Saat Pendidikan Tidak Lagi Berguna

Saat Pendidikan Tidak Lagi Berguna

Photo by Roman Mager on Unsplash

“…..

“Praaaaaakk,” kayu dengan lebar kurang lebih lima sentimeter mendarat di atas meja persegi panjang. Getarannya membuat pulpen di atas meja terplanting jatuh ke lantai, penutup pulpen tersebut melepaskan diri. Dan juga para siswa, mereka seperti nyaris di tabrak mobil truk, menganga dan terdiam seperti mengalami kematian.

“Kok kamu bisa masuk sekolah di sini, sedang menulis namamu saja tidak becus” bentak Qasim selaku seorang guru kepada siswanya, Baco—siswa di sekolah menengah pertama (SMP) yang tidak tahu menulis namanya dengan benar.

Walhasil, setelah kejadian itu, Qasim didatangi polisi karena tuduhan menzolimi muridnya. Ini adalah ulah Baso yang melaporkannya ke polisi dengan dalil pelanggan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana yang Baso pernah lihat di siaran berita televisi suatu hari. Dengan usahanya itu, akhirnya Baso bisa kembali bersekolah dengan nyaman tanpa ada teguran karena masih buta huruf.


Menikmati masa liburan semester ini, saya teringat tulisan saya di liburan semester sebelumnya. Tulisan tersebut berjudul Pendidikan Ketakutan dan Akhir Semester. Dalam tulisan itu, setidaknya saya ingin menampilkan bahwa pendidikan kita hari ini menderita penyakit. Baik penyakit ketakutan maupun penyakit menakutkan. Penyakit ketakutan dapat dilihat ketika akhir semester telah tiba (sebagaimana yang telah ditampilkan di tulisan tersebut), dan penyakit menakutkan (sebagaimana yang akan ditampilkan di tulisan ini).

Berbagai penyakit menakutkan yang diderita oleh pendidikan kita merupakan penyakit yang lahir dari realita dunia pendidikan yang sifatnya ironis. Pendidikan yang seharusnya menciptakan nilai kepantasan hidup, ketentraman dan kesejahteraan, malah terkadang berperang sebagai tempat lahirnya benih-benih ketimpangan, dan kebobrokan nilai kemanusiaan. Hal ini disebabkan oleh hasil pendidikan yang salah kaprah. Pendidikan yang menakutkan.

Dalam kasus ini, saya teringat pernyataaan Nurhady Sirimorok ketika membawakan materi Etnografi di kelas kepo, bahwa menurut hasil pengamatannya, mahasiswa di sulawesi selatan khususnya mahasiswa di Makassar, tidak tahu menggunakan teori. Sehingga, lanjut Nurhady, ketika mahasiswa Makassar tampil berbicara di depan umum akan terkesan seperti penghafal teori atau pamer teori.

Sesari yang saya tangkap dari pernyataan itu bahwa pendidikan di dunia kampus yang formalnya mengajarkan ilmu pengetahuan—termasuk teori, kepada mahasiswa tidaklah becus. Entah, apakah kata becus mampu menginterpretasikan rusaknya produk dari pendidikan seperti ini. Di sisi lain, pendidikan formal juga banyak diserang dengan fakta-fakta yang menggelikan. Sehingga peran positif dunia pendidikan tampak paradox dalam realitas masyarakat.

Semisal, fakta menarik tentang Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Konon Susi tidak memiliki gelar karena bahkan tuk menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) pun tidak. Namun dengan kegigihan dan pengetahuan yang ia dapatkan dari kontemplasi hidup mengajarkan hal bermakna bagi kehidupannya. Pada tataran ini, jika pendidikan yang tidak menemukan kesejatiannya, pendidikan yang kehilangan fitrahnya, hanya akan menjadi penyakit.

Lihatlah, bagaimana sebagian pemimpin kita yang katanya berpendidikan tetapi dengan pendidikannya membuatnya hina di mata saudaranya. Sungguh sebuah ironi.

Fakta mengelikan di atas memberikan konklusi pada kita untuk kembali merenungi letak kesalahan pendidikan kita. Jika kita mungkin tidak ingin lagi berpikir keras, cara terbaik untuk itu adalah dengan tidak bersekolah, dengan tidak kuliah. Namun persoalannya adalah apakah probabilitas akan pencapaian makna hidup akan semakin tinggi dengan mengambil jalan alternatif yang namanya sekolah atau kuliah? Mungkin ya, mungkin juga tidak—namanya probabilitas.

Seorang penulis Brazil yang bernama Paulo Coelho, pernah menulis catatan pendek tentang  hal yang senada dengan persoalan ini, ditulisannya yang berjudul Arti Penting Sebuah Gelar. Tulisan tersebut termuat di dalam bukunya: Seperti Sungai yang Mengalir: Buah Pikiran dan Renungan. Dalam tulisan tersebut, Paulo menceritakan seorang tukang cukurnya yang bekerja siang-malam supaya anak perempuannya bisa lulus universitas dan memperoleh gelar. Akhirnya anak itu lulus, lalu mencari lowongan kerja ke mana-mana, dan akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris di sebuah pabrik semen. Meskipun hanya di pabrik semen, tetap saja tukang cukurnya tersebut berkata dengan sangat bangga bahwa anak perempuannya punya gelar.

Bukan hanya itu, Paulo Coelho kemudian melanjutkan bahwa sebagian besar temannya, dan sebagian besar anak-anak mereka mempunyai gelar. Namun sayangnya, gelar yang mereka miliki tidak memutlakkan ia berhasil mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. “Sama sekali tidak,” tulis Paulo Coelho.

Lebih tepatnya lagi, Paulo menuliskan bahwa mereka—para mahasiswa—masuk universitas karena seseorang berkata bahwa ‘agar bisa mendapatkan tempat yang mapan di dunia ini, orang harus mempunyai gelar pendidikan’. Sehingga dengan paradigma seperti inilah, kata Paulo, dunia ini kehilangan kesempatan untuk memiliki orang-orang yang sebenarnya adalah tukang-tukang kebun yang hebat, tukang-tukang roti, pedagang-pedagang barang antik, pematung-pematung, dan penulis-penulis.

Dan akhirnya, sebuah pertanyaan kritis yang dilayangkan Paulo Coelho kepada pembacanya bahwa: Para dokter, insinyur, ilmuwan, dan pengacara memang perlu belajar di universitas, tetapi apakah setiap orang juga perlu berbuat demikian? Apakah setiap orang harus dan wajib menjadi dokter, insinyur, ilmuwan atau pengacara? Lalu siapa yang akan menjadi petani?

Load comments