Meraba Permainan Ego Tuhan Lewat Ombak
Ammatoa Bulukumba Friedrich Nietzsche Gumam Pantai Tanjung Bira Suku Kajang
Sepulang dari penelitian di Suku Kajang (Tana Toa, Ammatoa), aku dan teman-teman menyempatkan diri menikmati panorama di Pantai Tanjung Bira, Bulukumba. Pantai yang hembusan anginnya, rintikan hujannya, dan gemuruh ombaknya mampu menyulut hasratku sehingga menyeburkan diri dan berpadu pada keindahan kasatnya.
Sekitar 50 meter dari bibir pantai—ditandai oleh hamparan pasir putih, aku ditendang ombak dan terjatuh. Aku bukan batu karang, tak bisa bertahan di tengah derau dan halau ombak yang mematikan. Asaku untuk bisa berenang jauh ke laut bebas dan melupakan pantai urung kulanjutkan. Bagaimana tidak, ombak terlalu kejam untuk dilawan.
Akupun menepi, mencari sepi di tengah hiruk keramaian pantai. Mencoba menerka dan merenung kata-kata ombak yang terdengar lirih di telingaku. Kuambil ponsel di saku celanaku, kupakai mencatat apapun yang ombak katakan padaku. Ombak seperti guru, menasihatiku. Dan akhirnya, apapun yang kutulis di sini adalah sabdanya.
“Aku tahu, aku memang terlalu kejam untukmu. Semua itu kulakukan agar engkau tahu bahwa kehidupan tidak selamanya berdamai denganmu. Ketahuilah, bahwa aku adalah manifestasi dari kehidupan yang kau jalani,” teriak ombak itu padaku.
Pernahkah Anda ke pantai? Apa yang Anda butuhkan sehingga berkunjung pantai? Bukankah ombak itu kejam dan berbahaya? Mengapa demikian? Tapi, apakah pantai akan tetap menarik jika hampa akan akan deru ombak? Lantas apa yang menarik dari ombak di pantai?
Dari lima orang responden, 75% jawaban dari pertanyaan di atas disimpulkan bahwa ‘ombak adalah hal yang paling mereka sukai di pantai’. Bagi mereka pantai yang tidak memiliki ombak yang menggelora tidaklah eksotis. “Karena ciri pantai yang memiliki kehidupan adalah yang memiliki ombak,” ungkap salah satu responden.
Nah, dari dua sumber inspirasi di atas—dialektika mistis dengan ombak dan jawaban simpel dari lima responden, maka aku pun menuliskan beberapa hal yang harusnya menjadi pelajaran dari ombak.
Pertama, ombak itu egois, seperti hidup yang juga berlaku egois.
Pengertian ombak menurut om wikipedia, dalam bidang oseanografi, ombak dikenal sebagai gelombang dalam (internal wave). Fenomena ombak juga ada dalam bidang meteorologi. Ombak diartikan sebagai gelombang menjalar pada lapisan antar muka antara udara yang hangat dan dingin. Dan banyak lagi bidang ilmu yang bisa mendefenisikan ombak secara memadai dan mendalam.
Dan singkatnya, aku berspekulasi dan menyatakan bahwa nyaris semua orang waras di dunia ini memiliki pengetahuan tentang apa itu ombak. Sederhananya, ombak adalah gelombang (gulungan air) yang datang dari tengah lautan ke tepi pantai. Dan satu hal yang menjadi kesamaan ombak dengan hidup adalah laku kekejamannya.
Perhatikanlah! Ombak selalu berlaku kejam, menabrak dan meruntuhkan karang. Menabrak dan menakuti manusia-manusia di pantai seakan hendak memangsanya hidup-hidup. Ombak tidak pernah tahu tawar-menawar, ia rela ambruk dengan lawannya. Lihatlah bagaimana ombak selalu rela ambruk-hancur ketika menghantam tanggul yang kokoh.
Kekejaman ini akan semakin menjadi-jadi ketika ombak ditonton oleh hujan yang tertawa deras menyuluti hasrat ombak. Pada kondisi seperti ini, hujan seolah berkata pada ombak: hanya seperti itukah garangnya wajahmu, ombak? Ombak menjadi semakin kejam, semakin meninggi, semakin bergemuruh. Dan pada saat seperti inilah ombak terkadang suka menggurui, seperti siang itu, ia mengguruiku tentang hidup. Darinya pulalah, aku tahu bahwa salah satu cara terbaik melumpuhkan ombak adalah dengan mengikuti arusnya.
Seperti kehidupan, ia terkadang melampaui kekejaman ombak. Lihatlah di sana, kehidupan membunuh manusia-manusia yang tak tahu arah ke mana kakinya akan melangkah. Menakut-nakuti manusia-manusia minder, melumpuhkan manusia-manusia lemah dan menantang manusia-manusia pemberani. Kehidupan berlaku layaknya ombak, terlampau egois.
Hingga, seperti ombak, hidup yang demikian hanya dapat dilumpuhkan dengan satu cara terbaik yakni mengikuti arus—mengikuti kekejamannya. Dengan mengikuti arah di mana kehidupan menghendaki jalannya sendiri. Karena sejatinya, arah dan derasnya ombak kehidupan hanya Tuhan dan dirinya sendiri yang tahu. Tahulah kita, bahwa keduanya—Tuhan dan ombak, nyaris identik dengan laku egoisnya.
Kedua, ombak di pantai tak ada habisnya, seperti kejamnya hidup tak ada habisnya.
Ombak selalu punya anak, selalu punya kelanjutan. Saat kehadirannya mencapai akhir ia akan hadir lagi, tak tahu akhir. Ketika satu ombak pertama hancur dan terselesaikan dengan mengerikan, ombak kedua dan selanjutnya meneruskan asa ombak-ombak sebelumnya meski berakhir dengan cara sama. Selalu berakhir di tepian, dan akhir itu menjadi tunas hadirnya ombak yang baru lagi.
Seperti pula derita dan lika-liku kehidupan, tiada habisnya. Ia kadang hadir dalam rupa indah kadang pula datang dalam rupa buruk. Tetapi rupa indah dan rupa buruk dari kehidupan sama saja. Segalanya tentang kekejaman, segalanya tentang permainan ego Tuhan.
Berkaitan dengan tak adanya akhir yang pasti bagi kejamnya ombak dan kehidupan mengingatkan aku pada seorang filsuf Jerman bernama Nietzsche. Ia menyatakan bahwa “segala sesuatu pergi, segala sesuatunya datang kembali, dan berputarlah roda hakikat itu secara abadi”. Menurut Nietzsche, sejarah berjalan seperti ombak. Berjalan seperti siklus-siklus besar, sehingga makna hidup hanya ada dalam kehidupan itu sendiri.
Yang ingin Nietzsche sampaikan kepada kita bahwa pilihan-pilihan bebas yang kita pilih dalam kehidupan kita, akan berulang kembali secara terus menerus. Maka dari itu, kita harus berhati-hati dalam menentukan pilihan dan bertindak. Karena masa depan kehidupan kita ditentukan sendiri oleh pilihan-pilihan tindakan kita sekarang. Dan siklus semacam ini adalah abadi, kata Nietzsche.
Ketiga: ombak itu candu, seperti kehidupan yang melenakan.
Secara naluriah, manusia membenci kekejaman. Tetapi dalam hal kejamnya ombak dan kehidupan, manusia menampilkan sebuah ironi. Dari segala bentuk kekejaman ombak yang mengerikan di atas, manusia malah mencintai dan menyukai ombak. Bahkan kebanyakan darinya—manusia, mengatakan bahwa pantai tanpa ombak adalah salah satu bentuk kematian.
Manusia semacam ini selalu memiliki hasrat tinggi untuk bermain-main dengan kekejaman. Dia menerima tantangan ombak dan bahkan melebihi hasrat ombak. Lihatlah! Bagaimana seonggok daging dengan angkuhnya melawan ombak dan berakhir pada kepasrahan dan kekalahan. Dia lumpuh pada ombak. Namun tak tahu diri, ia kembali lagi, berkali-kali menantang ombak dan berkali-kali pula lumpuh oleh ombak. Dan kembali lagi, karena ombak mampu menciptakan candu.
Seperti halnya dengan kehidupan. Manusia semacam ini, akan mencintai kehidupan sebagaimana cintanya kepada ombak. Membuatnya selalu ingin memiliki segalanya dalam kehidupan. Keinginan memiliki segalanya dalam kehidupan inilah yang merupakan sebuah tantangan terhadap pemilik kehidupan.
Padahal, kehidupan sejatinya hanyalah bentuk penyiksaan bagi manusia. Namun kesejatian makna hidup tersebut hanya dipahami oleh sebagian manusia yakni manusia dari kalangan pesuluk atau pejalan spiritual (manusia-manusia yang tingkatan spiritualnya telah melampaui batas rata-rata).
Dari ketiga poin di atas, mungkin pembaca mengatakan bahwa aku—dalam tulisan ini, terlalu pesimis memandang ombak, terlalu pesimis memandang kehidupan. Aku tidaklah sepenuhnya demikian, namun saja, aku hanya ingin menampilkan bahwa kehidupan ini hanya sebuah hal melenakan dan tidak perlu ambisi yang berlebihan untuk menaklukkannya. Tidak perlu ditaklukkan dalam arti memiliki segalanya. Namun yang kita butuhkan adalah memahami kesejatiannya sehingga kita mampu memberlakukannya sebagaimana adanya.
Yang paling penting yang ingin aku tampilkan dari wacana kekejaman ombak adalah: “kekejaman hidup adalah permainan ego Tuhan”. Dan permainan ego Tuhan tersebut, punyalah arti. Arti inilah yang mesti dicari. Karena dengan arti yang hakiki, kejamnya hidup bisa teranulir menjadi sebuah asupan gizi kebaikan dan semangat hidup. Tapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah “bagaimana caranya kita menemukan arti dari kekejaman hidup? Bagaimana caranya agar kita dapat menemukan arti dari permainan ego Tuhan?”
Caranya adalah dengan menggunakan mata kearifan Tuhan yang dianugrahkan dalam diri kita masing-masing. Jikapun tidak mampu, maka setidaknya pergilah ke pasar kehidupan. Belilah kacamata kearifan di sana. Tapi ingat, kacamata kearifan sangatlah banyak merek, dan saya sarankan belilah kacamata kearifan yang bermerek philosophy, atau filsafat. Dan dengan kacamata itu, pandanglah hidupmu dengan lamat-lamat! Semoga dengan saran itu Anda dapat mengetahui hinanya hidup. Mengenali permainan ego Tuhan!
*Catatan kecil ketika berkunjung ke pantai Bira, 14 Januari 2018.