Menulis Bukan Cabang Olahraga

Menulis Bukan Cabang Olahraga

Saya menulis bukan untuk dipuja. Bukan untuk dibayar. Apalagi untuk dikenang. Tidak. Sungguh!  Atau mungkin lebih tepatnya: tulisan saya belum pantas untuk semua itu.


Sore tadi, setelah sekian lama jeda, tiba juga kesempatan untuk bersua kembali dengan para pegiat literasi di Forum Lingkar Pena (FLP) ranting UIN Alauddin Makassar. Kita kembali merajut benang yang dulu sempat tak terurai, menjadi sebuah kain ukhuwah dalam bingkai Generasi Pena FLP UIN Alauddin Makassar.

Kesannya:

Dalam perjumpaan itu, berdasarkan amatan saya, seperti terdapat terungku eksistensialis yang menyebabkan saya pribadi dan juga mungkin teman-teman yang lain, untuk bisa menyerukan suara sapa. Terungku eksistensialis ini semacam rasa enggan untuk saling menyapa dan bertukar senyum. (Maklum, dalam kegiatan apa saja, saya selalu suka mencari lawan untuk tersenyum).

Selain kesan di atas, terdapat pula kesan keterasingan. Saya ingat, kesan itu muncul tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul 17:00. Saya mencoba melepaskan bola mata dari kelopaknya, saya pakai memandang wajah sata sendiri, asing. Wajah ini tampak asing dalam kerumunan wajah-wajah yang lain. Mengapa?

Mungkin karena sejauh ini kita masih minder untuk saling bertukar salam, ragu untuk saling menyapa. Enggan untuk bertukar senyum. Mungkin. Entahlah. Esok hari, saya hanya berharap kita bisa melakukan semua itu: bertukar salam, senyum dan sapa. Semoga saja.

Komentarnya:

Perjumpaan sore tadi dibuka dengan obrolan tentang mengapa belum juga menghasilkan karya. Atau mengapa karyanya belum juga dimuat di media, media cetak. Apa kendalanya. Obrolan ini dibuka oleh salah satu mahasiswa senior dalam rajutan FLP UINAM, Ika Rini Puspita.

“Apa kendalanya?” tanya Ika Rini Puspita. Hanya pertanyaan itu, selebihnya, ia mencoba menyapa pendengarnya dengan berbagai kalimat motivasi dan rayuan. Saya pikir ia berbakat menjadi seorang motivator, penginspirasi, dan juga pengiklan. Mengiklan diri sendiri, itu tak dapat dimungkiri sebagai makhluk sosial. (Karena saya juga kadang demikian, berbicara dengan sedikit herois dan itu terdengar mengiklan😀).

Tapi tidak ada yang salah dengan hal itu, karena tujuannya baik, yakni memotivasi dan membangkitkan gairah kepenulisan dengan menawarkan contoh prestasi yang ada pada dirinya. Tak ada yang salah. Karena bahkan, berkat prestasi dan pengalaman yang ia bagikan, saya berpikir, saya harus lebih baik dari dia.

Setelah menyodorkan pertanyaan tersebut: apa kendalanya? Satu per satu teman-teman menjawab, dan saya menyimak jawaban mereka. Saya pikir, jawaban dari pertanyaan itu menggambarkan gairah kepenulisannya. Dan jawabannya hanya seputar: saya malas, saya sibuk, saya sudah mengirimnya ke media tapi ditolak, tidak direspon, saya sedang menuliskannya, dan jawaban lainnya. Entah sesekali saya berpikir akan menjawab: saya tidak punya kendala besar selain pertanyaan itu sendiri. Abstrak sekali.😀

Meskipun jawaban yang ada dipikiran seperti itu, tetapi saya malah menjawab: saya suka menulis untuk diri saya sendiri, dan kebiasaan itu, membuat saya lupa menulis untuk orang lain. Ya, itu terasa dengan jelas, akhir-akhir ini saya sibuk menulis untuk diri saya sendiri saja dan karena saya jatuh cinta pada tulisan fiksi panjang, akhirnya saja tersesat di sana. Entah, apakah tulisan diary dan refleksi akan menjadi sebuah buku dan itu menjadi komsumsi publik?

Selain kebiasaan di atas, sebenarnya saya juga kadang (tidak menggunakan kata sering) menulis di beberapa portal. Tentu orientasinya agar dibaca oleh publik. Tetapi senior saya, Ika Rini Puspita, mengatakan bahwa menulis di media daring (online) atau portal sebenarnya kurang wah karena beberapa alasan yang diungkapnya. Meskipun ia tak meremehkan jenis media massa tersebut. Tetapi baginya, ada rasa wah-nya sendiri jika tulisan dimuat di media cetak.

Dengan pandangannya itu, Ika Rini Puspita, dengan kalimat-kalimat motivasinya, menggenjot hasrat kami agar mengirim tulisan ke media cetak. Sungguh itu sebuah kesyukuran bagi kami karena mendapatkan banyak pencerahan, tetapi selaku junior ada kesan tertekan. Dan kesan inilah yang membuat banyak para pegiat literasi menjadi pemalas literasi (tabe’, pemalas literasi maksudnya teman-teman TOWR V yang melarikan diri😁). Mereka enggan tuk bergabung lagi disebabkan, salah satunya, karena hal itu. (Informasi ini berdasarkan unek-unek dari seorang kawan dan semoga saja esok ia bergabung lagi jadi pegiat literasi di FLP).

Sebagai penulis pemula (entah apakah kata penulis pantas untuk kita), harus bebas dari tendensi apapun, termasuk tendensi di atas. Bebas dari aturan praktis menulis. Karena dalam menulis dibutuhkan kebebasan. Meskipun dalam ranah nilai, kebebasan itu harus bernilai etis. Dan dengan kebebasan itulah, menulis menjadi jalan kebahagiaan. Bukan menulis yang menyebalkan.

Meskipun tidak juga dapat dimungkiri bahwa dalam belajar dan berlatih menulis, dibutuhkan saran atau tips. Dan terkadang, tips ini menjadi hal yang sifatnya mengatur. Membuat kita harus menyesuaikan pada tips dan aturan itu. Pada situasi inilah, kita menulis dalam tekanan. (Jika Anda pernah mendapat tugas kuliah tentang menulis artikel, makalah dan sejenisnya beserta dengan aturan-aturan teknis khusus, Anda pasti tahu seberapa menyebalkan kegiatan menulis itu). Padahal menulis yang ideal sungguh membahagiakan.

Saya teringat saran dari salah seorang penulis, jurnalis, sekaligus kritikus, yang berasal dari Amerika, namanya Lev Grossman. Ia pernah  berpesan kepada para penulis pemula bahwa ‘jangan pernah mengikuti saran tentang menulis dari orang lain dengan serius’.

Kalimat Lev Grossman di atas setidaknya bermakna persuasif. Mengajak kita untuk memegang nilai-nilai independensi dan objektivitas dalam memegang pena. Kita haruslah memiliki kebebasan menulis. Apalagi jika kita pemula. Pemula berhak mendapati jalan kepenulisannya masing-masing.

Sehingga, keberagaman jawaban teman-teman terhadap pertanyaan “apa kendala menulis” adalah manifestasi dari jalan kepenulisan mereka sendiri. Siapa tahu dengan malas menulis mereka menjadi penulis kondang? Siapa tahu dengan sibuk, entah sibuk apa, mereka malah menjadi penulis produktif nan hebat? Siapa tahu dengan menulis untuk diri sendiri, malah menjadi penulis yang karyanya mengalahkan karya-karya penulis sekaliber Ernest Hemingway, Paulo Coelho, dan penulis hebat lainnya. Siapa yang tahu?

Bagi saya, menulis itu bisa menjadi hal yang misterius jika dijalani dengan misterius. Bisa pula menjadi hal yang menyebalkan jika dijalani dengan penuh rasa kesal. Bisa pula membahagiakan jika kita meniliknya dengan jalan kebahagiaan. Semuanya bisa dijalani selama Anda memilih yang mana. Karena sesulit apapun pilihan, tindakan terbodoh seorang manusia adalah tidak memilih. Bukankah hidup adalah pilihan?

Intinya, menulislah!

Untuk kalian, kusampaikan pesan seorang Novelis, Paul Theroux, ia pernah berkata: “Kamu perhatikan tidak, betapa seringnya atlet olimpiade berterima kasih kepada orangtua mereka atas segala kesuksesan yang telah mereka raih? ‘Ibu saya mengantarkan saya ke tempat latihan setiap subuh,’ dll. Menulis bukan cabang olahraga. Ibumu takkan menjadikanmu penulis hebat. Nasihat saya kepada para muda-mudi yang ingin jadi penulis adalah: keluar dari rumah orangtuamu.”

Thanks for reading!

Saat Pendidikan Tidak Lagi Berguna

Saat Pendidikan Tidak Lagi Berguna

Photo by Roman Mager on Unsplash

“…..

“Praaaaaakk,” kayu dengan lebar kurang lebih lima sentimeter mendarat di atas meja persegi panjang. Getarannya membuat pulpen di atas meja terplanting jatuh ke lantai, penutup pulpen tersebut melepaskan diri. Dan juga para siswa, mereka seperti nyaris di tabrak mobil truk, menganga dan terdiam seperti mengalami kematian.

“Kok kamu bisa masuk sekolah di sini, sedang menulis namamu saja tidak becus” bentak Qasim selaku seorang guru kepada siswanya, Baco—siswa di sekolah menengah pertama (SMP) yang tidak tahu menulis namanya dengan benar.

Walhasil, setelah kejadian itu, Qasim didatangi polisi karena tuduhan menzolimi muridnya. Ini adalah ulah Baso yang melaporkannya ke polisi dengan dalil pelanggan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana yang Baso pernah lihat di siaran berita televisi suatu hari. Dengan usahanya itu, akhirnya Baso bisa kembali bersekolah dengan nyaman tanpa ada teguran karena masih buta huruf.


Menikmati masa liburan semester ini, saya teringat tulisan saya di liburan semester sebelumnya. Tulisan tersebut berjudul Pendidikan Ketakutan dan Akhir Semester. Dalam tulisan itu, setidaknya saya ingin menampilkan bahwa pendidikan kita hari ini menderita penyakit. Baik penyakit ketakutan maupun penyakit menakutkan. Penyakit ketakutan dapat dilihat ketika akhir semester telah tiba (sebagaimana yang telah ditampilkan di tulisan tersebut), dan penyakit menakutkan (sebagaimana yang akan ditampilkan di tulisan ini).

Berbagai penyakit menakutkan yang diderita oleh pendidikan kita merupakan penyakit yang lahir dari realita dunia pendidikan yang sifatnya ironis. Pendidikan yang seharusnya menciptakan nilai kepantasan hidup, ketentraman dan kesejahteraan, malah terkadang berperang sebagai tempat lahirnya benih-benih ketimpangan, dan kebobrokan nilai kemanusiaan. Hal ini disebabkan oleh hasil pendidikan yang salah kaprah. Pendidikan yang menakutkan.

Dalam kasus ini, saya teringat pernyataaan Nurhady Sirimorok ketika membawakan materi Etnografi di kelas kepo, bahwa menurut hasil pengamatannya, mahasiswa di sulawesi selatan khususnya mahasiswa di Makassar, tidak tahu menggunakan teori. Sehingga, lanjut Nurhady, ketika mahasiswa Makassar tampil berbicara di depan umum akan terkesan seperti penghafal teori atau pamer teori.

Sesari yang saya tangkap dari pernyataan itu bahwa pendidikan di dunia kampus yang formalnya mengajarkan ilmu pengetahuan—termasuk teori, kepada mahasiswa tidaklah becus. Entah, apakah kata becus mampu menginterpretasikan rusaknya produk dari pendidikan seperti ini. Di sisi lain, pendidikan formal juga banyak diserang dengan fakta-fakta yang menggelikan. Sehingga peran positif dunia pendidikan tampak paradox dalam realitas masyarakat.

Semisal, fakta menarik tentang Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Konon Susi tidak memiliki gelar karena bahkan tuk menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) pun tidak. Namun dengan kegigihan dan pengetahuan yang ia dapatkan dari kontemplasi hidup mengajarkan hal bermakna bagi kehidupannya. Pada tataran ini, jika pendidikan yang tidak menemukan kesejatiannya, pendidikan yang kehilangan fitrahnya, hanya akan menjadi penyakit.

Lihatlah, bagaimana sebagian pemimpin kita yang katanya berpendidikan tetapi dengan pendidikannya membuatnya hina di mata saudaranya. Sungguh sebuah ironi.

Fakta mengelikan di atas memberikan konklusi pada kita untuk kembali merenungi letak kesalahan pendidikan kita. Jika kita mungkin tidak ingin lagi berpikir keras, cara terbaik untuk itu adalah dengan tidak bersekolah, dengan tidak kuliah. Namun persoalannya adalah apakah probabilitas akan pencapaian makna hidup akan semakin tinggi dengan mengambil jalan alternatif yang namanya sekolah atau kuliah? Mungkin ya, mungkin juga tidak—namanya probabilitas.

Seorang penulis Brazil yang bernama Paulo Coelho, pernah menulis catatan pendek tentang  hal yang senada dengan persoalan ini, ditulisannya yang berjudul Arti Penting Sebuah Gelar. Tulisan tersebut termuat di dalam bukunya: Seperti Sungai yang Mengalir: Buah Pikiran dan Renungan. Dalam tulisan tersebut, Paulo menceritakan seorang tukang cukurnya yang bekerja siang-malam supaya anak perempuannya bisa lulus universitas dan memperoleh gelar. Akhirnya anak itu lulus, lalu mencari lowongan kerja ke mana-mana, dan akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris di sebuah pabrik semen. Meskipun hanya di pabrik semen, tetap saja tukang cukurnya tersebut berkata dengan sangat bangga bahwa anak perempuannya punya gelar.

Bukan hanya itu, Paulo Coelho kemudian melanjutkan bahwa sebagian besar temannya, dan sebagian besar anak-anak mereka mempunyai gelar. Namun sayangnya, gelar yang mereka miliki tidak memutlakkan ia berhasil mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. “Sama sekali tidak,” tulis Paulo Coelho.

Lebih tepatnya lagi, Paulo menuliskan bahwa mereka—para mahasiswa—masuk universitas karena seseorang berkata bahwa ‘agar bisa mendapatkan tempat yang mapan di dunia ini, orang harus mempunyai gelar pendidikan’. Sehingga dengan paradigma seperti inilah, kata Paulo, dunia ini kehilangan kesempatan untuk memiliki orang-orang yang sebenarnya adalah tukang-tukang kebun yang hebat, tukang-tukang roti, pedagang-pedagang barang antik, pematung-pematung, dan penulis-penulis.

Dan akhirnya, sebuah pertanyaan kritis yang dilayangkan Paulo Coelho kepada pembacanya bahwa: Para dokter, insinyur, ilmuwan, dan pengacara memang perlu belajar di universitas, tetapi apakah setiap orang juga perlu berbuat demikian? Apakah setiap orang harus dan wajib menjadi dokter, insinyur, ilmuwan atau pengacara? Lalu siapa yang akan menjadi petani?