Menulis Opini: Sebuah Catatan di Kelas Kepo Sesaat

Menulis Opini: Sebuah Catatan di Kelas Kepo Sesaat

Kelas Kepo Sesaat

Ketika membawakan materinya, Fadlan L Nasurung membuka kelas Menulis Opini setidaknya dengan tiga kalimat utama ini:

Menulis itu kata kerja, bukan sebuah teori. Kalimat tersebut seringkali saya dengarkan ketika bersua di berbagai kelas menulis, termasuk di Kelas Kepo Sesaat. Kalimat itu kembali menampakkan diri, menegaskan bekas-bekasnya yang lalu. Kalimat yang sudah sepantasnya menjadi pembuka pamungkas yang dipakai oleh para mentor kepenulisan. Jika tak salah, saya mendengar kalimat itu pertama kali dari Eka Kurniawan di salah satu tulisannya tentang menulis.

Entah siapa yang pertama kali mengungkap terma ini. Setidaknya, jika sewaktu-waktu saya berbicara tentang menulis—jika saya benar-benar telah menjadi seorang penulis, maka mungkin kalimat ini pulalah yang akan saya ucapkan terlebih dahulu—sebelum mengucapkan: saya bukanlah penulis, tapi petani. Bukankah kata M. Aan Mansur, kertas itu juga bumi? [Hehehe]

Menulis itu seperti berbahasa. (Setidaknya kalimat ini adalah kalimat kedua Fadlan dalam membuka materinya). Belajar menulis itu seperti belajar berbahasa. Ketika kita menganggap menulis sebagai sebuah teori, maka menulis akan menjadi hal yang menyulitkan.  Begitupun dengan berbahasa. Semisal, pernahkah kita berpikir bahwa kita belajar berbahasa Inggris selama kurang lebih 10 tahun (Coba dihitung, kita belajar bahasa Inggris di SD selama 4 tahun—sejak kelas 3 sampai kelas 6, kemudian dilanjutkan di SMP selama 3 tahun, lalu kemudian di SMA selama 3 tahun). Namun hasilnya, sebagian besar dari kita masih sangat sulit berbicara menggunakan bahasa Inggris di depan umum. Hal ini, menurut Fadlan, disebabkan oleh paradigma dan perlakuan kita terhadap bahasa sebagai sebuah teori.

Sehingga yang terjadi kita malah tidak bisa berbahasa, sebab kita terjebak dalam tata kebahasaan (aturan-aturan berbahasa). Sehingga, orang yang belajar bahasa dengan cara “langsung praktik berbicara” dengan mudah menguasai sebuah bahasa dibandingkan dengan hanya sekadar mempelajarinya sebagai sebuah tata kebahasaaan.

Dari landasan ini, Fadlan menarik sebuah konklusi bahwa menulis juga demikian. Harus dipraktikkan secara langsung tanpa dibebani oleh aturan-aturan yang baku yang mengekang kreatifitas. Maka, paradigma tentang “menulis adalah sebuah teori” haruslah digantikan dengan paradigma “menulis adalah kata kerja” sebagaimana di kalimat pertama di atas.

Penulis yang baik adalah pembaca yang baik pula. Kalimat ini juga sudah berulang kali saya dengar. Dan bahkan akan selalu saya ucap, saya camkan. Jika Anda merasa tidak sepakat dengan kalimat ini, maka satu hal yang pasti, bahwa Anda bukanlah pembaca buku yang baik. Dan mungkin, bukan pula penulis yang baik. Itu hanya kemungkinan. Sedangkan bagi Fadlan, kalimat di atas haruslah ditambahkan sebuah term yang mewakili kegiatan ‘diskusi’, sehingga yang saya pahami, ia menginginkan kalimat tersebut diubah setidaknya menjadi: “penulis yang baik adalah pembaca buku yang rakus dan tentu juga suka berdiskusi”.

Hal ini disebabkan karena, menurut Fadlan, selain membaca, berdiskusi juga membuat otak kita aktif dan bereproduksi. Nah, dalam kegiatan membaca buku itu sendiri, ada dua aktivitas yang sebenarnya berjalan secara beriringan. Pertama, mencerna. Ketika kita membaca maka kita berusaha mencerna apa yang ingin disampaikan oleh penulis dalam buku yang kita baca, atau singkatnya, mencerna makna yang ada dalam buku bacaan kita. Kedua, mereproduksi. Pikiran kita mereproduksi makna baru yang juga sebenarnya berasal dari proses mencerna sebelumnya. Resensi atau teraju buku merupakan bentuk nyata dari reproduksi membaca atau mencerna sebuah buku.

Begitupun dalam berdiskusi, pikiran kita seperti ketika membaca, juga mencoba mencerna gagasan-gagasan dari teman diskusi kita. Juga sekaligus mereproduksi gagasan-gagasan yang baru. Sehingga berdiskusi merupakan salah satu aktivitas yang juga perlu dilakukan dalam mencari dan menemukan sebuah gagasan yang nantinya dapat dituangkan dalam sebuah tulisan.

Sebenarnya ada hal yang unik dari kata membaca. Membaca—perintah pertama yang Tuhan turunkan kepada manusia dalam agama Islam, bukanlah sekadar membaca buku. Tetapi membaca perlu dipahami sebagai sebuah perintah sarat makna. Karena membaca sejatinya adalah memahami pesan-pesan Tuhan, melalui medium apa saja. Bisa mata, hidung, telinga, dan lain-lain. Bukankah ketika kita melihat saudara kita menderita lantas membuat hati kita terketuk? Bukankah itu membaca? Maka membacalah sebaik mungkin, karena dari sana, kita akan banyak menemukan gagasan untuk dituliskan.

Mengapa membaca buku penting terhadap kepenulisan opini? Selain jawaban-jawaban di atas, juga berdasar dari pemaparan materi Fadlan, membaca buku sangatlah penting dikarenakan buku-buku yang dibaca bertujuan untuk memberikan perspektif atau sudut pandang yang menarik dan kaya akan pengetahuan baru. (Books give you a better perspective).

Gambar ini dipotret pada pertemuan kedua.

Nah, setelah tiga kalimat pembuka di atas, barulah Fadlan memaparkan materinya. Dan begitu juga ditulisan ini, setelah tiga kalimat pembuka di atas, baru pulalah saya mencatat materi yang saya pahami berikut ini:

Untuk membuat tulisan opini (menulis opini), setidaknya penulis harus melewati dan memilikit aspek-aspek dari tahapan berikut:

Pertama, penguasaan topik dan masalah.

Dalam menulis, apapun itu, kita akan berjumpa dengan kesulitan jika bahkan perihal yang akan kita tuliskan belum diketahui. Namun, bukan berarti sekedar mengetahui tema yang akan kita tulis mampu membuat hasil tulisan kita baik, tentu saja tidak. Diperlukan penguasaan yang mendalam terhadap sebuah tema yang akan ditulis. Saran dari Fadlan, kita bisa memulai menulis dari hal-hal yang kita kuasai semisal perihal yang berkaitan dengan jurusan atau profesi kita. Ataukah bahkan berdasarkan genre buku-buku bacaan kita.

Karena betapa anehnya jika kita seorang agamawan fanatik dan tak tahu banyak tentang kesehatan lantas menyela pendapat para ahli kesehatan. Begitu pula sebaliknya, jika kita berprofesi sebagai ahli kesehatan dan tak tahu banyak tentang hukum dan agama namun sibuk menyabdakan hukum sesat-bid’ah terhadap sesama umat beragama. Tentu akan kedengaran aneh. Maka di sinilah pentingnya seseorang menulis dan berbicara perihal apa yang mereka kuasai, sehingga dengan penguasaannya, ia bisa mempertanggungjawabkan tulisannya.

Kedua, ide atau gagasan.

Ide kepenulisan dalam opini, menurut Fadlan bisa datang dari mana saja. Baik yang datang saat kita membaca buku, berdiskusi maupun saat berkendara dan saat-saat menginspirasi lainnya. Ide atau gagasan yang lahir dari inspirasi tentu diwarnai oleh ruang dan waktu. Dan biasanya, pendakuan Fadlan, ide atau inspirasi yang ditulis secepat mungkin—saat masih dalam ruang dan waktunya, berpotensi memiliki rasa (sense) yang jauh lebih signifikan dibandingkan ide yang ditulis beberapa hari sejak kemunculannya.

Mungkin hal ini sering terjadi pada kita—pemula. Sering menunda-nunda ide untuk dituliskan, dan akhirnya, ide tersebut hanya pernah ada dalam dunia ide. Cara mengatasinya tentu hanya dengan langsung menuliskannya ketika inspirasi itu datang. Itu juga salah satu alasan mengapa menulis itu penting, agar kita bisa mengikat ide, sebagaimana yang diserukan oleh Ali bin Abi Thalib bahwa, “ikatlah ilmu dengan tulisan!”

Ketiga, argumentasi.

Bagian argumentasi yang dimaksud adalah gagasan atau perspektif. Dalam menulis tulisan opini, seorang penulis haruslah memiliki perspektif yang unik. Perspektif ini dapat ditampilkan melalui argumentasi yang kokoh dan berdasar. Tentu dalam opini, dibolehkan cocologi. Hanya saja, cocologi dalam bentuk yang berdasar. Artinya, cocologi dalam tulisan opini harus memiliki basis argumentasi yang kuat. Dengan kata lain, spekulatif dan logis.

Keempat, teknik kepenulisan.

Dalam menulis, tulisan apapun itu, tentu dibutuhkan teknik kepenulisan agar tulisan tersebut dapat diciptakan secara efisien. Dalam menulis opini, seperti halnya menulis jenis tulisan yang lain, tentu secara teknis diperlukan tata kebahasaan atau tata kepenulisan. Dan untuk itu, seorang penulis opini, setidaknya telah memahami tata kepenulisan tersebut.

Teknik kepenulisan yang ditawarkan oleh Fadlan dalam materinya terdiri dari empat poin. Saya meringkasnya kurang lebih sebagai berikut:

Judul: judul yang baik itu singkat dan memikat.
Lead (Teras): alinea pembuka yang baik itu menarik dan mengalir.
Batang Tubuh: batang tubuh atau isi tulisan haruslah berisi gagasan, argumentasi atau pendakuan teori, dan contoh-contoh atau data.
Ending (Kesimpulan): kesimpulan meliputi rangkuman tulisan secara padat.

Kelima, pengetahuan bahasa.

Pernahkah kita membaca sebuah tulisan—mungkin tulisan kita sendiri, yang tulisan bagian awal, tengah, dan akhir itu menyampaikan hal yang sama saja? Tulisan yang berputar entah hendak ke mana. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan kita akan kebahasaan. Dalam artian, kita masih kurang mampu memperlakukan bahasa sebagaimana bahasa. Sehingga, dalam menulis, kita mengalami kesulitan menyampaikan maksud. Dan cara terbaik mengatasinya, sekali lagi, adalah dengan banyak membaca. Semakin banyak pengetahuan kita dari membaca, maka sangat memungkinkan pula kita memainkan bahasa untuk menyampaikan sebuah maksud, sebagaimana kemauan dan ciri khas kita sendiri.

Keenam, wawasan media massa.

Salah satu cara agar gagasan kita dibaca oleh publik adalah dengan menuliskan dan mengirimnya ke media massa. Adapun tip-tip yang dibagikan oleh Fadlan L Nasurung sebagai salah satu penulis opini di beberapa koran lokal—Makassar, yakni sering-seringlah menulis, sering-seringlah mengirimkan tulisan ke koran. Itu saja—itu saja tip yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Ayo semakin giat mengirim tulisan!

Selebihnya, ada beberapa hal yang kemudian ia paparkan sebagai sebuah prasyarat yang sebaiknya diterapkan dalam tulisan opini agar bisa dipertimbangkan oleh redaksi media cetak (ini merujuk dari pengalamannya yang telah berkali-kali dan sering kali mampu menembus beberapa koran lokal di Makassar):

Pertama, tema tulisan harus aktual.
Kedua, tulisan memilki angel atau sudut pandang yang menarik.
Ketiga, di dalam tulisan, penulis benar-benar mengeksplorasi gagasan secara mendalam.
Keempat, tulisan bersifat reflektif.
Kelima, dalam tulisan, penulis menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami pembaca.

Segitu saja yang sempat saya catat di pertemuan kelima Kelas Kepo Sesaat, sampai jumpa di pertemuan selanjutnya. Salam KEPO!

Load comments