Challenge Photography Story, Andi Alfian.

Challenge Photography Story, Andi Alfian.

Andi Alfian

Menebar Empati di SPBU Hertasning

“Empathy is about finding echoes of another person in yourself.”

— Mohsin Hamid.

Cita dan harapan selalu punya ceritanya masing-masing. Seperti mentari yang selalu bersinar di pagi hari. Meski terkadang mentari merasa bersalah, karena menyapu bersih sendu dan manisnya rembulan. Mereka—mentari dan rembulan, ketika subuh hari tiba, saling mengucap sapa temu sekaligus perpisahan, terkadang pula mereka hanya diam—tak bertutur sapa. Karena justru dengan cara demikian, mereka dapat saling memahami: bahwa hiduplah dengan rasa empati, sebab dengan begitu kita bisa saling berbagi.

Seperti pagi ini, mentari memilih diam. Diam dalam seribu bahasa mistik, melayangkan doa-doa harapan. Seperti halnya saya—dan mungkin berjuta umat manusia lainnya, melayangkan doa harapan, melantunkan frasa syukur, dan beranjak pada ikhtiar tuk hari-hari yang lebih ceria: hari ini dan esok.


[Picture 1]

Pada suatu pagi—tepat lima belas menit sebelum jam delapan, saat mengantri di salah satu SPBU di Makassar (Hertasning, SPBU 74.902.02), saya melihat seorang pengemis dengan cacat tubuh buntung kaki sebelah kiri, dan seketika rasa iba terketuk di hati. Saya menghampiri salah satu karyawan SPBU, dan darinya saya tahu, bahwa nyaris setiap pagi pengemis itu berada di tempat yang sama—di emperan SPBU itu.

[Picture 2]

Dengan jarak sekitar tujuh langkah darinya, saya menyaksikan ia sedang mencicipi nasi bungkus—saya tahu darinya, bahwa nasi bungkus itu hasil pemberian orang lain padanya. Ia tampak teramat lahap, seperti sudah tiga hari tidak menyantap makanan. Kupotret sekali lalu saya mendekatinya.

Ia melemparkan senyuman. Senyum itu menancap di kepalaku, bak anak panah tepat sasaran. Bagaimana tidak, saya menjadi selalu kepikiran, bagaimana bisa mendapatkan pengemis dengan lakon seperti itu: tersenyum meski orang lain tak tersenyum, ramah tanpa raut kesedihan di wajah. Dengan senyum yang ia tawarkan, akhirnya saya pun tersenyum sembari membayar senyum yang ia berikan. Saya pikir, senyum yang ia berikan itu adalah bentuk lain dari tagihan Tuhan tuk berkasih sayang pada sesama.

[Picture 3]

Singkatnya, saya meminta izin tuk memotretnya dan memberinya beberapa pertanyaan. Dari beberapa pertanyaan itu, saya mendapatkan beberapa informasi tentangnya, meskipun cukup banyak hal yang ia ceritakan di luar apa yang saya tanyakan. Ia begitu antusias menceritakan perih kehidupannya, entah agar saya kasihan padanya, atau mungkin agar saya menjadi termotivasi sebagaimana nada bicaranya yang sedikit persuasif dan memotivasi.

Ya, namanya Muhammad Saleh, ia tinggal di salah satu sudut nestapa kota Makassar (saya lupa nama lorongnya, yang pasti letaknya di sekitar Jalan Cendrawasih). Ia tinggal di sana—sekitar Cendrawasih, dan setiap hari diantar ke SPBU Hertasning. Dari pengakuannya, ia sudah sepuluh tahun mengemis di tempat itu, sejak 2008. Meskipun jauh sebelum 2008 ia telah berprofesi sebagai pengemis. Hal yang membuat ia betah mengemis di tempat itu adalah persoalan izin. Ia menyatakan telah dikenal dan diizinkan oleh pihak keamanan SPBU tersebut.

Lelaki pengemis yang kelahiran Bone tersebut memiliki seorang istri bernama Nurbaya. Nurbaya yang lahir di Kajang, Bulukumba—berdasarkan penyampaian suaminya, bekerja sebagai penyapu jalanan. “Biasa menyapu jalanan di pantai Losari, biasa juga di tempat lain, kalau ada kegiatannya pak walikota” terang Muhammad Saleh tentang istrinya.

[Picture 4]

Meskipun dengan fisik yang cacat, Ia memiliki lima orang anak: empat perempuan dan satu laki-laki. Tiga anaknya sudah menikah. Sedang, ia menanggung biaya sekolah tiga anak—dua anak tiri dan 1 anak kandungnya (anak kandung yang bungsu).

Penghasilan rata-ratanya dalam sehari minimal Rp. 100.000. “Dalam sehari, jarangki dapatkan dibawahnya seratus ribu, jarang” ungkapnya. Selain penghasilannya itu, ditambah lagi penghasilan istrinya yang kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Terkadang mencukupi terkadang pula kekurangan. Begitulah kehidupan(nya).

Dalam seminggu ia rutin berpuasa Senin-Kamis sebagai bentuk ibadah sunah sekaligus tuk meringankan biaya hidup rumah tangganya. Dan dalam kesehariannya, ia mengaku, ia tidak pernah hanya duduk menanti pemberian orang lain atau dalam artian ia tidak suka meminta, ia hanya menyusuri jalan ke mana saja sehingga ada orang yang mengasihaninya. Dan di samping itu, setiap harinya pula ia meluangkan waktunya tuk melaksanakan salat Zuhur dan Asar. Sekaligus istirahat, melepaskan penatnya di masjid.

Hal yang membuat ia tidak pernah lupa terhadap masjid adalah masa lalunya. Ia pernah menjadi seorang guru mengaji. Dan orang tuanya juga seorang guru mengaji, namanya Pannu. Konon, ayahnya ini adalah salah satu anggota akrab dari Abdul Kahar Muzakkar. Dan bahkan beliau sedikit-banyak menceritakan mengenai lakon perjuangan Kahar Muzakkar. Jika sejarawan adalah orang yang setidaknya memahami sedikit sejarah, maka tentu ia adalah sejarawan. Tapi bukankah semua orang punya sejarahnya masing-masing?

[Picture 5]

Selain pernah menjadi guru mengaji, dulu, ia juga pernah menjadi tukang becak. Hal yang membuat ia berhenti menjadi tukang becak adalah, karena terkena penyakit kusta. Berawal dari kakinya yang terkena pecahan botol dan tidak pernah ia obati hingga kemudian harus diamputasi.

Selain itu, yang mengibakan juga adalah ia telah menderita penyakit kusta semenjak usia 12 tahun. Dan karena itulah ia tahu bahwa umurnya tak lama lagi. Apalagi ketika ia mendengarkan perkataan orang tua, tetangganya, bahwa konon orang yang terkena penyakit kusta dalam jangka 10 tahun ke depan akan mendapati kematiannya. Dan semua itulah yang mengantarkan ia pada tataran nilai religius-spiritualitasnya sekarang.

Di tengah-tengah pembicaraan tentang perjuangan hidup si pengemis yang mengulik-mengupas naluri kemanusiaan, saya bertanya kepadanya, “apakah dibenak bapak tidak pernah muncul rasa sesal dan kekesalan terhadap Tuhan yang menciptakan bapak demikian?”

Dengan nada suara yang tegas, ia membacakan sebuah ayat dalam Alquran yang kurang lebih berarti bahwa ‘Tuhan selalu berbuat adil terhadap hambanya, dan bahkan selalu ada nikmat yang Tuhan berikan di setiap penderitaan’. Mendengar itu, saya tergugah, bagaimana tidak, seorang pengemis jalanan yang tidak pernah menyentuh bangku sekolah mampu menghafal dan bahkan memahami makna ayat Alquran, kitab suci agama yang ia anut.

Setelah melafalkan ayat itu, ia melanjutkan dengan menyodorkan sebuah pertanyaan: apa cita-citata nak? Mendengar pertanyaan itu, saya menoleh dan menatap matanya. Saya terkesiap, ia menatap saya dengan tajam, pisau mata hatinya. “Saya mahasiswa pak”, jawab saya singkat. Saya menyambungnya dengan menyebutkan cita-cita saya. (Entah, cita-cita yang saya jawab penting untuk juga dituliskan di sini atau tidak).

“InsyaAllah, agar cita-citata’ tercapai, jangan lupa satu pesan saya nak: jujurki. Karena dengan jujur, adami modal besarta supaya bahagia. Sebagaimana Rasulullah…..” tanggap pengemis itu setelah mendengar jawaban saya, sembari mengutip dalil hadis penguat pesan yang ia sampaikan. Saya terdiam. Hanya bisa mendoakan, semoga kebahagiaan senantiasa menghidupkan kita semua. Sehatki pak.

“Ketika orang bicara, maka dengarkan sepenuhnya. Kebanyakan orang tidak pernah mendengarkan”.

—Ernest Hemingway.

[Picture 6]

*Informasi yang saya tuliskan di sini adalah hasil dari mendengarkan. Dan saya pikir, salah satu cara terbaik tuk berempati adalah dengan mendengarkan. Dengarlah, niscaya empati akan menyapa, setidaknya itu adalah langkah awal tuk berbagi.

Keterangan:

  • Hasil potretannya terhapus dari blog, akan diupload lagi suatu hari.
  • Alamat SPBU: Jalan Letjen Hertasning No.9, Kassi-Kassi, Rappocini, Kota Makassar.
  • Gambar dipotret dengan menggunakan kamera Nikon D5200, dan diikutkan dalam “Challenge Photography Story”
Load comments