Menulis Etnografi: Sebuah Catatan di Kelas Kepo Sesaat
Eko Rusdianto Etnografi Friedrich Nietzsche Gumam Immanuelt Kant Kelas Kepo Sesaat Kepo Initiative
Malam itu hujan—sebut saja malam yang menyedihkan bagi semut sekaligus menyenangkan bagi bunga di taman rumah—ketika saya mengikuti materi kepenulisan Etnografi di Kelas Kepo Sesaat yang dibawakan oleh Nurhady Sirimorok. Materi ini merupakan materi ketiga (di pertemuan ketiga pula), setelah materi Fiksi dan Reportase. Bagi teman-teman yang ingin membaca rangkuman materi pertama tentang kepenulisan Fiksi, silakan kunjungi tulisan kawan saya yang juga nimbrung dalam kelas Kepo Sesaat tersebut. [linknya di sini].
Etnografi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, ethnos dan graphia. Kata ethnos berarti rakyat (budaya masyarakat) sedangkan graphia berarti tulisan atau alat untuk mendeskripsikan (menggambarkan). Dari pengertian etimologi tersebut, dapat disimpulkan bahwa tulisan etnografi berkisah tentang segala hal yang diciptakan oleh manusia untuk hidup dan kehidupannya. Sehingga dari pengertian itu pulalah muncul pernyataan Nurhady Sirimorok bahwa “sarang semut bukan objek kajian dari etnografi”. Sebab, jenis dan identitas sarang semut tidak masuk dalam ranah mahluk yang bernama manusia.
Etnografi, selain banyak digunakan dalam kajian antropologi, juga banyak digunakan dalam kajian-kajian ilmu sosial. Seperti sosiologi, psikologi, dan cabang ilmu sosial lainnya. Dalam sebuah masyarakat, terdapat banyak aspek kebudayaan. Mulai dari aspek ekonomi, sosial, bahasa, seni, pendidikan, agama, sampai pada teknologi. Dari berbagai aspek ini, tulisan etnografi hadir untuk menjelaskan kesemua aspeknya. Tetapi, menurut Nurhady Sirimorok sebagaimana yang ditampilkan dalam slide materinya bahwa tujuan dari tulisan etnografi adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan satu aspek atau segmen kehidupan sosial sebuah kelompok.
Hal ini menandakan bahwa sebuah tulisan etnografi yang baik hanya berisi satu aspek atau satu segmen yang menjadi fokus penelitiannya. Tentu dengan fokus yang lebih spesifik akan menghasilkan penelitian yang lebih mendalam pula. Namun saja, masih sebuah kewajaran jika di awal penelitian etnografi, hipotesa dan pertanyaan kita tentang objek penelitian masih sifatnya lebih luas. Sebab, kata Nurhady Sirimorok, hipotesa dan pertanyaan memang bermula sebagai pernyataan luas dan kemudian menjadi semakin sempit.
Dalam penelitian etnografi juga dikenal istilah data. Data ini berupa deskripsi verbal mengenai masyarakat, interaksi sosial, setting, benda, dan fenomena-fenomena dalam konteks masyarakat yang diteliti. Ketika menjelaskan pembahasan tentang data, Nurhady Sirimorok mendapatkan pertanyaan dari salah satu peserta, bahwa jika dalam penelitian etnografi juga membahas tentang data berupa benda dan simbol maka apa perlu kita juga harus menguasai ilmu tentang semiotika, hermeneutika, dan cabang ilmu yang lain yang dapat menjelaskan lebih spesifik tentang benda dan simbol tersebut?
Menurut Nurhady Sirimorok atau biasa di panggil kak Dandy, bahwa untuk melakukan penelitian etnografi, kita tidak mesti menguasai cabang ilmu yang disebutkan tadi. Sebab dalam proses penelitian, selama kita ikut andil dalam objek penelitian kita, maka pemaknaan-pemaknaan benda atau hal-hal yang bersifat simbolik dalam objek penelitian, akan kita dapatkan dari objek penelitian itu sendiri (pemaknaan masyarakat yang kita teliti terhadap benda atau simbol tersebut). Hal ini menandakan bahwa memang etnografi dalam hal ini si peneliti, tidak untuk memberikan penilaian dan pemaknaannya sendiri terhadap objek penelitiannya, tetapi untuk menampilkan penilaian atau pemaknaan masyarakat itu sendiri sebagai objek penelitiannya. Dengan kata lain, peneliti haruslah objektif.
Jika ditarik ke arah kajian filsafat, hal ini senada dengan pendekatan dialektika fenomenologi. Dalam pendekatan ini, seorang pemikir atau peneliti haruslah mendahulukan ontologi atas epistemologi. Dalam artian, peneliti diarahkan untuk memahami fenomena masyarakat sebagai adanya. Fokus pikiran dan kontemplasi harus mengarah kepada objek yang diteliti yaitu masyarakat sebagai fenomena, bukan pada asumsi-asumsi, bukan pada perangkat-perangkat dogmatis metafisik, bukan pula pada asumsi politik, ideologi, ataupun teologis.
Hal ini juga senada dengan ungkapan Eko Rusdianto dalam materi kedua, Reportase, bahwa seorang reporter haruslah bebas nilai. Dalam artian, reporter dalam melakukan reportase haruslah melepaskan persepsi pribadinya. Semisal, jika kita selaku reporter hanya tertarik pada lawan jenis (bukan transgender) dan melakukan reportase tentang manusia transgender (LGBT), maka persepsi kita selaku manusia normal haruslah dilepaskan. Contoh persepsi yang bersifat subjektif: LGBT itu kurang baik, atau persepsi yang sifatnya teologis: pelacur itu masuk neraka dan khamar itu haram. Persepsi-persepsi semacam inilah yang harus dilepaskan oleh seorang reporter maupun peneliti ilmu sosial.
Dari beberapa penekanan terhadap perlunya sikap objektifitas di atas, sebuah komentar dari Nurhady Sirimorok malah sedikit terdengar skeptis tetapi tetap optimis, bahwa meskipun demikian (kita harus objektif) tetapi kita juga harus mengakui bahwa secara konsepsi tidak ada objektivitas. Dalam artian, kita memahami realitas masyarakat sebagaimana persepsi kita akan realitas masyarakat itu. Kita yang memandang dan memahami suatu objek pastilah terdapat perbedaan terhadap pandangan dan pemahaman orang lain terhadap objek yang sama tersebut.
Pernyataan Nurhady Sirimorok tersebut mengafirmasi pemikiran filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, bahwa tidak ada sebuah dunia objektif. Ketika kita menggunakan istilah-istilah seperti “Tuhan”, “baik” atau “buruk”, “keadilan”, kita berusaha merujuk pada “Tuhan” aktual, “keadilan” aktual, dan sebagainya. Dalam artian, kita menggunakan istilah-istilah tersebut sebagai postulat bahwa istilah-istilah tersebut sesuai dengan kenyataan. Padahal, menurut Nietzsche, tidak ada kenyataaan yang sesuai dengan istilah-istilah tersebut, yang ada hanyalah “persepsi” kita. “Tuhan”, “Islam” dan sebagainya hanya sebatas persepsi, bukan sebuah kenyataan sebagaimana adanya (objektivitas). Tetapi saya pribadi tetap optimis, sebagaimana optimisnya Immanuelt Kant dalam menelanjangi subjektifisme dan menggapai objektivitas. Dan dalam diskursus ini, saya, kamu, dia, dan kita semua boleh memilih beriman kepada siapa—Nietzsche atau Kant.
Kok pembahasannya sampai di sana? Ok, i’m sorry! Kita lanjut. Dalam penelitian etnografi, terdapat beberapa sumber data. Di antaranya: masyarakat, interaksi sosial, setting, dan benda-benda yang relevan. Pengumpulan data dari sumber-sumber data tersebut dilakukan dengan cara mengamati, terlibat langsung, dan kadang-kadang dikombinasikan dengan wawancara. Data-data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk deskripsi dan dianalisis secara logis sehingga ditemukan pola dan tema-tema yang penting.

Adapun pembahasan selanjutnya adalah “proses” yang harus dilalui dalam penelitian etnografi. Ringkasannya sebagai berikut:
Pertama, identifikasi satu pertanyaan atau tema untuk dikaji.
Proses pertama yang harus dilalui untuk melakukan penelitian etnografi adalah dengan mengidentifikasi satu pertanyaan atau tema yang kemudian menjadi fokus penelitian. Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa dalam penelitian etnografi, idealnya membahas satu aspek atau satu segmen dalam kebudayaan masyarakat. Dan sekali lagi, hal ini juga memberikan peluang yang besar akan kedalaman sebuah penelitian.
Kedua, identifikasi ruang atau kelompok.
Dalam penelitian etnografi, cakupan ruang penelitian biasanya meliputi kelompok yang lebih kecil dan bahkan lebih kecil. Identifikasi kelompok atau ruang penelitian ini biasanya dipilih atas dasar maksud tertentu yang juga tentunya masuk dalam tema dan fokus penelitian. Dalam poin pembahasan ini, Nurhady Sirimorok menegaskan bahwa ketika kita melakukan penelitian dalam sebuah kelompok masyarakat tertentu maka perlu adanya sebuah izin. Entah itu izin secara lisan maupun tulisan.
Lebih lanjut, ia juga membeberkan beberapa poin mengenai etika etnografi. Di antaranya tentang nama dan tempat. Bahwa dalam catatan etnografi, etis kiranya jika objek penelitian yang berkaitan tentang nama pelaku dan tempat spesifik itu dirahasiakan. Terkecuali jika terdapat izin dari pemilik nama selaku sumber data penelitian. Selain atas dasar etika etnografi, perahasiaan itu menjadi perlu, karena sesarinya dalam catatan etnografi, yang paling penting bukanlah nama pelakunya namun polanya. Pola ini mencakup pertanyaan inti penelitian dan jawabannya. Atau sebut saja premis yang kemudian disertai dengan konklusi.
Ketiga, mengamati kelompok masyarakat.
Setelah mengidentifikasi pertanyaan atau tema yang hendak diteliti dan kelompok masyarakat tempat penelitian itu berlangsung, maka selanjutnya peneliti mengamati kelompok masyarakat. Dalam etnografi, jenis peneliti dalam melakukan pengamatannya terhadap masyarakat atau objek penelitiannya dibagi menjadi dua, yakni Privileged Observer dan Participant Observer. Privileged Observer yakni jenis peneliti yang hanya mengamati objek yang ditelitinya. Sedangkan Participant Observer yakni jenis peneliti yang berperan sebagai bagian dari objek yang ditelitinya. Dalam artian ini, Participant Observer mencoba memahami objek penelitiannya melalui pengamatan yang lebih dekat yakni mengalaminya sendiri.
Dalam tahapan ini, peneliti melihat dan mendengar secara teliti dan mencatat sebanyak mungkin detail yang ditangkapnya. Baik makna yang ditangkap secara eksplisit maupun implisit. Biasanya, dalam tahapan ini, peneliti akan menghasilkan catatan lapangan yang cukup banyak tentunya dalam waktu yang juga cukup lama. Waktu yang disebutkan oleh Nurhady Sirimorok berkisar antara satu minggu sampai bertahun-tahun.
Pada bagian pembahasan ketiga ini, muncul dua pertanyaan dari peserta kelas (saya lupa siapa yang bertanya, yang pasti menurut ingatan saya ada yang bertanya). Pertama, bagaimana jika dalam proses penelitian, kita mengalami pergeseran paradigma. Atau dalam artian, awalnya kita memiliki konsepsi seperti ‘ini’ misalnya, tetapi lambat laun konsepsi kita yang ‘ini‘ berubah sejalan dengan semakin mendalamnya penelitian kita dan kita merasa berbeda, bukankah itu sebuah persepsi yang akan membuat penelitian kita tidak objektif?
Nurhady Sirimorok menjawab pertanyaan itu dengan tegas bahwa dalam penelitian etnografi harus dilakukan dengan waktu yang lebih lama. Problem yang ditampilkan dari pertanyaan tersebut akan muncul sebagai sebuah indikasi ke-tidakmendalam-nya penelitian, maka diperlukan waktu lebih lama agar penelitian itu semakin mendalam. Sehingga saya menawarkan argumen persuasif yang tepat bagi Anda yang ingin melakukan penelitian etnografi: “Tinggal dan hiduplah selama mungkin dalam kehidupan yang Anda teliti!” Tetapi menurut Nurhady, fenomena tentang munculnya perbedaan persepsi pribadi dengan objek yang diteliti adalah sebuah kewajaran. Dan yang terpenting adalah bagaimana kita menyadari itu, lalu kemudian menuliskannya. Semisal, kita menuliskannya bahwa menurut saya seperti “ini”, dan menurut mereka (objek yang diteliti) seperti “itu”. Model seperti ini disebut dengan reflektivitas dalam catatan etnografi, kata Nurhady.
Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah apa indikator yang digunakan untuk finalisasi data atau informasi yang kita dapatkan dalam penelitian etnografi? Dengan singkat, Nurhady Sirimorok menjawab bahwa informasi yang kita temukan, dapat difinalkan sebagai sebuah kebenaran ketika informasi itu “telah jenuh”. Dalam artian, semua responden telah memberikan informasi yang sama. Jikapun informasi yang dimaksud sifatnya praktik dan non-verbal misalnya, kita menyaksikan langsung kelakuan dan kebiasaan suatu masyarakat, maka setidaknya informasi tentang hal tersebut dapat difinalkan kebenarannya setelah kita menyaksikannya dengan berkali-kali (atau mungkin cukup sekali jika demikian membuat Anda yakin).
Keempat, menganalisis data.
Pada tahapan ini, peneliti mulai menganalisis catatan-catatannya, lalu dari catatan-catatan itu kemudian dapat diidentifikasi tema fokus penelitian sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada tahapan ini pula, peneliti mencari jawaban atas pertanyaan penelitian yang juga telah ditetapkan sebelumnya dan setelah itu, membuat kesimpulan logis dari analisis data yang didapatkannya.
Kelima, langkah terakhir.
Langkah terakhir dari sebuah proses penelitian etnografi adalah peneliti menulis laporan penelitian yang menggambarkan proses penelitiannya, hasil pengamatan dan temuannya, serta kesimpulan logis dari penelitian yang telah peneliti lakukan. Setelah langkah terakhir tersebut, selesai pulalah “proses” yang harus dilalui dalam penelitian etnografi.
Setelah penjelasan tentang proses harus dilalui dalam penelitian etnografi, ada beberapa pertanyaan yang muncul dan ditanyakan peserta kepada pemateri, Nurhady Sirimorok, akan tetapi saya tidak sempat mencatatnya. Jadi cukuplah sekian.
Bagi teman-teman yang ikut di Kelas Kepo Sesaat dan membaca tulisan ini, bisa menambahkan komentar berupa saran atau koreksinya, dan juga yang terpenting, jika ada pengetahuan tercecer, yang tidak sempat diikat di tulisan ini tentang penjelasan “Menulis Etnografi” yang dibawakan Nurhady Sirimorok, silakan ditambahkan di kolom komentar.
Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya. Salam Kepo!