Pintu dan Sepotong Kue
Andi Alfian Catatan Pendek Filsafat Tidak Dikategorikan
:sebuah catatan pendek tentang filsafat.
Katanya, filsafat itu seperti kue pemberian yang tidak punya nama, tetapi punya rasa yang nikmat. Meskipun, klaim ‘nikmat’ tidak tepat untuk sebuah rasa kue yang bahkan baru pertama kali kita kunyah. Yang lain mengatakan, filsafat itu seperti cahaya di layar komputer yang memerah tercampur putih, dihiasi biru dan kuning, dibungkus oleh hitam yang sedikit kecoklatan, sehingga tampak seperti warna ungu yang lebih hijau. Abstrak. Filsafat itu abstrak nan jauh, kata mereka.
Tetapi sebenarnya, filsafat itu konkret dan amat dekat. Terbukti, filsafat selalu membahas apa saja yang ada di sekitar kita. Jika Anda lapar, filsafat mengajak Anda mencari makan. Bukan hanya sampai di situ, filsafat akan mengajari Anda cara makan dan bahkan memaksa Anda bertanya: ‘siapa yang membuat perut kita kenyang?’. Jika dari analogi itu Anda masih tidak paham bahwa filsafat itu dekat maka saya menyarankan kepada Anda untuk mencoba memandang mata kanan Anda dengan menggunakan mata kiri. Setelah itu, Anda akan percaya bahwa filsafat amat dekat sehingga ia amat rumit untuk di dekati. Anda harus menjadi buta, agar bisa lebih mudah paham pada filsafat yang mengajari kita cara memandang.
Malam ini saya kue, dan filsafat, kata mereka, seperti kue. Kue tanda tanya.
Besok pagi saya ingin membuka pintu, dan filsafat, kata mereka, seperti pintu. Pintu menuju pintu yang lain — sampai rindu.
Ternyata, filsafat itu seperti tanda tanya di belakang pintu. Sehingga, saya tetiba ingat kapan pertama kali berfilsafat. Ketika pagi itu — saya lupa umur berapa, yang pasti saya sedang menanti kepulangan ibu dari pasar. Dan tepat di belakang pintu, saya telungkup dengan tanda tanya: ‘apakah ibu akan membelikan saya kue?’, dan ternyata, ibu membawa kantong dengan isi apang — kue khas Bugis. Entah dengan alasan apa, Tuhan menciptakan saya sebagai manusia pecinta kue apang. Karena kenyataan yang membahagiakan pagi itu, esoknya — di sekolah, saya menuliskan satu puisi untuk ibu:
‘apang — kue pengharapan
mengapa kita bercita-cita untuk masa depan?
padahal capain selalu saja di belakang.
mengapa kita kadang merasa ketakutan?
padahal tuhan jauh lebih besar dari kue apang.
Bait di atas adalah bait terakhir. Saya menulis puisi itu sebanyak sepuluh bait. Karena saya pikir, ibu saya membelikan saya sepuluh kue apang maka saya setidaknya harus membalasnya dengan sepuluh bait puisi pula. Meskipun dari bait pertama hingga baik kesepuluh memakai kata dan kalimat yang sama. Tidak ada yang beda. Dari pengalaman itu, saya paham bahwa hidup tidak semudah menyalin satu bait puisi, dan menjadikannya sepuluh bait. Sungguh, tidak semudah itu.
Filsafat juga mengajari saya tentang itu. Suatu hari di masa tua, saya akan membelikan lebih banyak kue untuk cucu-cucu saya yang aneh. Dan setelahnya, mereka akan menjadi ayah atau ibu yang akan mengajari anaknya cara membuat kue. Lalu cucu mereka akan paham, bahwa kue amat nikmat jika bagikan kepada tetangga — atau kepada siapa saja. Dan tiba pada suatu masa, siapa saja bisa diajak bertukar sepotong kue. Sepotong kue filsafat.