Challenge Photography Story, Andi Alfian.

Challenge Photography Story, Andi Alfian.

Andi Alfian

Menebar Empati di SPBU Hertasning

“Empathy is about finding echoes of another person in yourself.”

— Mohsin Hamid.

Cita dan harapan selalu punya ceritanya masing-masing. Seperti mentari yang selalu bersinar di pagi hari. Meski terkadang mentari merasa bersalah, karena menyapu bersih sendu dan manisnya rembulan. Mereka—mentari dan rembulan, ketika subuh hari tiba, saling mengucap sapa temu sekaligus perpisahan, terkadang pula mereka hanya diam—tak bertutur sapa. Karena justru dengan cara demikian, mereka dapat saling memahami: bahwa hiduplah dengan rasa empati, sebab dengan begitu kita bisa saling berbagi.

Seperti pagi ini, mentari memilih diam. Diam dalam seribu bahasa mistik, melayangkan doa-doa harapan. Seperti halnya saya—dan mungkin berjuta umat manusia lainnya, melayangkan doa harapan, melantunkan frasa syukur, dan beranjak pada ikhtiar tuk hari-hari yang lebih ceria: hari ini dan esok.


[Picture 1]

Pada suatu pagi—tepat lima belas menit sebelum jam delapan, saat mengantri di salah satu SPBU di Makassar (Hertasning, SPBU 74.902.02), saya melihat seorang pengemis dengan cacat tubuh buntung kaki sebelah kiri, dan seketika rasa iba terketuk di hati. Saya menghampiri salah satu karyawan SPBU, dan darinya saya tahu, bahwa nyaris setiap pagi pengemis itu berada di tempat yang sama—di emperan SPBU itu.

[Picture 2]

Dengan jarak sekitar tujuh langkah darinya, saya menyaksikan ia sedang mencicipi nasi bungkus—saya tahu darinya, bahwa nasi bungkus itu hasil pemberian orang lain padanya. Ia tampak teramat lahap, seperti sudah tiga hari tidak menyantap makanan. Kupotret sekali lalu saya mendekatinya.

Ia melemparkan senyuman. Senyum itu menancap di kepalaku, bak anak panah tepat sasaran. Bagaimana tidak, saya menjadi selalu kepikiran, bagaimana bisa mendapatkan pengemis dengan lakon seperti itu: tersenyum meski orang lain tak tersenyum, ramah tanpa raut kesedihan di wajah. Dengan senyum yang ia tawarkan, akhirnya saya pun tersenyum sembari membayar senyum yang ia berikan. Saya pikir, senyum yang ia berikan itu adalah bentuk lain dari tagihan Tuhan tuk berkasih sayang pada sesama.

[Picture 3]

Singkatnya, saya meminta izin tuk memotretnya dan memberinya beberapa pertanyaan. Dari beberapa pertanyaan itu, saya mendapatkan beberapa informasi tentangnya, meskipun cukup banyak hal yang ia ceritakan di luar apa yang saya tanyakan. Ia begitu antusias menceritakan perih kehidupannya, entah agar saya kasihan padanya, atau mungkin agar saya menjadi termotivasi sebagaimana nada bicaranya yang sedikit persuasif dan memotivasi.

Ya, namanya Muhammad Saleh, ia tinggal di salah satu sudut nestapa kota Makassar (saya lupa nama lorongnya, yang pasti letaknya di sekitar Jalan Cendrawasih). Ia tinggal di sana—sekitar Cendrawasih, dan setiap hari diantar ke SPBU Hertasning. Dari pengakuannya, ia sudah sepuluh tahun mengemis di tempat itu, sejak 2008. Meskipun jauh sebelum 2008 ia telah berprofesi sebagai pengemis. Hal yang membuat ia betah mengemis di tempat itu adalah persoalan izin. Ia menyatakan telah dikenal dan diizinkan oleh pihak keamanan SPBU tersebut.

Lelaki pengemis yang kelahiran Bone tersebut memiliki seorang istri bernama Nurbaya. Nurbaya yang lahir di Kajang, Bulukumba—berdasarkan penyampaian suaminya, bekerja sebagai penyapu jalanan. “Biasa menyapu jalanan di pantai Losari, biasa juga di tempat lain, kalau ada kegiatannya pak walikota” terang Muhammad Saleh tentang istrinya.

[Picture 4]

Meskipun dengan fisik yang cacat, Ia memiliki lima orang anak: empat perempuan dan satu laki-laki. Tiga anaknya sudah menikah. Sedang, ia menanggung biaya sekolah tiga anak—dua anak tiri dan 1 anak kandungnya (anak kandung yang bungsu).

Penghasilan rata-ratanya dalam sehari minimal Rp. 100.000. “Dalam sehari, jarangki dapatkan dibawahnya seratus ribu, jarang” ungkapnya. Selain penghasilannya itu, ditambah lagi penghasilan istrinya yang kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Terkadang mencukupi terkadang pula kekurangan. Begitulah kehidupan(nya).

Dalam seminggu ia rutin berpuasa Senin-Kamis sebagai bentuk ibadah sunah sekaligus tuk meringankan biaya hidup rumah tangganya. Dan dalam kesehariannya, ia mengaku, ia tidak pernah hanya duduk menanti pemberian orang lain atau dalam artian ia tidak suka meminta, ia hanya menyusuri jalan ke mana saja sehingga ada orang yang mengasihaninya. Dan di samping itu, setiap harinya pula ia meluangkan waktunya tuk melaksanakan salat Zuhur dan Asar. Sekaligus istirahat, melepaskan penatnya di masjid.

Hal yang membuat ia tidak pernah lupa terhadap masjid adalah masa lalunya. Ia pernah menjadi seorang guru mengaji. Dan orang tuanya juga seorang guru mengaji, namanya Pannu. Konon, ayahnya ini adalah salah satu anggota akrab dari Abdul Kahar Muzakkar. Dan bahkan beliau sedikit-banyak menceritakan mengenai lakon perjuangan Kahar Muzakkar. Jika sejarawan adalah orang yang setidaknya memahami sedikit sejarah, maka tentu ia adalah sejarawan. Tapi bukankah semua orang punya sejarahnya masing-masing?

[Picture 5]

Selain pernah menjadi guru mengaji, dulu, ia juga pernah menjadi tukang becak. Hal yang membuat ia berhenti menjadi tukang becak adalah, karena terkena penyakit kusta. Berawal dari kakinya yang terkena pecahan botol dan tidak pernah ia obati hingga kemudian harus diamputasi.

Selain itu, yang mengibakan juga adalah ia telah menderita penyakit kusta semenjak usia 12 tahun. Dan karena itulah ia tahu bahwa umurnya tak lama lagi. Apalagi ketika ia mendengarkan perkataan orang tua, tetangganya, bahwa konon orang yang terkena penyakit kusta dalam jangka 10 tahun ke depan akan mendapati kematiannya. Dan semua itulah yang mengantarkan ia pada tataran nilai religius-spiritualitasnya sekarang.

Di tengah-tengah pembicaraan tentang perjuangan hidup si pengemis yang mengulik-mengupas naluri kemanusiaan, saya bertanya kepadanya, “apakah dibenak bapak tidak pernah muncul rasa sesal dan kekesalan terhadap Tuhan yang menciptakan bapak demikian?”

Dengan nada suara yang tegas, ia membacakan sebuah ayat dalam Alquran yang kurang lebih berarti bahwa ‘Tuhan selalu berbuat adil terhadap hambanya, dan bahkan selalu ada nikmat yang Tuhan berikan di setiap penderitaan’. Mendengar itu, saya tergugah, bagaimana tidak, seorang pengemis jalanan yang tidak pernah menyentuh bangku sekolah mampu menghafal dan bahkan memahami makna ayat Alquran, kitab suci agama yang ia anut.

Setelah melafalkan ayat itu, ia melanjutkan dengan menyodorkan sebuah pertanyaan: apa cita-citata nak? Mendengar pertanyaan itu, saya menoleh dan menatap matanya. Saya terkesiap, ia menatap saya dengan tajam, pisau mata hatinya. “Saya mahasiswa pak”, jawab saya singkat. Saya menyambungnya dengan menyebutkan cita-cita saya. (Entah, cita-cita yang saya jawab penting untuk juga dituliskan di sini atau tidak).

“InsyaAllah, agar cita-citata’ tercapai, jangan lupa satu pesan saya nak: jujurki. Karena dengan jujur, adami modal besarta supaya bahagia. Sebagaimana Rasulullah…..” tanggap pengemis itu setelah mendengar jawaban saya, sembari mengutip dalil hadis penguat pesan yang ia sampaikan. Saya terdiam. Hanya bisa mendoakan, semoga kebahagiaan senantiasa menghidupkan kita semua. Sehatki pak.

“Ketika orang bicara, maka dengarkan sepenuhnya. Kebanyakan orang tidak pernah mendengarkan”.

—Ernest Hemingway.

[Picture 6]

*Informasi yang saya tuliskan di sini adalah hasil dari mendengarkan. Dan saya pikir, salah satu cara terbaik tuk berempati adalah dengan mendengarkan. Dengarlah, niscaya empati akan menyapa, setidaknya itu adalah langkah awal tuk berbagi.

Keterangan:

  • Hasil potretannya terhapus dari blog, akan diupload lagi suatu hari.
  • Alamat SPBU: Jalan Letjen Hertasning No.9, Kassi-Kassi, Rappocini, Kota Makassar.
  • Gambar dipotret dengan menggunakan kamera Nikon D5200, dan diikutkan dalam “Challenge Photography Story”
Menulis Opini: Sebuah Catatan di Kelas Kepo Sesaat

Menulis Opini: Sebuah Catatan di Kelas Kepo Sesaat

Kelas Kepo Sesaat

Ketika membawakan materinya, Fadlan L Nasurung membuka kelas Menulis Opini setidaknya dengan tiga kalimat utama ini:

Menulis itu kata kerja, bukan sebuah teori. Kalimat tersebut seringkali saya dengarkan ketika bersua di berbagai kelas menulis, termasuk di Kelas Kepo Sesaat. Kalimat itu kembali menampakkan diri, menegaskan bekas-bekasnya yang lalu. Kalimat yang sudah sepantasnya menjadi pembuka pamungkas yang dipakai oleh para mentor kepenulisan. Jika tak salah, saya mendengar kalimat itu pertama kali dari Eka Kurniawan di salah satu tulisannya tentang menulis.

Entah siapa yang pertama kali mengungkap terma ini. Setidaknya, jika sewaktu-waktu saya berbicara tentang menulis—jika saya benar-benar telah menjadi seorang penulis, maka mungkin kalimat ini pulalah yang akan saya ucapkan terlebih dahulu—sebelum mengucapkan: saya bukanlah penulis, tapi petani. Bukankah kata M. Aan Mansur, kertas itu juga bumi? [Hehehe]

Menulis itu seperti berbahasa. (Setidaknya kalimat ini adalah kalimat kedua Fadlan dalam membuka materinya). Belajar menulis itu seperti belajar berbahasa. Ketika kita menganggap menulis sebagai sebuah teori, maka menulis akan menjadi hal yang menyulitkan.  Begitupun dengan berbahasa. Semisal, pernahkah kita berpikir bahwa kita belajar berbahasa Inggris selama kurang lebih 10 tahun (Coba dihitung, kita belajar bahasa Inggris di SD selama 4 tahun—sejak kelas 3 sampai kelas 6, kemudian dilanjutkan di SMP selama 3 tahun, lalu kemudian di SMA selama 3 tahun). Namun hasilnya, sebagian besar dari kita masih sangat sulit berbicara menggunakan bahasa Inggris di depan umum. Hal ini, menurut Fadlan, disebabkan oleh paradigma dan perlakuan kita terhadap bahasa sebagai sebuah teori.

Sehingga yang terjadi kita malah tidak bisa berbahasa, sebab kita terjebak dalam tata kebahasaan (aturan-aturan berbahasa). Sehingga, orang yang belajar bahasa dengan cara “langsung praktik berbicara” dengan mudah menguasai sebuah bahasa dibandingkan dengan hanya sekadar mempelajarinya sebagai sebuah tata kebahasaaan.

Dari landasan ini, Fadlan menarik sebuah konklusi bahwa menulis juga demikian. Harus dipraktikkan secara langsung tanpa dibebani oleh aturan-aturan yang baku yang mengekang kreatifitas. Maka, paradigma tentang “menulis adalah sebuah teori” haruslah digantikan dengan paradigma “menulis adalah kata kerja” sebagaimana di kalimat pertama di atas.

Penulis yang baik adalah pembaca yang baik pula. Kalimat ini juga sudah berulang kali saya dengar. Dan bahkan akan selalu saya ucap, saya camkan. Jika Anda merasa tidak sepakat dengan kalimat ini, maka satu hal yang pasti, bahwa Anda bukanlah pembaca buku yang baik. Dan mungkin, bukan pula penulis yang baik. Itu hanya kemungkinan. Sedangkan bagi Fadlan, kalimat di atas haruslah ditambahkan sebuah term yang mewakili kegiatan ‘diskusi’, sehingga yang saya pahami, ia menginginkan kalimat tersebut diubah setidaknya menjadi: “penulis yang baik adalah pembaca buku yang rakus dan tentu juga suka berdiskusi”.

Hal ini disebabkan karena, menurut Fadlan, selain membaca, berdiskusi juga membuat otak kita aktif dan bereproduksi. Nah, dalam kegiatan membaca buku itu sendiri, ada dua aktivitas yang sebenarnya berjalan secara beriringan. Pertama, mencerna. Ketika kita membaca maka kita berusaha mencerna apa yang ingin disampaikan oleh penulis dalam buku yang kita baca, atau singkatnya, mencerna makna yang ada dalam buku bacaan kita. Kedua, mereproduksi. Pikiran kita mereproduksi makna baru yang juga sebenarnya berasal dari proses mencerna sebelumnya. Resensi atau teraju buku merupakan bentuk nyata dari reproduksi membaca atau mencerna sebuah buku.

Begitupun dalam berdiskusi, pikiran kita seperti ketika membaca, juga mencoba mencerna gagasan-gagasan dari teman diskusi kita. Juga sekaligus mereproduksi gagasan-gagasan yang baru. Sehingga berdiskusi merupakan salah satu aktivitas yang juga perlu dilakukan dalam mencari dan menemukan sebuah gagasan yang nantinya dapat dituangkan dalam sebuah tulisan.

Sebenarnya ada hal yang unik dari kata membaca. Membaca—perintah pertama yang Tuhan turunkan kepada manusia dalam agama Islam, bukanlah sekadar membaca buku. Tetapi membaca perlu dipahami sebagai sebuah perintah sarat makna. Karena membaca sejatinya adalah memahami pesan-pesan Tuhan, melalui medium apa saja. Bisa mata, hidung, telinga, dan lain-lain. Bukankah ketika kita melihat saudara kita menderita lantas membuat hati kita terketuk? Bukankah itu membaca? Maka membacalah sebaik mungkin, karena dari sana, kita akan banyak menemukan gagasan untuk dituliskan.

Mengapa membaca buku penting terhadap kepenulisan opini? Selain jawaban-jawaban di atas, juga berdasar dari pemaparan materi Fadlan, membaca buku sangatlah penting dikarenakan buku-buku yang dibaca bertujuan untuk memberikan perspektif atau sudut pandang yang menarik dan kaya akan pengetahuan baru. (Books give you a better perspective).

Gambar ini dipotret pada pertemuan kedua.

Nah, setelah tiga kalimat pembuka di atas, barulah Fadlan memaparkan materinya. Dan begitu juga ditulisan ini, setelah tiga kalimat pembuka di atas, baru pulalah saya mencatat materi yang saya pahami berikut ini:

Untuk membuat tulisan opini (menulis opini), setidaknya penulis harus melewati dan memilikit aspek-aspek dari tahapan berikut:

Pertama, penguasaan topik dan masalah.

Dalam menulis, apapun itu, kita akan berjumpa dengan kesulitan jika bahkan perihal yang akan kita tuliskan belum diketahui. Namun, bukan berarti sekedar mengetahui tema yang akan kita tulis mampu membuat hasil tulisan kita baik, tentu saja tidak. Diperlukan penguasaan yang mendalam terhadap sebuah tema yang akan ditulis. Saran dari Fadlan, kita bisa memulai menulis dari hal-hal yang kita kuasai semisal perihal yang berkaitan dengan jurusan atau profesi kita. Ataukah bahkan berdasarkan genre buku-buku bacaan kita.

Karena betapa anehnya jika kita seorang agamawan fanatik dan tak tahu banyak tentang kesehatan lantas menyela pendapat para ahli kesehatan. Begitu pula sebaliknya, jika kita berprofesi sebagai ahli kesehatan dan tak tahu banyak tentang hukum dan agama namun sibuk menyabdakan hukum sesat-bid’ah terhadap sesama umat beragama. Tentu akan kedengaran aneh. Maka di sinilah pentingnya seseorang menulis dan berbicara perihal apa yang mereka kuasai, sehingga dengan penguasaannya, ia bisa mempertanggungjawabkan tulisannya.

Kedua, ide atau gagasan.

Ide kepenulisan dalam opini, menurut Fadlan bisa datang dari mana saja. Baik yang datang saat kita membaca buku, berdiskusi maupun saat berkendara dan saat-saat menginspirasi lainnya. Ide atau gagasan yang lahir dari inspirasi tentu diwarnai oleh ruang dan waktu. Dan biasanya, pendakuan Fadlan, ide atau inspirasi yang ditulis secepat mungkin—saat masih dalam ruang dan waktunya, berpotensi memiliki rasa (sense) yang jauh lebih signifikan dibandingkan ide yang ditulis beberapa hari sejak kemunculannya.

Mungkin hal ini sering terjadi pada kita—pemula. Sering menunda-nunda ide untuk dituliskan, dan akhirnya, ide tersebut hanya pernah ada dalam dunia ide. Cara mengatasinya tentu hanya dengan langsung menuliskannya ketika inspirasi itu datang. Itu juga salah satu alasan mengapa menulis itu penting, agar kita bisa mengikat ide, sebagaimana yang diserukan oleh Ali bin Abi Thalib bahwa, “ikatlah ilmu dengan tulisan!”

Ketiga, argumentasi.

Bagian argumentasi yang dimaksud adalah gagasan atau perspektif. Dalam menulis tulisan opini, seorang penulis haruslah memiliki perspektif yang unik. Perspektif ini dapat ditampilkan melalui argumentasi yang kokoh dan berdasar. Tentu dalam opini, dibolehkan cocologi. Hanya saja, cocologi dalam bentuk yang berdasar. Artinya, cocologi dalam tulisan opini harus memiliki basis argumentasi yang kuat. Dengan kata lain, spekulatif dan logis.

Keempat, teknik kepenulisan.

Dalam menulis, tulisan apapun itu, tentu dibutuhkan teknik kepenulisan agar tulisan tersebut dapat diciptakan secara efisien. Dalam menulis opini, seperti halnya menulis jenis tulisan yang lain, tentu secara teknis diperlukan tata kebahasaan atau tata kepenulisan. Dan untuk itu, seorang penulis opini, setidaknya telah memahami tata kepenulisan tersebut.

Teknik kepenulisan yang ditawarkan oleh Fadlan dalam materinya terdiri dari empat poin. Saya meringkasnya kurang lebih sebagai berikut:

Judul: judul yang baik itu singkat dan memikat.
Lead (Teras): alinea pembuka yang baik itu menarik dan mengalir.
Batang Tubuh: batang tubuh atau isi tulisan haruslah berisi gagasan, argumentasi atau pendakuan teori, dan contoh-contoh atau data.
Ending (Kesimpulan): kesimpulan meliputi rangkuman tulisan secara padat.

Kelima, pengetahuan bahasa.

Pernahkah kita membaca sebuah tulisan—mungkin tulisan kita sendiri, yang tulisan bagian awal, tengah, dan akhir itu menyampaikan hal yang sama saja? Tulisan yang berputar entah hendak ke mana. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan kita akan kebahasaan. Dalam artian, kita masih kurang mampu memperlakukan bahasa sebagaimana bahasa. Sehingga, dalam menulis, kita mengalami kesulitan menyampaikan maksud. Dan cara terbaik mengatasinya, sekali lagi, adalah dengan banyak membaca. Semakin banyak pengetahuan kita dari membaca, maka sangat memungkinkan pula kita memainkan bahasa untuk menyampaikan sebuah maksud, sebagaimana kemauan dan ciri khas kita sendiri.

Keenam, wawasan media massa.

Salah satu cara agar gagasan kita dibaca oleh publik adalah dengan menuliskan dan mengirimnya ke media massa. Adapun tip-tip yang dibagikan oleh Fadlan L Nasurung sebagai salah satu penulis opini di beberapa koran lokal—Makassar, yakni sering-seringlah menulis, sering-seringlah mengirimkan tulisan ke koran. Itu saja—itu saja tip yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Ayo semakin giat mengirim tulisan!

Selebihnya, ada beberapa hal yang kemudian ia paparkan sebagai sebuah prasyarat yang sebaiknya diterapkan dalam tulisan opini agar bisa dipertimbangkan oleh redaksi media cetak (ini merujuk dari pengalamannya yang telah berkali-kali dan sering kali mampu menembus beberapa koran lokal di Makassar):

Pertama, tema tulisan harus aktual.
Kedua, tulisan memilki angel atau sudut pandang yang menarik.
Ketiga, di dalam tulisan, penulis benar-benar mengeksplorasi gagasan secara mendalam.
Keempat, tulisan bersifat reflektif.
Kelima, dalam tulisan, penulis menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami pembaca.

Segitu saja yang sempat saya catat di pertemuan kelima Kelas Kepo Sesaat, sampai jumpa di pertemuan selanjutnya. Salam KEPO!

Menulis Etnografi: Sebuah Catatan di Kelas Kepo Sesaat

Menulis Etnografi: Sebuah Catatan di Kelas Kepo Sesaat

Kelas Kepo Sesaat

Malam itu hujan—sebut saja malam yang menyedihkan bagi semut sekaligus menyenangkan bagi bunga di taman rumah—ketika saya mengikuti materi kepenulisan Etnografi di Kelas Kepo Sesaat yang dibawakan oleh Nurhady Sirimorok. Materi ini merupakan materi ketiga (di pertemuan ketiga pula), setelah materi Fiksi dan Reportase. Bagi teman-teman yang ingin membaca rangkuman materi pertama tentang kepenulisan Fiksi, silakan kunjungi tulisan kawan saya yang juga nimbrung dalam kelas Kepo Sesaat tersebut. [linknya di sini].

Etnografi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, ethnos dan graphia. Kata ethnos berarti rakyat (budaya masyarakat) sedangkan graphia berarti tulisan atau alat untuk mendeskripsikan (menggambarkan). Dari pengertian etimologi tersebut, dapat disimpulkan bahwa tulisan etnografi berkisah tentang segala hal yang diciptakan oleh manusia untuk hidup dan kehidupannya. Sehingga dari pengertian itu pulalah muncul pernyataan Nurhady Sirimorok bahwa “sarang semut bukan objek kajian dari etnografi”. Sebab, jenis dan identitas sarang semut tidak masuk dalam ranah mahluk yang bernama manusia.

Etnografi, selain banyak digunakan dalam kajian antropologi, juga banyak digunakan dalam kajian-kajian ilmu sosial. Seperti sosiologi, psikologi, dan cabang ilmu sosial lainnya. Dalam sebuah masyarakat, terdapat banyak aspek kebudayaan. Mulai dari aspek ekonomi, sosial, bahasa, seni, pendidikan, agama, sampai pada teknologi. Dari berbagai aspek ini, tulisan etnografi hadir untuk menjelaskan kesemua aspeknya. Tetapi, menurut Nurhady Sirimorok sebagaimana yang ditampilkan dalam slide materinya bahwa tujuan dari tulisan etnografi adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan satu aspek atau segmen kehidupan sosial sebuah kelompok.

Hal ini menandakan bahwa sebuah tulisan etnografi yang baik hanya berisi satu aspek atau satu segmen yang menjadi fokus penelitiannya. Tentu dengan fokus yang lebih spesifik akan menghasilkan penelitian yang lebih mendalam pula. Namun saja, masih sebuah kewajaran jika di awal penelitian etnografi, hipotesa dan pertanyaan kita tentang objek penelitian masih sifatnya lebih luas. Sebab, kata Nurhady Sirimorok, hipotesa dan pertanyaan memang bermula sebagai pernyataan luas dan kemudian menjadi semakin sempit.

Dalam penelitian etnografi juga dikenal istilah data. Data ini berupa deskripsi verbal mengenai masyarakat, interaksi sosial, setting, benda, dan fenomena-fenomena dalam konteks masyarakat yang diteliti. Ketika menjelaskan pembahasan tentang data, Nurhady Sirimorok mendapatkan pertanyaan dari salah satu peserta, bahwa jika dalam penelitian etnografi juga membahas tentang data berupa benda dan simbol maka apa perlu kita juga harus menguasai ilmu tentang semiotika, hermeneutika, dan cabang ilmu yang lain yang dapat menjelaskan lebih spesifik tentang benda dan simbol tersebut?

Menurut Nurhady Sirimorok atau biasa di panggil kak Dandy, bahwa untuk melakukan penelitian etnografi, kita tidak mesti menguasai cabang ilmu yang disebutkan tadi. Sebab dalam proses penelitian, selama kita ikut andil dalam objek penelitian kita, maka pemaknaan-pemaknaan benda atau hal-hal yang bersifat simbolik dalam objek penelitian, akan kita dapatkan dari objek penelitian itu sendiri (pemaknaan masyarakat yang kita teliti terhadap benda atau simbol tersebut). Hal ini menandakan bahwa memang etnografi dalam hal ini si peneliti, tidak untuk memberikan penilaian dan pemaknaannya sendiri terhadap objek penelitiannya, tetapi untuk menampilkan penilaian atau pemaknaan masyarakat itu sendiri sebagai objek penelitiannya. Dengan kata lain, peneliti haruslah objektif.

Jika ditarik ke arah kajian filsafat, hal ini senada dengan pendekatan dialektika fenomenologi. Dalam pendekatan ini, seorang pemikir atau peneliti haruslah mendahulukan ontologi atas epistemologi.  Dalam artian, peneliti diarahkan untuk memahami fenomena masyarakat sebagai adanya. Fokus pikiran dan kontemplasi harus mengarah kepada objek yang diteliti yaitu masyarakat sebagai fenomena, bukan pada asumsi-asumsi, bukan pada perangkat-perangkat dogmatis metafisik, bukan pula pada asumsi politik, ideologi, ataupun teologis.

Hal ini juga senada dengan ungkapan Eko Rusdianto dalam materi kedua, Reportase, bahwa seorang reporter haruslah bebas nilai. Dalam artian, reporter dalam melakukan reportase haruslah melepaskan persepsi pribadinya. Semisal, jika kita selaku reporter hanya tertarik pada lawan jenis (bukan transgender) dan melakukan reportase tentang manusia transgender (LGBT), maka persepsi kita selaku manusia normal haruslah dilepaskan. Contoh persepsi yang bersifat subjektif: LGBT itu kurang baik, atau persepsi yang sifatnya teologis: pelacur itu masuk neraka dan khamar itu haram. Persepsi-persepsi semacam inilah yang harus dilepaskan oleh seorang reporter maupun peneliti ilmu sosial.

Dari beberapa penekanan terhadap perlunya sikap objektifitas di atas, sebuah komentar dari Nurhady Sirimorok malah sedikit terdengar skeptis tetapi tetap optimis, bahwa meskipun demikian (kita harus objektif) tetapi kita juga harus mengakui bahwa secara konsepsi tidak ada objektivitas. Dalam artian, kita memahami realitas masyarakat sebagaimana persepsi kita akan realitas masyarakat itu. Kita yang memandang dan memahami suatu objek pastilah terdapat perbedaan terhadap pandangan dan pemahaman orang lain terhadap objek yang sama tersebut.

Pernyataan Nurhady Sirimorok tersebut mengafirmasi pemikiran filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, bahwa tidak ada sebuah dunia objektif. Ketika kita menggunakan istilah-istilah seperti “Tuhan”, “baik” atau “buruk”, “keadilan”, kita berusaha merujuk pada “Tuhan” aktual, “keadilan” aktual, dan sebagainya. Dalam artian, kita menggunakan istilah-istilah tersebut sebagai postulat bahwa istilah-istilah tersebut sesuai dengan kenyataan. Padahal, menurut Nietzsche, tidak ada kenyataaan yang sesuai dengan istilah-istilah tersebut, yang ada hanyalah “persepsi” kita. “Tuhan”, “Islam” dan sebagainya hanya sebatas persepsi, bukan sebuah kenyataan sebagaimana adanya (objektivitas). Tetapi saya pribadi tetap optimis, sebagaimana optimisnya Immanuelt Kant dalam menelanjangi subjektifisme dan menggapai objektivitas. Dan dalam diskursus ini, saya, kamu, dia, dan kita semua boleh memilih beriman kepada siapa—Nietzsche atau Kant.

Kok pembahasannya sampai di sana? Ok, i’m sorry! Kita lanjut. Dalam penelitian etnografi, terdapat beberapa sumber data. Di antaranya: masyarakat, interaksi sosial, setting, dan benda-benda yang relevan. Pengumpulan data dari sumber-sumber data tersebut dilakukan dengan cara mengamati, terlibat langsung, dan kadang-kadang dikombinasikan dengan wawancara. Data-data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk deskripsi dan dianalisis secara logis sehingga ditemukan pola dan tema-tema yang penting.

Gambar ini dipotret pada pertemuan kedua.

Adapun pembahasan selanjutnya adalah “proses” yang harus dilalui dalam penelitian etnografi. Ringkasannya sebagai berikut:

Pertama, identifikasi satu pertanyaan atau tema untuk dikaji.

Proses pertama yang harus dilalui untuk melakukan penelitian etnografi adalah dengan mengidentifikasi satu pertanyaan atau tema yang kemudian menjadi fokus penelitian. Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa dalam penelitian etnografi, idealnya membahas satu aspek atau satu segmen dalam kebudayaan masyarakat. Dan sekali lagi, hal ini juga memberikan peluang yang besar akan kedalaman sebuah penelitian.

Kedua, identifikasi ruang atau kelompok.

Dalam penelitian etnografi, cakupan ruang penelitian biasanya meliputi kelompok yang lebih kecil dan bahkan lebih kecil. Identifikasi kelompok atau ruang penelitian ini biasanya dipilih atas dasar maksud tertentu yang juga tentunya masuk dalam tema dan fokus penelitian. Dalam poin pembahasan ini, Nurhady Sirimorok menegaskan bahwa ketika kita melakukan penelitian dalam sebuah kelompok masyarakat tertentu maka perlu adanya sebuah izin. Entah itu izin secara lisan maupun tulisan.

Lebih lanjut, ia juga membeberkan beberapa poin mengenai etika etnografi. Di antaranya tentang nama dan tempat. Bahwa dalam catatan etnografi, etis kiranya jika objek penelitian yang berkaitan tentang nama pelaku dan tempat spesifik itu dirahasiakan. Terkecuali jika terdapat izin dari pemilik nama selaku sumber data penelitian. Selain atas dasar etika etnografi, perahasiaan itu menjadi perlu, karena sesarinya dalam catatan etnografi, yang paling penting bukanlah nama pelakunya namun polanya. Pola ini mencakup pertanyaan inti penelitian dan jawabannya. Atau sebut saja premis yang kemudian disertai dengan konklusi.

Ketiga, mengamati kelompok masyarakat.

Setelah mengidentifikasi pertanyaan atau tema yang hendak diteliti dan kelompok masyarakat tempat penelitian itu berlangsung, maka selanjutnya peneliti mengamati kelompok masyarakat. Dalam etnografi, jenis peneliti dalam melakukan pengamatannya terhadap masyarakat atau objek penelitiannya dibagi menjadi dua, yakni Privileged Observer dan Participant Observer. Privileged Observer yakni jenis peneliti yang hanya mengamati objek yang ditelitinya. Sedangkan Participant Observer yakni jenis peneliti yang berperan sebagai bagian dari objek yang ditelitinya. Dalam artian ini, Participant Observer mencoba memahami objek penelitiannya melalui pengamatan yang lebih dekat yakni mengalaminya sendiri.

Dalam tahapan ini, peneliti melihat dan mendengar secara teliti dan mencatat sebanyak mungkin detail yang ditangkapnya. Baik makna yang ditangkap secara eksplisit maupun implisit. Biasanya, dalam tahapan ini, peneliti akan menghasilkan catatan lapangan yang cukup banyak tentunya dalam waktu yang juga cukup lama. Waktu yang disebutkan oleh Nurhady Sirimorok berkisar antara satu minggu sampai bertahun-tahun.

Pada bagian pembahasan ketiga ini, muncul dua pertanyaan dari peserta kelas (saya lupa siapa yang bertanya, yang pasti menurut ingatan saya ada yang bertanya). Pertama, bagaimana jika dalam proses penelitian, kita mengalami pergeseran paradigma. Atau dalam artian, awalnya kita memiliki konsepsi seperti ‘ini’ misalnya, tetapi lambat laun konsepsi kita yang ‘ini‘ berubah sejalan dengan semakin mendalamnya penelitian kita dan kita merasa berbeda, bukankah itu sebuah persepsi yang akan membuat penelitian kita tidak objektif?

Nurhady Sirimorok menjawab pertanyaan itu dengan tegas bahwa dalam penelitian etnografi harus dilakukan dengan waktu yang lebih lama. Problem yang ditampilkan dari pertanyaan tersebut akan muncul sebagai sebuah indikasi ke-tidakmendalam-nya penelitian, maka diperlukan waktu lebih lama agar penelitian itu semakin mendalam. Sehingga saya menawarkan argumen persuasif yang tepat bagi Anda yang ingin melakukan penelitian etnografi: “Tinggal dan hiduplah selama mungkin dalam kehidupan yang Anda teliti!” Tetapi menurut Nurhady, fenomena tentang munculnya perbedaan persepsi pribadi dengan objek yang diteliti adalah sebuah kewajaran. Dan yang terpenting adalah bagaimana kita menyadari itu, lalu kemudian menuliskannya. Semisal, kita menuliskannya bahwa menurut saya seperti “ini”, dan menurut mereka (objek yang diteliti) seperti “itu”. Model seperti ini disebut dengan reflektivitas dalam catatan etnografi, kata Nurhady.

Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah apa indikator yang digunakan untuk finalisasi data atau informasi yang kita dapatkan dalam penelitian etnografi? Dengan singkat, Nurhady Sirimorok menjawab bahwa informasi yang kita temukan, dapat difinalkan sebagai sebuah kebenaran ketika informasi itu “telah jenuh”. Dalam artian, semua responden telah memberikan informasi yang sama. Jikapun informasi yang dimaksud sifatnya praktik dan non-verbal misalnya, kita menyaksikan langsung kelakuan dan kebiasaan suatu masyarakat, maka setidaknya informasi tentang hal tersebut dapat difinalkan kebenarannya setelah kita menyaksikannya dengan berkali-kali (atau mungkin cukup sekali jika demikian membuat Anda yakin).

Keempat, menganalisis data.

Pada tahapan ini, peneliti mulai menganalisis catatan-catatannya, lalu dari catatan-catatan itu kemudian dapat diidentifikasi tema fokus penelitian sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada tahapan ini pula, peneliti mencari jawaban atas pertanyaan penelitian yang juga telah ditetapkan sebelumnya dan setelah itu, membuat kesimpulan logis dari analisis data yang didapatkannya.

Kelima, langkah terakhir.

Langkah terakhir dari sebuah proses penelitian etnografi adalah peneliti menulis laporan penelitian yang menggambarkan proses penelitiannya, hasil pengamatan dan temuannya, serta kesimpulan logis dari penelitian yang telah peneliti lakukan. Setelah langkah terakhir tersebut, selesai pulalah “proses” yang harus dilalui dalam penelitian etnografi.

Setelah penjelasan tentang proses harus dilalui dalam penelitian etnografi, ada beberapa pertanyaan yang muncul dan ditanyakan peserta kepada pemateri, Nurhady Sirimorok, akan tetapi saya tidak sempat mencatatnya. Jadi cukuplah sekian.

Bagi teman-teman yang ikut di Kelas Kepo Sesaat dan membaca tulisan ini, bisa menambahkan komentar berupa saran atau koreksinya, dan juga yang terpenting, jika ada pengetahuan tercecer, yang tidak sempat diikat di tulisan ini tentang penjelasan “Menulis Etnografi” yang dibawakan Nurhady Sirimorok, silakan ditambahkan di kolom komentar.

Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya. Salam Kepo!