

dan di sana, aku menjadikannya tempat bersembunyi paling aman

2.

aku sibuk memanggil-manggil namamu

kusadari hanya ada aku dan tak pernah ada kau

di hati, tempatku melupakan diri sendiri yang tak pernah dikenali

dan di sana, aku menjadi naga berkepala kelapa — kau gunakan itu menakuti anak dari perasaanmu sendiri

3.

aku terlalu sibuk mencintaimu

hingga kusadari, aku hanya sedang memuja diri sendiri

tidak pernah ada kau, dan aku menjadi asing oleh harapan semu

aku ingin bunuh diri atau mematahkan tulang-tulang rusukku sendiri!

4.

setiap pagi

matahari selalu mengapung di atas kepala

tak pernah ingin terjatuh dan tersentuh

seperti kau, — berapa banyak lagi kesedihan yang akan kau berikan?

5.

sungguh — jika aku mampu, aku ingin memotong kemaluanku

dan memberikannya kepadamu

agar kau dapat menjadi lelaki

dan aku menjadi perempuan yang tidak akan pernah kau miliki.


Makassar, 07 Agustus 2018.

Di Suatu Pagi

Di Suatu Pagi

Sumber ilustrasi: https://pixabay.com/en/window-woman-morning-girl-1148929/

:sebuah puisi.

1.

suatu pagi,

di atas papan ketik, jari tanganku sedang menunggumu terlalu lama

di jari manisku, kau tiba dengan selamat tanpa kata-kata

di antara tombol ctrl dan c, kita menyalin tubuh kita menjadi berbeda

dan di tombol a kita menanam benih keyakinan bahwa semuanya sama

— sama-sama menyedihkan.

2.

juga di suatu pagi,

kau menunjuk tubuhmu di tubuhku

kau bertanya, sejak kapan aku di sana?

aku diam, aku berharap mataku bisa menjawab semua pertanyaanmu

enam menit kemudian, kita menjadi debu beterbangan kemana-mana

— sama-sama menyedihkan.

3.

masih di suatu pagi yang lain,

kau menangis karena tidak menemukan alismu

aku bertanya, kapan terakhir kau melihatnya?

kau bilang saat desakan napas kita tergesa-gesa menjadi satu

dan setelahnya, kita tidak tahu, mengapa rasa malu ada di pelukan kita

— sama-sama menyedihkan.


Makassar, 06 Agustus 2018.